Sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama, tak lantas membuat sebuah rasa menyergap.
********
Bahunya terasa kaku. Pinggangnya pun tak mau kalah. Sambil duduk di ruang jaga ia memijat betisnya yang hampir saja lepas dari persendiannya. Untung saja hari ini ia shift sore jadi setidaknya ia bebas menggunakan sepatu ketsnya atau terkadang beralih ke sandal jepit yang memang sengaja digunakan hanya saat ia bekerja shift sore ataupun malam. Kalau saja hari ini ia harus shift pagi yang mengharuskan menggunakan pantofel, mungkin saja kakinya benar-benar terlepas.
Hari ini orang yang sakit banyak sekali, jadi wajar saja kalau pemeriksaan laboratorium juga banyak. Ahh… ia ingin sekali segera pulang lalu berendam diair yang hangat. Tubuhnya butuh relaksasi.
Segera beranjak dari ruang jaga untuk bersiap-siap pulang ketika Maya, teman kerja shift malamnya telah datang.
Ia bergerak menuju ruang cuci di sebelah pantry lalu memasukkan jas laboratoriumnya yang berwarna biru ke dalam mesin pencuci yang telah berisi air. Tak lupa memasukan segenggam detergen kemudian menghidupnya mesin itu.
Instalasi laboratorium tempatnya bekerja memang mempunyai ruang jaga khusus petugas yang dilengkapi dengan pantry, loker, ruang ganti, kamar mandi hingga ruang cuci. Ruang cuci dimaksudkan agar para laboran tidak perlu lagi membawa baju infeksius mereka ke rumah masing-masing.
“Sini… biar gue cuci sekalian.”
Wanita berkacamata yang baru saja ingin memasuki pantry berlonjak kaget. “Tumbenan banget lo mau nyuciin jas lab gue, biasanya kan prinsip lo swalayan gitu, Ning.” Indira membuka jas lab dari tubuhnya dan memasukkannya ke dalam mesin cuci yang telah menyala. Ia bergegas menuju pantry.
“Hemat say… listrik, dan air ini milik Negara, sebagai warga negara yang baik dan taat membayar pajak, kita harus memanfaatkan fasilitas dengan sebaik-baiknya.”
“Habis dapat wangsit dimana lo? Tiba-tiba jiwa cinta tanah air lo jadi menggelora gitu, biasanya kan kewarganegaraan lo selalu dipertanyakan.” Indira mencebik sambil membawa segelas teh hangat dari dalam pantry . Pantry dan ruang cuci terletak bersebelahan.
“Hanya gara-gara gue suka Korea bukan berarti gue mau ganti warga Negara yaa… hmhm NKRI harga mati sih yess buat gue,” Ning memindahkan baju yang telah dicucinya ke mesin pengering. Bunyi mesin pengering itu mirip dengan dengungan lalat yang saling beradu di tumpukan sampah.
“Loh? Kalian berdua masih di sini? Gue kira kalian udah cabut dari tadi. In, itu ponsel lo dari tadi berbunyi terus.” Ujar Maya. Gadis ini telah mencepol rambutnya dan masuk ke dalam ruang cuci. Mengambil jas lab dan penutup kepala yang berada di dalam lokernya. Setiap pegawai memiliki masing-masing dua loker. Satu loker di ruang ganti. Satunya lagi berada di ruang cuci. Jas lab yang sudah dicuci selalu disimpan di loker ruang cuci ini. Setiap jas lab terukir nama didada sebelah kanan, sehingga tidak mungkin tertukar. Begitu pun dengan penutup kepala.
Setelah selesai, Maya pun meninggalkan kedua temannya ini untuk pergi ke ruang pengujian. Sepertinya sampel darah sudah mulai berdatangan.
Indira menepuk keningnya. “Rizal pasti sudah nunggu dari tadi nih.” Cepat-cepat ia meletakkan gelas teh nya yang sudah tandas ke dalam westafel, mencucinya lalu meletakkanya di rak piring.
“Lo gak papa kan kalau gue pulang duluan? Sorry banget ya Ning, lo jadi gak punya temen pulang. Gara-gara Rizal sih nih.” Indira mengambil tas dari dalam lokernya di ruang ganti.
Ning mengekori Indira. “Santai aja kali In, gue udah biasa juga pulang sendiri. Udah sana buruan gih… ntar Rizal ngambek, kan gue juga yang repot.”
“Sampai ketemu besok sore ya cintaku, muaccch…” Indira tiba-tiba mencium pipi Ning dan langsung melesat pergi secepat angin sebelum sahabatnya itu memberikannya bogem mentah.
“INDIRA!!! Ihhh jijik banget gue mah!!” Ning menggosok pipi bekas ciuman Indira dengan kasar.
“Gila tuh anak pasti belum sikat gigi… uueeekkk…”
Setelah menjemur jas laboratoriumnya yang akan digunakan lagi besok, Ning beranjak menuju loker di ruang ganti. Mengambil tas, bomber jacketnya yang berwarna merah lalu helmnya. Ia berpamitan kepada Maya serta Angga yang baru saja datang dan mengatakan bahwa tidak ada operan jaga. Ia pun berjalan keluar dari unit tempatnya bekerja menuju parkiran tempat si Eren—motor kesayangannya yang telah menunggu.
Adaninggar Khalia Audrey, sering dipanggil Ning adalah salah satu laboran medik yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta pada unit laboratorium patologi klinik. Untuk hari ini saja biarkan ia mengeluh karena jarak antara laboratorium ke tempat parkir lumayan jauh. Ia kelelahan, apalagi ia harus mengendarai motor maticnya sendirian. Ahh… disaat seperti ini ingin rasanya ia punya pacar. Namun Ning segera menggelengkan kepalanya agar keinginan yang sempat terlintas di pikirannya itu segera pergi.
“Gue gak butuh yang namanya cowok, apalagi pacar.”
Ia bergegas mengambil benda pipih dari dalam tasnya lalu dengan sekali klik ia membuka aplikasi ojol.
“Hari gini masih butuh pacar buat tebengan? Sorry yaaa.. gue lebih milih abang ojol aja!” ucapnya bermonolog sambil memesan ojol.
Setelah berhasil memesan ojol, Ning segera bergegas menuju parkiran motor tempat abang berjaket hijau itu menunggunya.
“Pulang sendiri lagi?”
Ning berbalik ketika mendapati suara berat bertanya kepadanya. Ia kini berada di parkiran motor pegawai dan memastikan bahwa motornya dalam keadaan aman saat ditinggalkan.
“Nggak!” jawab Ning.
Pemuda yang memanggil Ning tadi melepas helm full facenya. Motor ninjanya sengaja dimatikan.
“Terus?” tanyanya lagi.
“Kepo banget!”
“Idih… lo lagi pms ya? Judes banget.”
“Lo masih marah sama gue?”
Ning sengaja membuang wajahnya.
“Ya elah… masih ngambek sama kejadian tadi sore? Ya maaf… gue kan bercanda,“
Kali ini Ning menatap pemuda di depannya dengan kesal, “Kalau saja gue tadi gak buru-buru, gue bakal ngelaporin ke koordinator lo, biar tau rasa!!!”
Setiap Ning mengingat kejadian tadi sore, amarahnya langsung meluncur ke ubun-ubun. Bagaimana tidak, saat ia menelpon bagian loket UGD, yang sudah pasti diangkat oleh laki-laki di depannya ini, untuk memanggilkan salah satu keluarga pasien agar mengambil hasil laboratorium yang sudah jadi, Ning malah diajak berdiskusi tentang konspirasi tenggelamnya kapal titanic. Kan gak lucu!!!
Pemuda itu terkekeh, “Ah lo mah gak bisa diajak bercanda. Serius mulu.”
Ning langsung mendelik ke arahnya. “Oke…oke… gue yang salah. Gue minta maaf.” Diran menyudahi percekcokan ini. Kalau debat dengan Ning, dia sudah tau siapa pemenangnya. Meskipun dia benar, Ning lah yang akan jadi pemenangnya.
Berdebat dengan perempuan itu melelahkan.
Wahai kalian para lelaki yang sedang mengikuti kisah ku ini, ku berikan satu tips…. Mengalahlah dengan para wanita jika kalian sedang berdebat. Bagaimanapun benarnya, kalian tetap salah.
“Lo mau balik sama gue, nggak?” tawar Diran.
Ning menggeleng,“Gue lagi nunggu malaikat tak bersayap buat jemput gue.”
“Siapa?” Diran bertanya dengan tatapan menyelidik.
“R-A-H-A-S-I-A.” Ning setengah mendelik.
“Buruan kasi tahu gue siapa orangnya atau gue bakalan nguntit lo sampai ke rumah bila perlu sampai lo cebokan gue bakalan nunggu.”
Diran yang tidak sabaran akhirnya turun dari motornya. “Oke fix, gue bakalan nunggu di sini juga.”
“Lo gak bisa lihat gue bahagia sedikit ya? Bahkan sama abang ojol sekalipun! Lo jahat banget sih jadi temen!”
Diran menaruh ibu jari dan telunjuk di dagunya lantas manggut-manggut. “Oh, jadi malaikat lo abang ojol berbaju hijau? Gue sebagai salah satu iblis ganteng yang menganut paham bumi itu datar memberikan pilihan kepada kaum muggle jelata di depan gue ini. Pilihan pertama, lo naik ojol yang berakhir dengan lembaran proklamator di dompet lo berpindah tangan. Pilihan kedua, lo menerima ajakan iblis yang gantengnya mengalahkan Edward Cullen ini dan berakhir dengan perut kenyang. Ya…hitung-hitung permintaan maaf gue. Jarang-jarang si merah ini mau numpangin cewek upik abu, biasanya sih sekelas Bae Suzy, Emma Watson, Liza Blackpink atau si cantik Tzuyu.” Pemuda berlesung pipit ini menunjuk motor ninja dengan dagungnya.
Mendengarnya, rasanya Ning ingin cepat-cepat ke kamar mandi mengeluarkan semua makanan yang dimakan tadi siang.
Sialan!
Ning ingin menolak sih, tapi Diran selalu tahu kelemahannya. Yaitu makanan. Kalaupun bersikeras menolak, Diran mah its okay to be okay. Ia benar-benar ingin me time. Tapi disisi lain para proklamator di dompetnya sebentar lagi akan melawan penjajah sampai waktu kemerdekaan bulan depan yang masih tersisa 20 hari lagi. Duhh… Ning kudu piye?
“Tapi kasian abang ojolnya. Masa gue cancel order sih? Mereka kan juga butuh duit.”
Diran mengangkat bahunya, “Itu sih, derita lo.”
Diran memang jahat! Menyakiti hati para wanita ternyata belum cukup membuatnya puas ya? Awas aja, besok Ning bakalan ngadu ke Indira. Biar tahu rasa dia!
“Gue gak punya banyak waktu ya, gue hitung sampai tiga. Satu…du— ”
“Oke! Oke! Oke! Gue ngikut lo aja. Maaf yaa bang, gue janji ini bakal jadi hal terakhir gue ngecewain lo.” Ning memencet tombol cancel order di aplikasi ojol sambil menutup mata.
“Lebay…” Diran mencibir.
“Gue gak mau mati muda!” Ujar Ning ketika naik di jok motor ninja milik Diran.
“Pegangan! Dan jangan lupa pakai helm yang benar. Sampai terdengar bunyi kliknya.”
“Lo lama-lama mirip mama gue ya, bawelnya kebangetan.”
Diran tak menggubris pernyataan sahabatnya itu. Ia lantas menghidupkan mesin motornya, menekan koplingnya secara penuh dan memasukan gigi. Ninja merah itupun membawa mereka membelah jalan raya ibu kota.
*****
“Gue kira lo bakal ngajak gue ke café atau resto mahal kek, ternyata ke sini. Kalau gini mah, ceban juga gak habis.” Ning memukul meja sebagai aksi protes.
Diran mengacungkan telunjuknya ke arah Ning. “Gini nih, bagaimana bangsa ini mau maju kalau anak mudanya saja nggak mau melestarikan kearifan lokal. Sekali-kali makan di warteg dong, neng… jangan maunya makan di café terus. Ntar abang tekor loo…”
Pesanan mereka telah datang. Ning kemudian mengucapkan terimaksih kepada pelayan yang mengantarkan makanan mereka. Uap dari kuah soto yang menguar di udara membuat perut Ning berbunyi. Apalagi dinginnya es batu yang saling beradu di dalam gelas minumannya semakin membuat Ning ingin segera meminum dan membuat tenggorokannya lepas dari dahaga.
Ning memanjatkan doa sebelum makan sebagai rasa bersyukurnya untuk malam ini yang masih bisa menikmati makanan.
Mereka berada di pasar senggol. Pasar senggol ini bukanya hampir setiap hari dan menjual berbagai macam makanan dan minuman dengan harga yang tidak menguras kantong. Bagi penggemar makanan kafe atau restoran mahal, rasa makanan di pasar ini tidak akan menggugah indera perasa mereka. Tapi bagi mereka yang lebih mementingkan soal harga, jelas makanan di sini adalah surga apalagi buat anak indikosan. Meskipun banyak makanan dan minuman dengan harga yang worth it, tapi soal rasa bisa diadu. Tidak kalah dengan rasa makanan di restoran mewah.
“Gimana kerjaan tadi?” Tanya Diran disela-sela kegiatannya mengaduk sambal di kuah sotonya.
“Rame banget. Kaki gue kayak mau copot saking banyaknya pasien hari ini.”
Diran mengangguk sebagi tanda mengiyakan. Ia masih sibuk mengunyah nasinya. “Tadi gue juga dapat semprot dari keluarga pasien.” Ujar Diran setelah menelan nasinya.
“Kenapa?” kali ini Ning yang bertanya.
“Cuma masalah miskomunikasi aja sih. Beberapa pasien kita ternyata masih belum sepenuhnya tahu kalau jaminan kesehatan yang mereka punya itu tidak serta merta mengcover semua sakit yang mereka derita. Yaa kayak pasien tadi, dia bersikukuh untuk menggunakan jaminan kesehatan yang ia miliki untuk menanggung biaya kecelakaan yang diakibatkan karena kelalaiannya sendiri. Padahal jaminan kesehatan yang ia miliki itu tidak bisa menanggungnya. Jadi kalau ada kasus kecelakaan itu biasanya berhubungan langsung dengan jasa raharja sih.”
“Sebaiknya pemerintah harusnya mensosialisasikan lagi kepada masyarakat pengguna jaminan itu ya, agar tahu apa-apa saja yang ditanggung.”
“Yap,”
“Eh tapi gak papa sih kalau keluarga pasien itu complain, kan biar lo ada kerjaan buat ngejelasin lagi ke pasien. Daripada lo nganggur, cuma duduk santai di balik meja sambil ngecengin bidan di ruang rawat inap lewat telepon.”
Diran menginjak kaki Ning tanpa perasaan bersalah.
“DIRAN!!!!”
Pemuda dengan model rambut bak tentara itu tertawa. Ia kemudian menopang dagu dengan tangan kirinya sambil melihat Ning sedang menghabiskan kuah sotonya hingga tandas. Diran sudah selesai makan 5 menit yang lalu. “Kenapa sih ngelihat lo makan bawaanya bikin gue kenyang terus ya? Padahal kalau gue ke sini bareng temen-temen, gue bisa nambah sampai 2 kali loh.”
“Mungkin karena lo manis kali yaa,”
Kini Ning yang berbalik menatap Diran. “Gombalan elo mah gak mempan sama gue, puas!!”
Diran berdecak, “Ah.. lo emang bukan partner yang asik buat diajak bercanda. Pulang yuk!”
Ning mengikuti keinginan Diran. Lagipula ia juga sudah sangat lelah. Apalagi badannya yang sudah lengket dengan keringat dan mungkin saja beberapa bakteri infeksius tidak sengaja menempel di bajunya yang membuat Ning harus cepat-cepat membersihkan diri.
Setelah membayar semua makanan yang tentu saja dibayar oleh Diran, mereka langsung meluncur ke arah parkir.
**********
Ning turun dari motor ninja Diran ketika mereka sudah sampai di depan rumah Ning. Lampu ruang keluarga masih menyala, yang artinya kedua orangtua Ning belum masuk ke kamar mereka.
“Gak mampir dulu?” tawar Ning.
“Kapan-kapan aja deh, lagian gue juga ada janji.” Ucap Diran dari balik helm full facenya. Ia hanya membuka kaca helmnya.
“Gebetan baru lagi?” tebak Ning.
Diran hanya nyengir kuda.
Ning memutar bolamatanya malas. Ia sudah hapal betul tabiat dari sahabat playboynya ini. Dalam seminggu Diran bisa mengencani 2 sampai 3 perempuan sekaligus.
“Gue masuk duluan ya.”
“Ning….”
Ning berbalik. Ia melihat Diran turun dari motornya lalu membuka tas.
“Gue tahu daritadi pengliatan lo ke arah martabak manis terus kan? Yaa gue beliin aja nih buat lo, daripada lo nya ileran! Gak usah mikirin diet ih! Lo cantik apa adanya.” Kresek putih ditangan Diran langsung dipindahtangankan dengan paksa.
“Gue pulang yaa… ntar sampai di rumah, gue mau nelpon lo. Kalau lo reject lagi, saat itu juga gue bakalan masuk ke kamar lo.” Diran mengelus rambut panjang Ning dengan hati-hati. Kali ini tidak ada aksi mengacak-ngacak rambut yang sering ia lakukan.
Ning tak bereaksi apa-apa saking kagetnya dengan aksi tiba-tiba Diran.
“Lo sakit?” Tanya Ning sambil meletakkan punggung tangannya ke dahi Diran.
Diran menggeleng. “Gue pulang yaa…” Pamitnya sekali lagi. Ia naik ke motornya, menghidupkan mesin dan motornya membawa sang pemilik ke tempat peraduannya.
Ning mengamati kepulan asap kendaraan milik Diran perlahan-lahan menghilang di udara.
“Itu anak kerasukan setan di mana?” Ning geleng-geleng kepala sambil masuk ke dalam rumah.
TBC
Cantik? Iya! Pinter? Oh jelas! Mandiri, suka menabung, gak jajan sembarangan dan yang paling penting itu gak julid yessss…jeng! Jeng! jeng! Tapi kok jomlo? – Indira Prameswari to Adeninggar Khalia Audrey *************** Ning sedang sibuk menyalin angka demi angka dari kertas yang berisi hasil pemeriksaan darah lengkap pasien di buku hasil. Kertas tersebut nantinya akan diberikan kepada dokter jaga di unit UGD, atau perawat di bagian rawat inap. Proses menyalin ini dimaksudkan agar nanti jika sewaktu-waktu dokter atau pihak terkait menanyakan hasilnya kembali maka akan mudah untuk ditemukan. Penyalinan ini juga mempermudah para analis untuk ikut merekam atau memantau jejak medis pasien seperti pada pasien yang mengalami penyakit demam berdarah dengue yang setiap hari harus dilakukan pengecekan kadar trombosit nya. Penyalinan hasil ini tidak hanya dilakukan untuk pemeriksaan darah lengkap saja, setiap pemeri
Jangan ngaku anak rumahan kalau keluar rumah belum pernah make baju kedodoran, celana training hitam dan sandal jepit legend, read: swallow. ************************Hampir sebagian besar mengeluh datangnya hari senin. Bagaimana tidak, perbandingan jarak dari hari senin menuju minggu lama sekali sedangkan pergantian minggu ke senin serupa membalikkan telapak tangan. Pun demikian dengan Ning, senin dengan shift pagi adalah paket terberat yang lebih berat dari angka timbangan berat badannya yang kian hari bergeser ke kanan. Ia harus merelakan jam tidurnya dipangkas agar tidak datang terlambat, padahal dua hari kebelakang ia sudah bahagia bangun diatas jam 7 pagi. Ohhh… demi bloody hell yang selalu dikatakan Diran ketika ia ingin mengumpat, Ning ingin kembali bergelut di kasurnya yang empuk sambil bersembunyi dibalik bad cover motif pisangnya yang lucu.
Yang setia dari jaman dekil sampai paripurna gini cuma si freckles. Love ya my freckles.-Adaninggar Khalia Audrey-
Aku janji deh gak bakal nakal lagi, kalau nakal nanti aku akan janji lagi-Anonim-*******Sudah hampir sejam Ning menunggu persis kambing congek. Matcha lattenya kini tersisa setengah. Kafe si Bohay yang menjadi tempatnya bertemu dengan Tama pun sudah mulai ramai, padahal tadi sewaktu ia mendaratkan tubuhnya ke sofa empuk berlengan di sudut ruangan yang menghadap arah jendela kafe, tempat ini masih sepi.Pria itu berdalil masih sibuk dengan pekerjaannya dan meminta pada Ning untuk menunggunya setengah jam lagi. Oke fine! Karena sudah terlanjur basah berjanji untuk bertemu, Ning akan menuruti permintaan pria itu.Nyali Ning menciut ketika sepasang manik matanya melihat mobil Nissan march berwarna merah terparkir cantik dan keluarlah pria yang ditunggunya. Meski ini pertama kali mereka bertemu tapi Ning sempat melihat paras pria itu dari profilnya diwhatsapp. Untung saja
Berharap terhadap hubungan yang belum pasti itu, menyesakkan.****************Ning terbangun dengan mata yang masih mengantuk setelah semalam suntuk mengomeli Indira tentang cowok pilihan sahabatnya itu via telepon. Untung saja hari ini ia bekerja shift malam jadi tidak perlu khawatir jika bangun kesiangan.Dengan piyama biru bercorak Doraemon, ia berjalan menuju dapur untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Perutnya pun sudah keroncongan minta diisi.“Loh? non sudah bangun, toh?” bik Siti, asisten rumah tangga yang sudah bekerja lebih dari 3 tahun di rumah ini baru saja masuk dari pintu belakang. Sepertinya ia baru selesai dengan pekerjaannya menjemur pakaian. Keranjang berwarna putih masih dipegangnya ketika menyapa Ning yang sedang mengeluarkan sebotol air putih dari kulkas.Ning hanya mengangguk sebagai balasan. Energinya belum terisi
Modus? Ngaca dulu dong!! Cocok apa enggak tuh muka buat modus*****Diran dan Ning kini telah sampai disalah satu toko yang tampak dari luar colourful. Ning menghela nafas sebelum memutuskan untuk masuk. Sepertinya keputusan untuk mengajak Diran kemari adalah sebuah kesalahan besar."Lo yakin kita nyari di sini?" Ning memberikan helmnya kepada Diran. Ia tampak tak yakin, sebab tempat yang akan mereka datangi ini terkesan childish menurutnya. Dan dia sama sekali tidak punya ide untuk memberikan kado apa buat sepupunya itu."Lara umurnya gak sama kayak lo. Jadi stop bacot dan ikut gue." Protes Diran. “Ini sudah toko ke enam yang kita datangi dan tangan kita masih kosong.” Pria itu sungguh frustasi. “Lo gak tahu gitu keinginan sepupu lo itu. Dia gak pernah mau bilang mau kado apa?&
Mantan akan terasa seperti kawan lama jika rasa yang dulu pernah ada telah benar-benar menguap, bukan begitu???******************************Ning sudah bersiap-siap sedari tadi. Menunggu itu memang sungguh tidak asik, apalagi menunggu ibu ratu—Ibunya sendiri yang terkadang kalau berdandan memakan waktu yang lama daripada anak gadisnya.“Kamu gak punya baju?”Bukannya minta maaf karena sudah membuat menunggu, eh malah sindirian yang didapatkan Ning. Untung jatah shopping bulanannya masih sering diberi oleh sang ibunda, kalau tidak, ibu Mariam ini sudah ia pecat sebagai ibunya.Ning sengaja hanya menggunakan kemeja putih, berbahan katun lembut dan menyerap keringat alih-alih menggunakan dress, . Bagian depannya sengaja dimasukan ke dalam celana denim berwarna biru dengan sobekan dibagian lutut. Lalu bagian belakang kemeja, ku keluar
Merelakan bukan berarti menyerah, tapi menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan.-Anonim-Ning duduk di tepi ranjangnya dengan rambut kusut yang tergerai, mata sepet dan lelah. Ia baru bisa tidur sekitar jam dua pagi dan empat jam kemudian dia harus bangun lantas pergi bekerja. Kerja pagi di hari senin sungguh ‘sempurna’ dengan nada mengejek.Tadi malam ia benar-benar tidak bisa tidur. Bukan, ini bukan efek kafein dari kopi atau milktea kesukaannya. Hanya saja, sejak datang dari acara ulangtahun Lara, otaknya seolah menekan untuk tidak menciptakan rasa kantuk.Demi memburu waktu, buru-buru ia pergi ke kamar mandi. Sebelum beranjak, Ning memperhatikan wajahnya di cermin. Kantung matanya sudah tidak bisa ditutupi lagi bahkan dengan pulasan foundation. Seharusnya selepas jaga malam dua hari berturut-turut, ia bisa menghabiskan jatah liburnya dengan tidur