Aku janji deh gak bakal nakal lagi, kalau nakal nanti aku akan janji lagi
-Anonim-
*******
Sudah hampir sejam Ning menunggu persis kambing congek. Matcha lattenya kini tersisa setengah. Kafe si Bohay yang menjadi tempatnya bertemu dengan Tama pun sudah mulai ramai, padahal tadi sewaktu ia mendaratkan tubuhnya ke sofa empuk berlengan di sudut ruangan yang menghadap arah jendela kafe, tempat ini masih sepi.
Pria itu berdalil masih sibuk dengan pekerjaannya dan meminta pada Ning untuk menunggunya setengah jam lagi. Oke fine! Karena sudah terlanjur basah berjanji untuk bertemu, Ning akan menuruti permintaan pria itu.
Nyali Ning menciut ketika sepasang manik matanya melihat mobil Nissan march berwarna merah terparkir cantik dan keluarlah pria yang ditunggunya. Meski ini pertama kali mereka bertemu tapi Ning sempat melihat paras pria itu dari profilnya diw******p. Untung saja parkir motor letaknya tidak berdekatan dengan letak parkir mobil, kalau ia bisa-bisa Ning malu setengah mampus.
Bergegas Ning merapikan anak rambutnya yang sedikit kusut karena diterpa angin saat mengendarai motor.
Saat bel pintu masuk kafe berdenting, Ning mengacungkan tangannya ke udara memberikan sinyal kepada Tama. Pria jangkung dengan setelan kemeja berwarna putihnya beranjak menuju ke arah Ning duduk.
“Sudah lama ya?” tanyanya. Pria ini duduk di depan Ning.
Ning lantas menjawab dengan berkelakar, “nggak kok baru tigapuluh menit.” Dengan senyum yang dipaksakan. Kalau bukan untuk yang pertama kalinya Ning bertemu dengan cowok ini, kata-kata kasar pasti sudah terucap di bibirnya.
Calm down Ning... lo gak boleh merusak image. Belum semenit ini lo ketemu gebetan lo!
Ning merapikan anak rambutnya lagi. Sedikit merasa gugup dan canggung. Mungkin ini efek karena sudah lama sekali, ia tidak berinteraksi dengan lawan jenis selain ayah, Diran dan teman-teman kerjanya. Ning berusaha untuk bersikap semanis mungkin.
Tapi….
Bukannya meminta maaf karena jelas-jelas sudah membuat Ning menunggu lama, Tama malah mengacungkan tangannya ke udara untuk memanggil pelayan.
“Kamu mau mesen apa? Udah pesen aja apa maunya kamu, ntar aku yang bayarin kok. Kamu lihat gak mobil merah yang di sana?” dagu lancip Tama menunjuk ke arah parkir. “Itu mobil aku. Kamu jangan takut kalau aku gak bisa bayarin makan kamu ya,”
Ning melongo, Tama diluar ekspektasinya. Gadis ini mengira Tama akan meminta maaf kepadanya untuk sekedar basa-basi, tapi apa yang didapatkannya?
Oke! Sifat aslinya mulai keluar. Ujar Ning dalam hati. Beda sekali saat mengajak pria ini chat-chatan.
Radar Ning tiba-tiba aktif.
Pertama, pria ini pria yang sombong,Mereka pun memesan makanan. Ning yang sudah terlanjur kesal dengan pria di depannya ini akhirnya memesan makanan yang mahal di kafe, steak.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Tama menjelaskan tentang hetnic nya pekerjaannya hari ini. Sebagai seorang general cashier di sebuah hotel yang notabene mengurus semua pengeluaran operasional di hotel itu. Dari urusan pembayaran supplier untuk bahan makanan di hotel sampai mengurus SPT pajak. Pekerjaan Tama itu membuat Ning sedikit mengerti dengan pekerjaan pria ini yang memang harus membutuhkan konsentrasi tinggi. Apalagi kalau sudah high season, beeeuhhh tenaga mereka pasti akan terkuras habis.
Dibalik kesombongannya, ternyata pria ini bertanggung jawab juga terhadap pekerjaannya.
Tapi sayangnya ia tidak memberikan Ning kesempatan untuk berbicara. Setiap Ning ingin berkomentar, tangan pria itu selalu mengacung ke udara untuk menghentikan pergerakan bibirnya.
“Kamu naik apa kesini?” Setelah obrolan panjangnya, akhirnya pria ini memberikan kesempatan pada Ning untuk membuka suara.
“Naik motor,” Ning sengaja memperbesar volume suaranya agar genderang telinga pria ini mendengar jawabannya sejelas mungkin.
Seketika mimik Tama berubah. “Oh, motor.” Nadanya terkesan meremehkan.
Kedua, Tama adalah pria yang mengagungkan harta.
Setelah menandai dua poin utama dari Tama, semangat untuk mengenal pria ini menguap entah kemana. Ia menyesal sudah memoles wajahnya dengan sedemikian rupa, membeli baju baru, hingga membuang sejam tiga puluh menit yang berharga.
Dari pertemuan hari ini saja Ning sudah bisa menyimpulkan bagaimana Tama. Ia ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini agar tidak menikmati makanan yang dipesan tadi.
Ogah banget makan makanan yang ditraktir orang sombong, cibir Ning dalam hati.
Tapi karena orang tuanya selalu mengajarkan agar tidak buang-buang makanan, ia pun memutuskan untuk tetap tinggal. Ya hitung-hitung menebak sifat buruk Tama apa lagi yang bisa ia adukan kepada Indira nanti.
Sambil bersedekap Ning memperhatikan paras Tama yang sedang sibuk membeberkan semua harta kekayaannya yang Ning yakini adalah harta orangtuanya.
Cih... sombong iya, tampan juga kagak!!! Ning benar-benar sudah risih.
Setelah ngedate yang tidak berguna ala Ning ini selesai, mereka pun keluar dari kafe. Ning berjalan dengan langkah lebar menuju parkir motor. Awal-awal pertemuan dengan Tama tadi nyalinya sempat menciut dan tidak percaya diri, tapi setelah bertemu dengan pria ini dan melihat bagaimana sikapnya membuat Ning mengubah pola pikirnya.
Tapi belum beberapa langkah berjalan, lengannya dicekal.
“Besok kamu ada waktu nggak?” tanya Tama.
Kalau pun ada waktu, gak bakalan mau ketemu sama lo,
Maunya sih kata-kata itu yang ingin Ning keluarkan dari bibirnya, tapi daripada capek-capek menguras tenaga untuk mengeluarkan sembilan suku kata maka ia memilih untuk mengucap, “sorry aku besok kerja. Lembur!”
“Kalau besoknya lagi?”
Ning berpikir keras. Ia benar-benar sudah malas meladeni pria sejenis Tama ini.
“Mau bantuin sepupuku nih! Dia mau ngerayain ulangtahun,”
“Terus ketemu sama aku bisanya kapan?kalau aku kangen kamu sama kamu, gimana dong?” Tama bertanya lagi gemas.
Ya mana gue tahu… lo kangen sama gue, tapi guenya nggak.
Ning menampilkan senyum yang dibuat-buat.“Nanti aku hubungi deh, kalau aku udah luang.”
“Gak mau! Pokoknya dalam minggu ini kita harus ketemu.” Paksa Tama.
“Ya mau gimana lagi, kita kan masih sama-sama sibuk,”
Alih-alih menjawab, Tama justru makin memperpendek jarak mereka. Tubuhnya ia dekatkan ke arah Ning yang membuat gadis itu harus mundur beberapa langkah.
“Kalau sekarang aku ajak kamu menginap di apartemen ku mau ya,” Tama tiba-tiba menarik tangan Ning. “ngedate hari ini kurang banget tau! Aku masih kangen sama kamu,”
“Lepasin!” Gadis itu menghentakkan tangan Tama.
“Baru kenalan udah berani ngajak nginap cewek di apartemen lo?” Amarah Ning sudah tidak bisa dibendung lagi. Kata aku kamu, kini berubah menjadi lo gue.
“Terus apa masalahnya?” Tama mengadahkan tangan dan bahunya acuh. Seolah itu adalah hal yang lumrah.
“Lo bisa gituin cewek lain, tapi enggak sama gue!” Ning yang kehilangan kesabaran langsung pergi saat itu juga. Persetan sudah dengan acara ngedate sore ini.
Sampai di rumah ia akan langsung mandi besar untuk menghilangan jejak tangan Tama yang sempat menyentuhnya.
Indira harus diberi omelan nih karena telah mengenalkan cowok sinting modelan Tama.
TBC
Berharap terhadap hubungan yang belum pasti itu, menyesakkan.****************Ning terbangun dengan mata yang masih mengantuk setelah semalam suntuk mengomeli Indira tentang cowok pilihan sahabatnya itu via telepon. Untung saja hari ini ia bekerja shift malam jadi tidak perlu khawatir jika bangun kesiangan.Dengan piyama biru bercorak Doraemon, ia berjalan menuju dapur untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Perutnya pun sudah keroncongan minta diisi.“Loh? non sudah bangun, toh?” bik Siti, asisten rumah tangga yang sudah bekerja lebih dari 3 tahun di rumah ini baru saja masuk dari pintu belakang. Sepertinya ia baru selesai dengan pekerjaannya menjemur pakaian. Keranjang berwarna putih masih dipegangnya ketika menyapa Ning yang sedang mengeluarkan sebotol air putih dari kulkas.Ning hanya mengangguk sebagai balasan. Energinya belum terisi
Modus? Ngaca dulu dong!! Cocok apa enggak tuh muka buat modus*****Diran dan Ning kini telah sampai disalah satu toko yang tampak dari luar colourful. Ning menghela nafas sebelum memutuskan untuk masuk. Sepertinya keputusan untuk mengajak Diran kemari adalah sebuah kesalahan besar."Lo yakin kita nyari di sini?" Ning memberikan helmnya kepada Diran. Ia tampak tak yakin, sebab tempat yang akan mereka datangi ini terkesan childish menurutnya. Dan dia sama sekali tidak punya ide untuk memberikan kado apa buat sepupunya itu."Lara umurnya gak sama kayak lo. Jadi stop bacot dan ikut gue." Protes Diran. “Ini sudah toko ke enam yang kita datangi dan tangan kita masih kosong.” Pria itu sungguh frustasi. “Lo gak tahu gitu keinginan sepupu lo itu. Dia gak pernah mau bilang mau kado apa?&
Mantan akan terasa seperti kawan lama jika rasa yang dulu pernah ada telah benar-benar menguap, bukan begitu???******************************Ning sudah bersiap-siap sedari tadi. Menunggu itu memang sungguh tidak asik, apalagi menunggu ibu ratu—Ibunya sendiri yang terkadang kalau berdandan memakan waktu yang lama daripada anak gadisnya.“Kamu gak punya baju?”Bukannya minta maaf karena sudah membuat menunggu, eh malah sindirian yang didapatkan Ning. Untung jatah shopping bulanannya masih sering diberi oleh sang ibunda, kalau tidak, ibu Mariam ini sudah ia pecat sebagai ibunya.Ning sengaja hanya menggunakan kemeja putih, berbahan katun lembut dan menyerap keringat alih-alih menggunakan dress, . Bagian depannya sengaja dimasukan ke dalam celana denim berwarna biru dengan sobekan dibagian lutut. Lalu bagian belakang kemeja, ku keluar
Merelakan bukan berarti menyerah, tapi menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan.-Anonim-Ning duduk di tepi ranjangnya dengan rambut kusut yang tergerai, mata sepet dan lelah. Ia baru bisa tidur sekitar jam dua pagi dan empat jam kemudian dia harus bangun lantas pergi bekerja. Kerja pagi di hari senin sungguh ‘sempurna’ dengan nada mengejek.Tadi malam ia benar-benar tidak bisa tidur. Bukan, ini bukan efek kafein dari kopi atau milktea kesukaannya. Hanya saja, sejak datang dari acara ulangtahun Lara, otaknya seolah menekan untuk tidak menciptakan rasa kantuk.Demi memburu waktu, buru-buru ia pergi ke kamar mandi. Sebelum beranjak, Ning memperhatikan wajahnya di cermin. Kantung matanya sudah tidak bisa ditutupi lagi bahkan dengan pulasan foundation. Seharusnya selepas jaga malam dua hari berturut-turut, ia bisa menghabiskan jatah liburnya dengan tidur
Bukan. Bukan ini yang Ning inginkan. Ia hanya berharap hari ini berlalu lebih cepat dan berganti menjadi esok hari dengan lebih baik. Ia pikir, tadi malam adalah pelarian terakhirnya, tapi mengapa kini ia harus bertemu lagi dengan dia?Mata Ning menatap ke arah lain, ia tidak bisa menatap manik mata sosok di depannya. Bukannya tidak bisa, hanya saja ia tidak mampu.Gandhi—sosok yang ia hindari tadi malam saat pesta ulangtahun Lara. Laki-laki ini adalah sosok yang seharusnya tidak pernah ia inginkan untuk bertemu lagi. Namun ternyata semesta memang suka sebercanda itu. Ia mempertemukan dirinya kembali dengan pria ini setelah dua tahun lamanya. Setelah pria ini mencampakkannya begitu saja tanpa alasan dan memilih untuk bersama dengan yang lain.Ning ingin pergi lagi, seperti tadi malam. Pergi kemana saja pun ia mau asalkan bisa menjauhinya dan bila perlu bersembunyi. Tapi itu tidak mungkin kan? Ia kini di tempa
Lidah tidak bertulang- Anonim-****Ning dan Gandhi telah berada di restoran cepat saji yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Ning terlalu lelah untuk menentukan tempat nyaman untuk berbincang dengan pria itu, sedangkan Gandhi memilih untuk mengikuti kemanapun perempuan itu akan membawanya.Restoran cepat saji dijam segini cukup lengang. Mungkin karena memang bukan weekend. Beberapa mahasiswa tampak duduk bergerombol dalam satu meja, sedang menekuri layar laptop masing-masing. Ada juga yang memilih untuk duduk sendiri dan menepi. Menghabiskan sisa cola ditangan mereka, sedangkan tangan satunya sibuk membolak balikkan modul setebal mungkin 5 cm yang cukup bisa membuat kepala pening jika dipakai untuk memukul. Tempat seperti ini memang surga buat para calon sarjana itu. Selain karena restoran ini bukannya 24 jam, akses wifi yang gratis tanpa batas sering dimanfaatkan oleh mereka untuk menyel
-Where there is love, there is life-Gandhi memijat pangkal hidungnya yang terasa berat. Kacamatanya sudah ia tanggalkan dan dimasukkan ke dalam tas. Pemandangan pertama yang ia lihat setelah membuka pintu rumah adalah wajah ibunya yang sedang berdiri sambil bersidekap.Rumah megah yang sekarang ia tempati ini bukanlah miliknya. Melainkan milik orangtuanya. Sejak dua tahun lalu, setelah menikah ia memang memutuskan untuk meninggalkan rumah ini dan memilih menetap di Bandung. Namun, kejadian beberapa bulan yang lalu memaksa dia untuk kembali lagi ke sini.“Kamu darimana saja, huh? Jam segini baru pulang?” jam di tangannya memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.Gandhi mendengkus, “lembur.” Tukasnya singkat.“Lembur apa kamu sampai jam segini baru selesai?” Ratna belum puas dengan jawaban putranya.Langkah kaki Gandhi berhenti dan tubuhnya dipaksakan untuk berbalik ke arah ibunya yang berdiri menanti jawabannya sedangkan sang ayah masih santai menonton televisi.“Aku bukan anak k
Sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama, tak lantas membuat sebuah rasa menyergap.********Bahunya terasa kaku. Pinggangnya pun tak mau kalah. Sambil duduk di ruang jaga ia memijat betisnya yang hampir saja lepas dari persendiannya. Untung saja hari ini ia shift sore jadi setidaknya ia bebas menggunakan sepatu ketsnya atau terkadang beralih ke sandal jepit yang memang sengaja digunakan hanya saat ia bekerja shift sore ataupun malam. Kalau saja hari ini ia harus shift pagi yang mengharuskan menggunakan pantofel, mungkin saja kakinya benar-benar terlepas.Hari ini orang yang sakit banyak sekali, jadi wajar saja kalau pemeriksaan laboratorium juga banyak. Ahh… ia ingin sekali segera pulang lalu berendam diair yang hangat. Tubuhnya butuh relaksasi.Segera beranjak dari ruang jaga untuk bersiap-siap pulang ketika Maya, teman kerja shif