Axela berjalan terburu-buru di lorong kampus, mengabaikan banyak pasangan mata yang menatapnya dengan nada menyebalkan panggilan dari sahabatnya.
“Axela …” panggil Bianca berulang kali, berusaha keras menyamai langkah Axela yang semakin cepat. Axela terus berjalan menuju mobil, mengabaikan pertanyaan sahabatnya. Banyak pertanyaan memenuhiKepalanya.calon suaminya, benar-benar bisu? Kenapa Kakeknya ingin Axela menikahi laki-laki bisu itu? Apa istimewanya laki-laki itu? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa henti di benaknya, hingga tepukan di bahu dari Bianca menyadarkannya. “Huft …,” Bianca mengatur napas yang tersengal-sengal setelah mengejar Axela, “Apa yang terjadi? Kenapa kau meninggalkan dia begitu saja?” tanyanya, khawatir. “Kita bicara di dalam, Bi.” Klik … Bianca membuka pintu mobil dengan remote. Axela masuk ke dalam mobil dan menyandarkan tubuhnya dengan kasar di kursi. Bianca ikut masuk dan duduk di kursi sebelahnya. Dia menyentuh bahu sahabatnya yang terlihat sangat serius. “Apa yang terjadi, Xel?” tanyanya lembut. Axela menghela napas kasar dan menatap sahabatnya dalam-dalam. “Dia bisu, Bi!” Bianca terkejut mendengar jawaban Axela, “Bisu? Tidak bisa bicara?” tanyanya memastikan. Axela menganggukkan kepala pelan, “Ya, dia bisu. Tidak bisa bicara. Dia cacat. Kenapa Kakek ingin aku menikahinya? Apa istimewanya dia?” Wajahnya menunjukkan keputusan yang mendalam. Bianca terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia mengusap lengan Axela dengan lembut, mencoba menghibur sahabatnya. “Kau harus menanyakan hal itu langsung pada kakek," Axela merenung beberapa saat, memikirkan saran dari sahabatnya. Akhirnya, dia mengangguk dan berkata tegas, “Ayo, temui Kakek!” ajaknya sambil menggenggam sabuk pengaman. Bianca tak punya pilihan lain selain memenuhi permintaan sahabatnya itu. Dia mengemudikan mobil menuju mansion Kakek, dengan perasaan campur aduk antara kekhawatiran dan harapan. Bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih jelas. Di sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil dipenuhi keheningan. Axela terus memandang keluar jendela, berusaha menenangkan Kegelisahan yang menguasainya, sementara Bianca sesekali melirik sahabatnya dengan cemas, berharap pria bisa memberikan kekuatan melalui kebersamaan. *** Sementara itu, di halaman belakang mansion, seorang laki-laki tua sedang menikmati angin pagi yang menyejukkan. Aroma kopi dan kicauan burung memberikan ketenangan, menyegarkan hatinya. “Tuan, Nona Muda baru, Saja bertemu dengannya,” kata orang kepercayaan laki-laki tua itu dengan nada penuh hormat. Laki-laki tua itu menyeruput kopinya perlahan, sementara pikirannya tetap penuh pemikiran. “Dalam beberapa menit ke sini, dia akan tiba di sini. Minta maid menyiapkan Cemilan kesukaan cucuku,” tuturnya lembut namun tegas. sementara laki-laki tua itukembali menikmati kegiatan paginya, matanya menjelajahi lapangan hijau yang luas, mengenang masa-masa indah bersama cucunya yang kini sedang dilanda kebingungan. “Siapkan camilan kesukaan Nona Muda dan letakkan di sana belakangan sebelum dia tiba,” kata orang kepercayaan kepada kepala maid dengan nada mendesak. “Baik, tuan,” jawab kepala maid tanpa ragu, segera menuju dapur untuk mempersiapkan perintah tersebut. Kembali di halaman belakang, laki-laki tua itu menghirup aroma kopi dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, konfrontasi dengan cucunya tidak akan mudah. Ia mengerti kebingungan dan kecemasan yang dirasakan cucunya. *** Axela dan Bianca tiba di mansion Kakek, disambut oleh para maid yang membungkukkan tubuh dengan sopan. Kepala maid maju beberapa langkah, menunjukkan letak keberadaan. Tuan Besar Atmaja." "Selamat pagi, Nona Muda. Tuan Besar sedang berada di halaman belakang mansion," sapa Kepala maid dengan ramah. Axela, "Tuan Besar sudah menunggu, Nona," dia kemudian menatap Bianca, "Maaf, Nona. Tuan Besar ingin berbincang dengan Nona Muda. Nona bisa masuk di dalam." Bianca mengangguk, memberikan dukungan lewat tatapan mata kepada Axela, dan kemudian masuk ke dalam mansion, meninggalkan Axela yang melangkah mendekati Kakeknya yang sedang menikmati kopinya. "Kemari, duduklah dan nikmati camilan kesukaanmu," ajak Kakek, menyambut. --- Axela duduk di samping Kakeknya dan mengambil biskuit kesukaannya. Dia mulai memakan biskuit itu sambil menatap lapangan hijau yang membentang di depan matanya. Klek … Kakek meletakkan cangkir kopinya dengan lembut, “Kau masih ingat kenangan di lapangan ini?” Kakek menatapnya dan melanjutkan, “Di sini kita banyak menghabiskan waktu. Di sana,” Kakek menunjuk satu sudut diLapangan hijau, “kau jatuh dari sepeda dan menangis sangat kencang. Nenek datang membantumu dan memarahi Kakek, karena tidak membiarkan cucunya terluka. Padahal itu hanya luka kecil, tapi Nenek sangat khawatir, bahkan air matanya keluar saat mengobati luka di lututmu.” Kakek tertawa kecil mengingat kenangan itu, lalu pandangannya menjadi serius, “Ah, Kakek jadi merindukan Nenekmu. Bagaimana denganmu, kau masih ingat kenangan itu? Kau merindukan Nenek?” Axela terdiam sejenak, merenungi kata-kata Kakeknya. “Ya, Kek. Aku merindukan mendengar Nenek setiap hari. Kenangan-kenangan itu sangat berarti bagiku,” jawabnya dengan suara yang bergetar. Kakek tersenyum lembut, menepuk tangan Axela dengan penuh kasih sayang. “Kau pasti ingin menanyakan sesuatu yang akan membuat kau memikirkan,” katanya dengan nada bijaksana. Axela menatap Kakeknya dengan campuran emosi kebingungan, keputusan. Kenapa aku harus menikahinya, Kakek? Dia bahkan tidak bisa bicara denganku. Bagaimana aku bisa menjalani hidup dengan seseorang yang tidak bisa berkomunikasi denganku?” tanyanya, suaranya penuh kebingungan. Kakek menarik napas dalam-dalam, menatap cucunya dengan penuh cinta dan pengertian. “Axela, kau akan menemukan jalan seiring berjalannya waktu. Yang pasti, dia adalah laki-laki yang baik dan memiliki hati yang luar biasa. Kekurangannya bukan kelemahan, melainkan bagian dari keistimewaannya.” Axela mengerutkan kening, masih tidak sepenuhnya memahami. “Tapi, bagaimana Kakek bisa yakin dia adalah orang yang tepat?” Kakek tersenyum, kali ini dengan pandangan yang penuh kebijaksanaan. “Cinta dan pengertian tidak selalu diucapkan dari kata-kata, cucuku. Terkadang, bahasa hati lebih kuat daripada apapun yang bisa diucapkan. Buatlah dia berbicara dengan caramu sendiri. Temukan jalan untuk berkomunikasi dengannya, dan kau akan melihat betapa istimewanya dia.” Axela terdiam, mencoba merenungkan kata-kata Kakeknya. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang mendalam di balik keputusan ini, sesuatu yang belum bisa dia pahami sepenuhnya. *** “Apa alasan Kakek meminta Jennie menikahi laki-laki bisu itu?” tanya Bianca pada Alex. Mereka duduk bersama di ruang tamu yang mewah, dikelilingi oleh cemilan yang disajikan dengan indah. Bianca menatap Alex, menunggu jawabannya. Alex menghela napas Dalam, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. ‘Maaf, Nona. Saya tidak tahu alasan Tuan Besar melakukan itu. Hanya Tuan Besar yang tahu alasannya,’” jawabnya dengan suara rendah, ekspresinya menunjukkan kekaguman dan rasa hormat yang mendalam pada Tuan Besar. Bianca mengangguk, merenung sejenak. Dia tahu bahwa Alex adalah sosok yang setia dan menjaga rahasia keluarga dengan baik. Namun, rasa ingin tahunya dan kekhawatiran untuk sahabatnya membuat dia tidak bisa diam begitu saja. ***" Apa yang harus aku lakukan,Bi?" tanya Axela ,duduk di atas meja kerja dalam ruangannya sambil meneguk minuman beralkohol yang selalu tersedia di sana. Bianca merasa kasihan melihat sahabatnya tampak begitu putus asa. Pukul 10 pagi ini,Axela sudah mulai mengonsumsi alkohol,sesuatu yang tidak biasa bagi sahabatnya yang biasanya tengah sibuk dengan tumpukan pekerjaan. Bianca mendekati Axela dengan penuh perhatian."Xel,ini bukan cara yang baik untuk mengatasi semuanya,"katanya lembut, mencoba mencapai hati sahabatnya yang sedang kesulitan. Axela menatap Bianca dengan mata yang terlihat kosong dan penuh dengan beban pikiran "Aku tidak tau lagi,Bi. semuanya begitu rumit,"ujarnya dengan suara yang bergetar, cobaann yang nyata. Bianca duduk di sebelah Axela, menempatkan tangannya di punggung sahabatnya dengan lembut."Axela,aku tahu ini sangat sulit untuk bagimu.Tapi, bagaimana jika kita melihat situasi ini dari sudut pandang berbeda?"katanya dengan hati-hati. Axela menoleh keara
Axela dan Bianca duduk di sofa sederhana dalam rumah Andra. Pandangan mereka menelusuri setiap sudut ruangan, mencoba memahami kehidupan laki-laki yang begitu berbeda dengan mereka. Tidak ada barang-barang mewah, hanya ada beberapa perabotan biasa yang menunjukkan kesederhanaan hidup Liam. Setelah beberapa waktu, Andra muncul kembali dari dapur. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kelelahan dan luka yang belum sepenuhnya pulih. Dia membawa tiga kotak susu cokelat, satu-satunya yang bisa dia tawarkan sebagai jamuan untuk tamunya. Dengan senyum yang penuh ketulusan, dia memberikan satu kotak susu kepada Axela dan satu lagi kepada Bianca. "Maaf, hanya ini yang aku punya, "kata Andra dengan memberikan selembar kertas Bianca tertegun melihat cara Andra berkomunikasi. Calon suami sahabatnya itu benar-benar bisu, tidak bisa berbicara. Axela mengabaikan hal itu dan menatap Liam dengan serius. "Menikahlah denganku!" pintanya dengan tegas. Andra menatap Axela dengan tatapan penuh kebi
Pagi itu, Andra berjalan di trotoar menuju halte bus. Dia akan pergi ke kampus, seperti biasanya, menggunakan bus. Agenda hari ini adalah menghabiskan waktu di perpustakaan untuk menyelesaikan tugas akhirnya. Meskipun masih ada bekas memar dan satu plester di keningnya akibat bully yang diterimanya, senyum kecil merekah di wajah Andra. Saat duduk di dalam bus,Andra merasa sedikit tenang, terlepas dari semua yang telah dia alami. Dia menatap jendela, melihat pemandangan kota yang bergerak perlahan. Dalam hatinya, dia mencoba menyemangati diri sendiri, membisikkan kata-kata positif yang memberinya kekuatan. "Semangat, Andra! Hari ini akan menjadi hari baik untukmu!" gumamnya pelan, hampir seperti doa yang penuh harapan. Hatinya terasa hangat setelah melakukan hal itu, seperti secercah cahaya di tengah kegelapan.Bus terus melaju, membawa Andra semakin dekat ke kampus. Dia menghembuskan napas panjang, mempersiapkan dirinya untuk hari yang baru.***
Di dalam kamar kecilnya yang bernuansa astronot, Andra menatap langit-langit dengan banyak pikiran berlarian di dalam kepalanya. Berkali-kali dia menghela napas kasar, meratapi nasib yang menghampiri hidupnya."Kenapa jalan hidupku rumit sekali, Tuhan? Apa salahku? Apa salah kedua orang tuaku di masa lalu, sampai-sampai hidupku selalu tertimpa kesulitan?" keluhnya dalam hati sambil memijat keningnya."Lagi, kenapa lagi aku harus bertemu wanita menakutkan itu! Datang-datang langsung minta nikah! Dikira nikah itu gampang kali ya? Mentang-mentang dia CEO, seenak jidatnya memutuskan beasiswa orang yang mati-matian berjuang," kesalnya sambil menutup wajah dengan selimut.Ting...Suara notifikasi pesan masuk terdengar dari ponselnya. Dengan enggan,Andra melihat pengirim pesan, ternyata dari nomor baru. Andra mengabaikan pesan itu, hingga masuk pesan kedua.Ting...Mau tidak mau, dia membuka isi pesan yang ternyata dari wanita menakutkan yang baru saja dia keluhkan.Isi pesan pertama:
Klik...Axela masuk ke dalam ruangan yang tadi dia tanyakan nomornya pada administrasi. Dia melihat Bianca yang dengan cemas memandangi Andra yang terlelap di tempat tidur rumah sakit, begitu fokus hingga tak menyadari kehadirannya.Axela berjalan mendekat,suaranya memecah keheningan, "Kau menyukainya, Miss Bianca."Bianca tersentak, menatap tajam Axela sebelum berdiri dan menarik sahabatnya sedikit menjauh dari tempat tidur Andra."Kau," Bianca menuding Axela, "Apa yang kau lakukan di sini? Aku sangat hafal dengan sikapmu! Kau tidak mungkin ke sini tanpa ada niat yang menguntungkan untuk dirimu!" Suaranya bergetar dengan marah namun tetap tertahan agar tidak membangunkan Andra.Axela tersenyum remeh, perlahan menurunkan jari telunjuk Bianca. "Kau memang sangat tahu bagaimana aku."Axela melangkah kembali ke sisi tempat tidur Andra. Dia mengeluarkan suntikan berisi cairan yang entah apa isinya, dan dengan gerakan tenang, dia menyuntikkannya ke dalam ruang infus Andra.Mata Bianca
"Dia sangat cerdas!" senyum merekah di wajah Kakek saat mobil yang dikendarai Alex meninggalkan parkiran apartemen cucunya, Axela. Raut wajahnya penuh kebanggaan yang sulit disembunyikan."Tuan, apa benar Tuan Muda melakukan hal itu pada Nona Muda?" tanya Alex, fokus pada jalan di depannya.Kakek tertawa pelan, suaranya menggema lembut di dalam mobil. "Hahaha... Andra tidak akan melakukan hal seperti itu. Ini semua pasti jebakan yang dilakukan Nona Mudamu itu pada Tuan Mudamu. Ingat, Nona Mudamu sangat ambisius. Dia tidak mungkin melepaskan apa yang sudah dia usahakan begitu saja. Dia akan melakukan apa pun demi mencapai ambisinya. Entah itu dengan cara yang baik atau cara yang gila sekalipun."Alex mengangguk,memahami maksud Kakek." Lalu bagaimana dengan misi selanjutnya, Tuan?" tanyanya, suaranya terdengar penuh perhatian dan khawatir."Berikan mereka waktu satu minggu bersama dengan ketenangan," kata Kakek dengan tenang, menatap keluar jendela, pandangannya jauh menembus malam. "Set
Pagi itu, sinar matahari pagi masuk melalui jendela kamar Andra, membangunkannya dengan lembut. Hari ini adalah hari libur, tapi bagi Andra, itu berarti sepuluh jam kerja di kafe dari jam 8 pagi hingga 6 sore. Dia menikmati rutinitasnya, meskipun kadang melelahkan. Setelah bangun dan merapikan tempat tidur,Andra mengganti pakaian olahraga dan keluar untuk berlari santai di sekitar kompleks tempat tinggalnya.Lari pagi adalah kebiasaan yang selalu membuatnya merasa segar dan siap menghadapi hari. Napasnya yang teratur, suara langkah kakinya di trotoar, serta pemandangan pagi yang damai memberikan kedamaian tersendiri. Setelah sekitar setengah jam, Andra kembali ke rumah dengan keringat membasahi tubuhnya.Setelah mandi air dingin yang menyegarkan, Andra mengenakan seragam kerjanya yang rapi. Sambil bercermin, dia memikirkan tugas-tugas yang menantinya di kafe. Semoga hari ini tidak terlalu sibuk, "gumamnya dengan senyum tipis di wajahnya. "Pukul 7:30 pagi, Andra mengambil tas kerja
Pagi hari di rumah sederhana yang ditempati Andra, laki-laki itu sudah rapi dengan pakaian untuk pergi ke kampus. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri untuk makan roti yang dia beli untuk dimakan saat pagi hari sebelum memulai aktivitas. Andra duduk di kursi ruang tamu dengan roti di tangan kiri dan tangan kanan membuka tiap lembar buku yang dia baca. Sedang asyik dengan yang dia lakukan, tiba-tiba pintunya diketuk dengan kuat dan cepat. Andra menghentikan makannya dan buru-buru keluar untuk melihat siapa yang mengganggu waktu tenangnya. Klik... Begitu pintu dibuka, pandangan Andra langsung bertemu dengan istrinya yang menatapnya dengan dingin. Axela masuk begitu saja kedalam rumah Andra dengan pakaian kantornya. Andra mengikuti Axela dari belakang, bertanya-tanya apa yang ingin dilakukan wanita itu pagi ini di rumahnya. "Aku ingin kau berjarak dengan wanita gatal itu!" kata Axela dengan tegas, duduk di kursi ruang tamu Andra sambil membuka kacamata hitamnya. Andra me