Beranda / Pernikahan / PRIA BISU ITU SUAMIKU / Bab 7 Butuh Waktu Berpikir

Share

Bab 7 Butuh Waktu Berpikir

Axela dan Bianca duduk di sofa sederhana dalam rumah Andra. Pandangan mereka menelusuri setiap sudut ruangan, mencoba memahami kehidupan laki-laki yang begitu berbeda dengan mereka. Tidak ada barang-barang mewah, hanya ada beberapa perabotan biasa yang menunjukkan kesederhanaan hidup Liam.

Setelah beberapa waktu, Andra muncul kembali dari dapur. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kelelahan dan luka yang belum sepenuhnya pulih. Dia membawa tiga kotak susu cokelat, satu-satunya yang bisa dia tawarkan sebagai jamuan untuk tamunya.

Dengan senyum yang penuh ketulusan, dia memberikan satu kotak susu kepada Axela dan satu lagi kepada Bianca. "Maaf, hanya ini yang aku punya, "kata Andra dengan memberikan selembar kertas

Bianca tertegun melihat cara Andra berkomunikasi. Calon suami sahabatnya itu benar-benar bisu, tidak bisa berbicara. Axela mengabaikan hal itu dan menatap Liam dengan serius. "Menikahlah denganku!" pintanya dengan tegas.

Andra menatap Axela dengan tatapan penuh kebingungan dan skeptis. Dia mengambil secarik kertas dan mulai menulis dengan tangan yang gemetar. "Kamu sepertinya sedang mabuk, Miss, "tulisnya, menunjukkan tulisan itu kepada Axela.

Axela menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak, aku serius. Menikahlah denganku!"

Andra menghela napas, matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Dia kembali menulis, kali ini tangannya bergetar lebih kuat. Kenapa semua orang sangat suka membuat lelucon pada orang-orang lemah? Apa itu begitu menyenangkan?"

Ekspresinya menunjukkan rasa muak dan keputusasaan.

Sudah terlalu sering dia diperlakukan semena-mena oleh orang-orang kaya yang menganggapnya tak lebih dari objek ejekan.

Bianca akhirnya membuka suara, suaranya penuh dengan pengertian dan kesungguhan. " Ini bukan lelucon. Kami berbicara tentang pernikahan kontrak. Ini bisa menguntungkan kalian berdua."

Andra menatap Bianca dengan skeptis, tetapi ada sedikit keraguan dalam tatapannya. "Mengapa aku? Apa yang kau harapkan dariku ?"tulisnya dengan lambat, memperlihatkan kertas itu kepada Bianca dan Axela.

Axela menatap Andra dengan mata yang mulai menunjukkan kejujuran yang jarang ia perlihatkan. "Kakekku ingin aku menikah. Dia memilihmu. Aku tidak mengerti kenapa, tapi aku harus melakukannya untuk memenuhi keinginan Kakek dan mempertahankan warisanku. Kau tidak perlu khawatir tentang hal lainnya. Kita akan membuat perjanjian. Kau bisa tetap menjalani hidupmu tanpa campur tanganku. Aku juga tidak akan ikut campur dalam hidupmu," katanya dengan suara yang terdengar lebih lembut dari sebelumnya.

Andra menatap Axela dan kemudian menoleh ke arah Bianca, mencari penjelasan lebih lanjut.

Bianca mengangguk pelan. "Ini adalah kesempatan untukmu juga. Kami bisa memastikan kau mendapat dukungan finansial yang layak. Kau bisa terus hidup seperti biasa tanpa ada yang tahu tentang status pernikahan kalian. Ini hanya formalitas," tambahnya, mencoba meyakinkan Andra bahwa ini adalah tawaran yang saling menguntungkan.

Andra terdiam, memandang Axela dan Bianca secara bergantian. Ia merasa bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Namun, di balik kebingungannya, ada sedikit harapan. Mungkin, ini adalah kesempatan baginya untuk keluar dari kesulitan yang selalu menghantuinya.

Dengan napas yang berat, Andra menulis satu kalimat terakhir di kertasnya. "Aku butuh waktu untuk berpikir. "Ia menunjukkan kertas itu kepada Axela dan Bianca, berharap mereka memahami perasaannya.

Axela mengangguk, mencoba menahan emosi yang bergemuruh di dalam dirinya. Ambil waktu yang kau butuhkan, beri kami jawaban dalam 24 jam kedepan. Kami butuh kepastian." Suaranya lembut namun tegas, menyiratkan urgensi dan kerentanannya.

Andra menatap Axela,matanya penuh dengan pertanyaan dan kebingungan. Dia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Kenapa harus dia? Kenapa hidupnya selalu penuh dengan cobaan?

***

Bianca sedang menyetir mobil menuju mansion Axela. Sesekali dia melirik ke arah sahabatnya yang menatap kosong ke luar jendela, tangan Axela masih erat menggenggam kotak susu cokelat yang diberikan Andra tadi.

Dalam hening yang mengisi mobil, Bianca akhirnya memecah keheningan. "Kau membawanya pulang?" tanyanya dengan nada ingin tahu, matanya sejenak beralih dari jalan ke arah kotak susu di tangan Axela

Axela tidak mengalihkan pandangannya, masih tertuju pada pemandangan luar jendela yang terus berlalu. Menghargai," jawabnya singkat. "

Bianca mengernyitkan dahi, merasa bingung. Perlakuan Axela saat ini sangat berbeda dari Axela yang biasa dia kenal. Sahabatnya yang biasanya tegas dan tidak pernah mau menerima apapun dari orang lain, bahkan barang-barang branded sekalipun, kini justru menggenggam kotak susu cokelat yang tidak seberapa harganya dari Andra.

Bianca mencoba mengabaikan suasana hening yang aneh di dalam mobil, namun akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi berputar di dalam kepalanya. "Xel, kau melihat luka lebam di wajahnya, serta bajunya yang sedikit lembab tadi?" tanyanya dengan hati-hati, sekilas melirik Axela yang masih menatap kosong keluar jendela.

"Apa mungkin dia korban bully di kampus atau tempat kerjanya? Tapi, kemungkinan besarnya pembullyan di kampus. Apa dia dibully karena kedatangan kita tadi, atau memang dia sudah lama menjadi korban bully?"

Axela menghela napas kasar, merasakan amarah dan frustasi yang membara di dalam dirinya. "Bukan urusanku!" jawabnya tegas. Dia tetap menatap keluar jendela.

***

Axela duduk di meja kerjanya, mencoba fokus pada tumpukan berkas di hadapannya. Namun, pikirannya terus melayang, terbayang-bayang oleh ucapan Bianca di mobil tadi.

"Apa benar calon suamiku adalah korban bully di kampus milik Kakek? Apakah luka-luka di wajahnya dan baju lembabnya akibat dari perlakuan buruk mahasiswa karena kedatanganku dan Bianca? Atau dia sudah lama menjadi sasaran kekejaman karena kekurangannya?"

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, membuatnya semakin gelisah. Ada sesuatu dalam tatapan Andra yang terluka yang menyentuh sisi lembut dalam dirinya. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan ingin tahu yang semakin menguat tentang latar belakang dan kehidupan sehari-hari calon suaminya yang bisu itu.

Axela meraih ponselnya, jari-jarinya bergetar saat dia mencari kontak bodyguard kepercayaannya. Setelah beberapa dering, suara tegas di ujung sana menjawab panggilannya.

"Ya, Miss Xela?"

"Brian," Axela mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. " Aku butuh bantuanmu. Aku perlu tahu lebih banyak tentang calon suamiku, Andra. Segala sesuatu. Mulai dari latar belakangnya, kehidupan sehari-harinya, hingga kondisi di kampus. Aku ingin tahu apakah dia benar-benar menjadi korban bully."

Brian terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara penuh kepastian. "Baik, Miss Xela. Saya akan segera mencari informasi yang Anda butuhkan. Akan saya laporkan secepat mungkin."

Axela menutup telepon dan merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya, langkah pertama sudah diambil.

Dia bersandar di kursinya, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong. Perasaan campur aduk menghantam hatinya, kebingungan, empati, dan rasa tanggung jawab yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

"Aku harus tahu kebenarannya. Entah kenapa sorot matanya mampu meluluhkan hatiku. Di dalam matanya banyak tersimpan luka yang terlalu lama dipendam. "batinnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status