Home / Romansa / PRAS, and his destiny / P.01. Dingin dan Sepi

Share

PRAS, and his destiny
PRAS, and his destiny
Author: Rianievy

P.01. Dingin dan Sepi

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2021-04-13 00:13:32

Hai, ini cerita author pertama yang agak- eheemm, mohon maaf kalau masih

banyak kekurangan

(Sengaja dikurang-kurangin kok, nyerempet aja dikitttt)

---------

Pria gagah itu berdiri menatap salju yang memenuhi daerah tempat tinggalnya selama lima tahun ini di Swiss. Di rumah besar itu, hanya dihuni dirinya dan pelayan yang bekerja hingga pukul lima sore. Setelahnya, semua ia minta kembali ke paviliun yang ada di belakang rumah utama tempatnya tinggal.

PRAS JOSEPH HADILAKSMONO. atau di dunia bisnis ia dikenal dengan panggilan 'Sir', atau 'Pras' bagi orang yang dekat dengannya.

Salju dingin itu sama seperti hatinya yang kembali dingin setelah masa lalu pahit dengan mantan istri yang mengkhianatinya. Pakaian hangat yang ia kenakan pun sebenarnya masih belum bisa menutupi hawa dingin yang ia rasakan. Napasnya terasa berat, kedua matanya menatap nanar, sungguh ia tak ingin mati seorang diri. Kedua orang tuanya dua tahun lalu pergi selamanya. Ia anak tunggal dengan kekayaan berlimpah namun miskin kebahagiaan.

Gelas wiski ia pegang erat. Berniat sekedar menghangatkan tenggorokan tapi berakhir sia-sia. Ponselnya berbunyi. Ia meletakan gelas dan menerima panggilan dari tanah air - Indonesia.

"Ya," jawabnya dingin.

"Selamat malam waktu tanah air, Pak, apa kabar?" Suara yang lama sudah ia tak dengar.

"Ya. Kabar saya baik, kamu apa kabar, Galang. Ada hal penting apa sampai telepon saya." Pras masih berdiri didekat jendela besar rumahnya.

"Apa Pak Pras bisa kembali ke tanah air? Tiga hari lagi ada gala dinner untuk para pengusaha karena ada pembukaan beberapa brand ternama perhiasan, dan launcing mobil sport terbaru dari perusahaan eropa, kali ini saya minta maaf tidak bisa mewakili Pak Pras. Mereka meminta Pak Pras yang hadir."

Helaan napas terdengar dari Pras. Ia memijat pangkal hidungnya.

"Saya akan hadir. Siapkan hotel untuk saya menginap. Dua minggu. Saya juga merasa bosan di sini, sekaligus liburan sebentar."

"Baik, Pak. Apa Pak Pras butuh hal lain?" tanya Galang.

"Tidak. Ah- ada!" tegas Pras.

"Apa itu, Pak?"

Pras terkekeh sebentar. "Sampaikan salamku ke Jevan dan Aira, kapan Aira melahirkan bayi kembar kalian?"

Kekehan Galang terdengar begitu bahagia, Pras pun tersenyum. 

"Tiga hari lagi Pak, dan Jevan sehat, dia udah nggak sabar jadi, Abang."

"Wah! Jagoan saya sudah siap ya jadi Abang. Ok. Saya bawa hadiah terbaik untuk Jevan dan si kembar. Tunggu barangnya sampai di sana nanti."

"Jadi merepotkan Pak Pras." Galang kembali terkekeh.

"Ck. Masih kaku. Panggil saya Kakak kalau bukan urusan kantor, Galang." gerutu Pras. Lalu tawa keduanya pecah.

Pras sudah menganggap Galang orang yang paling ia percaya mengurus perusahaannya di tanah air dan cabang lainnya di saat ia sudah lelah terjun langsung serta ia menganggapnya sebagai adik. "Ok, Kak. Siap. Safe flight. Gue siapin semua di sini. I have to go. Aira butuh sesuatu kayaknya."

"Ok. Bye.

Pras lalu menekan nomor lain setelah mematikan sambungan teleponnya. Ia berbicara sambil melangkahkan kaki ke arah tangga menuju ke kamar. "Ya. Siapkan semuanya, penerbangan besok ke Indonesia." Ia menelepon asistennya yang bekerja bersamanya di Swiss, Andreas, asli pribumi.

***

Seorang pramugari memberi tahu kalau tiga jam lagi akan mendarat di Jakarta. Pras mengangguk dan meletakan buku yang sedang ia baca ke dalam tas yang ia bawa. Ia melihat ke jendela pesawat. Matahari bersinar terang, ia kembali ke tanah kelahirannya. Ia juga tak sabar melihat Jevan yang sudah berusia empat tahun. Galang dan Jevan yang akan ikut menyambut kedatangannya. Hanya mereka. Sanak saudara lain ada di Surabaya.

Pesawat mendarat dengan sempurna. Ia menempati kelas bisnis. Tak banyak barang yang ia bawa. Bahkan koper pun tidak. Hanya satu tas ransel berbahan kulit dari merk terkenal dunia yang ia bawa. Kaca mata hitam ia kenakan. Tubuh tinggi kekarnya dengan potongan rambut cepak tak menggambarkan dirinya yang berusia hampir kepala lima.

Tak ada perasaan jet lag atau aneh. Ia berjalan santai dengan satu tangan ia masukan ke saku celana jeansnya. Hingga selesai pemeriksaan imigrasi pun ia lewati dengan lancar. Beberapa orang menghampiri dan memberi salam dengan membungkuk.

"Mobil sudah siap, Pak," ucap salah satunya.

"Andres. Apa permintaan saya sudah siap?" Ia melirik dari balik kaca mata hitamnya ke arah Andreas.

"Sesuai permintaan Pak Pras. Nanti akan siap di tempat." Andreas berbicara tanpa menatap ke kedua mata Pras, menunjukan kesopanan dan segan.

"Good. Saya satu mobil dengan Galang, mobil yang kalian siapkan, bawa kembali ke hotel. Sudah buka kamar untuk kalian, kan?"

"Sudah, Pak. Terima kasih."

"Ok."

Pras lalu berjalan kembali dengan empat orang ikut berjalan di belakangnya. Langkah Pras terhenti saat melihat cengiran anak kecil laki-laki yang berlari menghampirinya. Pras berlutut dan menyambut dengan rentangan kedua tangan.

"Sir," sapa bocah lelaki itu. Pras tertawa. Ia lalu memeluk dan mengangkat tubuh anak kecil itu ke gendongannya.

"Panggil apa tadi? Nggak denger?" ledek Pras.

"Sir." lalu anak kecil itu tertawa karena Pras mengeletikinya.

"Ok. I am so sorry uncle," tawa Jevan terdengar keras.

"Call me what?" Pras kini menciumi Jevan yang kegelian karena bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang lelaki dewasa itu.

"Uncle Pras. My uncleee! Geli uncle." Jevan tertawa. Pras lalu menurunkan Jevan dari gendongannya. Dan menyambut Galang dengan berpelukan ala pria.

"Welcome back, Kak..." ucap Galang.

"Thank you, Bro..." jawab Pras. 

Mereka lalu berjalan ke arah mobil Galang yang juga, ia sendiri yang menyetir. Sedan hitam mahal itu melesat di jalan bebas hambatan.

"Bener mau mampir ke rumah dulu? Nggak ketemuan di hotel aja?" Galang melirik ke mantan bosnya yang sudah menjadi kakaknya itu.

"Nope. I miss your wife too, gue mau lihat perut Aira gendut. Your so luck dude. Gue nggak bisa rasain apa yang lo rasain. So let me see the baby bumb."

"Mulai, deh. Our kids is your kids too bro, Jevan boleh kok panggil kamu Dad, Papi, Ayah, or Bapak." Galang tertawa.

"Can i call you 'Dad', sir?" Ledek Jevan yang duduk di jok belakang. Pras menoleh ke belakang dan tertawa.

"Kecil-kecil udah bisa ngeledek?" Pras terkekeh.

"No. I just try to make you laught and i did it right?" sahut Jevan lagi. Pras dan Galang tertawa. Aira mendidiknya memang harus bisa membaur dengan siapa saja. Tak boleh merasa malu atau minder. Tapi kadang terlalu bawel juga untuk seorang anak kecil.

Mereka sampai di depan rumah Galang yang tak terlalu besar untuk seorang CEO perusahaan ternama. Pras turun dan di susul Jevan. Bocah kecil itu menggandeng tangan Pras dan berjalan ke dalam rumah.

"Aira..." sapa Pras dengan suara beratnya. Aira berjalan dengan perlahan. Perutnya sudah besar sekali.

"Kak Pras, apa kabar?" Aira berjabat tangan. Pras mengusap kepala Aira. Lalu berganti mengusap perut buncit wanita itu.

"Kamu apa kabar, sudah keras banger perut kamu. Aku baik-baik aja, Aira," jawab Pras.

"Iya. Hasil olahan Galang, nih. Kembar kali ini." Kekeh Aira. Pras tertawa. Galang masuk ke dalam rumah dan mengecup kening Aira. Lalu melirik Pras.

"Kita bikin Kak Pras iri sayang...." Galang tak risih. Ia menciumi wajah Aira di depan Pras yang hanya tertawa lalu berjalan masuk kedalam rumah itu. Ia langsung duduk di sofabed warna kuning terang dan memanggil Jevan sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat.

"Apa ini, Dad?" tanya Jevan ia lalu membukanya. Lembaran uang dollar ia letakkan di atas meja. Jevan bingung.

"Buat beli mainan," jawab Pras sambil merentangkan kedua tangannya ke udara.

"Home sweet home...." ucap Pras, ia lalu tersenyum sambil memejamkan mata.

"Pa! Ma! Ini kata Daddy Pras buat beli mainan. Bisa dapet berapa?" Jevan masih bingung. Galang berjalan menghampiri sambil berbicara,

"Sama toko-tokonya." Celetuk Galang sambil merapikan dan memasukan kembali ke dalam amplop.

"Kak, berlebihan ini." Galang protes.

"Shut your mouth, buat keponakan gue, uang segitu nggak ada artinya buat gue," jawab Pras sambil memejamkan mata.

"Kak, jangan begitu, Aira nggak bisa terimanya." Kini suara Aira terdengar. Pras membuka kedua matanya.

"Do what you wanna do, gue udah kasih buat Jevan. Terserah kalian sisanya mau diapain."

Kedua tatapan Pras mengintimidasi. Duda matang nan menggoda itu tak bisa dibantah. Galang dan Aira saling menatap. Ia lalu meninggalkan Pras yang sedang duduk santai di temani Jevan ke dalam kamar.

"Kita cari calon istri buat dia deh, Ra. Risih aku lama-lama kalau dia manjain anak-anak kita kaya gini. Keburu lapuk juga nanti." Galang tertawa hingga kedua matanya menyipit. 

"Hus. Ngaco ngomongnya. Nggak lihat tuh penampilan dia masih setegap itu. Om-om inceran cabe-cabean banget ituh. Sugar daddy. Tapi aku nggak mau kalau sampai dia punya baby sugar atau pelacur buat jadi one night standnya dia, Ya."

"Makanya. Kita jodohin sama siapa ya?" Galang mondar mandir di dalam kamarnya.

"Sabar aja dulu. Dua minggu kan di sini, siapa tau ada jalannya nanti, kita fokus ke ini duit segepok 10.000 dollar mau diapain. Ini kalo di rupiahin bisa buat bayar sekolah Jevan sampe lulus TK dua tahun kali."

"Salah anggap dia Kakak, sekarang, kalau manjain Jevan sampe segini. Kenapa nggak dari dulu aja kan ya, aku jadi nggak perlu lewatin fase kerja di pabrik." Aira melotot mendengar penuturan suaminya itu. 

"Eh... eh... eh...  mau buka kisah lama?!" Aira berkacak pinggang.

"Hahaha, nggak sayang, ah, sikembar mau lahir, aku puasa dong, empat puluh hari?"

"Iya dong, Papa Galang, enak kan, pu-a-sa." Pelotot Aira. Galang menunduk lesu sambil mengusap perut buncit Aira.

"Makanya. Jangan kelupaan cabut melulu," ledek Aira. Ia lalu melepaskan tangan Galang dan berjalan ke arah lemari.

"Idih. Aku disalahin. Kamu kan yang suka nahan-nahan,'dikit lagi, Lang, jangan, cab--" Aira membekap mulut Galang dengan tangannya.

"Aku cabein mulut kamu mau?!" Pelotot Aira lagi. Galang terkekeh. Ia lalu mengecup kening dan bibir Aira.

"Biarin. Aku mau punya anak banyak pokoknya," Galang memeluk Aira walau perutnya terhalang kedua anak kembarnya di dalam perut istri tercintanya itu.

"Aku kasian sama Kak Pras, dia nggak bisa kasih keturunan ke perempuan mana pun." Suasana menjadi sendu. Galang setuju dengan ucapan Aira.

"Mudah-mudahan ada wanita yang bisa terima kondisi Kak Pras suatu saat nanti."

Bersambung,

Related chapters

  • PRAS, and his destiny   P02. Laurent

    "Kak"Seorang pegawai toko pakaian grosir wanita memanggil wanita tiga puluh satu tahun bernama Laurent yang sedang menekan angka di kalkulator dengan jemari tangan kanannya. Sedangan tangan kirinya membuka lembar demi lembar nota rekapan transaksi pembeli."Hm"Respon yang menyimpulkan bahwa Laurent tak bisa diganggu. Pegawai itupun mengurungkan bertanya kepasa boss nya.Telfon disebelah Laurent bersering. Ia mengambil gagang telfon dan menahan dengan lengannya seraya menempelkan ke telinga."Ya halo"".....""Seri 10052. Bentar gue tanya" Laurent menatap sekitar. Empat pegawainya sedang

    Last Updated : 2021-04-13
  • PRAS, and his destiny   P03. Gala Dinner

    Gaun mahal berwarna hitam dengan aksen emas di pinggang dan pas dengan tubuh Laurent yang proporsional. Rambut nya ia blow bergelombang, warna lipstik nya yang merah juga menjadi senjata untuk menarik perhatian siapa saja yang melihatnya.Kedua bahunya juga tampak terbuka, betapa sexy nya Laurent. Ia berada di kamar apartemennya. Menunggu telfon dari ajudan Pras untuk memberi tahu jika pria itu sudah tiba di lobby."Oke Laurent. Just gala dinner. No full service or more than that." Ia berbicara dengan dirinya sendiri saat berdiri didepan cermin.Laurent mengambil mantel berwarna merah untuk menutupi penampilannya saat keluar dari apartemennya.***Langkah kakinya anggun menghampiri Pras yang berdiri dengan sudah menatapnya sejak ia baru keluar dari lift. Laurent tersenyum. Ia akan lebih baik dalam bersikap kepada Pras karena pria tersebut sudah membayar jasanya sejak b

    Last Updated : 2021-04-13
  • PRAS, and his destiny   P04. Talking

    Kedua mata mereka saling menatap. Laurent menunggu Pras bercerita, sesuai janjinya saat ia sudah melakukan tugasnya.Kini mereka berada di sebuah Bar yang tak jauh dari apartemen tempat Laurent tinggal."Tell me?"Laurent bersedekap. Menunggu Pras mulai bercerita. Pras tampak mengerikan saat menatap Laurent lekat dengan setelan jas yang benar-benar menampakan siapa dirinya. Seseorang dengan kekayaan berlimpah tak kan habis mau sampai kapan pun."Kenapa lihatinnya kaya gitu? Ada yang aneh?"Laurent menaikan sebelah alisnya. Menatap tajam ke Pras. Yang di tatap justru tersenyum dan menegakan duduknya."Mereka semua saingan bisnis saya, nggak ada yang baik. Semuanya pura-pura. Saya malas sebenarnya datang, harusnya orang kepercayaan saya, tapi karena satu da

    Last Updated : 2021-04-13
  • PRAS, and his destiny   P05. Mencari Tahu

    "Laurent?"Lirih Pras sambil berjalan mendekat. Lalu langkahnya terhenti dan diam sedikit menjauh sambil mengamati wanita itu didepan loket pengambilan obat.Laurent memasukan satu plastik kecil berwarna putih berisi obat kedalam tas yang ia bawa. Dengan anggun ia berjalan meninggalkan rumah sakit. Ia berdiri menunggu taksi. Gestur tubuh Laurent tetap anggun walau ia tak memakai make up dan sepatu hak tingginya. Ia hanya memakai sepatu hak datar, celana jeans biru, dan sweater warna hitam. Rambutnya ia gerai dan tampak natural.Taksi warma biru itu berhenti, Laurent masuk kedalamnya. Pras segera berlari keluar jalan utama dan menghentikan taksi yang lewat."Ikuti taksi itu pak, jangan sampai hilang jejak,"

    Last Updated : 2021-04-13
  • PRAS, and his destiny   P06. Sisi Lain

    Mereka berdua melangkahkan kaki kedalam Lobby rumah sakit dengan kedua wajah saling merengut.Ciuman singkat di bibir yang diberikan Pras ke Laurent membuat ia dihadiahi tamparan di wajahnya. Laurent pun membayar sendiri hadiah untuk bayi kembar adik ipar Pras."Rent,"Panggil Pras pelan. Laurent tak mengindahkan. Ia menatap angka yang tertera di dinding lift hingga berhenti dan pintu terbuka.Laurent keluar terlebih dahulu. Lalu menghentikan langkah kakinya karena ia tak tahu dimana letak kamarnya. Ia membiarkan Pras berjalan mendahului tanpa berbicara.Kamar disudut lorong terlihat terbuka pintunya. Seorang perawat baru saja keluar dari sana.

    Last Updated : 2021-04-13
  • PRAS, and his destiny   P07. Tujuan

    Suara dan orang lalu lalang tampak jelas terlihat diarea kantor markas besar polisi. Media masa, elektronik juga ramai, tak lupa infotaiment bersama para lambe-lambe hadir.Laurent berdiri didekat mobil polisi yang terparkir. Ia sedang bersama Janeta, teman yang selama ini membantunya dalam mencari keberadaan Laura, kembarannya.Janeta memberi tahu kalau Laura tidak ada di tanah air. Laurent harus lebih sabar lagi untuk mencari tau dimana saudaranya itu."Tapi gue nggak bisa hopeless kan net?""Ya jangan lah. Tetep optimis untuk hasil terbaik. Gue bakal cari tau terus rent. Gue mau tanya ke elo,"Laurent mengangkat kaca matanya keatas kepalanya. Ia mengangguk.

    Last Updated : 2021-04-13
  • PRAS, and his destiny   P08. Ikut Campur

    Passpor warna hijau dan berlambang burung garuda sudah dipegang Laurent. Ia duduk di kursi besi dengan satu kaki menyilang dikaki satunya lagi. Menunggu Pras yang masih belum datang juga. Sedangkan terakhir saat mereka berpisah di Mall, Pras bilang kalau jam lima pagi sudah stand by di terminal internasional.Laurent mencepol rambut nya menyisakan helai-helai anak rambut ditengkuknya. Baju lengan panjang oversize warna coklat tua berpadu dengan celana jeans hitam dan sepatu wedges hitam membuatnya tampak santai namun tetap feminim."Maaf lama,"Ucap Pras dengan suara deep voicenya. Ia berjalan bersama Andreas yang membawakan koper besar milik Pras."Kita cuma empat hari kan. Bawaan kamu kenapa kaya orang mau pindahan,

    Last Updated : 2021-04-13
  • PRAS, and his destiny   P09. Laura?

    Pras berjalan dibelakang Laurent. Membututi wanita itu yang asik melirik ke berbagai toko yang ada di daerah pusat kota. Salah satu tujuan wisatawan juga. Sore sudah semakin menghilang berganti menjadi gelapnya malam. Pras merasa perutnya lapar. Makanan yang tadi ia makan baru ia habiskan setengah."Temani saya makan."Pras menarik pergelangan tangan Laurent dan berjalan masuk ke kedai mie china."Siapa suruh ikutin aku" Dumel Laurent. Ia kesal juga, karena belum puas melihat-lihat."Karena kamu nggak nurut sama saya Rent, jangan pakai celana sependek itu. Bahaya. Ini bukan Jakarta. Dijakarta aja kamu bisa nggak aman. Apalagi di sini,"Pras menuangkan teh hangat dari teko kecil yang mereka pesan.

    Last Updated : 2021-04-13

Latest chapter

  • PRAS, and his destiny   Bab 85. Takdir yang berakhir penuh kebahagian.

    “Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k

  • PRAS, and his destiny   84. Dunia baru Pras dan takdirnya

    Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe

  • PRAS, and his destiny   Bab 83. A thousand years (21+)

    Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld

  • PRAS, and his destiny   Bab 82.Keluarga bagi Pras

    “Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke

  • PRAS, and his destiny   Bab 81. Ladies Day

    “Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess

  • PRAS, and his destiny   Bab 80. Back to school

    Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex

  • PRAS, and his destiny   Bab 79. Tatapan

    Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l

  • PRAS, and his destiny   Bab 78. Memulai kembali

    Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me

  • PRAS, and his destiny   Bab 77. Tak Peduli

    Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status