"Kak"
Seorang pegawai toko pakaian grosir wanita memanggil wanita tiga puluh satu tahun bernama Laurent yang sedang menekan angka di kalkulator dengan jemari tangan kanannya. Sedangan tangan kirinya membuka lembar demi lembar nota rekapan transaksi pembeli.
"Hm"
Respon yang menyimpulkan bahwa Laurent tak bisa diganggu. Pegawai itupun mengurungkan bertanya kepasa boss nya.
Telfon disebelah Laurent bersering. Ia mengambil gagang telfon dan menahan dengan lengannya seraya menempelkan ke telinga.
"Ya halo"
"....."
"Seri 10052. Bentar gue tanya" Laurent menatap sekitar. Empat pegawainya sedang sibuk melayani pembeli. Ia lalu mengetik sesuatu di laptop dan menekan kode 10052.
"Halo, ada nih. Tapi tinggal 3. 1 seri semua. Gue nggak mau lu ambil pisah-pisah"
"...."
"Iya. Cash. Ogah gue lu ngebon. Nanti Lani gue suruh ke tempat lu"
"...."
"Hmmmmm! Awas lu. Ada duit ada barang"
Ketus Laurent sambil menutup telfon.
"Lani!"
Panggil Laurent. Lani berlari menghampiri boss nya.
"Kamu bawa 10052, 3 seri ke tempat si Johan. Kamu terima dulu duitnya. Hitung, baru kasih barangnya"
"Iya kak. Siap"
Lani menuju ke sudut ruangan dan mencari pakaian dengan kode tersebut. Sedangan Laurent menyiapkan nota nya.
Laurent.
Wanita tiga puluh satu tahun yang merantau dari manado ke jakarta sejak usia sembilan belas tahun. Jalan hidupnya miris. Hingga ia bisa berjuang dan bertahan hingga menjadi boss dari dua toko pakaian wanita di tempat grosir terbesar se asia tenggara.
Laurent tak ada sanak saudara. Ia benar-benar berusaha dengan dirinya sendiri dan otak analisa yang baik. Tak ada yang tau kalau Laurent adalah seorang mantan Wanita BOOKING ORDER atau BO para pria pengusaha atau biasa kita sebut om-om kesepian, sugar daddy, pria hidung belang atau apalah.
Hidupnya hancur sebelum ia menjadi sukses dengan usaha toko pakaian dan wanita BO. Perlu diingat. Laurent yang cerdas, sejak dulu tak membuka identitas dirinya kepada setiap pelanggan yang memakai jasanya. Ia bermain apik dengan banyak cara supaya para lelaki itu tak meminta ia menunjukan wajahnya.
Uang yang ia dapatkan pun dijadikan modal untuk membuka usahanya. Ia telah pensiun satu tahun lalu untuk menjajaki dirinya di dunia prostitusi tersebut.
Tujuan lain datang saat ia merasa sudah cukup mapan dengan usahanya.
Ia ingin mencari kembarannya. LAURA. Yang terpisah sejak mereka usia sepuluh tahun.
Keluarga mereka menjadi korban perampokan dan pembunuhan saat masih tinggal di sana. Laura dan Laurent bersembunyi di dalam gudang kecil di dekat dapur saat hal menyeramkan itu terjadi. Rumah mereka pun di bakar para perampok. Mereka berdua berusaha keluar dari Api dengan cara berlari bersama dan saling merangkul.
Sejak saat itu, kehidupan miris mulai terjadi.
***
"Lo nggak pingin balik ke manado rent?"
Asap rokok mengebul dari bibir wanita sepantaran dirinya saat mereka makan siang di tempat makan kaki lima yang ada disekitar pusat grosir.
"Nggak. Ngapain"
Jawab Laurent sambil meneteskan liquid rasa leci di alat penghisap rokok elektrik miliknya.
"Nggak kangen keluarga?"
Lanjut Cita.
"Keluarga gue udah mati. Udah lah, nggak usah bawa-bawa keluarga. Bikin mood gue drop"
Laurent lalu menghisap dan menghembuskan asap tebal dari mulutnya. Beberapa pria menatapnya. Laurent hanya melirik sinis tak perduli.
"Nanti malam jadi rent. Gue minta tolong banget ke elo,"
Cita mematikan puntung rokoknya. Laurent mengangguk.
"Orangnya si udah di hotel. Stay disana dua minggu. Tapi dia pingin ngobrol dulu sama lo. Acara besarnya besok malam. But please, jangan kasar sama ni orang, dia bukan sembarang laki-laki rent"
Cita berbisik sedikit. Mencondongkan tubuhnya kedepan Laurent.
"Lo tau, ini orang udah bisa di sejajarkan sama sultan dubai tau nggak lo"
"Really?"
Respon Laurent justru terkekeh sinis. Ia akan selalu sama menganggap bahwa pria yang bisa atau mau membooking seorang wanita bayaran itu justru pria rendahan yang tak ada harga diri.
"Yaudah. Kalau gitu suruh jemput gue aja. Atau gue samperin dimana kalau dia nggak mau di hotel"
Laurent kembali menghisap dan menghembuskan asap tebal dari mulutnya.
"Gue kabarin lo deh nanti. Lo ke toko lagi kan? Gue coba hubungin ajudannya"
"Oke"
Laurent lalu membayar makan siang mereka dan bersiap beranjak. Rambut panjang warna coklat gelap ia kuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang putih mulusnya.
***
Langkah kaki dengan sepatu hak tujuh sentimeternya mengantarkannya pada sebuah parkiran basemen sebuah hotel bintang lima. Wajah dingin dan angkuhnya tampak dari pantulan kaca besar yang ia lewati.
Kali ini ia tak akan memakai topeng. Karena pria yang memakai jasanya hanya meminta dirinya sebagai teman kencan untuk suatu acara penting.
"Laurent?"
Tanya pria tinggi kekar dengan setelan serba hitam. Laurent mengangguk.
"Silahkan, boss saya sudah menunggu didalam mobil"
Andreas mengantarkan Laurent menuju ke mobil sedan mewah warna hitam yang dibalik kemudinya sudah ada Pras yang duduk.
Pras, pria itu yang akan memakai jasa Laurent.
Laureny sudah duduk di kursi penumpang. Ia lalu menatap Pras yang sedang menatapnya lekat dengan mata elang yang tajam.
"To the poitn. Apa yang harus saya lakukan."
Ucap Laurent dingin.
Pras diam. Ia kemudian menginjak pedal gas dan mengarahkan mobil ke luar hotel. Sebelumnya ia sudah memberi tahu andreas kalau jangan mengawalnya.
Lima belas menit perjalanan tak ada suara. Hingga akhirnya Pras yang memulainya.
"Your name is?"
"I'm Laurent. And your are,"
"Kamu nggak tau saya"
Sarkas Pras.
"I know. Pria rendahan yang mau menyewa wanita seperti saya kan"
Pras menoleh. Ia mengetatkan rahangnya keras.
Tampa menjawab. Pras justru membawa ngebut mobil yang ia kendarai ke suatu tempat sejuk di daerah pegunungan.
Laurent tampak terkejut. Namun ia memilih diam.
Pras tak banyak berkata. Hanya sesekali melirik ke arah wanita yang tampak angkuh dalam kepalsuan. Senyum tipis di bibir Pras pun tampak.
***
Mereka sampai di lokasi tak butuh waktu lama. Hawa dingin terasa. Pras berjalan keluar dari mobil dan duduk diatas kap sambil bersedekap. Disusul Laurent.
"Nggak bisa make a deal di tempat lain. Harus banget bawa saya jauh kesini?"
Laurent tak tahan untuk tak bertanta. Pras hanya menoleh dan terkekeh sinis.
"Kamu mau minta bayaran berapa?"
Laurent itu menatap Pras sambil terkekeh dengan asap rokok elektrik aroma leci mengebul tebal diudara.
"Kalo cuma sekedar untuk temenin anda gala dinner sama pengusaha-pengusaha, saya nggak pasang tarif. Tapi kalau anda mau service lebih, diatas sepuluh"
Jawabnya santai. Mereka bersandar didepan kap mobil.
"Sebutin."
Panjut pria itu dengan deep voice nya.
"Yang mana. Paket biasa apa paket lengkap"
Wanita itu melirik. Lelaki itu beranjak dan berdiri menghadap wanita itu dengan kedua tangan ia masukan kedalam saku celananya.
"Full service? How about that?"
Senyum smirk muncul diwajah lelaki itu.
"Ok. Dua puluh keatas. Dibayar dimuka."
Jawab Laurent yang ikut berdiri berhadapan. Tak takut atau mundur. Justru ia semakin maju.
"Tapi saya maunya-"
Bibir pria itu mendekat ke telinga wanita tersebut lalu berbisik,
"Keluarin didalem. Kamu Minum obat kan?"
Lalu ia memundurkan wajahnya dan menatap lekat ke wanita dihadapannya.
"Obat? Nggak perlu. One night stand? Deal"
Tangan wanita itu terulur.
Namun raut wajah lelaki dihadapannya berubah.
"Semua wanita sama saja. Rela jual badan demi uang."
Laurent tersebut terkejut dan tersinggung. Ia berdiri dan menunjuk Pras sambil berbicara.
"Hati-hati mulut anda kalau bicara ya. Tidak semua wanita seperti saya yang menjual diri untuk alasan yang tak perlu saya jelaskan ke anda. Take it or leave it!"
Wanita itu emosi. Direndahkan, ia sudah biasa. Seorang wanita bookingan pria hidung belang. Namun jika semua perempuan dianggap sama. Ia akan marah sejadi-jadinya.
Pras itu menatap lekat ke Laurent. Air mukanya berubah tajam dan marah.
"Saya mau tau dulu alasan kamu kenapa bekerja seperti ini, sebelum saya lanjut booking kamu,"
"Ck. Apa penting nya alasan saya!"
Laurent berbicara dengan kepala sedikit terangkat.
"Karena dari mata kamu saya bisa lihat kamu terpaksa jalanin ini."
GLEK.
Wanita itu tak bisa menjawab apa-apa lagi. Ia hanya diam dan terus berdiri menatap lelaki dihadapannya.
'Sialan'
Maki Laurent dalam hati.
To be continue,
PRASGaun mahal berwarna hitam dengan aksen emas di pinggang dan pas dengan tubuh Laurent yang proporsional. Rambut nya ia blow bergelombang, warna lipstik nya yang merah juga menjadi senjata untuk menarik perhatian siapa saja yang melihatnya.Kedua bahunya juga tampak terbuka, betapa sexy nya Laurent. Ia berada di kamar apartemennya. Menunggu telfon dari ajudan Pras untuk memberi tahu jika pria itu sudah tiba di lobby."Oke Laurent. Just gala dinner. No full service or more than that." Ia berbicara dengan dirinya sendiri saat berdiri didepan cermin.Laurent mengambil mantel berwarna merah untuk menutupi penampilannya saat keluar dari apartemennya.***Langkah kakinya anggun menghampiri Pras yang berdiri dengan sudah menatapnya sejak ia baru keluar dari lift. Laurent tersenyum. Ia akan lebih baik dalam bersikap kepada Pras karena pria tersebut sudah membayar jasanya sejak b
Kedua mata mereka saling menatap. Laurent menunggu Pras bercerita, sesuai janjinya saat ia sudah melakukan tugasnya.Kini mereka berada di sebuah Bar yang tak jauh dari apartemen tempat Laurent tinggal."Tell me?"Laurent bersedekap. Menunggu Pras mulai bercerita. Pras tampak mengerikan saat menatap Laurent lekat dengan setelan jas yang benar-benar menampakan siapa dirinya. Seseorang dengan kekayaan berlimpah tak kan habis mau sampai kapan pun."Kenapa lihatinnya kaya gitu? Ada yang aneh?"Laurent menaikan sebelah alisnya. Menatap tajam ke Pras. Yang di tatap justru tersenyum dan menegakan duduknya."Mereka semua saingan bisnis saya, nggak ada yang baik. Semuanya pura-pura. Saya malas sebenarnya datang, harusnya orang kepercayaan saya, tapi karena satu da
"Laurent?"Lirih Pras sambil berjalan mendekat. Lalu langkahnya terhenti dan diam sedikit menjauh sambil mengamati wanita itu didepan loket pengambilan obat.Laurent memasukan satu plastik kecil berwarna putih berisi obat kedalam tas yang ia bawa. Dengan anggun ia berjalan meninggalkan rumah sakit. Ia berdiri menunggu taksi. Gestur tubuh Laurent tetap anggun walau ia tak memakai make up dan sepatu hak tingginya. Ia hanya memakai sepatu hak datar, celana jeans biru, dan sweater warna hitam. Rambutnya ia gerai dan tampak natural.Taksi warma biru itu berhenti, Laurent masuk kedalamnya. Pras segera berlari keluar jalan utama dan menghentikan taksi yang lewat."Ikuti taksi itu pak, jangan sampai hilang jejak,"
Mereka berdua melangkahkan kaki kedalam Lobby rumah sakit dengan kedua wajah saling merengut.Ciuman singkat di bibir yang diberikan Pras ke Laurent membuat ia dihadiahi tamparan di wajahnya. Laurent pun membayar sendiri hadiah untuk bayi kembar adik ipar Pras."Rent,"Panggil Pras pelan. Laurent tak mengindahkan. Ia menatap angka yang tertera di dinding lift hingga berhenti dan pintu terbuka.Laurent keluar terlebih dahulu. Lalu menghentikan langkah kakinya karena ia tak tahu dimana letak kamarnya. Ia membiarkan Pras berjalan mendahului tanpa berbicara.Kamar disudut lorong terlihat terbuka pintunya. Seorang perawat baru saja keluar dari sana.
Suara dan orang lalu lalang tampak jelas terlihat diarea kantor markas besar polisi. Media masa, elektronik juga ramai, tak lupa infotaiment bersama para lambe-lambe hadir.Laurent berdiri didekat mobil polisi yang terparkir. Ia sedang bersama Janeta, teman yang selama ini membantunya dalam mencari keberadaan Laura, kembarannya.Janeta memberi tahu kalau Laura tidak ada di tanah air. Laurent harus lebih sabar lagi untuk mencari tau dimana saudaranya itu."Tapi gue nggak bisa hopeless kan net?""Ya jangan lah. Tetep optimis untuk hasil terbaik. Gue bakal cari tau terus rent. Gue mau tanya ke elo,"Laurent mengangkat kaca matanya keatas kepalanya. Ia mengangguk.
Passpor warna hijau dan berlambang burung garuda sudah dipegang Laurent. Ia duduk di kursi besi dengan satu kaki menyilang dikaki satunya lagi. Menunggu Pras yang masih belum datang juga. Sedangkan terakhir saat mereka berpisah di Mall, Pras bilang kalau jam lima pagi sudah stand by di terminal internasional.Laurent mencepol rambut nya menyisakan helai-helai anak rambut ditengkuknya. Baju lengan panjang oversize warna coklat tua berpadu dengan celana jeans hitam dan sepatu wedges hitam membuatnya tampak santai namun tetap feminim."Maaf lama,"Ucap Pras dengan suara deep voicenya. Ia berjalan bersama Andreas yang membawakan koper besar milik Pras."Kita cuma empat hari kan. Bawaan kamu kenapa kaya orang mau pindahan,
Pras berjalan dibelakang Laurent. Membututi wanita itu yang asik melirik ke berbagai toko yang ada di daerah pusat kota. Salah satu tujuan wisatawan juga. Sore sudah semakin menghilang berganti menjadi gelapnya malam. Pras merasa perutnya lapar. Makanan yang tadi ia makan baru ia habiskan setengah."Temani saya makan."Pras menarik pergelangan tangan Laurent dan berjalan masuk ke kedai mie china."Siapa suruh ikutin aku" Dumel Laurent. Ia kesal juga, karena belum puas melihat-lihat."Karena kamu nggak nurut sama saya Rent, jangan pakai celana sependek itu. Bahaya. Ini bukan Jakarta. Dijakarta aja kamu bisa nggak aman. Apalagi di sini,"Pras menuangkan teh hangat dari teko kecil yang mereka pesan.
Laurent nekat. Wanita berperawakan mirip blasteran turkey, phillipine dan manado itu pergi meninggalkan apartemen Pras dengan mengenakan pakaian santai. Ia menyusuri jalanan pusat kota hingga ke pasar yang ramai, dan beberapa rumah sakit. Ia berjalan kaki. Topi hitam yang ia kenakan membuat wajahnya tersamarkan juga.Satu persatu tempat makan pun ia terulusuri. Ia yakin yang kemarin ia lihat adalah Laura. Saudara kembarnya.Hampir tengah hari namun usaha Laura nihil. Ia kini memilih duduk di taman. Diam memikirkan harus mencari Laura dimana lagi. Bulir air mata kembali jatuh. Ia menghapusnya dengan cepat.Sesosok pria menatapnya lekat. Cenderung seram. Laurent beranjak dan pindah masuk ke restaurant cepat saji. Ia takut dengan tatapan pria tadi. Perasaannya menjadi tak karuan. Namun ia bingung dengan perasaan itu.***Pras terkejut saat membuka pintu apartemen tapi tak mendapati Laurent. Ponsel
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l
Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.