Suara dan orang lalu lalang tampak jelas terlihat diarea kantor markas besar polisi. Media masa, elektronik juga ramai, tak lupa infotaiment bersama para lambe-lambe hadir.
Laurent berdiri didekat mobil polisi yang terparkir. Ia sedang bersama Janeta, teman yang selama ini membantunya dalam mencari keberadaan Laura, kembarannya.
Janeta memberi tahu kalau Laura tidak ada di tanah air. Laurent harus lebih sabar lagi untuk mencari tau dimana saudaranya itu.
"Tapi gue nggak bisa hopeless kan net?"
"Ya jangan lah. Tetep optimis untuk hasil terbaik. Gue bakal cari tau terus rent. Gue mau tanya ke elo,"
Laurent mengangkat kaca matanya keatas kepalanya. Ia mengangguk.
"Lo udah nggak jadi cewek BO lagi kan?"
Wanita bersurai coklat itu hanya mencebik.
"Tergantung siapa yang booking gue,"
Jawabnya santai.
"Berenti rent. Gue nggak mau kali ini gue yang harus turun tangan. Kalau tujuan lo begini karena mau cari Laura, lo serhain ke gue dan intel-intel gue, ayolah rent, just stop it,"
"Gue harus tau kabar Laura secepatnya Net, harus. Perasaan gue nggak enak beberapa waktu belakangan. Hampir dua belas tahun gue nggak ketemu kembaran gue."
Janeta paham betul. Ia akan membantu temannya semasa di yayasan Bunda Kasih itu sampai bisa menemukan kembarannya.
"Kita lima tahun bareng-baren rent, gue nggak mau lo berkecimpung di dunia kaya gini lagi cuma untuk cari info Laura. Percaya ke gue, Laura bukan wanita pelacur atau dijual jadi pelacur. Lo gimana kondisi, aman?"
Laurent terkekeh.
"Aman damai sentosa,"
Kekeh Laurent. Janeta hanya menggelengkan kepala. Ia pamit karena harus kembali bekerja, karena ia berprofesi sebagai polisi wanita. Laurent berjalan santai menuju kearah jalan utama. Jadwalnya setelah bertemu Janeta, ia harus mengecek stand bazzar yang ia ikuti di salah satu Mall. Dua pegawainya sudah disana terlebih dahulu.
Didalam taksi, ia membuka tasnya dan mengeluarkan kotak berisi beberapa obat dan membuka tutup botol air mineral. Dengan cepat ia meminumnya, kemudian kembali memasukan kotak bening itu kedalam tasnya lagi. Wajahnya termenung menatap ke arah jalanan yang tak tersendat.
Ia rindu Laura, ia ingin mengetahui keadaan kembarannya itu. Harapannya tinggi untuk menemukan Laura dalam keadaan baik dan sehat.
***
Langkah kaki tegap dengan pakaian rapih tampak dari sosok Pras yang sedang berada di Mall yang sama dengan tujuan Laurent. Mereka tak janjian untuk bertemu, dan sudah dua hari mereka putus komunikasi.
Banyak mata wanita menatap Pras yang lelaki itu anggap angin lalu. Tak tertarik bahkan walau hanya sekedar untuk tersenyum.
Galang berjalan menghampirinya. Seharusnya pria itu cuti, tetapi karena ada pekerjaan yang mendadak harus ditangani, mau tak mau Galang berangkat bekerja.
"Kak,"
Sapa Galang yang dijawab anggukan Pras.
"Gue nggak bisa lama-lama, selesai lo tanda tangan gue langsung cabut. Lagian resek banget klien nya minta ketemuan di sini, Aira kasian di rumah sakit sendirian,"
"Tenang. Gue juga besok harus balik ke Hongkong dulu. Keadaan disana butuh gue yang turun tangan langsung,"
Mereka berdua masuk kedalam Restaurant asia yang ada diMall tersebut.
Galang dan Pras sibuk berbicara disaat Kliennya hanya manggut-manggut. Dari arah pintu tampak Laurent berjalan dengan cantiknya masuk kedalam Restaurant. Kedua mata Pras melirik. Netra mereka berdua bertemu tetapi Laurent dengan cepat membuang pandangan. Ia duduk di sudut ruangan.
Pras tak melepas lirikan matanya hingga Galang menepuk bahu Pras dan menyodorkan map hitam berisi kertas perjanjian sementara yang harus ia bubuhi tanda tangan.
Galang berdiri dan berjabat tangan dengan kliennya tersebut. Begitupun Pras. Setelah klien itu pergi, Galang pun pergi. Ia malah tak tahu ada Laurent di lokasi yang sama. Pras beranjak. Ia menghampiri Laurent yang sedang menatap keluar jendela yang menyuguhkan pemandangan pusat kota jakarta.
"May i,"
Tanya Pras. Laurent diam. Ia hanya melirik dan kembali melamun. Pras duduk setelah menyeret kursi dihadapan wanita itu.
"Kamu sendirian,"
Pras mencoba membuka pembicaraan namun tak ada jawaban.
"Rent,"
Sapa Pras lembut.
"Kenapa. Ada apa. Mau apa,"
Jawab ketus Laurent. Pesanan makanannya datang. Dihadapannya sudah ada dimsum dan es teh leci. Pras menatapnya, Laurent tak berbasa basi menawarkan makan. Ia melahapnya sendiri seakan tak menganggap Pras ada dihadapannya.
Pria itu terkekeh sinis. Ia kembali menatap lekat Laurent. Dari sorot matanya ia tau Laurent sedang terbeban memikirkan sesuatu yang berat.
"Kamu bisa bahasa china nggak?"
Tanya Pras sambil duduk bersedekap. Memberlihatkan otot-otot lengannya yang membuat Laurent mau tau mau melirik. Siapa yang tak tergiur melihat pria sexy bertotot kencang dihadapannya.
Rangkulable banget plus senderable banget.
Laurent mengunyah dimsumnya sambil menggelengkan kepala menjawab pertangaan Pras."Oh. Kirain bisa. Mau saya ajak kamu ke Hongkong besok."
"Ngapain."
Laurent terpancing. Pras terkikik dalam hati.
"Ada urusan kerjaan. Tapi saya nggak bisa bahasa china hongkong. Katanya ada bedanya,"
Pras merendah. Padahal, jelas ia bisa. Ia ingin memancing Laurent sebenarnya.
"Bawa aja translater. Ribet amat."
"Kalau saya maunya bawa kamu gimana. Saya males juga kalau sendiri."
"Buat apa?"
Laurent mencondongkan tubuhnya ke arah Pras.
"Buat nemenin kamu dikamar hotel? Buat layanin kamu, gitu,"
Goda Laurent sambil berbisik lalu diakhiri dengan tatapan sinis.
"Enggak. Nggak tertarik saya sama kamu. Mana menariknya."
Remeh Pras. Laurent terkekeh sinis. Ia tak menggubrisnya lagi. Namun pikirannya muncul ide.
"Kamu bisa cari orang yang udah lama hilang?"
Laurent melirik ke Pras. Pras mengangguk.
"Sepele. You need me, huh?"
Ledek Pras dengan mengangkat dagunya. Laurent diam. Ia berfikir sejenak. Demi Laura, ia tak masalah jika harus tidur dengan lelaki lain lagi. Jejak Laura juga terakhir ada di Hongkong.
"Aku boleh kasih penawaran ke kamu Pras?"
"Apa?"
Pras bertopang dagu menatap Laurent lekat.
"Aku butuh bantuan kamu cari dan temukan satu orang penting buat aku,"
Laurent menatap Pras.
"Easy. Siapa emangnya,"
Laurent diam sejenak. Ia menelisik kedalam sorot mata Pras. Apakah ada kebohongan didalamnya.
"Keluarga ku satu-satunya. Kembaran ku, Laura,"
Pras menegakan duduknya.
"Kembar?"
Pras tertegun. Laurent mengangguk. Ia lalu mengeluarkan ponsel dan menunjukan foto ia dan Laura saat berpisah dulu.
Sungguh mirip, kembar identik. Pras diam sejenak.
"Ok. Siapin koper kamu. Kita berangkat besok, dan empat hari tiga malam disana. Berapa yang harus saya bayar ke kamu,"
Pras mengeluarkan ponselnya. Ia menekan aplikas m-banking. Laurent terkekeh sambil membuang pandangan.
"Nggak usah. Its free. Aku akan siapin semuanya. Gratis karena kamu udah mau tolongin aku cari Laura, Pras, terima kasih,"
Pras mengangguk. Laurent lalu tersenyum. Senyum tulus dan manis. Pras diam menatapnya. Ia senang menatap Laurent lama-lama. Entah kenapa ia tak merasa bosan.
"Ceritain semua tentang kamu rent," Pras memajukan kursi dan menjadi lebih dekat ke Laurent.
"Nanti. Nggak sekarang Pras. Aku nggak siap. Lagian, aku minta tolong cariin Laura. Kenapa malah mau tau cerita aku,"
Laurent menatap Pras lekat. Mereka saling menatap tanpa bicara. Lama tetap berada di posisi itu.
"Karena kamu menarik,"
Ucap Pras. Laurent diam. Ia lalu mengambil dimsum dan memotongnya dengan garpu.
"Enak nih Pras, cobain deh,"
Laurent tersenyum sambil menyuapi Pras. Lelaki itu menurut dengan membuka mulutnya dan mengunyah dimsum suapan Laurent.
"Jangan bilang aku menarik Pras. Kamu akan menyesal,"
Lalu Pras dan Laurent saling terdiam. Mereka saling bertanya kepada diri sendiri karena ragu atau takut.
To be continue,
Passpor warna hijau dan berlambang burung garuda sudah dipegang Laurent. Ia duduk di kursi besi dengan satu kaki menyilang dikaki satunya lagi. Menunggu Pras yang masih belum datang juga. Sedangkan terakhir saat mereka berpisah di Mall, Pras bilang kalau jam lima pagi sudah stand by di terminal internasional.Laurent mencepol rambut nya menyisakan helai-helai anak rambut ditengkuknya. Baju lengan panjang oversize warna coklat tua berpadu dengan celana jeans hitam dan sepatu wedges hitam membuatnya tampak santai namun tetap feminim."Maaf lama,"Ucap Pras dengan suara deep voicenya. Ia berjalan bersama Andreas yang membawakan koper besar milik Pras."Kita cuma empat hari kan. Bawaan kamu kenapa kaya orang mau pindahan,
Pras berjalan dibelakang Laurent. Membututi wanita itu yang asik melirik ke berbagai toko yang ada di daerah pusat kota. Salah satu tujuan wisatawan juga. Sore sudah semakin menghilang berganti menjadi gelapnya malam. Pras merasa perutnya lapar. Makanan yang tadi ia makan baru ia habiskan setengah."Temani saya makan."Pras menarik pergelangan tangan Laurent dan berjalan masuk ke kedai mie china."Siapa suruh ikutin aku" Dumel Laurent. Ia kesal juga, karena belum puas melihat-lihat."Karena kamu nggak nurut sama saya Rent, jangan pakai celana sependek itu. Bahaya. Ini bukan Jakarta. Dijakarta aja kamu bisa nggak aman. Apalagi di sini,"Pras menuangkan teh hangat dari teko kecil yang mereka pesan.
Laurent nekat. Wanita berperawakan mirip blasteran turkey, phillipine dan manado itu pergi meninggalkan apartemen Pras dengan mengenakan pakaian santai. Ia menyusuri jalanan pusat kota hingga ke pasar yang ramai, dan beberapa rumah sakit. Ia berjalan kaki. Topi hitam yang ia kenakan membuat wajahnya tersamarkan juga.Satu persatu tempat makan pun ia terulusuri. Ia yakin yang kemarin ia lihat adalah Laura. Saudara kembarnya.Hampir tengah hari namun usaha Laura nihil. Ia kini memilih duduk di taman. Diam memikirkan harus mencari Laura dimana lagi. Bulir air mata kembali jatuh. Ia menghapusnya dengan cepat.Sesosok pria menatapnya lekat. Cenderung seram. Laurent beranjak dan pindah masuk ke restaurant cepat saji. Ia takut dengan tatapan pria tadi. Perasaannya menjadi tak karuan. Namun ia bingung dengan perasaan itu.***Pras terkejut saat membuka pintu apartemen tapi tak mendapati Laurent. Ponsel
Apa yang ada dikepala saat kita mendengar kata 'PERPISAHAN', kecewa, sedih atau justru senang. Namun kata terakhir itu yang tak terjadi diantara Pras dan Laurent walau mulut mereka berkata OK."Saya pinjam hp kamu rent?" Telapak tangan Pras sudah berada didepan wajah Laurent.Mereka sedang berada dibandara, waktu boardinh juga sudah tiba dan mereka berjalan menuju ke pesawat."Untuk" Laurent menatap bingung."Sini" Pras menghentikan langkah. Laurent memberikan ponselnya. Tak lama ponsel itu mengarah ke wajah Pras."Nih, takut kamu kangen aku" Pras memberikan ponsel ke tangan Laurent lagi, yang kemudian direspon dengan kekehan."Hp kamu mana, sini" kini berganti Laurent yang meminta. Pras memberikan. Laurent melakukan hal yang sama."Takut kamu kangen" Kekehan L
Lama Pras dan Laurent saling berpelukan. Sebenarnya mereka berdua seperti merasa terikat. Tapi mereka abaikan karena Laurent sendiri berfikir itu hanya ada karena biasa."I have to go Pras. Terima kasih sekali lagi" Laurent melepaskan pelukannya. Mereka bertatapan."Can i kissed you rent. For, the last time, until- saya nggak tau kapan bisa ketemu kamu lagi" Laurent tersenyum. Lalu menggelengkan kepala."Simpan itu di waktu yang tepat. Kalau memang kita bisa ketemu lagi dalam keadaan sendiri" Laurent lalu masuk kedalam mobil Pras. Ia menurunkan kaca Mobil dan melambaikan tangan.Pras mengangguk. Gemuruh berbeda terasa di hatinya, sungguh ingin ia ungkapkan. Namun sekali lagi, ia takut mengecewakan Laurent.***Satu bulan sudah sejak perpisahan Pras dan Laurent dibandara, masih menyisakan rasa yang mengganjal di hati Pras. Ia sudah kembali ke Swiss. Namun isi ke
Dengan langkah tegap dan pasti, Pras menuju ke mobilnya yang sudah terparkir di depan loby terminal internasional bandara. Ia mengenakan setelan jas licin berwaena abu-abu tua dan kemeja putih. Sunggu Pras sudah tak sabar untuk segera bertindak.Pintu mobil tertutup sesaat setelah Pras duduk di kursi penumpang. Andreas sudah berada didalam mobil lebih dulu."Sejauh mana dia bertindak?" Pras membuka kaca mata hitamnya dan membaca berkas yang diberikan Andreas."Laurent- Laurent tidak ada di apartemennya pak. Dia sudah sejak kemarin ada di Penhouse Pedro." Andreas tampak ragu saat mengucapkan hal itu.Pras mengepalkan jemarinya. Ia menatap ke jalanan yang tampak lowong."Pertemuan pak Pras dan Pedro di restaurant korea, saya sudah pesankan ruangan VIPnya""Apa kamu bawa hasil kita cari Laura di Hongkong? Saya mau kasih ke Laurent""Bawa pak. Dan, saya dapat informa
"Permisi" suara seseorang terdengar dan berdiri didepan pintu kamar rawat. Laurent menoleh dan tersenyum."Apa kabar, gimana kondisi kamu rent?" Aira datang menjenguk. Ia membawa parsel buah yang ia letakan di atas nakas. Laurent tersenyum. Infuse sudah dilepas. Ia sudah boleh pulang setelah dirawat tiga hari dirumah sakit.Aira sengaja datang karena ada hal yang ia ingin bicarakan dan mencari tahu sendiri tanpa ada Galang atau Pras."Kamu sendirian ra? Anak-anak?" Laurent menampakan tatapan mencari keberadaan anak-anak Aira."Dirumah opa omanya, aku titip sebentar. Aku turut prihatin sama musibah kamu rent. Semoga cepat sehat ya""Iya, terima kasih Aira. Kamu kesini ada apa? Atau di suruh tuan besar?" Laurent tersenyum. Ia lalu terkikik sendiri."Siapa? Kakakku? Pras?" Aira juga ikut terkikik. Laurent mengangguk."Enggak. Nggak ada ya
Kegalauan masih dilanda Pras, suara Laurent yang terus meminta tolong dan meminta maaf terus terngiang di telinga Pras. Sudah dua hari ponsel milik Laurent tak aktif, bahkan mata-mata Pras pun tak melihat Laurent keluar dari Penthouse Pedro."Andreas, apa bisa kamu atur pertemuan Pedro diluar bersama Galang? Saya ... saya ingin bertemu Laurent sebentar," Pras tertunduk sambil memegang ponsel yang menempel di telinga kanannya."Saya coba atur Pak Pras. Yang jadi masalah, pengawal yang menjaga di Penthouse begitu ketat."Pras mengeram marah. Ia lupa tentang hal itu. Mengapa Laurent diperlakukan seperti tahanan? Apa segila itu Pedro menyukai Laurent? Atau hanya dijadikan budak sex. Prad tak kuat memikirnya. Hatinya bergemuruh kuat karena emosi."Ok. Atur pertemuan private saya dengan Pedro siang ini. Dua jam dari sekarang. Siapkan dana dua puluh ribu dollar. Jangan banyak tanya untuk a
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l
Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.