Passpor warna hijau dan berlambang burung garuda sudah dipegang Laurent. Ia duduk di kursi besi dengan satu kaki menyilang dikaki satunya lagi. Menunggu Pras yang masih belum datang juga. Sedangkan terakhir saat mereka berpisah di Mall, Pras bilang kalau jam lima pagi sudah stand by di terminal internasional.
Laurent mencepol rambut nya menyisakan helai-helai anak rambut ditengkuknya. Baju lengan panjang oversize warna coklat tua berpadu dengan celana jeans hitam dan sepatu wedges hitam membuatnya tampak santai namun tetap feminim.
"Maaf lama,"
Ucap Pras dengan suara deep voicenya. Ia berjalan bersama Andreas yang membawakan koper besar milik Pras.
"Kita cuma empat hari kan. Bawaan kamu kenapa kaya orang mau pindahan,"
Laurent beranjak dan menyapa Andreas dengan anggukan kepala seraya tersenyum tipis. Pras tak menjawab. Ia berjalan meninggalkan Laurent ke counter check in dan pemeriksaan lainnya.
"Pak Pras emang gitu, ini isinya baju, jas, sepatu, koper yang ukuran sedang ini baju santai nya pak Pras,"
Laurent mendelik tanpa mau berkomentar. Andreas ikut ke Hongkong, Pras selalu membutuhkan pria tegap itu berada di sisinya.
Didalam Pesawat,
Pras dan Laurent duduk bersebelahan di kelas bisnis, Andreas pun sama. Laurent diam menatap landasan pacu yang sebentar lagi tak lagi tampak karena mereka sudah diatas udara. Laurent terkejut dan memundurkan wajahnya karena saat menoleh ke kiri, wajah Pras begitu dekat dengannya.
Ia mencebik. Lalu mendorong wajah Pras dengan telunjuk jari tangan kirinya.
"Mundur,"
Ucap Laurent. Sudut bibir Pras tertarik sebelum kembali duduk santai dan menyandarkan kepalanya.
Cahaya pagi tampak terang diatas udara. Laurent mengenakan kaca mata hitamnya sambil menyamankan posisi duduknya. Pras melirik sebelum menolehkan kepala dan memiringkan tubuhnya supaya bisa menatap Laurent lama.
Andreas yang menyadari tersenyum cekikikan sendiri. Ia mulai menyadari jika Pras bersikap beda sejak malam itu dan bertemu Laurent.
Apa Pras jatuh cinta lagi? Atau sekedar menganggap Laurent wanita bookingan pada umumnya.
"Boleh tanya sesuatu sama kamu rent?"
Pras membuka suara. Laurent mengangguk.
"Dari kapan kamu mulai jadi perempuan- bookingan,"
Bisik Pras. Laurent melirik.
"Umur dua lima."
"Alasannya?"
"Adalah,"
"Ck,"
"Kenapa? Kenapa kamu tanya itu? mau dapet service full dari aku,"
Laurent bersedekap dengan sombongnya sambil memiringkan tubuh menatap pria matang yang dari wajahnya masih seperti berusia di awal empat puluhan.
"Nggak. Saya kan bilang kamu-"
"Nggak menarik?"
Laurent terkekeh sinis.
"Ya. Nggak menarik. Saking nggak menariknya kamu cium aku nikmat banget,"
Laurent membuka lembar buku yang sedang ia baca. Suara Pras terkekeh terdengar.
"Kan itu terpaksa rent, harus total bermain peran di depan mereka,"
Laurent hanya ber O ria tanpa menoleh. Pras melirik Laurent diam-diam. Ia melihat wanita itu begitu anggun sebenarnya. Misterius dan rapuh sekaligus.
"Lihatin aja terus. Awas jatuh cinta sama seorang Laurent yang nggak menarik,"
Sahut Laurent dengan masih membaca buku. Pras membuang pandangan dan memejamkan mata. Laurent melirik. Ide iseng muncul dikepalanya. Ia mendekatkan diri ke wajah Pras. Hanya tersisa beberapa sentimeter saja.
"Pras,"
Bisiknya menggoda. Kedua mata Pras terbuka dan ia menoleh. Mereka berhadapan.
"Yakin nggak tergoda sama, aku, nggak mau, coba,"
Goda Laurent sambil memainkan jarinya di tangan Pras. Membelai lembut dengan senyuman tampak di wajahnya.
"Nggak. Makasih,"
Jawab Pras ketus. Laurent menelan ludah susah payah. Ia gagal. Tak apa.
"Ok. Bagus. Pria yang berprinsip,"
Ucap Laurent lagi.
***
Mereka kini sudah berada di apartemen mewah yang ternyata milik Pras. Pria itu begitu kaya raya. Bukan penthouse, tapi ada tiga kamar dan dua kamar mandi. Laurent menempati kamar yang ada disudut. Sedangkan kamar Pras di tengah dan Andreas di dekat pantry.
Sebelumnya apartemen itu sudah di bersihkan dengan suruhan Pras.
"Rent. Siapin baju saya untuk meeting siang ini. Saya mau pakai baju yang warna gelap,"
Pras berjalan menuju kamar mandi. Ia ingin menyiram tubuhnya dengan air supaya segar. Kedua mata Laurent menatap bingung ke Andreas.
"Tunggu Pras. Maksud kamu, maksud kamu ajak saya kesini untuk melayani kamu seperti--"
"Pembantu. Betul. Mau tau Laura dimana kan? Andreas, sudah sejauh mana pencariannya?"
Pras kembali berjalan ke arah kamar mandi. Laurent mencibir kesal. Namun segera ia tepis dan berjalan kedalam kamar Pras yang besar dan mewah. Andreas mengikuti Laurent.
"Laurent, hasil sementara masih nihil. Secepatnya tim kami akan cari dimana Laura,"
"Ya, nggak pa-pa, aku tau itu pasti susah. Terima kasih Andreas,"
Andreas mengangguk. Ia lalu berjalan keluar kamar dan menyiapkan berkas-berkas pekerjaan yang akan di bawa dan dipelajari Pras.
Laurent merapihkan jas, kemeja, celana, sepatu, kaus kaki, hingga ke celana dalam Pras tampa risih sekalipun.
"Udah siap?"
Suara Pras terdengar. Laurent membalik badan dan tampak roti sobek Pras yang terpampang nyata dengan handuk yang melilit di pinggang kebawah. Rambut Pras yang cepak tampak berkilau setelah terkena air.
"Hm. Ada lagi? apa perlu aku pakein juga bajunya ke kamu?"
Laurent berdiri dengan santai. Pras terkekeh.
"Bikinin saya teh aja, gulanya dua sendok teh. Saya nggak bisa minum terlalu manis,"
"Iya iya paham. Udah tua. Takut kena diabet 'kan"
Laurent ngeloyor lalu menutup pintu kamar Pras yang hanya terkekeh. Wanita itu menuju dapur dan membuka kitchen set sudah penuh bahan makanan instan. Di kulkas sudah ada sayuran, ayam, daging dan aneka seafood.
Ia mulai menyeduh teh tiga cangkir untuk mereka bertiga. Andreas juga sudah rapih dengan berganti baju warna senada dengan Pras dan menuju ke pantry.
"Wow.. terima kasih Laurent,"
Andreas menyesap teh manis itu.
"Boss mu kasian. Sudah tua nggak ada yang urusin. Sayang sekali kalau berakhir di panti jompo,"
Ucap Laurent pelan. Andreas terkikik.
"Kamu aja yang dampingin pak Pras rent. Cocok kok,"
Andreas mencomot biskuit dari dalam toples yang baru Laurent masukan kedalamnya.
Ia bergidik.
"Nggak. Makasih."
Ia berbalik badan dan membuang sampah kemasan biskuit.
Pras berjalan keluar dari kamarnya sudah dalam keadaan rapih. Laurent sempat terhipnotis sejenak. Lalu ia mengalihkan tatapan. Menyesap teh manis sambil berdiri si balik meja Pantry.
"Pak Pras,"
"Hm,"
Jawab Pras seraya melirik ke Andreas.
"Saya mohon izin, malam ini harus ke basecamp, karena tim butuh saya disana untuk membantu melacak keberadaan Laura kalau masih di sekitar Hongkong,"
Laurent memicingkan mata. Itu hanya akal-akalan Andreas.
"Ok. Kita berangkat sekarang,"
Pras beranjak. Andreas juga.
"Masak untuk makan malam. Saya pulang sekitar-"
Pras menatap ke jam tangan mahal miliknya.
"Empat sore. Aku makan apa aja, nggak pemilih,"
Ia mengedipkan sebelah matanya menggoda Laurent. Wanita itu tertawa sambil menatap judes, lalu,
TING!
Ide muncul.
"Pras!"
Panggil Laurent sambil berjalan mendekat. Ia berdiri dihadapan Pras sambil menangkup wajah dengan rahang tegas milih Pras.
Ia menarik kepala Pras dan mengecup keningnya.
"Have a nice working baby,"
Setelahnya Laurent berjalan kembali ke Pantry dan membuka kulkas. Tak memperdulikan Pras yang diam menatap Laurent.
Andreas mengulum senyum didepan pintu yang terbuka.
"Mari pak Pras,"
Ucap Andreas. Pras mengangguk dan berjalan meninggalkan unit apartemennya.
Laurent terbahak-bahak sambil mulai mengeluarkan isi kulkas karena ia juga akan memasak untuk makan siang sebelum ia berjalan-jalan sendirian di sekitar apartemen.
***
"Pak Pras, mengenai Laura,"
Gerakan tangan Pras terhenti saat Andreas berbicara dengan tetap berdiri didekat meja kerjanya. Kepala Pras menoleh. Menatap ajudannya lekat.
"Laura,"
Andreas menyerahkan beberapa lembar foto dihadapan Pras. Raut wajah Pras tak menunjukan ekspresi apapun. Lalu Andrean mengambil kembali dan memasukan kedalam amplop coklat dan meletakan di atas meja kerja Pras.
"Rahasiakan dari Laurent."
Pras kembali memeriksa pekerjaannya, hasil rapat dengan beberapa staf nya di cabang Hongkong.
Di apartemen,
Laurent sudah berganti baju mengenakan celana pendek dan kaos berwarna hitam. Ia asik menyiapkan masakan tambahan untuk makan malam Pras.
Ya, Laurent setidaknya benar-benar menjadi 'Maid' karena Pras akan membantunya mencari saudara kembarnya.
Ia menutup panci berisi sup kacang merah dengan daging yang sudah matang sempurna. Masih setengah jam lagi sebelum Pras kembali. Ia bergegas mengambil tas kecilnya dan keluar ke toko kue yang ada di lantai dasar gedung apartemen.
Sebelumnya ia sudah menukarkan uang rupiah ke dollar hongkong dengan meminta pegawainya yang menukarkan sebelum ia berangkat.
Wajah Laurent sumringah saat melihat es krim mangkuk yang menggiurkan dan ia menuju ke toko pastry juga.
Kini ditangannya sudah ada dua kantung belanja. Sesampainya di apartemen Pras. Ia menata roti perancis yang ia beli dengan isi tuna, ayam, cream cheese dan coklat di wadah dan ia letakan di meja ruang tv. Freezer ia isi es krim.
Tujuannya, ia tak mau mati bosan karena Pras pasti sibuk. Anggaplah ia sedang liburan walau berprofesi sebagai 'Maid'.
Suara bel di pintu terdengar. Laurent memukakan pintu lalu kembali berjalan masuk tanpa menyapa.
Pras berjalan melepaskan jas yang ia letakan di atas sofa lalu melepaskan sepatu dan menuju ke dalam kamar. Laurent mendengus. Ia mengambil sepatu Pras dan diletakan di tempatnya.
"Siapakan aku makan rent, aku mandi dulu,"
Pras masuk kedalam kamar mandi.
"Ya tuannnnnnn .... "
Jawab Laurent asal sambil menuju ke pantry.
Pras menahan tawa sambil menutup pintu kamar mandi.
Laurent menyiapkan makan malam yang terlampau sore untuk Pras. Ia tak makan karena sebelumnya sudah makan roti dan es krim.
"Aku mau pergi sebentar. Ok."
Laurent menuju ke kamarnya dan mengambil tas yang ia silangkan di bahunya.
"Kemana,"
Pras mengunyah makanan dengan kedua mata tak lepas menatap Laurent yang menggerai rambutnya.
"Ganti celana mu, pakai jeans panjang atau celana panjang,"
Laurent mengabaikan, Ia fokus mengikat tali sepatu ketsnya.
"Ganti Laurent,"
"No."
Jawab Laurent sambil beranjak.
"Rent."
Suara Pras sudah terdengar semakin berat dan serius. Laurent menoleh. Ia terkekeh.
"Aku bisa jaga diri tuan Pras,"
Ia berjalan menuju pintu. Dengan cepat Pras menahan dengan menarik pergelangan tangannya.
"Ganti. Atau saya ikut,"
Kedua mata Pras menatap tajam.
"Apa si! Ikut campur aja urusan orang lain!"
Laurent mencoba melepaskan. Namun cengkraman Pras begitu kuat.
"Ok. Kalau gitu saya ikut. Saya ikut campur karena disini saya yang bertanggung jawab atas diri kamu,"
Tatapan Pras mengunci kedua mata Laurent.
"Aku cuma mau jalan-jalan sebentar Pras. Bukan mau kabur,"
"Saya tau. Tapi bahaya kalau kamu sendirian diluar sana!"
"Bahaya apa si! Ini Hongkong. Sama kaya kota lainnya didunia Pras!"
"Beda. Tunggu disini! Saya ikut."
Laurent diam. Pras kembali ke pantry dan meminum air putih sebelum ia berjalan ke rak sepatu dan memakainya.
"Pras! Aku bisa sendiri!"
Laurent masih protes. Pras tak bergeming. Ia meninggalkan makanan yang masih ada diatas piring dan menggenggam jemari Laurent.
"Mau kemana? Saya antar. Mobil ada di basemen,"
"Aku mau jalan kaki. Cuma mau lihat-lihat sekeliling aja Pras, lepas ih!"
Omel Laurent. Pras menatap tajam. Ia lalu menghela nafas.
"Oke kita jalan kaki,"
Ia melepas genggaman jemarinya namun berganti mengecup kening Laurent. Sontak membuat wanita itu terkejut.
"PRAS!"
"Apa. Satu sama 'kan,"
Pras tersenyum dan berjalan lebih dahulu meninggalkan Laurent yang kesal.
To be continue,
Pras berjalan dibelakang Laurent. Membututi wanita itu yang asik melirik ke berbagai toko yang ada di daerah pusat kota. Salah satu tujuan wisatawan juga. Sore sudah semakin menghilang berganti menjadi gelapnya malam. Pras merasa perutnya lapar. Makanan yang tadi ia makan baru ia habiskan setengah."Temani saya makan."Pras menarik pergelangan tangan Laurent dan berjalan masuk ke kedai mie china."Siapa suruh ikutin aku" Dumel Laurent. Ia kesal juga, karena belum puas melihat-lihat."Karena kamu nggak nurut sama saya Rent, jangan pakai celana sependek itu. Bahaya. Ini bukan Jakarta. Dijakarta aja kamu bisa nggak aman. Apalagi di sini,"Pras menuangkan teh hangat dari teko kecil yang mereka pesan.
Laurent nekat. Wanita berperawakan mirip blasteran turkey, phillipine dan manado itu pergi meninggalkan apartemen Pras dengan mengenakan pakaian santai. Ia menyusuri jalanan pusat kota hingga ke pasar yang ramai, dan beberapa rumah sakit. Ia berjalan kaki. Topi hitam yang ia kenakan membuat wajahnya tersamarkan juga.Satu persatu tempat makan pun ia terulusuri. Ia yakin yang kemarin ia lihat adalah Laura. Saudara kembarnya.Hampir tengah hari namun usaha Laura nihil. Ia kini memilih duduk di taman. Diam memikirkan harus mencari Laura dimana lagi. Bulir air mata kembali jatuh. Ia menghapusnya dengan cepat.Sesosok pria menatapnya lekat. Cenderung seram. Laurent beranjak dan pindah masuk ke restaurant cepat saji. Ia takut dengan tatapan pria tadi. Perasaannya menjadi tak karuan. Namun ia bingung dengan perasaan itu.***Pras terkejut saat membuka pintu apartemen tapi tak mendapati Laurent. Ponsel
Apa yang ada dikepala saat kita mendengar kata 'PERPISAHAN', kecewa, sedih atau justru senang. Namun kata terakhir itu yang tak terjadi diantara Pras dan Laurent walau mulut mereka berkata OK."Saya pinjam hp kamu rent?" Telapak tangan Pras sudah berada didepan wajah Laurent.Mereka sedang berada dibandara, waktu boardinh juga sudah tiba dan mereka berjalan menuju ke pesawat."Untuk" Laurent menatap bingung."Sini" Pras menghentikan langkah. Laurent memberikan ponselnya. Tak lama ponsel itu mengarah ke wajah Pras."Nih, takut kamu kangen aku" Pras memberikan ponsel ke tangan Laurent lagi, yang kemudian direspon dengan kekehan."Hp kamu mana, sini" kini berganti Laurent yang meminta. Pras memberikan. Laurent melakukan hal yang sama."Takut kamu kangen" Kekehan L
Lama Pras dan Laurent saling berpelukan. Sebenarnya mereka berdua seperti merasa terikat. Tapi mereka abaikan karena Laurent sendiri berfikir itu hanya ada karena biasa."I have to go Pras. Terima kasih sekali lagi" Laurent melepaskan pelukannya. Mereka bertatapan."Can i kissed you rent. For, the last time, until- saya nggak tau kapan bisa ketemu kamu lagi" Laurent tersenyum. Lalu menggelengkan kepala."Simpan itu di waktu yang tepat. Kalau memang kita bisa ketemu lagi dalam keadaan sendiri" Laurent lalu masuk kedalam mobil Pras. Ia menurunkan kaca Mobil dan melambaikan tangan.Pras mengangguk. Gemuruh berbeda terasa di hatinya, sungguh ingin ia ungkapkan. Namun sekali lagi, ia takut mengecewakan Laurent.***Satu bulan sudah sejak perpisahan Pras dan Laurent dibandara, masih menyisakan rasa yang mengganjal di hati Pras. Ia sudah kembali ke Swiss. Namun isi ke
Dengan langkah tegap dan pasti, Pras menuju ke mobilnya yang sudah terparkir di depan loby terminal internasional bandara. Ia mengenakan setelan jas licin berwaena abu-abu tua dan kemeja putih. Sunggu Pras sudah tak sabar untuk segera bertindak.Pintu mobil tertutup sesaat setelah Pras duduk di kursi penumpang. Andreas sudah berada didalam mobil lebih dulu."Sejauh mana dia bertindak?" Pras membuka kaca mata hitamnya dan membaca berkas yang diberikan Andreas."Laurent- Laurent tidak ada di apartemennya pak. Dia sudah sejak kemarin ada di Penhouse Pedro." Andreas tampak ragu saat mengucapkan hal itu.Pras mengepalkan jemarinya. Ia menatap ke jalanan yang tampak lowong."Pertemuan pak Pras dan Pedro di restaurant korea, saya sudah pesankan ruangan VIPnya""Apa kamu bawa hasil kita cari Laura di Hongkong? Saya mau kasih ke Laurent""Bawa pak. Dan, saya dapat informa
"Permisi" suara seseorang terdengar dan berdiri didepan pintu kamar rawat. Laurent menoleh dan tersenyum."Apa kabar, gimana kondisi kamu rent?" Aira datang menjenguk. Ia membawa parsel buah yang ia letakan di atas nakas. Laurent tersenyum. Infuse sudah dilepas. Ia sudah boleh pulang setelah dirawat tiga hari dirumah sakit.Aira sengaja datang karena ada hal yang ia ingin bicarakan dan mencari tahu sendiri tanpa ada Galang atau Pras."Kamu sendirian ra? Anak-anak?" Laurent menampakan tatapan mencari keberadaan anak-anak Aira."Dirumah opa omanya, aku titip sebentar. Aku turut prihatin sama musibah kamu rent. Semoga cepat sehat ya""Iya, terima kasih Aira. Kamu kesini ada apa? Atau di suruh tuan besar?" Laurent tersenyum. Ia lalu terkikik sendiri."Siapa? Kakakku? Pras?" Aira juga ikut terkikik. Laurent mengangguk."Enggak. Nggak ada ya
Kegalauan masih dilanda Pras, suara Laurent yang terus meminta tolong dan meminta maaf terus terngiang di telinga Pras. Sudah dua hari ponsel milik Laurent tak aktif, bahkan mata-mata Pras pun tak melihat Laurent keluar dari Penthouse Pedro."Andreas, apa bisa kamu atur pertemuan Pedro diluar bersama Galang? Saya ... saya ingin bertemu Laurent sebentar," Pras tertunduk sambil memegang ponsel yang menempel di telinga kanannya."Saya coba atur Pak Pras. Yang jadi masalah, pengawal yang menjaga di Penthouse begitu ketat."Pras mengeram marah. Ia lupa tentang hal itu. Mengapa Laurent diperlakukan seperti tahanan? Apa segila itu Pedro menyukai Laurent? Atau hanya dijadikan budak sex. Prad tak kuat memikirnya. Hatinya bergemuruh kuat karena emosi."Ok. Atur pertemuan private saya dengan Pedro siang ini. Dua jam dari sekarang. Siapkan dana dua puluh ribu dollar. Jangan banyak tanya untuk a
Suara denting sendok di dalam cangkir teh terdengar merdu, seraya sang pemilik cangkir itu duduk di meja makan. Ia menatap, bukan menatap cangkir tehnya, tapi menatap wanita yang sedang berdiri di seberangnya yang kemudian meletakan cangkir berisi teh dengan gula diet kehadapan pria yang kali itu hanya mengenalan bathroob. "Mau pakai selai atau madu, roti bakarnya?" wanita itu bertanya. Pria itu hanya bertopang dagu dan menatap sambil tersenyum. "PRAS!" teriakan Laurent mengagetkan Pras. Ia mengerjap cepat lalu duduk tegak dan menunjuk ke selai coklat. "Tipis aja selainya, aku gak-" "Tau ... tau ... nggak bisa makan manis. Paham." Kedua mata Laurent melirik datar ke Pras. "Nanti tolong bawa jas aku yang ada di lemari sisi sebelah kiri ke Laundry
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l
Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.