Pras berjalan dibelakang Laurent. Membututi wanita itu yang asik melirik ke berbagai toko yang ada di daerah pusat kota. Salah satu tujuan wisatawan juga. Sore sudah semakin menghilang berganti menjadi gelapnya malam. Pras merasa perutnya lapar. Makanan yang tadi ia makan baru ia habiskan setengah.
"Temani saya makan."
Pras menarik pergelangan tangan Laurent dan berjalan masuk ke kedai mie china.
"Siapa suruh ikutin aku" Dumel Laurent. Ia kesal juga, karena belum puas melihat-lihat.
"Karena kamu nggak nurut sama saya Rent, jangan pakai celana sependek itu. Bahaya. Ini bukan Jakarta. Dijakarta aja kamu bisa nggak aman. Apalagi di sini,"
Pras menuangkan teh hangat dari teko kecil yang mereka pesan.
"Kamu nggak salah makan mie di kedai pinggir jalan gini. Kamu seornag milyader Pras" Laurent sedikir menyondongkan tubuhnya saat berbicara dengan Pras.
"Nggak. Saya manusia biasa kok" Pras berujar sambil meminum teh hangat itu di gelasnya. Laurent pun ikut menuangkan teh, ia menyeruputnya.
"Enak kan?" Kedua mata Pras memicing sambil tersenyum.
"Yeah, not bad" Jawab Laurent, padahal teh itu enak rasanya.
Pesanan bakmi mereka datang. Dua porsi mie sapi pedas, Pras yang pesan.
"Makan, kamu pasti suka, orang manado suka yang pedas-pedas kan" Pras terkekeh. Laurent mengangguk.
Mereka makan dengan santai. Pras begitu rindu makanan asia favoritenya itu. Laurent pun sampai mengeluarkan ekspresi senang. Bibirnya bahkan memerah karena rasa pedas yang bikin ketagihan.
Pras menatap hal itu. Ia diam. Bibir Laurent menjadi pusat perhatiannya. Ia kembali ingat beberapa kali lalu itu mencium dan melumat bibir Laurent demi peran yang ia mainkan. Dehaman Pras membuyarkan Laurent yang menikmari mie tersebut.
"Habis ini aku mau beli milkshake, ini pedes banget Pras."
"Buat apa milkshake?"
"Netralin rasa pedes. Susu bisa netralin rasa pedes dari pada air dingin biasa" ia menatap Pras, mengambil tisu di kotak dan mengelap peluh yang ada di kening Pras.
"Pedes banget 'kan. Kamu aja sampe keringetan gini" Laurent mengambil tisu lagi dan berganti mengelap sudut bibir Pras. Ia terkekeh geli.
"Kenapa?" Pras bertanya. Ia bingung.
"Bibir kamu merah, jontor gitu hahaha" dengan lembut Laurent mengelap bibir Pras juga dengan tisu yang baru.
"Stop rent" Ucap Pras. Laurent menghentikan jemarinya yang mengelap bibir merah Pras. Ia menjauhkan jemarinya dan kembali memakan mie nya.
"Sorry, aku cuma- ah, lupain" Laurent kembali makan. Pras diam. Ia tak lagi nafsu dengan makanan dihadapannya. Namun nafsu lainnya yang bangkit. Ia memejamkan mata. Menetralkan pikiran dan hasratnya itu.
Laurent terdiam. Sumpit ditangannya terlepas. Ia beranjak dan berjalan keluar dari kedai.
Pras buru-buru ikut beranjak dan mengeluarkan uang untuk membayar, setelahnya ia segera berlari mengejar Laurent yang berada di tengah ramainya orang.
Pria itu panik. Ia takut terjadi apa-apa dengan Laurent.
SRETTTT
Pras berhasil menarik tangan Laurent diantara banyak orang dan langsung memeluknya.
"Lepasin Pras! Tadi aku lihat Laura!" Omel Laurent.
"Bukan. Bukan Laura." Sanggah Pras. Laurent melepaskan pelukan erat Pras. Menatap kekedua bola mata Pras.
"Aku-yakin-itu-Laura-Pras." Sorot mata Laurent menatap sedih,kecewa, dan marah. Pras mengehela nafas panjang dan memutar tubuh Laurent.
"Mana? Mana Laura!" Bentak Pras marah. Kepala Laurent mencari-cari. Ia kehilangan sosok wanita yang sepintas mirip dirinya, mengenakan kaos putih dan celana panjang biru.
Bugh
Laurent memukul lengan Pras kencang. Ia lalu berjalan meninggalkan Pras dengan kesal. Lengannya terasa nyeri, kencang juga pukulan Laurent. Tapi itu tak mengapa, Laurent tak boleh mengetahui Laura sekarang seperti apa. Akan membahayakan dirinya begitupun saudara kembarnya.
***
Dengan kesal Laurent mengosek panci bekas memasak ikan salmon panggang hasil permintaan Pras. Mereka sudah kembali ke apartemen sejak dua jam lalu. Namun selama dua jam itu Laurent terus merengut dan memasak dengan asal.
Sup daging kacang merah ia simpan di wadah lain dan menaruhnya di kulkas. Pantry sudah rapih. Ia tak mau menatap Pras. Saat meletakan piring berisi salmon panggang pun ia letakan secara kasar. Seperti memberi makan anjing.
"Nggak sopan" celetuk Pras sambil mengambil garpu dan memakannya. Nafsu makannya beberapa hari ini sedang menggila. Mungkin karena perasaannya yang berbeda sejak kembali ke tanah air.
"Aku mau tidur. Taruh piringnya di bak, besok pagi aku yang cuci" Laurent masuk kedalam kamar dan menutupnya dengan kencang. Pras mendengus lemah.
'Saya cuma belum siap bikin kamu kecewa rent'
Pras melanjutkan makannya seorang diri.
***
Pukul empat pagi Laurent sudah bangun. Ia merapihkan pakaian kotor kedalam kantung laundry karena jam enam pagi petugas laundry akan datang mengambil. Sorenya akan kembali diantar. Sesuai perintah tuan besar Pras.
Ia mengenakan baju tidur bermodel kemeja besar. Terkesan tak memakai celana pendek, padahal jelas ia memakainya hanya saja kemeja atasannya terlampau panjang sedikit.
Ia duduk di atas meja pantry sambil menyesap teh manis hangat. Pandangannya menerawang ke langit yang masih gelap. Ia membuka tirai sehingga pemandangan kota terlihat jelas.
"Laura, yang kemarin itu kamu kan ra, aku di hongkong ra, ayo ketemu,"
Laurent berucap sendiri. Bulir air matanya turun di sudut mata. Ia buru-buru menghapusnya.
Pintu kamar Pras terbuka, pria itu bersandar. Wajahnya sendu menatap Laurent, namun berganti menjadi ekspresi lain. Apalagi melihat penampilan Laurent dengan pakaiannya.
Mesum sekali Pras ini. Betul?
"Ehem." Pras berjalan menuju Pantry. Laurent hanya menoleh sepintas dan kembali menatap langit.
"Masih pagi banget Pras. Tidur aja lagi" Laurent berbicara tanpa menatap atau menoleh. Pras berbelok menghampiri Laurent dan merebut cangkir milik wanita itu. Ia meminum teh milik Laurent dengan kedua mata menatap tajam ke pemiliknya. Laurent berdecih lalu membuang pandangan.
"Manis" Ucap Pras sambil meletakan cangkir di meja Pantry.
"Tapi kayaknya lebih manis kalau sambil,"
"Mmgghh!"
Pras mencium bibir Laurent sekilas. Lalu melepaskannnya. Ia tersenyum. Menatap Laurent yang bengong.
"Bener 'kan manis. Thank you for the tea rent"
Pras lalu berjalan kembali kedalam kamar dengan santai.
"PRRAASSSSSSSS!!!!!" suara Laurent berteriak terdengar. Sedangkan Pras sudah menutup pintu dan menguncinya.
Ia tertawa geli. Setidaknya, ia tak penasaran dan menahan rindu dengan benda kenyal milik Laurent yang menggodanya sejak kemarin.
***
Sarapan sudah siap. Laurent memanaskan sup daging kacang merah, menaruh nasi diatas dua piring dan menyiapkan air putih dua gelas. Suara bel berbunyi. Laurent membuka pintu, Andreas sudah tampak rapih.
"Pagi madam" Ledek Andreas.
"Pagi" jawab Laurent datar. Kedua mata Andreas menatap Pras yang menahan senyum. Ia sudah rapih. Hanya tinggal memakai dasi.
"Pagi pak Pras," sapa Andreas.
"Pagi. Jadwal saya hari ini sepadat kemarin tidak?" Pras mulai memakan sarapannya. Laurent memotong roti perancis rasa ayam dan memakannya. Ia duduk di sofa sambil menonton tv.
"Tidak pak, hanya sampai jam makan siang, semua sudah lebih rapih dan selesai lebih cepat, kalau pak Pras-"
Pras mengangkat tangan. Mengkode Andreas untuk menghentikan kata-katanya.
"Ayo sarapan. Laurent sudah memasak ini, enak dan nagih" Pras berbicara sedikit kencang, supaya Laurent mendengar. Tapi justru wanita itu cuek tak perduli.
"Kenapa pak?" Bisik Andreas.
"Nggak pa-pa" Jawab Pras sambil terkekeh.
Mereka selesai sarapan. Andreas beranjak dan bersiap. Pras berjalan menghampiri Laurent. Ia menyodorkan dasi kehadapan Laurent.
"Pakein" pinta Pras. Laurent melirik sinis dan beranjak. Ia melingkarkan dasi dileher Pras yang menatapnya lekat. Laurent cemberut tetapi membuat Pras harus bertahan tak tersenyum atau tertawa.
"Udah" Lalu Laurent kembali duduk dan menonton TV.
"Saya kerja dulu rent. Masak yang enak ya"
Pras mengusap kepala Laurent. Tangan wanita itu menepiskan kasar. Ia tak mengantar Pras dan Andreas ke pintu. Ia masih kesal dengan sikap Pras."Gue harus cari Laura. Sekarang,"
Laurent beranjak dan merapihkan piring dan gelas kotor. Lalu segera berganti pakaian.
To be continue,
Laurent nekat. Wanita berperawakan mirip blasteran turkey, phillipine dan manado itu pergi meninggalkan apartemen Pras dengan mengenakan pakaian santai. Ia menyusuri jalanan pusat kota hingga ke pasar yang ramai, dan beberapa rumah sakit. Ia berjalan kaki. Topi hitam yang ia kenakan membuat wajahnya tersamarkan juga.Satu persatu tempat makan pun ia terulusuri. Ia yakin yang kemarin ia lihat adalah Laura. Saudara kembarnya.Hampir tengah hari namun usaha Laura nihil. Ia kini memilih duduk di taman. Diam memikirkan harus mencari Laura dimana lagi. Bulir air mata kembali jatuh. Ia menghapusnya dengan cepat.Sesosok pria menatapnya lekat. Cenderung seram. Laurent beranjak dan pindah masuk ke restaurant cepat saji. Ia takut dengan tatapan pria tadi. Perasaannya menjadi tak karuan. Namun ia bingung dengan perasaan itu.***Pras terkejut saat membuka pintu apartemen tapi tak mendapati Laurent. Ponsel
Apa yang ada dikepala saat kita mendengar kata 'PERPISAHAN', kecewa, sedih atau justru senang. Namun kata terakhir itu yang tak terjadi diantara Pras dan Laurent walau mulut mereka berkata OK."Saya pinjam hp kamu rent?" Telapak tangan Pras sudah berada didepan wajah Laurent.Mereka sedang berada dibandara, waktu boardinh juga sudah tiba dan mereka berjalan menuju ke pesawat."Untuk" Laurent menatap bingung."Sini" Pras menghentikan langkah. Laurent memberikan ponselnya. Tak lama ponsel itu mengarah ke wajah Pras."Nih, takut kamu kangen aku" Pras memberikan ponsel ke tangan Laurent lagi, yang kemudian direspon dengan kekehan."Hp kamu mana, sini" kini berganti Laurent yang meminta. Pras memberikan. Laurent melakukan hal yang sama."Takut kamu kangen" Kekehan L
Lama Pras dan Laurent saling berpelukan. Sebenarnya mereka berdua seperti merasa terikat. Tapi mereka abaikan karena Laurent sendiri berfikir itu hanya ada karena biasa."I have to go Pras. Terima kasih sekali lagi" Laurent melepaskan pelukannya. Mereka bertatapan."Can i kissed you rent. For, the last time, until- saya nggak tau kapan bisa ketemu kamu lagi" Laurent tersenyum. Lalu menggelengkan kepala."Simpan itu di waktu yang tepat. Kalau memang kita bisa ketemu lagi dalam keadaan sendiri" Laurent lalu masuk kedalam mobil Pras. Ia menurunkan kaca Mobil dan melambaikan tangan.Pras mengangguk. Gemuruh berbeda terasa di hatinya, sungguh ingin ia ungkapkan. Namun sekali lagi, ia takut mengecewakan Laurent.***Satu bulan sudah sejak perpisahan Pras dan Laurent dibandara, masih menyisakan rasa yang mengganjal di hati Pras. Ia sudah kembali ke Swiss. Namun isi ke
Dengan langkah tegap dan pasti, Pras menuju ke mobilnya yang sudah terparkir di depan loby terminal internasional bandara. Ia mengenakan setelan jas licin berwaena abu-abu tua dan kemeja putih. Sunggu Pras sudah tak sabar untuk segera bertindak.Pintu mobil tertutup sesaat setelah Pras duduk di kursi penumpang. Andreas sudah berada didalam mobil lebih dulu."Sejauh mana dia bertindak?" Pras membuka kaca mata hitamnya dan membaca berkas yang diberikan Andreas."Laurent- Laurent tidak ada di apartemennya pak. Dia sudah sejak kemarin ada di Penhouse Pedro." Andreas tampak ragu saat mengucapkan hal itu.Pras mengepalkan jemarinya. Ia menatap ke jalanan yang tampak lowong."Pertemuan pak Pras dan Pedro di restaurant korea, saya sudah pesankan ruangan VIPnya""Apa kamu bawa hasil kita cari Laura di Hongkong? Saya mau kasih ke Laurent""Bawa pak. Dan, saya dapat informa
"Permisi" suara seseorang terdengar dan berdiri didepan pintu kamar rawat. Laurent menoleh dan tersenyum."Apa kabar, gimana kondisi kamu rent?" Aira datang menjenguk. Ia membawa parsel buah yang ia letakan di atas nakas. Laurent tersenyum. Infuse sudah dilepas. Ia sudah boleh pulang setelah dirawat tiga hari dirumah sakit.Aira sengaja datang karena ada hal yang ia ingin bicarakan dan mencari tahu sendiri tanpa ada Galang atau Pras."Kamu sendirian ra? Anak-anak?" Laurent menampakan tatapan mencari keberadaan anak-anak Aira."Dirumah opa omanya, aku titip sebentar. Aku turut prihatin sama musibah kamu rent. Semoga cepat sehat ya""Iya, terima kasih Aira. Kamu kesini ada apa? Atau di suruh tuan besar?" Laurent tersenyum. Ia lalu terkikik sendiri."Siapa? Kakakku? Pras?" Aira juga ikut terkikik. Laurent mengangguk."Enggak. Nggak ada ya
Kegalauan masih dilanda Pras, suara Laurent yang terus meminta tolong dan meminta maaf terus terngiang di telinga Pras. Sudah dua hari ponsel milik Laurent tak aktif, bahkan mata-mata Pras pun tak melihat Laurent keluar dari Penthouse Pedro."Andreas, apa bisa kamu atur pertemuan Pedro diluar bersama Galang? Saya ... saya ingin bertemu Laurent sebentar," Pras tertunduk sambil memegang ponsel yang menempel di telinga kanannya."Saya coba atur Pak Pras. Yang jadi masalah, pengawal yang menjaga di Penthouse begitu ketat."Pras mengeram marah. Ia lupa tentang hal itu. Mengapa Laurent diperlakukan seperti tahanan? Apa segila itu Pedro menyukai Laurent? Atau hanya dijadikan budak sex. Prad tak kuat memikirnya. Hatinya bergemuruh kuat karena emosi."Ok. Atur pertemuan private saya dengan Pedro siang ini. Dua jam dari sekarang. Siapkan dana dua puluh ribu dollar. Jangan banyak tanya untuk a
Suara denting sendok di dalam cangkir teh terdengar merdu, seraya sang pemilik cangkir itu duduk di meja makan. Ia menatap, bukan menatap cangkir tehnya, tapi menatap wanita yang sedang berdiri di seberangnya yang kemudian meletakan cangkir berisi teh dengan gula diet kehadapan pria yang kali itu hanya mengenalan bathroob. "Mau pakai selai atau madu, roti bakarnya?" wanita itu bertanya. Pria itu hanya bertopang dagu dan menatap sambil tersenyum. "PRAS!" teriakan Laurent mengagetkan Pras. Ia mengerjap cepat lalu duduk tegak dan menunjuk ke selai coklat. "Tipis aja selainya, aku gak-" "Tau ... tau ... nggak bisa makan manis. Paham." Kedua mata Laurent melirik datar ke Pras. "Nanti tolong bawa jas aku yang ada di lemari sisi sebelah kiri ke Laundry
Jevan dan Pras sudah duduk di sofa ruang tamu dengan pakaian rapi dan keduanya tampak tampan. Benar-benar seperti ayah dan anak. Laurent tersenyum manis saat ia juga sudah bersiap. Pras diam menatap Laurent yang mengenakan pakaian dengan warna senada dengan ia dan Jevan."Lho kok sama ... aku ganti dulu deh, malu. Kesannya niat banget pake kostum." Laurent berbalik badan. Namun suara larangan Pras terdengar."Gini aja," ujar Pras. Ia dan Jevan lalu beranjak. Laurent tersenyum masam. Rambut coklatnya ia blow dengan sedikit bergelombang."Sebentar, ada obat yang harus aku minum." Laurent kembali ke dalam kamar dan mengambil obat itu. Ia lalu beralih ke dapur dan mengambil air putih.Dengan cepat Laurent menelan pil itu. Jevan tak perduli karena ia tak paham. Namun Pras, ia menatap curiga.
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l
Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.