Dengan berat hati, Giga menjalankan apa yang diminta Peony tadi malam. Apakah itu? Mencari bayi yang bisa diadopsi di panti asuhan sebagai anak pancingan. Sebenarnya, bukan satu atau dua orang yang memberikan saran seperti itu pada mereka tapi entah mengapa, hati Giga kurang sreg. Rasa hatinya nggak enak. Masa, mengangkat anak hanya karena ingin mendapatkan momongan? Berarti, nggak tulus, dong?
Selain pemikiran yang seperti itu, Giga juga ragu-ragu. Apakah Peony benar-benar mau dan mampu mengurus bayi? Sedangkan terhadap anak-anak kecil di sekitar rumah saja, dia kelihatan nggak suka. Jangankan beramah-tamah atau berlemah-lembut? Melihat anak-anak tetangga numpang bermain di halaman rumah saja sudah heboh. Ini lah, itu lah. Begini lah, begitu lah. Pokoknya, jauh Panggang dari api. Ah, pikiran Giga semakin semrawut sekarang. Kusut kuadrat.
Dilema lah, pokoknya!
"Peony, Peony!" gumam Giga sambil membuka pintu mobil, "Memangnya mudah mengurus bayi?" gumamnya lagi, setelah menghempaskan tubuh di atas jok, "Anak orang lain lagi! Apa iya, dia mau merawat dengan baik?"
Glek!
Giga menutup pintu mobil sambil menghela napas panjang. Dalam hati berdoa, semoga Allah memudahkan segala usahanya. Mustahil baginya, nggak menuruti keinginan Peony. Bisa-bisa jadi ribut dan hal itulah yang paling dihindarinya di rumah. Untuk apa ribut, bertengkar atau saling meluapkan emosi jika bisa bicara dari hati ke hati? Itulah mengapa, dalam banyak perbedaan, Giga memilih diam. Mengalah. Termasuk dalam hal obsesi Peony untuk mengadopsi anak. Giga memilih diam. Karena nggak ada gunanya juga melayani perdebatan yang selalu muncul dari Peony. Entahlah, Giga juga nggak habis pikir, mengapa akhir-akhir ini Peony lebih emosional. Satu-satunya alasan yang masuk di ruang akal Giga, yaaahhh, karena belum diberikan momongan.
Twinkle twinkle little star
How I wonder what you are
Up above the world so high
Like a diamond in the sky
Twinkle twinkle little star
How I wonder what you are
Incoming Call: Kharisma Peony
Demi melihat nama isteri tercinta tertera di layar ponsel yang bersinar terang kebiru-biruan, Giga mengurangi kecepatan mobil dan menepi, berhenti. Pantang baginya menerima telepon sambil menyetir, karena paham hal itu sangat berbahaya. Nggak sedikit lho, kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh ponsel. Maksudnya, banyak pengendara yang terlena saat menelepon atau menggunakan ponsel pada saat menyetir.
"Halooo, ya Dek?" sapa Giga setelah menekan tombol ANSWER, "Gimana Dek, ada apa?"
Peony menanyakan, apa Giga sudah pulang dari kantor belum. Giga menyahut dengan nada suara senang, penuh semangat, "Oh, kirain kenapa. Ini aku udah pulang, Dek. Sekarang baru OTW panti asuhan, ini."
Di seberang ponsel, Peony terlonjak gembira, "Iya, Mas? Alhamdulillah. Nanti, cepet-cepet ngasih kabar ya Mas, kalau bayinya? Terus, Mas jemput aku nanti, ya?"
Giga mengangguk sembil tersenyum lalu tersentak karena Peony mengomel panjang kali lebar sama dengan luas persegi panjang. Hehe. Terpaksa, Giga mengulangi jawabannya, "Iya Dek, nanti aku kabari kamu!"
Detik berikutnya, Peony mengingatkan Giga untuk jangan lupa makan siang dan yang paling penting mengirimkan foto anak-anak panti asuhan ke whatsapp-nya. Giga menyanggupi, dari pada bonyok. Peony memang aneh! Belum tentu sore ini juga Giga bisa menemukan panti asuhan yang anak-anaknya masih bayi. Iya, kan?
Fiyuuuhhh!
Untung ada tamu, katanya tentangga sebelah yang mau minta bibit bayam merah. Kalau nggak, bisa nggak selesai-selesai teleponnya dan akhirnya kemalaman. Kalau sudah begitu, siapa yang patut untuk disalahkan? Giga, tentu saja. Hehe. Kadang-kadang Peony memang separah itu. Untung, Giga selalau sabar dan telaten ngemong dia. Kalau nggak? Wuaaahhhh, mungkin sudah bubar dari sejak usia pernikahan mereka baru tiga hari. Sungguh.
***
Mbak Honey sudah memutuskan untuk membawa Prameswari pindah ke rumahnya di Krapyak. Rumah hasil kerja kerasnya membangun dan mengelola Honey Karaoke and Cafe yang belum pernah dihuninya selama ini. Dia merasa, rumah kontrakan ini sudah nggak aman lagi untuk mereka, terutama Prameswari. Entahlah, dia sendiri juga takjub, mengapa masih saja berpikir kalau sosok hitam yang jahat itu punya rencana jahat terhadap Prameswari. Bahkan, sempat berpikir kalau dia adalah Meyka.
Bisa saja kan, karena Meyka lah yang telah menipu Prameswari selama ini. Ya, yaaahhh, siapa tahu kalau sebenarnya dia itu penculik atau perampok? Karena tahu Prameswari berasal dari keluarga yang berkecukupan, makanya melalukan penipuan secara halus. Hemmm, tapi sampai detik ini Mbak Honey masih belum berani mengambil kesimpulan apapun tentang semua perbuatan Meyka. Bisa juga, Meyka hanya seseorang yang kesepian dalam hidupnya, terkucilkan lalu menjadi jahat, kan?
Mengenai keputusannya untuk pindah rumah, selain memang sudah terlanjur sayang, Mbak Honey juga semakin merasa bersalah atas kejadian semalam. Walaupun adik angkatnya itu sudah memaafkan---nggak menyalahkannya sama sekali---tetap saja hatinya dihantui perasaan bersalah yang nggak kecil. Lagipula, kalau pindah ke Krapyak, justru lebih dekat dengan kafenya yang di Jalan Parangtritis. Ah, sepertinya Prameswari juga lebih pas kalau ikut membantu di sana. Begitu, pikirnya.
Jadi, besok pagi Mbak Honey mau sowan ke rumah Ibu untuk membicarakan tentang Keputusannya ini. Takutnya jadi salah paham. Mbak Honey nggak mau Ibu berpikir, kalau dia kecewa atau semacamnya. Sebenarnya memang ada sih, perasaan kecewa itu, sedikit dan sudah diatasinya dengan baik. Mbak Honey nggak perlu berperasaan apapun pada Ibu. Karena jelas, Ibu nggak tahu menahu soal kejadian kriminal yang hampir mencelakai Prameswari itu. Iya, kan? Hampir tiga tahun menempatii rumah itu dan baru kali ini terjadi yang seperti itu. Benak Mbak Honey semakin meradang, 'Apa mungkin dia itu enggg siapa itu yang mau dijodohkan sama Mytha?' hatinya yang mendadak pedih bertanya, 'Ah, nggak mungkin, lah. Masa, Ustadz jahat begitu?' bantahnya kemudian dan sudah, mati-matian Mbak Honey melerai perdebatan hatinya.
"Mytha," panggil Mbak Honey lembut dan sayang pada Prameswari yang sedang membereskan kamar, "Ada yang perlu Mbak obrolin sama kamu, bisa?"
Ditanya seperti itu oleh Mbak Honey, Prameswari tersenyum manja, "Bisa, Mbak. Memangnya ada apa sih, Mbak?"
Mbak Honey mengajak Prameswari duduk di karpet bulu yang terbentang di lantai. Karpet bulu merah jambu bercorak bunga mawar, yang dibelinya khusus untuk Prameswari. Dengan penuh tanda tanya, Prameswari mengikuti Mbak Honey, duduk bersimpuh di sana.
"Mytha,"
"Ya, Mbak Honey?"
Sejenak, mereka saling memandang. Mbak Honey memandang Prameswari dengan perasaan rikuh, sedangkan Prameswari memandang Mbak Honey dengan penuh tanda tanya. Jauh di dasar hatinya tercipta perasaan nggak enak dan takut. Nggak enaknya, karena merasa sudah merepotkan dan menyusahkan Mbak Honey. Takutnya? Takut, kalau dia harus terpisah darinya. Harus kemana mencari perlindungan? Satu-satunya teman di Yogyakarta yang dia kenal baik selama ini hanya Meyka. Oh, tiba-tiba sebentuk kesedihan mencengkeram hatinya yang serapuh tissue.
"Sssttt, Mytha …!" Mbak Honey memberi kode pada Prameswari untuk membicarakan semuanya dengan sangat hati-hati, karena ini rahasia keluarga, "Kita harus pindah rumah, Mytha!"
Perlahan-lahan namun pasti, Mbak Honey menjelaskan pada Prameswari, kemama mereka akan pindah. Mbak Honey juga memberi tahu tentang kemungkinan Prameswari untuk membantunya di kafe. Karena untuk sementara ini Mbak Honey harus mengurus cabang Honey Karaoke and Cafe yang di Jalan Kaliurang. Itu cabang baru, masih banyak membutuhkan sentuhan jiwa dan raganya.
Menanggapi semua yang dikatakan Mbak Honey itu, Prameswari tersenyum haru. Bahagia. Kabut yang tadi sempat menyaput hatinya, perlahan-lahan terberai dan menghilang. Meskipun sisi batinnya menjerit tentang dia harus membantu Mbak Honey di kafe, tapi Prameswari berusaha untuk tegar. Jauh, jauuuhhh di dasar hatinya, dia sama sekali nggak ingin membuka jilbabnya.
Bagaimana lagi?
Mbak Honey sudah berangkat ke kafe sejak setengah jam yang lalu dan sekarang Prameswari sedang membaca memo yang tadi diberikannya. Entah mengapa, mata Prameswari berkaca-kaca, mengembun dan nyaris tumpah ketika membaca baris demi baris catatan Mbak Honey. Apakah karena catatan itu mampu mengingatkannya pada Ummi, Abah dan juga Abang di rumah? Ataukah Mas Eiden yang selama ini mengisikan manisnya rasa cinta ke dalam ceruk hati terdalamnya? Ah, atau Meyka dengan segala kebohongannya? Mungkin, mungkin semuanya karena raut wajah Prameswari terlihat begitu sendu, perlahan-lahan menjadi gelap. Selayaknya langit biru yang tersaput hitamnya mendung.Dear Mytha,Mbak minta tolong, ya?
Sunyi. Sepi. Seolah-olah nggak berpenghuni.Itulah yang dirasakan Prameswari ketika kedua kakinya yang gemetar melangkah ke luar gudang menuju dapur. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati, dia terus melangkah ke sana. Hanya ada satu hal yang mengisi benaknya saat ini, dia harus segera pergi dari rumah kontrakan Mbak Honey. Sesegera mungkin karena inilah kesempatan emas itu. Kesempatan yang sudah dinantikannya sejak tadi pagi, berjam-jam. Perjuangan yang nggak mudah dan terasa begitu panjang, dalam deraan kegelisahan, ketakutan dan kebingungan. Menahan haus dan lapar yang nggak sedikit, hingga perutnya melilit sakit.Dia yakin sekarang, Mbak Honey sudah pergi karena tadi sekitar dua menit yang lalu, terdengar suara mobilnya b
Di dalam mobil, sepulangnya dari panti asuhan Mutiara Jiwa di Jalan Godean, Giga tercenung untuk beberapa saat lamanya. Benar, apa yang dikatakan pemilik panti itu memang benar adanya. Kalau dia dan Peony bersungguh-sungguh mau mengadopsi anak, harus dengan niat dan perjuangan yang ikhlas Lillahita'ala. Bukan karena ingin mendapatkan momongan yang terlahir dari benih cinta mereka semata-mata. Kalaupun akhirnya Allah memberikan kepercayaan untuk mereka memiliki anak, itu bonus. Sudah sedari dulu Giga memahami akan hal itu.Lalu, masalah apa yang telah membuatnya tercenung? Karena Peony memiliki pemahaman yang bertolak belakang darinya. Menurut Peony, yang namanya anak pancingan, ya berarti harus difungsikan sebagaia pancing. Dipelihara dengan baik tapi tetap dijadikan pancing. Jadi, ya, hanya sebatas itu. Nggak lebih
Dengan kebahagiaan yang bermekaran di taman hati, Mbak Honey memarkir mobil di depan rumah bercat merah bata yang terletak di antara mini market Murah Jaya dan rumah makan padang Masakan Bundo. Rumah tiga lantai yang terlihat bersih, terawat dan mewah, istana Mbak Honey hasil dari jerih payahnya mengelola keuntungan dari Honey Karaoke and Cafe. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Itulah peribahasa yang menjadi pelajaran berharga sekaligus prinsip hidupnya selama ini. Benar baginya, usaha dan kerja keras takkan pernah mengkhianati hasil. Meskipun hasil akhirnya tetap Allah yang punya kuasa, tapi usaha dan perjuangan itu sesuatu yang mutlak, bukan? Sebisa mungkin, semampunya.Sejenak, wanita cantik dengan rambut ikal sebahu itu memandangi Prameswari yang tertidur lelap di sebelahnya sambil memeluk Tata, bone
Semenjak berteman dengan Mas Eiden di facebook, Prameswari terlihat lebih bersemangat menjalani hari demi hari. Sebenarnya banyak chat yang masuk di messenger dari orang-orang terdekat dalam hidupnya, tapi diabaikannya. Tak sedikit pun terbersit dalam hati Prameswari, niat untuk membalas chat mereka, entah mengapa. Padahal jauh di lubuk hatinya, tercipta sebentuk rasa bahagia, haru sekaligus rindu, karena merasa telah mendapatkan perhatian yang begitu besar dari keluarganya di Al-Hidayah. Tetapi, di sisi yang lain, Prameswari nggak ingin balasannya nanti justru menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Karena bisa jadi, Abah dan Ummi masih terus menyebar orang-orang kepercayaan untuk mencari dan menemukannya. Membawa pulang dan tetap memaksanya menikah dengan Ustadz Rayyan. Tentu saja Prameswari nggak menginginkan hal paling pahit dan menyakitkan itu terjadi dalam hidupnya.
Di meeting room yang masih sepi, Giga terlihat semrawut. Kesemrawutan yang bisa dikatakan langka dalam hidupnya, jika sedang berada di lingkungan kantor atau di depan umum. Giga bukan model orang yang suka menunjukkan suasana hati atau permasalahan pribadi. Giga Daneswara, pribadi yang meng-copy paste filosofi sebatang lilin. Rela meleleh, mencair dan habis untuk menerangi sekitar.Apa yang membuat Giga semrawut di pagi yang cerah dengan cahaya matahari menyiram penuh? Peony. Ya, Peony-lah yang telah mengacak-acak seluruh suasana hati yang telah mati-matian di susun dalam waktu separuh malam terakhir tadi. Pagi-pagi sekali, Peony sudah menyerangnya dengan mempertanyakan masalah sikapnya yang mendadak dingin dan beku. Sebenarnya Giga sudah memberikan alasan dengan keterangan lengkap, selengkap buku skripsi tapi Peony
Gemetar, Prameswari menerima KTP barunya yang disodorkan Mbak Honey dengan senyumnya yang khas, ramah dan hangat. Dalam hatinya bermunculan perasaan terkejut, takjub sekaligus takut yang sama besarnya. Bergumul menjadi satu, menciptakan sebentuk pemberontakan tak kasat mata yang begitu dahsyat. Dengan rembesan air hangat dari pelupuk matanya yang pedih, dia memandangi kartu mungil yang selanjutnya akan menjadi kartu identitasnya, seumur hidup. Dalam hati yang nyaris habis tergerus oleh konfliknya dengan Abah, dia membaca deret demi deret tulisan yang tertera di sana.Nama: Paramitha AngelinaTempat Tanggal Lahir: Yogyakarta, 31 Desember 2003Jenis Kelam
Gemetar, Prameswari membaca ulasan tentang Ladies Companion. Wanita yang bekerja melayani tamu di kafe-kafe. Tapi karena sebagian besar Ladies Companion ini bekerja di kafe-kafe yang buka di malam hari, sering kali disalah artikan. Dianggap sebagai wanita malam. Padahal, pekerjaan mereka ya hanya melayani tamu atau pengunjung kafe."Subhanallah! Jadi, itu artinya Ladies Companion?" gumam Prameswari dengan perasaan lega, "Tapi, kenapa harus berpakaian seperti itu, ya? Memangnya nggak bisa ya, memakai hijab?"Lagi, Prameswari membaca ulasan-ulasan tentang Ladies Companion dengan kebingungan yang bertambah besar. Mengapa kemudian banyak yang beranggapan kalau Ladies Companion itu wanita malam? Karena pernah ada kasus, seorang LC