Pyaaarrr!
Prameswari terkejut dan terbangun, demi mendengar suara kaca pecah di lantai bawah. Tanpa berkata-kata, dia segera mengambil jilbab yang ia gantungkan di kepala tempat tidur. Satu jurus kemudian, Prameswari memakainya sambil setengah berlari ke luar kamar. Dalam hatinya bertanya-tanya, 'Jam berapa ini, kenapa Mbak Honey belum pulang juga? Itu, pintu kamarnya masih terbuka?'
Tap, tap, tap!
Dengan perasaan tak menentu, Prameswari berderap menuruni tangga. Siiirrr dug, dug, duuuggg! Begitulah yang ia rasakan sekarang, demi melihat kaca jendela depan yang sudah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Sejenak, meskipun dicengkeram ketakutan, Prameswari mengedarkan pandangan ke sekeliling terutama luar jendela. Sepi. Nggak ada siapa-siapa. Mobil Mbak Honey juga belum ada di teras. Berarti benar, dia belum pulang.
Oleh karenanya, benak Prameswari semakin kacau balau sekarang. Sekacau Aceh yang tergulung Tsunami. Hatinya meradang, 'Siapa yang sudah tega melakukan ini pada Mbak Honey yang berhati Malaikat?'
Tap, tap, tap!
Gadis ayu alami berkulit putih susu itu berjalan ke wastafel yang terletak di samping ruang tamu. Tepatnya, di seberang kaca jendela yang sudah hancur lebur dan berserakan di lantai itu tadi. Niat hati mau menggosok gigi dan membasuh wajah, biar lebih segar namun tiba-tiba terhenti. Sorot mata bundar besarnya menangkap sosok berpakaian serba hitam berdiri di samping jendela. Wajahnya ditutup dengan kain, sehingga hanya terlihat kedua matanya. Tentu, level ketakutan di hati Prameswari meningkat pesat.
Siiirrr dug, dug, duuuggg!
'Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim … Astaghfirullahaladhim?' dalam hati yang dijejali oleh berjuta perasaan yang tak terjemahkan, Prameswari terus memanggil Allah. Memohon penjagaan dan perlindungan. Pasrah, dia hanya bisa pasrah.
'Ya Malik, Ya Quddus, Ya Salam!' panggil hatinya lagi sambil merintikkan air mata.
Sekarang, Prameswari merendahkan tubuh tinggi semampainya dan merangak, menuju kolong meja makan bundar besar yang dirasa bisa dijadikan tempat berlindung. Lirih, nyaris tak terdengar bahkan oleh telinganya sendiri, "Ya Mukmin, Ya Muhaimin. A'udzubillahi minasysyaithanirrajim?"
Dug tap, tap, tap!
Betapa terkejutnya Prameswari, ketika baru saja duduk memeluk lutut, mendengar suara langkah kaki yang berjingkat-jingkat di sekitar meja makan. Kontan, detak jantungnya berdegup lebih kencang dari genderang mau perang. Menyakitkan, menyesakkan. Dia berpikir, mungkin inilah balasan yang harus ia dapatkan karena sudah melawan Abah. Karena sudah menyakiti hati Ummi … Membuat Abang marah, meninggalkan Mas Eiden … Semuanya. Terutama karena sudah dua kali menampakkan auratnya saat membantu Mbak Honey di kafe. Oh, ooohhh, perasaan Prameswari tak tergambarkan lagi sekarang.
Tap, tap, tap!
Sosok menakutkan itu berjalan mendekati meja makan, berhenti di dekatnya dan berdiri lama di sana. Entah, apa yang dilakukannya. Jangan tanyakan lagi, bagaimana takutnya Prameswai! Jantungnya kesemutan dan napasnya mulai memburu, tersengal-sengal yang justru mengundang perhatian si sosok serba hitam itu. Lihatlah, dia membungkuk dan melongok ke dalam kolong meja yang terlindungi oleh taplak meja.
Slap, kreeeseeek!
Sosok menakutkan itu menyingkap taplak plastik yang menjuntai panjang, menciptakan rasa hilang dan musnah dengan sempurna dalam diri Prameswari. Siiirrr dug, dug, duuuggg … Plaaasss! Prameswari sama sekali nggak menyangka kalau bersamaan dengan peristiwa paling menakutkan itu, terdengar deru mesin mobil Mbak Honey memasuki halaman rumah. Sontak, si sosok serba hitam itu berlari keluar tanpa melontarkan sepatah kata pun. Prameswari menghela napas panjang karena lega lalu karena merasa tak berdaya lagi, dia menangis tertahan. Dalam hati dia menjerit, 'Ummi, Abah … Wari minta maaf Mi, Bah!'
"Ya Allah!" Mbak Honey berseru tercekat begitu turun dari mobil dan mendapati kaca jendelanya yang seremuk rempeyek terlindas ban mobil, "Mytha? Ya Allah, Mytha!"
Panik dan takut, Mbak Honey berlari ke dalam rumah, memanggil-manggil Mtyha. Mencarinya ke kamar yang terletak di lantai dua lalu berderap turun lagi. Hatinya hancur, karena nggak berhasil menemukan Mytha. Sekarang, Mbak Honey menelepon Ibu, pemilik rumah kontrakan dan melaporkan apa yang terjadi. Dia merasa, ini sudah di luar kapasitasnya sebagai pengontrak. Sejujurnya, Mbak Honey dicekam ketakutan karena nggak juga menemukan Mytha padahal sudah mencarinya ke seluruh penjuru rumah. Kamar mandi, sampai gudang tapi hasilnya nol besar. Mbak Honey benar-benar dicekam ketakutan sekarang. Takut, kalau ternyata ada seseorang yang sudah menculiknya. Lebih takut lagi, ketika mengingat kejadian yang menimpa Myta tempo hari. Banyak kemungkinan yang menjejali benak Mbak Honey saat ini. Salah satunya, seseorang sudah menguntitnya semenjak kabur dari rumah dan sekarang, memanfaatkan situasi di saat Mytha berada di rumah sendiri.
"Myhtaaa!" panggil Mbak Honey penuh rasa khawatir, "Kamu di mana, Thaaa? Ini Mbak, Thaaa!"
Oooh, akhirnya air mata Mbak Honey tumpah juga. Sedih, takut dan perasaan bersalah campur aduk menjadi satu. Sebongkah besar penyesalan mengisi palung hati terdalamnya, 'Bodohnya aku, harusnya nggak ninggalin Mytha sendirian di rumah. Ya Alah, tolong lindungi Mytha. Kasihan dia, sudah menjadi korban keegoisan orang tuanya!'
***
Mbak Honey sedang menunggu Ibu di ruang makan, ketika tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang bergerak di kolong meja. Segera, tanpa berpikir panjang, dia menyingkap taplak plastik yang menjuntai panjang. Duaaarrr! Perasaan Mbak Honey seperti tersambar petir di tengah hari yang terik, begitu menyadari kalau sesuatu yang bergerak itu tadi Prameswari. Dia, adik angkat yang sangat disayanginya itu terjatuh lemas, tak sadarkan diri.
"Ya Allah, Mytha?" seru Mbak Honey panik, "Mytha? Ya Allah, Tha!"
Bersamaan dengan itu, datanglah Ibu yang langsung histeris demi melihat keadaan rumahnya. Wajah paruh bayanya langsung membiru lucat, berkeringat dan sekarang terduduk lemas di lantai. Untung, Mbak Honey sigap membantu, kalau nggak?
"Ibu, kita yang sabar ya, Bu?" kata Mbak Honey sebelum akhirnya menuangkan air putih di gelas gagang untuknya, "Ini, diminum dulu, Bu. Biar lebih tenang."
Ibu mengangguk, menerima segelas air putih dari Mbak Honey dan langsung meneguknya sedikit demi sedikit dengan tangan yang bergetar. Matanya nanar, melihat kaca jendela yang hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Baginya, nggak apa-apa kalau harus mengganti kaca yang baru, tapi ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi? Sejujurnya, Ibu khawatir dan takut. Dia juga memikirkan keselamatan Mbak Honey dan Prameswari. Karena mereka kan membayar mahal untuk bisa tinggal di rumah yang dikontrakannya ini. Artinya, keamanan dan kenyamanan mereka berdua sudah menjadi tanggung jawabnya.
"Bu, bisa minta tolong, Bu?" pinta Mbak Honey beberapa detik kemudian sambil mendorong meja makan ke depan, "Mytha pingsan di kolong meja, Bu!"
Tanpa berkata-kata, Ibu langsung berdiri dan berjalan mendekati Mbak Honey, menyingkap taplak meja. Tanpa bisa dicegah, Ibu menjerit histeris melihat wajah pucat Prameswari. Ibu benar-benar takut sekarang, takut kalau sampai terjadi apa-apa dengannya. Dalam hatinya yang nyaris rontok, Ibu berdoa, semoga Prameswari lekas sadarkan diri.
"Kita angkat ke sofa saja, Mbak Honey?" usul Ibu sambil memeriksa denyut nadi Prameswari, "Alhamdulillah, dia hanya pingsan, Mbak Honey. Pasti Mytha ketakutan banget, tadi?"
Mbak Honey mengangguk, menyeka air mata yang mengalir hangat di pipi dan menguatkan diri untuk bersama-sama Ibu mengangkat tubuh Prameswari, "Iya Bu, di sofa saja dulu …!"
Pemandangan menyedihkan itu berlangsung hingga beberapa menit ke depan. Hingga Prameswari sadar dan bisa mengingat dengan jelas, semua yang terjadi tadi. Baik Ibu dan Mbak Honey sama-sama terlihat lega sekarang dan bergantian memeluk Prameswari. Pelukan kasih sayang.
Siapakah sebenarnya sosok serba hitam itu tadi?
Benarkah dia ingin menculik Prameswari?
Dengan berat hati, Giga menjalankan apa yang diminta Peony tadi malam. Apakah itu? Mencari bayi yang bisa diadopsi di panti asuhan sebagai anak pancingan. Sebenarnya, bukan satu atau dua orang yang memberikan saran seperti itu pada mereka tapi entah mengapa, hati Giga kurang sreg. Rasa hatinya nggak enak. Masa, mengangkat anak hanya karena ingin mendapatkan momongan? Berarti, nggak tulus, dong?Selain pemikiran yang seperti itu, Giga juga ragu-ragu. Apakah Peony benar-benar mau dan mampu mengurus bayi? Sedangkan terhadap anak-anak kecil di sekitar rumah saja, dia kelihatan nggak suka. Jangankan beramah-tamah atau berlemah-lembut? Melihat anak-anak tetangga numpang bermain di halaman rumah saja sudah heboh. Ini lah, itu lah. Begini lah, begitu lah. Pokoknya, jauh Panggang dari api. Ah, pikiran Giga semakin semrawut sekaran
Mbak Honey sudah berangkat ke kafe sejak setengah jam yang lalu dan sekarang Prameswari sedang membaca memo yang tadi diberikannya. Entah mengapa, mata Prameswari berkaca-kaca, mengembun dan nyaris tumpah ketika membaca baris demi baris catatan Mbak Honey. Apakah karena catatan itu mampu mengingatkannya pada Ummi, Abah dan juga Abang di rumah? Ataukah Mas Eiden yang selama ini mengisikan manisnya rasa cinta ke dalam ceruk hati terdalamnya? Ah, atau Meyka dengan segala kebohongannya? Mungkin, mungkin semuanya karena raut wajah Prameswari terlihat begitu sendu, perlahan-lahan menjadi gelap. Selayaknya langit biru yang tersaput hitamnya mendung.Dear Mytha,Mbak minta tolong, ya?
Sunyi. Sepi. Seolah-olah nggak berpenghuni.Itulah yang dirasakan Prameswari ketika kedua kakinya yang gemetar melangkah ke luar gudang menuju dapur. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati, dia terus melangkah ke sana. Hanya ada satu hal yang mengisi benaknya saat ini, dia harus segera pergi dari rumah kontrakan Mbak Honey. Sesegera mungkin karena inilah kesempatan emas itu. Kesempatan yang sudah dinantikannya sejak tadi pagi, berjam-jam. Perjuangan yang nggak mudah dan terasa begitu panjang, dalam deraan kegelisahan, ketakutan dan kebingungan. Menahan haus dan lapar yang nggak sedikit, hingga perutnya melilit sakit.Dia yakin sekarang, Mbak Honey sudah pergi karena tadi sekitar dua menit yang lalu, terdengar suara mobilnya b
Di dalam mobil, sepulangnya dari panti asuhan Mutiara Jiwa di Jalan Godean, Giga tercenung untuk beberapa saat lamanya. Benar, apa yang dikatakan pemilik panti itu memang benar adanya. Kalau dia dan Peony bersungguh-sungguh mau mengadopsi anak, harus dengan niat dan perjuangan yang ikhlas Lillahita'ala. Bukan karena ingin mendapatkan momongan yang terlahir dari benih cinta mereka semata-mata. Kalaupun akhirnya Allah memberikan kepercayaan untuk mereka memiliki anak, itu bonus. Sudah sedari dulu Giga memahami akan hal itu.Lalu, masalah apa yang telah membuatnya tercenung? Karena Peony memiliki pemahaman yang bertolak belakang darinya. Menurut Peony, yang namanya anak pancingan, ya berarti harus difungsikan sebagaia pancing. Dipelihara dengan baik tapi tetap dijadikan pancing. Jadi, ya, hanya sebatas itu. Nggak lebih
Dengan kebahagiaan yang bermekaran di taman hati, Mbak Honey memarkir mobil di depan rumah bercat merah bata yang terletak di antara mini market Murah Jaya dan rumah makan padang Masakan Bundo. Rumah tiga lantai yang terlihat bersih, terawat dan mewah, istana Mbak Honey hasil dari jerih payahnya mengelola keuntungan dari Honey Karaoke and Cafe. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Itulah peribahasa yang menjadi pelajaran berharga sekaligus prinsip hidupnya selama ini. Benar baginya, usaha dan kerja keras takkan pernah mengkhianati hasil. Meskipun hasil akhirnya tetap Allah yang punya kuasa, tapi usaha dan perjuangan itu sesuatu yang mutlak, bukan? Sebisa mungkin, semampunya.Sejenak, wanita cantik dengan rambut ikal sebahu itu memandangi Prameswari yang tertidur lelap di sebelahnya sambil memeluk Tata, bone
Semenjak berteman dengan Mas Eiden di facebook, Prameswari terlihat lebih bersemangat menjalani hari demi hari. Sebenarnya banyak chat yang masuk di messenger dari orang-orang terdekat dalam hidupnya, tapi diabaikannya. Tak sedikit pun terbersit dalam hati Prameswari, niat untuk membalas chat mereka, entah mengapa. Padahal jauh di lubuk hatinya, tercipta sebentuk rasa bahagia, haru sekaligus rindu, karena merasa telah mendapatkan perhatian yang begitu besar dari keluarganya di Al-Hidayah. Tetapi, di sisi yang lain, Prameswari nggak ingin balasannya nanti justru menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Karena bisa jadi, Abah dan Ummi masih terus menyebar orang-orang kepercayaan untuk mencari dan menemukannya. Membawa pulang dan tetap memaksanya menikah dengan Ustadz Rayyan. Tentu saja Prameswari nggak menginginkan hal paling pahit dan menyakitkan itu terjadi dalam hidupnya.
Di meeting room yang masih sepi, Giga terlihat semrawut. Kesemrawutan yang bisa dikatakan langka dalam hidupnya, jika sedang berada di lingkungan kantor atau di depan umum. Giga bukan model orang yang suka menunjukkan suasana hati atau permasalahan pribadi. Giga Daneswara, pribadi yang meng-copy paste filosofi sebatang lilin. Rela meleleh, mencair dan habis untuk menerangi sekitar.Apa yang membuat Giga semrawut di pagi yang cerah dengan cahaya matahari menyiram penuh? Peony. Ya, Peony-lah yang telah mengacak-acak seluruh suasana hati yang telah mati-matian di susun dalam waktu separuh malam terakhir tadi. Pagi-pagi sekali, Peony sudah menyerangnya dengan mempertanyakan masalah sikapnya yang mendadak dingin dan beku. Sebenarnya Giga sudah memberikan alasan dengan keterangan lengkap, selengkap buku skripsi tapi Peony
Gemetar, Prameswari menerima KTP barunya yang disodorkan Mbak Honey dengan senyumnya yang khas, ramah dan hangat. Dalam hatinya bermunculan perasaan terkejut, takjub sekaligus takut yang sama besarnya. Bergumul menjadi satu, menciptakan sebentuk pemberontakan tak kasat mata yang begitu dahsyat. Dengan rembesan air hangat dari pelupuk matanya yang pedih, dia memandangi kartu mungil yang selanjutnya akan menjadi kartu identitasnya, seumur hidup. Dalam hati yang nyaris habis tergerus oleh konfliknya dengan Abah, dia membaca deret demi deret tulisan yang tertera di sana.Nama: Paramitha AngelinaTempat Tanggal Lahir: Yogyakarta, 31 Desember 2003Jenis Kelam