Prameswari sudah mengganti bath jas dengan baju tidur merah jambu bercorak bunga sepatu merah dan sekarang sedang duduk termenung di tepi tempat tidur. Rambutnya yang tergerai panjang sepinggang, terlihat berkilauan karena tertimpa cahaya lampu. Perlahan-lahan dia beringsut turun, menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu kamar yang cahayanya terang benderang. Sejenak, dia menyingkap gorden jendela dan memandang ke luar. Oooh, hatinya kembali bergemuruh demi mengingat Meyka yang telah sampai hati membohonginya. Apa, apa maksud persahabatan baik mereka selama hampir tiga tahun ini? Oooh, Prameswari nggak kuasa lagi menahan desakan air matanya.
Jebol, banjir bandang!
Sebenarnya, Meyka juga sudah berjanji padanya untuk mencarikan pekerjaan di pabrik roti tempatnya bekerja. Katanya ada banyak lowongan di bagian administrasi. Kalau seperti ini kejadiannya, bagaimana? Beruntung ada Mbak Honey yang sudah berbaik hati menolongnya. Bukan hanya memberikan tumpangan rumah, tapi juga pekerjaan di kafenya. Awalnya, Mbak Honey meminta bantuannya untuk menggantikan Tiara yang sedang libur. Eh, ternyata Mbak Honey suka dengan prestasi kerjanya. Akhirnya, dia dipekerjakan di sana.
Gemetar, Prameswari naik ke tempat tidur, sambil menggenggam ponsel kesayangan. Ponsel yang dibeli dari hasil tabungannya selama sekolah di SMP. Bukannya menyusut, air matanya justru semakin deras mengalir, menghujan deras. Benaknya kembali penuh dengan bayangan Ummi, Abah dan Ustadz Rayyan. Bayangan Abang pun menyelinap masuk dengan wajah galaknya yang penuh dengan kemarahan.
Prameswari meringkuk, memeluk guling yang empuk dan harum. Dalam hati dia meminta ampunan kepada Allah, karena telah melawan Ummi dan Abah. Karena telah mengabaikan kata-kata Abang. Bukan hanya itu, dia mungkin juga telah menyakiti hati Ustadz Rayyan. Ah, Mas Eiden juga, mungkin. Dalam detik-detik yang berdetak begitu lambat, seolah-olah slow motion mode on dalam sebuah adegan film, Prameswari mengucapkan istighfar sebanyak-banyaknya.
"Astaghfirullahaladhim, Astaghfirullahaladhim …?"
Srooot, srooottt!
Sekarang, Prameswari membersit hidung dengan tissue yang sudah disiapkannya di samping bantal. Hatinya diamuk oleh penyesalan yang bergulung-gulung bersama kesedihan dan kemarahan. Dia menyesal, karena sudah nekat, kabur dari rumah. Sedihnya, karena terpaksa melepas jilbabnya setiap kali bekerja di kafe. Oh, ooohhh, penyebab kemarahan yang hingga kini membara di hatinya tak lain dan tak bukan karena kebohongan Meyka.
"Sebenarnya kamu tuh siapa sih, Meyka?" bisiknya bertanya pada foto Meyka yang tersenyum manis di Gallery, "Okelah kamu bukan Meyka, tapi kenapa tega banget bohong sama aku? Apa salahku, Meyka, apa salahku?"
Isak tangis Prameswari semakin menjadi, "Kenapa akun facebook kamu berubah jadi Malkan Prasetya? Siapa lagi itu? Sorry, aku lihat di messenger tadi. Nama akunmu sudah berubah. Jahat, kamu jahat, Meyka!"
Srooot, srooottt!
Lagi, Prameswari membersit hidungnya yang berlendir panas, "Sebenarnya, Mbak Honey mau ngelaporin kamu ke polisi, Meyka tapi aku nggak mau. Gimanapun aku inget gimana baiknya kamu sama aku sebelum ini, Meyka. Tapi sayang, kamu ternyata jahat! Aku sampai kabur dari rumah, lho …!"
Terakhir, sebelum menghapus semua foto Meyka dari Gallery, Prameswari berbisik lirih, "Meyka, sebenarnya foto siapa yang sudah kamu curi? Kamu edit kan, Meyka? Mbak Honey yang ngasih tahu aku. Siapapun kamu, aku hanya bisa doain, semoga kamu bahagia!"
Jlep, plaaasss!
"Astaghfirullahaladhim," suara Prameswari terdengar rapuh dan bergetar, "Ya Allah, tolong jaga dan lindungi Wari dari segala bentuk keburukan dan kejahatan. Ampuni Wari, Ya Allah?"
Usai berdoa seperti itu, Prameswari menyurukkan ponselnya yang sudah kosong dari foto Meyka di bawah bantal. Perasaannya sudah jauh lebih tenang sekarang, meskipun wajahnya terasa panas dan matanya juga pedih. Dalam hati dia meminta maaf pada Ummi, Abah dan Abang karena telah mengganti namanya menjadi Mytha. Bukan apa-apa, pikirnya. Itu hanya sebagai nama samaran. Meskipun Prameswari juga nggak tahu, mengapa dia harus menyamar, tapi menurut saja ketika Mbak Honey memberinya nama itu. Ah, sederhana saja pemikirannya. Bagaimanapun, Mbak Honey lah yang telah menolong dan menyelamatkannya.
***
Sumringah, Mbak Honey menemui Prameswari di dapur. Di tangannya ada sekotak pakaian dalam untuk Prameswari yang baru saja dia beli di mall. Selain pakaian dalam, Mbak Honey juga membelikan bedak, lipstick dan body lotion. Melihat kedatangan Mbak Honey, Prameswari segera mematikan keran air dan Menyapa dengan sopan.
"Mbak, sudah pulang?"
Senyum tulus menyaput wajah Prameswari yang cantik alami, "Mau Wari ehhh saya buatkan minum, Mbak?"
Prameswari memang belum terbiasa dengan nama samarannya. Begitulah kadang-kadang, masih keliru menyebut Wari untuk dirinya sendiri. Itulah mengapa, Mbak Honey mengajarinya untuk menyebut saya, bukan Wari atau Mytha.
"Nggak, makasih!" sahut Mbak Honey sambil tersenyum manis, "Mytha, ini Mbak belikan pakaian dalam untuk kamu. Ukurannya sudah sama persis dengan yang kamu catat tadi." terang Mbak Honey sabar dan tulus, "Oh ya, ini Mbak juga beliin bedak sama lipstick. Dipakai ya, kalau mau berangkat kerja?"
Mendengar semua yang dikatakan Mbak Honey itu, Prameswari tersenyum dan mengangguk, "Makasih, Mbak Honey!"
Mbak Honey mengangsurkan kotak bercorak bunga vinca ungu itu pada Prameswari, "Iya, sama-sama. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja sama Mbak ya, Tha?"
Prameswari mengangguk, sedikit rikuh. Bagaimana nggak? Sejak tiga hari yang lalu, Mbak Honey lah yang menanggung semua kebutuhan hidupnya. Padahal, kalau dipikir-pikir, mereka kan baru bertemu dan belum saling mengenal sebelumnya? Kadang, hal itulah yang membuat Prameswari terhimpit di antara percaya dan nggak percaya. Sering dia membatin, 'Ada ya, orang sebaik Mbak Honey? Sudah cantik, baik ehhh tajir melintir, pula!'
Karena semua kebaikan Mbak Honey itulah, sampai-sampai Prameswari berbisik dalam hatinya, 'Wari nggak akan pernah melupakan semua kebaikan Mbak Honey, Mbak … Sampai kapan pun!'
"Oke, kalau gitu Mbak berangkat ke kafe dulu ya, Tha?" kata Mbak Honey masih dengan sumringah yang sama, "Inget ya Tha, jangan ke luar rumah ya? Di dalem aja. Kalau ada tamu, udah biarin aja. Nggak usah dubukain pintu. Kalau memang ada perlu sama Mbak, biar mereka telepon Mbak. Kamu juga jangan capek-capek di rumah. Istirahat aja, ya?"
Biyuuuh, air mata haru meleleh hangat di pipi Prameswari yang chubby namun sedikit pucat, "Makasih ya, Mbak? Mbak Honey baik banget sama Wa---"
"Mytha, bukan Wari. Hehe …!" Mbak Honey menyela sambil mencuil pucuk hidung Prameswari yang bangir, "Paramitha. Dipanggilnya Mytha. Hehe."
Ya, yaaahhh, Mytha!
"Iya, Mbak." malu-malu, Prameswari menyahut penjelasan Mbak Honey.
Sebenarnya dia ingin bertanya, mengapa harus menggunakan nama samaran di sini tapi nggak jadi. Dia berpikir, mungkin lebih baik dijalani dulu saja. Toh, Mbak Honey baik sekali, orangnya. Nggak mungkin kan, dia mau menjerumuskan atau menyesatkannya? Buktinya? Mbak Honey juga memberinya kebebasan untuk beribadah. Kecuali sedang bekerja di kafe, Mbak Honey nggak melarang Prameswari untuk memakai jilbab, kok. Itu pun nggak setiap hari. Hanya Selasa dan Sabtu, kalau kafe sedang ramai pengunjung. Kalau nggak, yaaa, tinggal di rumah.
Terpaksa, dengan berat hati, Prameswari melepaskan jilbabnya setiap kali bekerja di kafe. Bagaimana lagi? Hanya itu satu-satunya jalan untuk bertahan hidup di kota yang sama sekali nggak dikenalnya. Kota besar yang asing bernama Yogyakarta. Yogyakarta Hadiningrat, yang dijanjikan Meyka sebagai kota untuk mewujudkan segala harapan, cita-cita dan impian. Meyka juga berjanji, dia akan membuat Mas Eiden mau menyusulnya ke Yogyakarta untuk mewujudkan pernikahan mereka.
Ah, Meyka!
Siapakah dia sebenarnya, mengapa tega membohongi Prameswari?
Pyaaarrr!Prameswari terkejut dan terbangun, demi mendengar suara kaca pecah di lantai bawah. Tanpa berkata-kata, dia segera mengambil jilbab yang ia gantungkan di kepala tempat tidur. Satu jurus kemudian, Prameswari memakainya sambil setengah berlari ke luar kamar. Dalam hatinya bertanya-tanya, 'Jam berapa ini, kenapa Mbak Honey belum pulang juga? Itu, pintu kamarnya masih terbuka?'Tap, tap, tap!Dengan perasaan tak menentu, Prameswari berderap menuruni tangga. Siiirrr dug, dug, duuuggg! Begitulah yang ia rasakan sekarang, demi melihat kaca jendela depan yang sudah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Sejenak,
Dengan berat hati, Giga menjalankan apa yang diminta Peony tadi malam. Apakah itu? Mencari bayi yang bisa diadopsi di panti asuhan sebagai anak pancingan. Sebenarnya, bukan satu atau dua orang yang memberikan saran seperti itu pada mereka tapi entah mengapa, hati Giga kurang sreg. Rasa hatinya nggak enak. Masa, mengangkat anak hanya karena ingin mendapatkan momongan? Berarti, nggak tulus, dong?Selain pemikiran yang seperti itu, Giga juga ragu-ragu. Apakah Peony benar-benar mau dan mampu mengurus bayi? Sedangkan terhadap anak-anak kecil di sekitar rumah saja, dia kelihatan nggak suka. Jangankan beramah-tamah atau berlemah-lembut? Melihat anak-anak tetangga numpang bermain di halaman rumah saja sudah heboh. Ini lah, itu lah. Begini lah, begitu lah. Pokoknya, jauh Panggang dari api. Ah, pikiran Giga semakin semrawut sekaran
Mbak Honey sudah berangkat ke kafe sejak setengah jam yang lalu dan sekarang Prameswari sedang membaca memo yang tadi diberikannya. Entah mengapa, mata Prameswari berkaca-kaca, mengembun dan nyaris tumpah ketika membaca baris demi baris catatan Mbak Honey. Apakah karena catatan itu mampu mengingatkannya pada Ummi, Abah dan juga Abang di rumah? Ataukah Mas Eiden yang selama ini mengisikan manisnya rasa cinta ke dalam ceruk hati terdalamnya? Ah, atau Meyka dengan segala kebohongannya? Mungkin, mungkin semuanya karena raut wajah Prameswari terlihat begitu sendu, perlahan-lahan menjadi gelap. Selayaknya langit biru yang tersaput hitamnya mendung.Dear Mytha,Mbak minta tolong, ya?
Sunyi. Sepi. Seolah-olah nggak berpenghuni.Itulah yang dirasakan Prameswari ketika kedua kakinya yang gemetar melangkah ke luar gudang menuju dapur. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati, dia terus melangkah ke sana. Hanya ada satu hal yang mengisi benaknya saat ini, dia harus segera pergi dari rumah kontrakan Mbak Honey. Sesegera mungkin karena inilah kesempatan emas itu. Kesempatan yang sudah dinantikannya sejak tadi pagi, berjam-jam. Perjuangan yang nggak mudah dan terasa begitu panjang, dalam deraan kegelisahan, ketakutan dan kebingungan. Menahan haus dan lapar yang nggak sedikit, hingga perutnya melilit sakit.Dia yakin sekarang, Mbak Honey sudah pergi karena tadi sekitar dua menit yang lalu, terdengar suara mobilnya b
Di dalam mobil, sepulangnya dari panti asuhan Mutiara Jiwa di Jalan Godean, Giga tercenung untuk beberapa saat lamanya. Benar, apa yang dikatakan pemilik panti itu memang benar adanya. Kalau dia dan Peony bersungguh-sungguh mau mengadopsi anak, harus dengan niat dan perjuangan yang ikhlas Lillahita'ala. Bukan karena ingin mendapatkan momongan yang terlahir dari benih cinta mereka semata-mata. Kalaupun akhirnya Allah memberikan kepercayaan untuk mereka memiliki anak, itu bonus. Sudah sedari dulu Giga memahami akan hal itu.Lalu, masalah apa yang telah membuatnya tercenung? Karena Peony memiliki pemahaman yang bertolak belakang darinya. Menurut Peony, yang namanya anak pancingan, ya berarti harus difungsikan sebagaia pancing. Dipelihara dengan baik tapi tetap dijadikan pancing. Jadi, ya, hanya sebatas itu. Nggak lebih
Dengan kebahagiaan yang bermekaran di taman hati, Mbak Honey memarkir mobil di depan rumah bercat merah bata yang terletak di antara mini market Murah Jaya dan rumah makan padang Masakan Bundo. Rumah tiga lantai yang terlihat bersih, terawat dan mewah, istana Mbak Honey hasil dari jerih payahnya mengelola keuntungan dari Honey Karaoke and Cafe. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Itulah peribahasa yang menjadi pelajaran berharga sekaligus prinsip hidupnya selama ini. Benar baginya, usaha dan kerja keras takkan pernah mengkhianati hasil. Meskipun hasil akhirnya tetap Allah yang punya kuasa, tapi usaha dan perjuangan itu sesuatu yang mutlak, bukan? Sebisa mungkin, semampunya.Sejenak, wanita cantik dengan rambut ikal sebahu itu memandangi Prameswari yang tertidur lelap di sebelahnya sambil memeluk Tata, bone
Semenjak berteman dengan Mas Eiden di facebook, Prameswari terlihat lebih bersemangat menjalani hari demi hari. Sebenarnya banyak chat yang masuk di messenger dari orang-orang terdekat dalam hidupnya, tapi diabaikannya. Tak sedikit pun terbersit dalam hati Prameswari, niat untuk membalas chat mereka, entah mengapa. Padahal jauh di lubuk hatinya, tercipta sebentuk rasa bahagia, haru sekaligus rindu, karena merasa telah mendapatkan perhatian yang begitu besar dari keluarganya di Al-Hidayah. Tetapi, di sisi yang lain, Prameswari nggak ingin balasannya nanti justru menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Karena bisa jadi, Abah dan Ummi masih terus menyebar orang-orang kepercayaan untuk mencari dan menemukannya. Membawa pulang dan tetap memaksanya menikah dengan Ustadz Rayyan. Tentu saja Prameswari nggak menginginkan hal paling pahit dan menyakitkan itu terjadi dalam hidupnya.
Di meeting room yang masih sepi, Giga terlihat semrawut. Kesemrawutan yang bisa dikatakan langka dalam hidupnya, jika sedang berada di lingkungan kantor atau di depan umum. Giga bukan model orang yang suka menunjukkan suasana hati atau permasalahan pribadi. Giga Daneswara, pribadi yang meng-copy paste filosofi sebatang lilin. Rela meleleh, mencair dan habis untuk menerangi sekitar.Apa yang membuat Giga semrawut di pagi yang cerah dengan cahaya matahari menyiram penuh? Peony. Ya, Peony-lah yang telah mengacak-acak seluruh suasana hati yang telah mati-matian di susun dalam waktu separuh malam terakhir tadi. Pagi-pagi sekali, Peony sudah menyerangnya dengan mempertanyakan masalah sikapnya yang mendadak dingin dan beku. Sebenarnya Giga sudah memberikan alasan dengan keterangan lengkap, selengkap buku skripsi tapi Peony