Dengan segenap kemurkaan yang berkobar-kobar di seluruh rongga dadanya, Giga membanting pintu mobilnya. Dalam sekejap mata, mobil bercat putih bunga melati itu sudah melaju dengan kencang di jalanan yang sudah mulai sepi. Baginya, apa yang baru saja dikatakan Peony tadi benar-benar menyulut bara amarah yang selama ini dipendam di dalam hatinya. Bagaimana tidak? Peony juga selalu ikut dalam setiap check up yang mereka lakukan dan dia juga tahu, bagaimana hasil akhirnya. Sehat, mereka dalam keadaan sehat dan subur. Apa masalahnya, mengapa Peony justru menuduhkan kata terlarang itu padanya?
Mandul!
Kata itulah yang tadi, beberapa menit yang lalu dituduhkan Peony pada Giga, tanpa perasaan. Sebenarnya, itu bukan yang pertama kalinya terjadi---Peony yakin kalau Giga lah yang mandul, bukan dirinya---tapi kesabaran di hati Giga sudah semakin menipis. Nyaris habis. Bayangkan! Setiap bulan, setiap test pack-nya menunjukkan satu garis, Peony mengamuk besar-besaran. Terlebih, ketika the moonlight datang tepat pada waktunya atau malah mencuri start. Wuaaahhhh, bisa-bisa Giga remuk dalam cengekeramannya.
Padahal, siapa sih, yang nggak ingin punya keturunan?
Orang utan pun pasti menginginkannnya!
Selalu itu yang mengisi benak Giga, setiap terjadi perang besar dengan Peony. Tak terkecuali malam ini. Rasanya, seluruh bara kemarahannya menyala, berkobar-kobar. Teringat kembali bagaimana dulu mereka berjumpa di sebuah kafe di Jalan Parangtritis. Peony bekerja sebagai waitress di sana, sedangkan Giga … Biasa lah, sedang ada meeting bersama teman-teman sekantornya. Entah bagaimana, komunikasi singkat antara waitress dengan pengunjung kafe itu pun berlanjut hingga ke tahap yang serius. Tahapan yang terus mendorong mereka untuk melangkah lebih jauh lagi, menuju jenjang pernikahan.
Awalnya Giga sempat ragu, karena pekerjaan Peony yang pasti dipandang sebelah mata oleh Mama. Mama sudah menetapkan kriteria khusus untuk calon menantunya. Salah satunya, mau menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga. Sehebat apapun karir seseorang, kalau dia nggak mau menjadi ibu rumah tangga, Mama pasti menolak. Ya, Giga maklum, karena Mama pun demikian adanya semenjak menikah dengan Papa.
Jadi, sebelum benar-benar mencapai jenjang yang paling tinggi dan serius, Giga membicarakan semuanya dengan Peony. Bersediakah dia melepaskan pekerjaannya? Terlebih, waktu itu Peony juga sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Rela kah dia, mengantongi gelar sarjana tanpa pekerjaan yang mungkin telah diidam-idamkannya selama ini?
Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Ternyata, Peony bersedia dan rela memenuhi semua persyaratan yang diajukan oleh Giga, asalkan Giga serius untuk menikahinya. Kesepakatan pun mereka buat dalam waktu dekat dengan disaksikan oleh Mbak Honey. Mbak Honey itu sahabat dekat sekaligus pemilik Honey Karaoke and Cafe, tempat Peony bekerja. Sekitar dua tahun setelahnya, mereka menikah. Siapa sangka, takdir berkata lain? Sudah hampir sebelas tahun berjalan tapi Peony belum menunjukkan tanda-tanda akan mengandung. Bahkan, test pack-nya masih menunjukkan satu garis.
Hampa!
Giga beringsut turun dari mobil dan berjalan gontai menuju Honey Karaoke and Cafe yang masih buka. Dalam hati membatin, 'Tumben masih buka? Padahal kan sudah hampir jam satu?'
Bersamaan dengan gerakan menghempaskan tubuhnya ke kursi, Giga melambaikan tangan ke waitress yang terlihat sibuk dengan pecahan botol di sudut ruangan, "Mbak …!"
Serta merta, si Mbak langsung mendekat kepadanya. Dengan perasaan takut yang terpancar dari sorot mata sayunya, dia menjelaskan kalau sebenarnya kafe sudah tutup. Karena ada pengunjung yang nggak sengaja memecahkan beberapa botol dan gelas, dia masih di sini untuk membereskan semuanya.
"Oh, baik!" kata Giga sedikit kecewa, "Kalau saya numpang duduk di sini, boleh kan, Mbak?"
Si Mbak yang kalau dilihat dari badge bernama Mytha itu mengangguk dan tersenyum santun, manis sekali, "Silakan, Pak! Mau saya ambilkan air putih?"
Mendengar suara si Mbak yang lembut dan merdu, Giga terkesiap. Seketika darah dalam jantungnya berdesir hangat dan tanpa dikomando dua kali, matanya sudah langsung merayapi tubuh si Mbak---Mytha---dari ujung rambut sampai ujung kaki. 'Putih, cantik, masih muda … Pasti masih segar dan wangi!'
"Maaf Pak, Bapak mau minum air putih atau apa?"
Pertanyaan Mytha mengejutkan sekaligus menapakkannya pada kenyataan. Sedikit gugup dia menjawab, "Kamu masih lama di sini?"
Mytha menggigit bibir bawahnya, membuatnya terlihat lebih cantik dan seksi. Sedetik kemudian, dia menyibakkan poninya yang tebal, lembut dan hitam ke belakang. Kekaguman di hati Giga bertambah besar, bergulung-gulung. 'Cantik sekali, anak ini! Hebat, Mbak Honey, bisa mendapatkan karyawan secantik dia.'
"Tergantung Bunda Ho---"
"Hei, Giga!" sapa Mbak Honey memotong jawaban Mytha, "Apa kabar kamu, lama nggak mampir ke sini?"
Mbak Honey melemparkan isyarat untuk Mytha melanjutkan pekerjaannya dengan melebarkan senyuman. Untung Mytha cepat tanggap, jadi dia langsung bergegas ke tempatnya membersihkan pecahan botol dan gelas di sudut ruangan.
"Karyawan baru," kata Mbak Honey pada Giga sambil duduk di kursi depannya, "Gimana Peony, masih suka ngambek?"
Giga hanya menggedikkan bahu, wajahnya terlihat semakin ruwet dan abstrak. Hehe. Dalam hatinya masih sangat marah dengan Kejadian tadi, di rumah. Menurutnya, Peony jahat karena sudah menuduhnya sebagaia laki-laki mandul. Padahal, seenggak sabar-nggak sabarnya dia, nggak pernah menuduhkan hal yang sama pada Peony.
Apa coba, maunya?
***
Peony sudah tidur di sofa ruang tamu sewaktu Giga pulang. Berjingkat-jingkat dia masuk dan mengunci pintu sampai pol. Masih dengan gaya berjingkat, dia berjalan ke kamar. Hati-hati, meletakkan tas kerja di meja dan melepaskan semua pakaiannya. Ringan, dia berjalan ke kamar mandi.
Sejenak, Giga memandangi wajahnya yang terlihat semakin tua di kaca cermin yang tergantung di atas wastafel. Ganteng. Hanya perlu dirapikan kumis dan jenggotnya saja agar terlihat lebih segar. Sekarang Giga tersenyum sambil terus memandangi bayangan dirinya di dalam kaca cermin. Dalam hati dia berseru, 'Keep spirit Giga, never give up!'
Bruuusss!
Dengan cepat dia membasuh seluruh wajahnya yang terasa berminyak dan lengket. Menggosok gigi dan kembali memandangi bayangan dirinya di kaca cermin. 'Ah! Masa, aku yang mandul, sih? Masa, hasil pemeriksaannya salah? Kalau begitu, nggak profesional dong, rumah sakitnya? Hemmm, Peony!'
Bruuusss!
Lagi, Giga membasuh wajahnya. Kali ini lebih merata dan lama, sampai kulit wajahnya terasa pedih karena digosok-gosok dengan telapak tangan. Gosokan yang lebih keras dari biasanya. Giga merasa, hanya dengan jalan itulah dia bisa melampiaskan seluruh kemarahannya. Apa lagi, coba? Mustahil, mengamuk. Bisa-bisa Peony malah semakin menggila. Biar pun terlihat kalem, manja dan manis begitu, sebenarnya dia nggak berbeda jauh dengan balon. Pantang tertusuk sedikit, sudah langsung meletus.
Bruuusss!
"Ah, mending mandi, sekalian!" gumamnya pada diri sendiri, "Tanggung, sudah terlanjur dingin, juga?"
Akhirnya, Giga menyeret tubuhnya ke bawah shower dan mulai mengatur kehangatan air. Seeerrr, bruuusss! Dengan penuh kenikmatan, Giga menikmati shower time-nya. 'Mumpung Peony sudah tidur!' batinnya penuh dengan semangat, 'Kalau belum, bisa sesak napas aku menampung semua pertanyaannya!'
Sebenarnya, apa yang membuat Giga bertahan hidup bersama Peony?
Apakah karena ingin membuktikan kalau dia nggak mandul?
Ataukah karena Mama yang melarangnya menceraikan Peony?
Mungkinkah karena rasa cintanya sudah habis untuk Peony dan nggak mungkin ada wanita yang lain lagi?
Kadang-kadang, Giga nggak mampu memberikan jawaban untuk semua pertanyaannya sendiri. Peony. Walaupun nyaris depresi karena menunggu kehadiran si Buah Hati, tapi dia wanita yang baik. Setia, sabar dan penurut. Semenjak menikah dengannya, belum pernah sekalipun mengecewakan hatinya. Ya, yaaahhh, kecuali soal tuduhan mandul itu tadi. Eh, bukannya sedikit lho, yang menyarankan dia untuk menikah lagi. Tapi.Giga bergeming karena baginya itu bukan solusi. Iya kalau langsung punya anak, kalau nggak? Apa nggak sama dengan menyingkap aibnya sendiri.
Selalu itu yang menjadi beban berat pikirannya. Baginya, lebih baik fokus bekerja dan berusaha. Karena yakin, kerja keras nggak akan pernah mengkhianati hasil. 'Bukan begitu? Semoga. Aamiin.'
Prameswari sudah mengganti bath jas dengan baju tidur merah jambu bercorak bunga sepatu merah dan sekarang sedang duduk termenung di tepi tempat tidur. Rambutnya yang tergerai panjang sepinggang, terlihat berkilauan karena tertimpa cahaya lampu. Perlahan-lahan dia beringsut turun, menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu kamar yang cahayanya terang benderang. Sejenak, dia menyingkap gorden jendela dan memandang ke luar. Oooh, hatinya kembali bergemuruh demi mengingat Meyka yang telah sampai hati membohonginya. Apa, apa maksud persahabatan baik mereka selama hampir tiga tahun ini? Oooh, Prameswari nggak kuasa lagi menahan desakan air matanya.Jebol, banjir bandang!Sebenarnya, Meyka juga sudah berjanji padanya untuk mencarika
Pyaaarrr!Prameswari terkejut dan terbangun, demi mendengar suara kaca pecah di lantai bawah. Tanpa berkata-kata, dia segera mengambil jilbab yang ia gantungkan di kepala tempat tidur. Satu jurus kemudian, Prameswari memakainya sambil setengah berlari ke luar kamar. Dalam hatinya bertanya-tanya, 'Jam berapa ini, kenapa Mbak Honey belum pulang juga? Itu, pintu kamarnya masih terbuka?'Tap, tap, tap!Dengan perasaan tak menentu, Prameswari berderap menuruni tangga. Siiirrr dug, dug, duuuggg! Begitulah yang ia rasakan sekarang, demi melihat kaca jendela depan yang sudah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Sejenak,
Dengan berat hati, Giga menjalankan apa yang diminta Peony tadi malam. Apakah itu? Mencari bayi yang bisa diadopsi di panti asuhan sebagai anak pancingan. Sebenarnya, bukan satu atau dua orang yang memberikan saran seperti itu pada mereka tapi entah mengapa, hati Giga kurang sreg. Rasa hatinya nggak enak. Masa, mengangkat anak hanya karena ingin mendapatkan momongan? Berarti, nggak tulus, dong?Selain pemikiran yang seperti itu, Giga juga ragu-ragu. Apakah Peony benar-benar mau dan mampu mengurus bayi? Sedangkan terhadap anak-anak kecil di sekitar rumah saja, dia kelihatan nggak suka. Jangankan beramah-tamah atau berlemah-lembut? Melihat anak-anak tetangga numpang bermain di halaman rumah saja sudah heboh. Ini lah, itu lah. Begini lah, begitu lah. Pokoknya, jauh Panggang dari api. Ah, pikiran Giga semakin semrawut sekaran
Mbak Honey sudah berangkat ke kafe sejak setengah jam yang lalu dan sekarang Prameswari sedang membaca memo yang tadi diberikannya. Entah mengapa, mata Prameswari berkaca-kaca, mengembun dan nyaris tumpah ketika membaca baris demi baris catatan Mbak Honey. Apakah karena catatan itu mampu mengingatkannya pada Ummi, Abah dan juga Abang di rumah? Ataukah Mas Eiden yang selama ini mengisikan manisnya rasa cinta ke dalam ceruk hati terdalamnya? Ah, atau Meyka dengan segala kebohongannya? Mungkin, mungkin semuanya karena raut wajah Prameswari terlihat begitu sendu, perlahan-lahan menjadi gelap. Selayaknya langit biru yang tersaput hitamnya mendung.Dear Mytha,Mbak minta tolong, ya?
Sunyi. Sepi. Seolah-olah nggak berpenghuni.Itulah yang dirasakan Prameswari ketika kedua kakinya yang gemetar melangkah ke luar gudang menuju dapur. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati, dia terus melangkah ke sana. Hanya ada satu hal yang mengisi benaknya saat ini, dia harus segera pergi dari rumah kontrakan Mbak Honey. Sesegera mungkin karena inilah kesempatan emas itu. Kesempatan yang sudah dinantikannya sejak tadi pagi, berjam-jam. Perjuangan yang nggak mudah dan terasa begitu panjang, dalam deraan kegelisahan, ketakutan dan kebingungan. Menahan haus dan lapar yang nggak sedikit, hingga perutnya melilit sakit.Dia yakin sekarang, Mbak Honey sudah pergi karena tadi sekitar dua menit yang lalu, terdengar suara mobilnya b
Di dalam mobil, sepulangnya dari panti asuhan Mutiara Jiwa di Jalan Godean, Giga tercenung untuk beberapa saat lamanya. Benar, apa yang dikatakan pemilik panti itu memang benar adanya. Kalau dia dan Peony bersungguh-sungguh mau mengadopsi anak, harus dengan niat dan perjuangan yang ikhlas Lillahita'ala. Bukan karena ingin mendapatkan momongan yang terlahir dari benih cinta mereka semata-mata. Kalaupun akhirnya Allah memberikan kepercayaan untuk mereka memiliki anak, itu bonus. Sudah sedari dulu Giga memahami akan hal itu.Lalu, masalah apa yang telah membuatnya tercenung? Karena Peony memiliki pemahaman yang bertolak belakang darinya. Menurut Peony, yang namanya anak pancingan, ya berarti harus difungsikan sebagaia pancing. Dipelihara dengan baik tapi tetap dijadikan pancing. Jadi, ya, hanya sebatas itu. Nggak lebih
Dengan kebahagiaan yang bermekaran di taman hati, Mbak Honey memarkir mobil di depan rumah bercat merah bata yang terletak di antara mini market Murah Jaya dan rumah makan padang Masakan Bundo. Rumah tiga lantai yang terlihat bersih, terawat dan mewah, istana Mbak Honey hasil dari jerih payahnya mengelola keuntungan dari Honey Karaoke and Cafe. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Itulah peribahasa yang menjadi pelajaran berharga sekaligus prinsip hidupnya selama ini. Benar baginya, usaha dan kerja keras takkan pernah mengkhianati hasil. Meskipun hasil akhirnya tetap Allah yang punya kuasa, tapi usaha dan perjuangan itu sesuatu yang mutlak, bukan? Sebisa mungkin, semampunya.Sejenak, wanita cantik dengan rambut ikal sebahu itu memandangi Prameswari yang tertidur lelap di sebelahnya sambil memeluk Tata, bone
Semenjak berteman dengan Mas Eiden di facebook, Prameswari terlihat lebih bersemangat menjalani hari demi hari. Sebenarnya banyak chat yang masuk di messenger dari orang-orang terdekat dalam hidupnya, tapi diabaikannya. Tak sedikit pun terbersit dalam hati Prameswari, niat untuk membalas chat mereka, entah mengapa. Padahal jauh di lubuk hatinya, tercipta sebentuk rasa bahagia, haru sekaligus rindu, karena merasa telah mendapatkan perhatian yang begitu besar dari keluarganya di Al-Hidayah. Tetapi, di sisi yang lain, Prameswari nggak ingin balasannya nanti justru menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Karena bisa jadi, Abah dan Ummi masih terus menyebar orang-orang kepercayaan untuk mencari dan menemukannya. Membawa pulang dan tetap memaksanya menikah dengan Ustadz Rayyan. Tentu saja Prameswari nggak menginginkan hal paling pahit dan menyakitkan itu terjadi dalam hidupnya.