Prameswari tertegun, memandangi bayangan wajahnya yang terpantul di kaca cermin bening milik rumah sakit. Bukan hanya sekedar tertegun, melainkan berdecak kagum meskipun hanya dari dalam hati. Kulit wajah, kepala dam lehernya yang dulu separah itu kini telah menjadi halus dan mulus kembali. Berlipat-lipat bahkan, dari yang dulu, sebelum kecelakaan. Bening, glowing.
Tak terasa, air mata syukur, bahagia sekaligus terharu merembes dari pelupuknya. Menetes, mengalir deras. Dia benar-benar nggak menyangka kalau Mbak Honey begitu tulus terhadapnya. Meskipun awalnya bersikeras menolak namun Prameswari tersenyum juga. Senyum dalam linangan air mata yang terasa sulit untuk dihentikan. Dalam hati dia bergumam dengan penuh tanda tanya, 'Baik banget sih, Mbak Honey? Tulus banget. Padahal, kata Mas Giga, operasi plastik kan ngga
Dalam linangan air mata yang terasa semakin panas, Prameswari memakai kembali wig-nya. Diam dan menurut saja ketika Mbak Honey merapikan dan menjepit wig dengan jepit rambut biar nggak mudah lepas. Jauh di dasar hatinya, Prameswari menangis menjerit-jerit membayangkan, Mbak Honey benar-benar mengembalikannya ke jalanan. Meskipun belum tahu, jalanan seperti apa yang dimaksudkan Mbak Honey, belum-belum Prameswari sudah hancur berkeping-keping. Bukan apa-apa, masalahnya dia sama sekali belum ingat, di mana dan bagaimana Mbak Honey menemukan dirinya dulu. Di persawahan, ladang, hutan … Pinggiran sungai atau di emperan toko? Baik Mbak Honey ataupun Giga belum pernah mengungkapkan hal itu padanya. Padahal sudah sering dia menanyakan hal itu pada mereka."Naaahhh, gitu dong, Mytha!" Mbak Honey bergumam riang, "Cantik, mani
Di kamar, sepulang dari kafe bersama Mbak Honey, Prameswari melepas kasar wig cantiknya. Kata Mbak Honey sih begitu meskipun sampai saat ini dia nggak tahu, dimana letak kecantikan rambut imitasi itu. Geram, marah, kecewa dan benci, Prameswari mencampakkan di lantai lalu menginjak-injaknya tanpa ampun. Dia merasa, sudah benar-benar menjadi robot mainan Mbak Honey sekarang. Benar, dia yang telah menolong dan menyelamatkan dirinya dari kejahatan---apapun itu namanya---tapi nggak harus seperti itu, kan? Nggak harus memaksakan kehendak. Apalagi kan, sebenarnya dia nggak malu dengan kondisi kepalanya yang plontos. Untuk apa ditutup-tutupi? Kalaupun harus, kenapa nggak dengan jilbab saja, kenapa harus wig? Benda asing yang baru beberapa jam yang lalu dikenalnya di internet. Itu pun karena Mbak Honey terus memaksa."Ya Allah, tolong katakan padaku, siapakah Mbak Honey yang sebenarnya?" P
Sebisa mungkin, Prameswari melemparkan senyum manis pada pria paruh baya yang duduk di depannya. Sedari tadi, sekitar tiga puluh menit yang lalu, pria itu hanya diam. Duduk diam dan menikmati kopi latte plus nugget pisang crispy yang terhidang di hadapannya. Dalam diamnya yang misterius itu, sesekali melirik ke arah Prameswari yang bersetia menemaminya. Setiap kali lirikan tajam itu tertangkap olehnya, Prameswari mengangguk sembari melemparkan senyum lebar manis. Senyum yang menampakkan barisan gigi putih, bersih dan rapi. Jika senyumnya menyimpul, terlihatlah lesung pipit yang memberi kesan mempesona di pipi kirinya.Sebenarnya, Prameswari sudah jenuh dengan pekerjaan pertama di hari pertama kerjanya ini tapi nggak mungkin menghindar apalagi melarikan diri. Bisa-bisa Mbak Honey mengamuk, meledak atau bahkan menghujaninya dengan caci maki dan sumpah serapah seperti biasa, kalau sampai h
Baru saja menyeruput lemon tea hangatnya untuk yang pertama kali, Prameswari sudah harus bekerja lagi. Berdasarkan keterangan yang tertera di atas memo dari Tiara, tamunya duduk di meja nomor tiga, jadi dia harus segera ke sana dan nggak boleh dalam keadaan cemberut, manyun atau semacamnya. Di sini, apapun yang terjadi hanya boleh ada satu hal ini dalam dirinya, tersenyum manis. Lebih lengkapnya tersenyum manis, bersikap santun, berkata sopan dan berpenampilan anggun. Mempesona. Keharusan terakhir yang dia belum menemukan cara plus chemistry-nya.Anggun dan mempesona, memangnya seperti apa, sih?Pertanyaan inilah yang sering kali mengusik ketenangan hatinya. Jangankan begitu, masih bisa tersenyum padahal sebenarnya menahan pedih di kaki yang lecet karena sepatu high heels saja sudah Alhamdulillah. Itu prinsipnya tapi apa hendak dikata?
Peony benar-benar nggak mau berdekatan dengan Giga. Jangankan berdekatan, melihat dirinya dari jarak yang cukup jauh saja sudah mual dan muntah-muntah hebat. Jadi, selama hampir satu bulan ini, Giga bebas. Artinya, Peony nggak mempermasalahkan sama sekali, apakah dia mau berada di rumah atau di mana yang penting jangan mendekati dirinya. Apalagi sampai menyentuhnya. Waaahhh, bisa-bisa Peony terkulai lemas karena terlalu banyak muntah dan akhirnya kekurangan cairan. Hemmm, tentu saja, Giga nggak mau itu terjadi. Repot dan ribet, urusannya.Sebenarnya Giga juga heran. Kok bisa, orang ngidam sampai seperti itu? Selama ini, yang dia dengar, orang ngidam itu ya ingin makan atau minum apa dan harus dituruti. Kalau nggak, bisa bad mood, cengeng atau malah ngambek. Ada juga yang sampai menyuruh suaminya mencari yang diinginkannya sampai ke ujung dunia. Pokoknya, nggak boleh pulang kalau belum d
Peony benar-benar nggak mau berdekatan dengan Giga. Jangankan berdekatan, melihat dirinya dari jarak yang cukup jauh saja sudah mual dan muntah-muntah hebat. Jadi, selama hampir satu bulan ini, Giga bebas. Artinya, Peony nggak mempermasalahkan sama sekali, apakah dia mau berada di rumah atau di mana yang penting jangan mendekati dirinya. Apalagi sampai menyentuhnya. Waaahhh, bisa-bisa Peony terkulai lemas karena terlalu banyak muntah dan akhirnya kekurangan cairan. Hemmm, tentu saja, Giga nggak mau itu terjadi. Repot dan ribet, urusannya.Sebenarnya Giga juga heran. Kok bisa, orang ngidam sampai seperti itu? Selama ini, yang dia dengar, orang ngidam itu ya ingin makan atau minum apa dan harus dituruti. Kalau nggak, bisa bad mood, cengeng atau malah ngambek. Ada juga yang sampai menyuruh suaminya mencari yang diinginkannya sampai ke ujung dunia. Pokoknya, nggak boleh pulang kalau belum d
"Eh, ya senyuuum, dooong!" Giga menyahut dengan setengah gugup, "Kan, sudah ketemu sama kesayangannya?" Giga meraih pucuk-pucuk rambut panjang sepinggang Mbak Honey, menciumnya dengan lembut dan hangat, "Haruuummm, emmmhhh …!"Diberi sikap semanis itu oleh Giga, Mbak Honey tersenyum tersanjung. Wajahnya bersemburat merah oleh rasa malu tapi mau yang merambati hatinya, "Ah, masaaa? Nggak percaya, tuh?"Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Giga berdiri mendekati Mbak Honey. Menggenggam jari-jemari tangannya, mengantarkan kehangatan dan kelembutan yang tak terjemahkan oleh kata-kata. Sekarang, di antara rasa kesal dan jengkel dengan semua polah tingkah Peony, rasa rindu juga cemburu pada Prameswari yang mulai membakar pinggiran hatinya, Giga memeluk Mbak Honey. Pelukan spesial, berbeda dari saat bertemu di ruang tamu
Mbak Honey dan Giga berjalan ke luar kamar dengan perasaan yang luar biasa bahagia. Seolah-olah sepasang kekasih yang baru saja menikmati madu asmara. Suara tawa riang mereka terdengar lirih namun mesra, mengiris tipis-tipis hati Prameswari yang masih berdiri di depan pintu ruang keluarga. Tentu saja, dia nggak mau melihat Mbak Honey dan Giga yang dalam keadaan dilanda cinta seperti itu tapi apalah daya. Entah bagaimana, dari ruang tamu tadi dia berniat mencari Mbak Honey di sini. Karena tahu ada mobil Giga di depan, Prameswari berpikir, nggak mungkin mereka berduaan saja di kamar. Paling nggak, di ruang keluarga lah, kalau nggak di ruang tamu tapi nyatanya?"Mbaaak …?" Prameswari menyapa dengan raut wajah setengah mendelik, "Mas Gigaaa …?"Mbak Honey hanya tersenyum tipis, sebagai jawaban. Giga yang sebenarnya te