Fatih dan ibunya terkejut dan hanya bisa saling berpandangan ketika dua orang yang tiba-tiba memasuki ruang tahanan tempat mereka bersemayam berceceran untuk mencari tempat persembunyian. Si wanita yang berpakaian seperti dokter itu lebih mudah menemukan tempat persembunyian berupa pojokan yang dibentuk oleh lemari dan dinding setelah sebelumnya menyingkirkan kursi yang tadinya tergeletak di situ. Ia kemudian berjongkok dan menutupi tubuhnya yang ramping dari pandangan dengan kursi yang barusan dipindahkannya. Sekarang wanita itu takkan terlihat kecuali dicari dengan sepenuh hati.
Sedangkan si pria, yang dikenali Fatih sebagai Ibad, agak kesulitan mendapat tempat yang ideal untuk bersembunyi karena postur badannya yang hampir menyamai Fatih, tinggi dan kekar. Begitu memasuki ruang tahanan, Ibad langsung merebut tempat di salah satu kolong meja berongga, berusaha menyamankan dirinya. Tak berhasil, ia lalu keluar dari kolong meja dan menatap berkeliling, mencari tempat sembunyi“Sidik jari lo ada di gantungan kunci gue? Kok bisa?” Neta bertanya dengan jidat mengernyit. Ia pertama kali melihat Kala ketika polisi wanita di depannya bersama rekannya mendatangi kampus untuk menjemput Fatih dan saat itu gantungan kunci itu sudah lenyap. Lagipula, tidak ada orang lain yang pernah menyentuh benda miliknya itu. Sebenarnya ada satu orang sih, yaitu manusia aneh yang joging tengah malam dan menemukan gantungan kuncinya di jalan. Mata Neta tiba-tiba membesar ketika menyadari satu hal. Jika sidik jari Kala juga ada di gantungan kunci bersama miliknya, berarti yang berpapasan dengannya dan menemukan Lavi yang tengah sekarat itu juga Kala? “Simpel aja. Gue pungut gantungan kunci lo yang jatuh di jalan dan gue kembaliin ke lo. Sidik jari gue jadi ada juga, kan?” Neta tidak berhasil menyembunyikan raut terkejutnya. Kila yang sejak tadi mengamatinya pun tahu jika Neta shock mengetahui bahwa Kala-lah yang ia temui begitu minggat dari TKP setelah me
Begitu langkah kaki Wira dan Yudi yang berlari sudah tidak kedengaran dan ibu Fatih sudah puas, atau sadar bahwa teriakannya tidak akan didengar oleh orang yang ditujunya, atau capek, berteriak memaki-maki kedua polisi yang menyebalkan itu, Ibad pun memunculkan dirinya dari balik pintu dan Pita berdiri dari tempat persembunyiannya yang aman. Masih sambil sekali-sekali menoleh ke pintu, mereka mendekati sel tahanan tempat Fatih bersemayam. “Thanks, Fatih, udah nolong gue dan temen gue.” Ibad menyalami Fatih yang menyambutnya dengan senyum di balik jeruji. Ibu Fatih sendiri menyaksikan dengan saksama, siap mengeluarkan teriakan membahana lagi jika ternyata dua polisi di depannya ini menghina putranya juga. “Jadi, lo yang namanya Fatih? Manis juga. Nggak rugi gue nerima permintaan Kila untuk jadi mata-mata karena ternyata yang mau diselamatkan adalah manusia semanis ini.” Pita tersenyum-senyum tidak jelas sambil berusaha menjawil lengan Fatih yang cepat-cepat
Neta bergeming. Ia memikirkan perkataan Kila. Sebenarnya, sejak melihat ibunya menangisi anak orang lain yang dibunuhnya, mengunjungi makam Lavi dan bertemu orang tua Lavi di sana, hingga berkesempatan melihat-lihat kamar Lavi, dorongan untuk mengaku tidak berhenti menggedor-gedor kepalanya. Yang menahan Neta untuk pergi ke kantor polisi dan membuat pengakuan hanyalah rasa tidak tega untuk meninggalkan ibunya sendirian di rumah. Ia tidak tega membayangkan bagaimana perasaan ibunya jika mengetahui putri satu-satunya adalah pembunuh. Neta merasa tidak akan sanggup menerima tatapan kecewa dari ibunya. Sedangkan soal ayahnya, bisa dibilang Neta justru semakin berkobar untuk mengaku kalau mengingat ayahnya yang ambisius itu. Ia telah teramat sakit hati dengan perlakuan ayahnya sampai merasa tidak masalah jika reputasi yang sudah setengah hidup dirajut ayahnya bakal berceceran karena ulahnya. Neta dengan senang hati akan menganggapnya sebagai pembalasan dendam.“Gue pengen ke toile
“Barusan nelpon sama siapa?”Profesor Gani bertanya dengan suara mengerikan yang belum pernah didengar oleh istrinya, wanita memukau itu. Begitu selesai menelpon preman-preman yang bekerja untuknya dan keluar dari kamar dengan maksud untuk menyusul mereka di rumah makan, Profesor Gani berhenti melangkah ketika melewati ruang keluarga dan tidak sengaja mendengar istrinya menyebut-nyebut nama Neta dan sesuatu seperti melarangnya melakukan apapun.Kemurkaan kemudian mulai membungkus kulitnya ketika Profesor Gani berpikir bahwa istrinya telah menguping pembicaraannya di telepon barusan dan memperingatkan Neta tentang preman-preman yang mengikutinya. Jika Neta belum ngomong apapun, hal itu tidak masalah, justru akan menjadi pertimbangan bagi Neta agar tidak berani berbuat macam-macam. Namun, kalau Neta sudah membeberkan yang sebenarnya tentang kasus Lavi, terutama pada Kala, situasi mulai akan sulit dikendalikan. Profesor Gani masih ingat bagaimana Kala berupaya keras a
Tita memelototi papan nama rumah bercat coklat yang terpasang di samping pagar kayu di depannya kemudian melihat lagi kertas di tangannya. Ia tengah mencocokkan alamat yang diberikan Kala. Setelah memerhatikan dengan saksama, Tita pun yakin rumah inilah yang dimaksud Kala. Deskripsinya pun cocok: rumah berlantai dua bercat putih dengan rooftop di salah satu sisinya dan berpagar kayu dengan halaman samping yang luas dan dipenuhi tanaman.Setelah mengelilingi rumah dari luar pagar demi memastikan bahwa itu adalah rumah yang tepat, Tita pun memberanikan diri memencet bel pintu yang tergeletak di atas papan nama rumah dan menunggu sambil mengintip-ngintip melalui celah pagar kayu.Tita memutuskan untuk mendatangi Neta di rumahnya usai bertemu dengan Ana tadi. Selain karena ingin melihat langsung orang yang dicurigai oleh teman-teman barunya sebagai pembunuh Lavi, Tita juga penasaran dengan Neta yang kabarnya depresi. Ia pun meminta alamat rumah Neta dari Kala dan mengunjungi
“Jangan! Siapa tau lo bisa selamat kalo tidak ngomong apapun!”Neta rasanya ingin tertawa mendengar ucapan Kila. Kila tidak tahu apa-apa tentang ayahnya, jadi wajar jika ia berpikir begitu.“Hahaha. Harus gue akui perkataan lo membuat gue terhibur. Tapi nggak, bicara atau nggak, semua itu nggak ada bedanya. Perlakuan ayah gue ke gue tetep sama. Jadi, daripada gue bakal entah diapain oleh ayah gue dengan sia-sia, lebih baik gue jujur. Seenggaknya kedatangan kalian kemari ada hasilnya.”Kila menggeleng. Ia merasa aneh mendengar Neta seakan-akan bersedia berkorban agar mereka mendapatkan informasi berharga. Namun, melihat Neta kembali ke ruang makan privat begitu melihat preman suruhan ayahnya dan memperingatkan Kila, bukannya pergi bersama manusia-manusia berotot itu dan meninggalkan Kala dan Kila dalam kegeraman karena pembunuh Lavi yang sebenarnya telah kabur, membuat Kila berpikir bahwa Neta sebaiknya diberi kesempatan untuk membuktikan penyampaiannya.“Gue se
Minggat dari ruang tahanan, Ibad dan Pita berjalan dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Mereka selalu memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan Wira dan Yudi sebelum melewati koridor. Mereka juga menghindari bertemu dengan polisi lain karena bisa saja Wira dan Yudi telah bertanya pada rekannya dan memintanya memberi tahu jika melihat Ibad dan Pita.Tinggal melewati satu koridor lagi sebelum mereka sampai di tempat parkir di sebelah selatan bangunan kantor polisi itu, tempat Pita memarkirkan mobilnya. Sejauh ini perjalanan mereka aman, tidak bertemu dengan siapapun. Rencananya, mereka akan menggunakan mobil Pita untuk kabur dari kantor polisi menuju rumah Kila demi mendiskusikan hasil curian mereka sekaligus mengutuki diri karena hampir ketahuan.Ibad dan Pita tengah berjongkok di samping mesin penjual otomatis di ujung koridor depan gudang barang bukti sambil mengamati situasi. Keberadaan mereka dihalangi dari pandangan orang yang berlalu lalang oleh tumpukan kardus koso
“Apa yang kamu lakukan, Pa? Kenapa pintunya dikunci?”Istri Profesor Gani, wanita memukau itu, akhirnya bereaksi. Ia tidak mengerti dengan kelakuan aneh suaminya yang tidak membiarkan tamu mereka pulang hanya karena tidak lebih awal membeberkan identitasnya. Iya sih, wanita itu sempat berbohong dengan mengaku sebagai teman Neta, tapi mewawancarai seseorang bukan hal yang ilegal. Sebab itu, ia tidak setuju dengan perilaku yang ditampilkan Profesor Gani.“Kamu diam saja, jangan ikut campur. Kamu tidak tahu apa-apa.”Sambil membuat gerakan mengusir serangga dengan tangannya, Profesor Gani menyuruh istrinya untuk minggat dari situ. Tapi istrinya bertekad tidak akan meninggalkan ruangan sampai tamu yang malang itu keluar dari rumahnya.“Tidak tahu apa-apa bagaimana, Pa? Apa yang salah dari wanita itu yang ingin mewawancarai Neta? Wawancara kan tidak dilarang.”Menyaksikan suami istri itu berdebat, Tita yang telah menghentikan usaha sia-sianya untuk membuka pint