Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar.
"Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemuNapasnya tinggal selembar. Rasa sakit yang menghantam pencernaannya sudah tak bisa lagi diajak bermufakat. Pria itu tahu riwayatnya hampir tamat. Selama lebih dari 23 tahun hidupnya, ia sadar tak banyak yang telah dilakukannya. Meskipun begitu, tak ada yang bisa disesali. Justru ia harus bersyukur karena dilahirkan dari keluarga harmonis idaman banyak orang walaupun tidak punya banyak uang. Jika ada yang membuatnya menyesal, mungkin karena dalam hidupnya yang singkat harus bertemu dengan wanita itu. Wanita yang memorak-porandakan harinya. Wanita yang memberinya minuman beracun dan menontonnya terkapar tanpa sedikit pun bersimpati. Wanita yang membunuhnya. Wanita yang ia cintai. Jadi, seperti inikah akhirnya? Sekarat sendirian, jauh dari orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Bertemu malaikat maut tengah malam di bukit yang gelap, tanpa lampu apalagi kamera pengawas. Sungguh penghabisan yang tak elegan. Ironisnya, bukit tempatnya mempertahankan nyawa ini jaraknya tak
Sudah selesai!Langkahnya panjang-panjang hampir berlari menuruni bukit yang gelap. Ingin segera pergi dari tempat mengerikan itu. Wanita berambut layer sebahu itu masih tidak bisa menyingkirkan gambaran menakutkan seorang pria telentang kesakitan dengan sorot mata memohon yang tercetak jelas di otaknya. Meskipun begitu, ia merasa harus memberi pujian kepada dirinya sendiri karena telah berhasil melepaskan diri dari belitan manusia membosankan yang bernama kekasih itu. Bahkan untuk selamanya. Suatu hal yang sebelumnya tak berani ia pikirkan.Sebenarnya, wanita itu tak pernah berniat mengakhiri hubungan dengan cara seperti ini. Tapi sejak sebulan terakhir, keadaan menjadi semakin terasa menjemukan. Tak ada perasaan senang yang membuncah-buncah saat bertemu, tak ada rasa rindu yang meledak-ledak jika berjauhan. Segalanya hambar, seakan-akan saling berkirim pesan dan bertemu di akhir pekan hanya sebuah rutinitas untuk mengunyah waktu. Ia ingat, situasi ini bermula ketika ia b
Berkas kasus dugaan pembunuhan pria di bukit yang dipegangnya tak lagi menarik perhatian. Pikiran Kila justru terpancang pada perkataan Kala soal korban yang berbohong semalam. Ia tentu harus mengikuti prosedur untuk menjadikan kesaksian Kala sebagai alat bukti. Namun, siapa yang akan percaya jika Kila bilang Kala tahu kalau korbannya berbohong? Ia hanya akan terlihat seperti manusia dengan daya khayal yang menyeramkan kalau Kila membeberkan kemampuan Kala. Tapi, kalau Kila memilih mengabaikan omongan Kala yang merisaukan itu, bukannya ia akan menghukum orang yang tidak bersalah? Kila sadar tidak akan berani merebut risiko itu karena ia tahu seberapa ampuhnya kemampuan Kala mendeteksi kebohongan. Terutama sejak Kala memberitahunya kalau Jamal –mantan kekasih Kila- telah berbohong kepadanya.Kila tiba-tiba-bergidik mengingat kejadian itu. Kalau saja Kala tidak keras kepala merongrongnya supaya percaya, mungkin di dahi Kila akan terpahat tulisan “perusak rumah tangga orang”. M
Kampus masih terdengar bergemuruh seperti biasanya. Sambil melangkah hati-hati agar tidak menyentuh orang lain –bisa saja kalimat terakhir orang yang disentuhnya adalah kebohongan, Kala sedang tidak berminat untuk sakit kepala-, Kala berjalan ke kelasnya bersama temannya, Ahnaf.Sambil mendengarkan dengan tidak sungguh-sungguh ucapan Ahnaf tentang teman kampus mereka yang bunuh diri kemarin, Kala baru tahu kalau pria sekarat yang ditemukannya ternyata sekampus dengannya. Ia pun membiarkan Ahnaf bersenang-senang dengan anggapannya bahwa pria itu bunuh diri, itu lebih baik daripada memberi tahu kalau pria itu dibunuh dan Ahnaf menyiksanya untuk membeberkan siapa pelakunya. Tidak jauh dari mereka nampak tercipta kerumunan, Kala yang memang tidak peduli pada hal apapun yang tidak berkaitan dengan dirinya, kecuali perilaku kriminal yang menimpa orang lain, baru akan melewati pintu kelasnya ketika buntut matanya terhunjam pada makhluk yang sangat dikenalnya. Jaket bomber yan
Fatih menggeser-geserkan badan kekarnya disertai perasaan jengah tiap beberapa detik di kursi berangka besi dengan bantalan dudukan yang sebenarnya cukup nyaman itu. Kursi kosong dengan bentuk yang sama dengan meja sebagai antara berada di depannya, menunggu ditempati. Meskipun ruangan itu cukup luas, penerangan yang hanya diletakkan di atas meja menciptakan ilusi menyeramkan bahwa ada makhluk mengerikan yang mengintai di area yang tak terjilat cahaya. Kaca yang terpasang di salah satu sisi memantulkan bayangan menakutkan yang ditimbulkan oleh pencahayaan yang pelit itu. Secara keseluruhan, ruangan itu memberi kesan suram. Fatih bisa mengerti mengapa perasaan tertekan membungkus para penjahat jika diinterogasi di sini. Atmosfer ruangan menusuk-nusuk otak tersangka agar mengakui saja perbuatannya daripada harus lama-lama di sini. Sambil bergeser sekali lagi, Fatih yakin kemuraman apapun yang ditawarkan ruangan ini tidak akan mengusiknya. Alasannya sederhana, ia tidak harus mengakui apa
AKBP Neco Owiral adalah sosok tinggi besar dengan perut sedikit buncit, kulit putih, mata agak sipit, dan hidung sedikit mancung yang kebetulan memimpin Kepolisian Ryha. Nyaris tak ada yang istimewa dari pembicaraan tentangnya, kecuali bahwa ia sangat pandai menjilat. Mungkin itu juga salah satu alasannya menduduki jabatan mewah di Kepolisian Ryha, hal yang agak sulit dicapai oleh rekannya yang tak berbakat bermulut manis di usia yang sama dengannya. Dan hal itu membuatnya sangat bangga.Jelas, karena menuruti ambisi yang meluap-luap di kepala, AKBP Neco akan melakukan segala cara untuk memastikan jalannya menuju jabatan yang lebih tinggi lebih mulus daripada jalan tol. Segala kasus yang terjadi di wilayah hukumnya mesti tertangani dengan baik –di mata khalayak- dan cepat, meskipun itu berarti harus ada yang menjadi tumbal.Karena itu, saat mengetahui jika bawahannya, AKP Kila yang menangani kasus pembunuhan di bukit belum juga menetapkan tersangka walaupun telah lewat b
Kelas siang itu belum dimulai jadi Kala memilih mengunyah waktu dengan bermain game. Bukan game yang melibatkan senjata atau pertarungan seperti yang dimainkan oleh pria seusianya, melainkan game susun kata. Beberapa huruf yang berceceran harus diatur oleh pemain membentuk lebih dari satu kata. Jika ada orang yang memprotes pilihan permainannya yang agak tidak umum itu, Kala akan menjawab dengan santai bahwa game ini melatih otaknya berpikir dari berbagai sudut pandang, seperti menempatkan huruf yang sama untuk menjadi kata yang berbeda, tergantung dari susunannya. Jawaban yang kemudian membuat lawan bicaranya diam, entah karena malas mendebat atau karena jawabannya masuk akal. Ahnaf muncul dari pintu. Menyenggol siku Kala –yang tidak merasakan apa-apa- yang tengah asyik memanyun-manyunkan bibir, mengira-ngira kata apa lagi yang bisa dibentuk huruf-huruf di layar ponselnya. Merasa kehadirannya tak disambut dengan semestinya, Ahnaf duduk di samping Kala sambil melongok-longok
“Makanannya enak. Bakso Mang Ujang emang tiada duanya.”Ana menggerung puas.“Bener banget.”Neta yang berjalan bersama Ana dari kantin mengiyakan. Mereka telah melewati koridor di lantai dasar dan baru saja melewati tangga menuju lantai dua.“Abis mata kuliah ini sudah nggak ada kelas. Mau langsung pulang atau ke kafe biasa dulu?”Neta menimbang-nimbang.“Ke kafe biasa aja dulu kali ya? Di rumah bosan, selalu sendirian.”Ana mengangguk. Neta memang anak tunggal, ibu dan ayahnya sama-sama sibuk. Wajar kalau Neta merasa sepi di rumah.“Eh, lo bawa makalah kita, kan? Hari ini giliran kita presentasi loh.”Neta tidak langsung menjawab, malah sibuk membuka ransel mahalnya. Semenit kemudian ia telah selesai dengan kesibukannya. Melihat ekspresinya saja Ana sudah tahu kalau makalah itu tidak ada di ransel mahal Neta.“Sepertinya ketinggalan di mobil. Gue ambil dulu, ya!”Sambil terburu-buru, Neta merogoh saku kecil di bagian depan r