Kampus masih terdengar bergemuruh seperti biasanya. Sambil melangkah hati-hati agar tidak menyentuh orang lain –bisa saja kalimat terakhir orang yang disentuhnya adalah kebohongan, Kala sedang tidak berminat untuk sakit kepala-, Kala berjalan ke kelasnya bersama temannya, Ahnaf.
Sambil mendengarkan dengan tidak sungguh-sungguh ucapan Ahnaf tentang teman kampus mereka yang bunuh diri kemarin, Kala baru tahu kalau pria sekarat yang ditemukannya ternyata sekampus dengannya. Ia pun membiarkan Ahnaf bersenang-senang dengan anggapannya bahwa pria itu bunuh diri, itu lebih baik daripada memberi tahu kalau pria itu dibunuh dan Ahnaf menyiksanya untuk membeberkan siapa pelakunya. Tidak jauh dari mereka nampak tercipta kerumunan, Kala yang memang tidak peduli pada hal apapun yang tidak berkaitan dengan dirinya, kecuali perilaku kriminal yang menimpa orang lain, baru akan melewati pintu kelasnya ketika buntut matanya terhunjam pada makhluk yang sangat dikenalnya. Jaket bomber yang belum diganti selama tiga hari itu mengunci pandangan Kala. Menabrak pundak Ahnaf yang termangu-mangu –Kala tidak merasakan apapun karena Ahnaf bukan spesies pembohong-, Kala berjalan cepat ke arah mahasiswa yang tengah berkumpul mengelilingi sesuatu, atau tepatnya seseorang. Tiba-tiba ragu karena langkah selanjutnya akan melibatkan sentuhan dengan orang-orang, Kala berharap tidak ada di antara mereka yang tengah berbohong, sakit kepala bukan pilihan Kala saat ini. Kelihatannya Kila dan Ibad tengah berbicara dengan seseorang di tengah lingkaran, sepertinya mahasiswa di sini. Berbadan kekar dengan tinggi menyodok langit, Kala yakin orang itu bisa menjadi atlet kalau mau. “Kenapa saya harus ikut Anda ke kantor polisi?” Kala mendengar pria kekar itu bertanya, rupanya Kila dan Ibad memintanya ke kantor polisi. Orang-orang sepertinya tengah fokus dengan pertunjukan di depan mereka jadi Kala aman-aman saja di barisan terdepan kerumunan. “Anda akan dimintai keterangan soal tewasnya Lavi, teman Anda.” Kila menjawab, tapi tidak setegas biasanya. Lebih terlihat terpaksa melakukannya. Mata Kala mendadak membelalak. Jangan-jangan pria kekar ini Fatih? “Buat apa? Bukannya Lavi bunuh diri?” Kebingungan tercetak jelas di wajah Fatih. Kila menghela napas dan tiba-tiba menyadari kalau Kala juga ada di situ. Fatih yang tak kunjung mendapat jawaban tidak bisa menunggu, ia bersiap meninggalkan tempat itu ketika tangannya dicekal oleh Ibad. “Kami minta kerja sama Anda, Saudara Fatih. Kita akan bicarakan hal ini di kantor polisi.” Cekalan Ibad ditepis dengan mudah oleh Fatih. “Bicarakan apa? Saya tak tahu apa-apa soal tewasnya Lavi.” Keadaan berganti menjadi kurang kondusif. Fatih kesal karena dipaksa ke kantor polisi untuk urusan yang tidak ia tahu, sedangkan Ibad geram karena Fatih enggan bersikap kooperatif. Sepertinya kali ini Ibad harus menggunakan secuil kekerasan. Fatih tersentak ketika tiba-tiba saja Ibad menyeretnya tanpa permisi. Ingin melawan, tapi pegangan polisi itu terasa mencengkeram. Hal paling maksimal yang bisa ia lakukan hanya meronta-ronta. Kala merasa ia harus bertindak. Segera ia memegang lengan Fatih –dan tidak merasakan apapun- untuk menahannya. Ibad yang bertanya-tanya Kala muncul dari mana seketika berhenti berjalan. Fatih sendiri mengerutkan kening karena orang yang baru saja menyentuhnya sama sekali tak dikenalnya. “Kala, apa yang kau lakukan?” Kila mengomentari aksi Kala. “Kak, kita berdua tau Fatih bukan pelakunya. Apa Kakak harus ngelakuin ini?” Fatih sontak menganga. Lavi dibunuh? Dan, ia dituduh sebagai pelaku? Skenario konyol macam apa ini? Di sampingnya, Ibad memandang Kila dan Kala berganti-ganti, tak mengerti apa yang sedang dibicarakan. “Kala, jangan lakuin ini. Kalo kamu maksa, Kakak terpaksa menangkap kamu juga karena menghalangi tugas polisi.” Kala terperangah, kakaknya ternyata bisa bersikap tidak masuk akal seperti ini. Sedangkan Ibad menatap Kila keheranan, untuk apa Kala juga ditangkap? “Oke. Gue ikut ke kantor polisi. Gue akan buktiin kalo bukan Fatih pelakunya.” Mendengar pernyataan di luar dugaan itu, Fatih bingung harus berterimakasih atau mempertanyakan kewarasan makhluk di sampingnya ini. Kila menghela napas lelah, sudah mengira Kala akan bertindak nekat seperti ini. Ia memberi isyarat kepada Ibad untuk melepaskan cengkeramannya. Begitu tangannya dilepas, Fatih mengusap-usap bagian yang memerah karena bekas cekalan. Lalu, berbisik kepada Kala di sampingnya. “Jadi, kita mesti ke kantor polisi, nih?” Kala mengangguk dan berjalan mengikuti Kala dan Ibad yang telah melangkah lebih dulu. Fatih mau tidak mau juga menguntit.### Neta terperangah di tempatnya berdiri. Mahasiswa yang berkerumun bersamanya sudah kembali ke habitat masing-masing. Pertunjukan tadi sangat menyenangkan untuk ditonton, sampai makhluk bernama Kala itu datang mengacaukan semuanya. Kenapa yakin banget kalau Fatih nggak salah? Neta sendiri bukannya tidak pernah mendengar nama Kala. Dari cerita seseorang beberapa tahun lalu, berurusan dengan Kala akan sangat merepotkan. Neta mulai merasa bahwa Kala bakal menjadi ancaman untuk masa depan bahagia tanpa Lavi yang tengah direguknya dan bertekad buat menyingkirkannya sebelum berubah menjadi makhluk pengganggu. Ia mengecek jam tangan mahalnya, biasanya jam segini orang itu masih di ruangannya. Merogoh ke dalam ransel mahalnya, Neta mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan telepon. “Halo Ayah, masih di ruangan, kan? Aku mau ketemu.” Setelah mendengar jawaban dari sang penerima, Neta memasukkan kembali ponsel ke dalam ransel mahalnya, merapihkan rambut layer sebahunya, dan berjalan santai menuju sebuah ruangan. Ruangan dekan. Oke Kala, sekarang kau resmi menjadi musuhku!### Ruangan itu tidak terlalu besar. Jika seseorang muncul dari pintu akan disambut dengan sofa berwarna merah marun untuk menerima tamu, di sampingnya terdapat lemari besar yang terlihat penuh map, di seberang lemari nampak rak buku. Di dinding yang berhadapan dengan pintu ada jendela dan meja berhias papan nama besar dari kaca bertuliskan “Prof. Gani Hasyim, Dekan Fakultas Hukum” diletakkan di depannya. Jadi, si pemilik ruangan duduk dengan membelakangi cahaya, entah apa maksudnya. Neta memasuki ruangan tanpa tergesa-gesa, menutup pintu, duduk di sofa merah marun sambil menyilangkan kaki. Penghuni ruangan yang tengah sibuk memelototi kertas di depannya merasa tak perlu menyambut kemunculan putrinya, hal yang kemudian memicu kekesalan Neta. “Ayah, sibuknya nanti aja. Aku mau bicarain sesuatu.” Terdengar helaan napas, lalu kesibukan di meja berhenti. Sosok yang walaupun telah berumur lebih dari 50 tahun namun tetap kelihatan gagah kemudian berjalan mendekat dan duduk di sofa di depan Neta. “Sebaiknya kamu mengganggu untuk hal penting, Neta. Ayah sedang banyak urusan.” Prof. Gani memasang tampang tak suka karena aktivitasnya diinterupsi. “Aku yakin Ayah akan menganggap ini penting.” Neta berkata dengan percaya diri. “Apa? Soal ketololanmu itu?” Neta mendengus. Ayahnya memang telah mengetahui kelakuan kejinya. Awalnya ayahnya murka, tapi setelah Neta bilang kalau Lavi telah menunjuk Fatih sebagai pelakunya, kemarahannya nyaris tak bersisa. “Memang soal itu. Tapi ini tentang Kala.” Punggung Prof. Gani menegak. Nama itu memang membuatnya tertarik. “Sepertinya Kala tak pernah kapok untuk ikut campur masalah seseorang.”Fatih menggeser-geserkan badan kekarnya disertai perasaan jengah tiap beberapa detik di kursi berangka besi dengan bantalan dudukan yang sebenarnya cukup nyaman itu. Kursi kosong dengan bentuk yang sama dengan meja sebagai antara berada di depannya, menunggu ditempati. Meskipun ruangan itu cukup luas, penerangan yang hanya diletakkan di atas meja menciptakan ilusi menyeramkan bahwa ada makhluk mengerikan yang mengintai di area yang tak terjilat cahaya. Kaca yang terpasang di salah satu sisi memantulkan bayangan menakutkan yang ditimbulkan oleh pencahayaan yang pelit itu. Secara keseluruhan, ruangan itu memberi kesan suram. Fatih bisa mengerti mengapa perasaan tertekan membungkus para penjahat jika diinterogasi di sini. Atmosfer ruangan menusuk-nusuk otak tersangka agar mengakui saja perbuatannya daripada harus lama-lama di sini. Sambil bergeser sekali lagi, Fatih yakin kemuraman apapun yang ditawarkan ruangan ini tidak akan mengusiknya. Alasannya sederhana, ia tidak harus mengakui apa
AKBP Neco Owiral adalah sosok tinggi besar dengan perut sedikit buncit, kulit putih, mata agak sipit, dan hidung sedikit mancung yang kebetulan memimpin Kepolisian Ryha. Nyaris tak ada yang istimewa dari pembicaraan tentangnya, kecuali bahwa ia sangat pandai menjilat. Mungkin itu juga salah satu alasannya menduduki jabatan mewah di Kepolisian Ryha, hal yang agak sulit dicapai oleh rekannya yang tak berbakat bermulut manis di usia yang sama dengannya. Dan hal itu membuatnya sangat bangga.Jelas, karena menuruti ambisi yang meluap-luap di kepala, AKBP Neco akan melakukan segala cara untuk memastikan jalannya menuju jabatan yang lebih tinggi lebih mulus daripada jalan tol. Segala kasus yang terjadi di wilayah hukumnya mesti tertangani dengan baik –di mata khalayak- dan cepat, meskipun itu berarti harus ada yang menjadi tumbal.Karena itu, saat mengetahui jika bawahannya, AKP Kila yang menangani kasus pembunuhan di bukit belum juga menetapkan tersangka walaupun telah lewat b
Kelas siang itu belum dimulai jadi Kala memilih mengunyah waktu dengan bermain game. Bukan game yang melibatkan senjata atau pertarungan seperti yang dimainkan oleh pria seusianya, melainkan game susun kata. Beberapa huruf yang berceceran harus diatur oleh pemain membentuk lebih dari satu kata. Jika ada orang yang memprotes pilihan permainannya yang agak tidak umum itu, Kala akan menjawab dengan santai bahwa game ini melatih otaknya berpikir dari berbagai sudut pandang, seperti menempatkan huruf yang sama untuk menjadi kata yang berbeda, tergantung dari susunannya. Jawaban yang kemudian membuat lawan bicaranya diam, entah karena malas mendebat atau karena jawabannya masuk akal. Ahnaf muncul dari pintu. Menyenggol siku Kala –yang tidak merasakan apa-apa- yang tengah asyik memanyun-manyunkan bibir, mengira-ngira kata apa lagi yang bisa dibentuk huruf-huruf di layar ponselnya. Merasa kehadirannya tak disambut dengan semestinya, Ahnaf duduk di samping Kala sambil melongok-longok
“Makanannya enak. Bakso Mang Ujang emang tiada duanya.”Ana menggerung puas.“Bener banget.”Neta yang berjalan bersama Ana dari kantin mengiyakan. Mereka telah melewati koridor di lantai dasar dan baru saja melewati tangga menuju lantai dua.“Abis mata kuliah ini sudah nggak ada kelas. Mau langsung pulang atau ke kafe biasa dulu?”Neta menimbang-nimbang.“Ke kafe biasa aja dulu kali ya? Di rumah bosan, selalu sendirian.”Ana mengangguk. Neta memang anak tunggal, ibu dan ayahnya sama-sama sibuk. Wajar kalau Neta merasa sepi di rumah.“Eh, lo bawa makalah kita, kan? Hari ini giliran kita presentasi loh.”Neta tidak langsung menjawab, malah sibuk membuka ransel mahalnya. Semenit kemudian ia telah selesai dengan kesibukannya. Melihat ekspresinya saja Ana sudah tahu kalau makalah itu tidak ada di ransel mahal Neta.“Sepertinya ketinggalan di mobil. Gue ambil dulu, ya!”Sambil terburu-buru, Neta merogoh saku kecil di bagian depan r
Atmosfer ruangan mewah yang berisi barang-barang mahal itu terasa menegangkan. Pemilik ruangan tengah bertatap muka dengan jendela, kemurkaan menyelubungi setiap senti kulitnya. Objek pemicu kemarahan sedang duduk santai di sofa berwarna merah marun sambil menyilangkan kaki, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Meskipun tak saling bicara, hawa perselisihan di antara keduanya bertarung di udara.“Masalah apa lagi yang kau buat kali ini, Neta? Profesor Radi datang dan mengeluhkan tingkahmu yang kurang ajar di kelasnya.”Neta bergeming, tak tertarik menjawab.“Pemilihan rektor sudah dekat. Bagaimana Ayah bisa terpilih kalau kelakuanmu seperti preman? Bisa-bisa Ayah gagal karena dianggap tidak mampu mengurus kampus karena mengurus anak sendiri tidak becus.”Saraf harga diri Neta tersengat, tidak terima disamakan dengan preman. Bagi Neta, contoh yang paling mewakili sosok preman hanya Fatih.“Aku bukan preman, Ayah. Sembarangan aja nyamain aku.”Profesor Gani
“Saya sudah memerintahkan anak buah saya untuk menetapkan pria bernama Fatih sebagai tersangka kasus pembunuhan kekasih putri Anda, Profesor. Anda tidak usah khawatir soal itu. Saya turut sedih saat mengetahui pria yang terbunuh itu adalah kekasih putri Anda. Putri Anda pasti sangat terpukul.”Profesor Gani menerima simpati penuh kepura-puraan yang dilontarkan oleh AKBP Neco itu dengan senyum yang ditulus-tuluskan kemudian meneguk teh yang tersaji di meja.“Terima kasih atas perhatian Anda, Komandan. Saya merasa tersanjung mengetahui betapa Komandan menjadikan kasus ini sebagai prioritas. Semoga hal ini dapat menghibur putri saya yang bersedih.”Girang karena menganggap pria di depannya itu akan menjadi tiket ke jabatan lebih tinggi, AKBP Neco berusaha terlihat sungguh-sungguh menangani kasus semata-mata demi keadilan.“Anda terlalu memandang tinggi saya, Profesor. Saya hanya menjalankan tugas sebagai polisi yang wajib menjamin keamanan masyarakat.”Profes
Jus apel yang dipesan teronggok begitu saja di meja, tak menarik minat makhluk berkaos warna tosca dilapisi kemeja flanel warna hitam yang tadi memesan karena sedang sibuk sendiri. Kala tengah intens mencoret-coret kertas di depannya, tak memedulikan apa pun yang terjadi di kantin. Frasa “gantungan kunci” tertulis besar-besar di kertas, menemani kata “racun”. Mengetuk-ngetuk kata “racun” dengan ujung pena sampai kata itu dipenuhi titik hitam bagai jerawat, Kala disergap pemikiran baru yang mendukung teorinya tentang pembunuh Lavi.“Lagi ngapain, lo?”Fatih muncul dari keramaian, menghampiri Kala dan duduk di kursi di depannya sambil memandang kasihan pada jus apel yang malang.“Lagi berpikir aja.”Fatih menghunjamkan tatapan ke kertas di depan Kala, menebak-nebak.“Kasus Lavi?”Kala mengangguk. Itu juga alasannya meminta Fatih untuk bertemu di kantin hari ini.“Lo kan temen Lavi, gue pengen nanya sesuatu.”Fatih mengerjap. Ia tidak sedang di
“Cewek serigala, beraninya bunuh temen baik gue!”Fatih mengumpat sambil menghajar samsak yang tergantung di salah satu sisi kamarnya. Membayangkan sedang menghantam wajah memesona Neta.“Tunggu aja, lo bakal terima pembalasan dari gue!”Sambil mencaci, Fatih melesakkan tinju terakhir ke samsak yang terayun-ayun menyedihkan lalu duduk di kursi dan menenggak air dari botol seraya terengah-engah. Begitu mendengar cerita Kala tadi siang, Fatih sudah akan mencari Neta dan menyeretnya ke kantor polisi. Namun, Kala mencegah dan menyarankan mereka untuk bermain halus karena hal itu belum pasti. Jika memang benar ia pelakunya, Neta bukan lawan yang mudah. Tindakan kejinya yang meracuni Lavi dan upaya membentengi dirinya agar tidak dicurigai menunjukkan betapa berbahayanya wanita itu. Apalagi, posisi Fatih yang merupakan kandidat kuat tersangka pembunuhan Lavi tidak membolehkannya bersikap sembrono, bisa-bisa tuduhan terhadapnya semakin bertambah.Memelototi langi
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal