Beranda / Thriller / POLIGRAF / Interogasi

Share

Interogasi

Penulis: Biru Gerimis
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-20 22:09:32

Fatih menggeser-geserkan badan kekarnya disertai perasaan jengah tiap beberapa detik di kursi berangka besi dengan bantalan dudukan yang sebenarnya cukup nyaman itu. Kursi kosong dengan bentuk yang sama dengan meja sebagai antara berada di depannya, menunggu ditempati. Meskipun ruangan itu cukup luas, penerangan yang hanya diletakkan di atas meja menciptakan ilusi menyeramkan bahwa ada makhluk mengerikan yang mengintai di area yang tak terjilat cahaya. Kaca yang terpasang di salah satu sisi memantulkan bayangan menakutkan yang ditimbulkan oleh pencahayaan yang pelit itu. Secara keseluruhan, ruangan itu memberi kesan suram. Fatih bisa mengerti mengapa perasaan tertekan membungkus para penjahat jika diinterogasi di sini. Atmosfer ruangan menusuk-nusuk otak tersangka agar mengakui saja perbuatannya daripada harus lama-lama di sini.

Sambil bergeser sekali lagi, Fatih yakin kemuraman apapun yang ditawarkan ruangan ini tidak akan mengusiknya. Alasannya sederhana, ia tidak harus mengakui apapun karena memang ia tidak melakukan apapun soal kematian Lavi.

Lavi dibunuh. Fakta itu benar-benar mengejutkannya karena seperti yang lain, sampai hari itu Fatih beranggapan kalau Lavi bunuh diri minum racun di bukit. Siapa yang tega mengundang malaikat maut untuk menyambar nyawa teman baiknya itu?

Sintingnya lagi, ia yang dituduh sebagai pelakunya. Hal yang bahkan tidak pernah berani dibayangkan olehnya. Ia mengakui wataknya yang lebih cepat merasa kesal dibanding orang lain, tapi membunuh membutuhkan keberanian tingkat gawat untuk melakukannya, dan Fatih merasa tidak akan bisa memiliki itu.

Baru saja Fatih mereka-reka siapa makhluk yang berpotensi menjadi pembunuh Lavi, bunyi pintu yang memekik terbuka membuatnya terlonjak. Polisi yang tadi mencekal lengannya kelihatan memasuki lingkaran cahaya sambil membawa kertas dan duduk di kursi di depannya.

“Saya Iptu Ibad, polisi yang akan menginterogasi Anda.”

Fatih mengangguk.

“Saya akan menginterogasi Anda sebagai saksi tewasnya Lavi. Anda bisa memilih untuk tidak menjawab pertanyaan, tapi itu akan merugikan Anda sendiri. Apapaun yang Anda katakan bisa dan akan digunakan di pengadilan.”

Sambil mengangguk sekali lagi, Fatih mengembuskan napas kesal. Ia memang akan berada di pengadilan, tapi bukan sebagai terdakwa. Ia berjanji akan datang ke pengadilan untuk memberi tekanan mental kepada pelaku sebenarnya.

“Nama Anda?”

Ibad memulai interogasi.

“Fatih Mularman.”

“Alamat?”

“Jalan Biru nomor 9 Kota Ryha.”

“Pekerjaan?”

“Mahasiswa Universitas Ryha jurusan Teknik Sipil.”

“Saudara Fatih, di mana Anda berada pada hari Selasa malam tanggal 9 Agustus pukul 23.49?”

Fatih menerawang, mengingat-ingat. Malam itu sekitar pukul 21.00 ia sempat berkumpul dengan Lavi dan teman-teman lainnya di salah satu kafe di alun-alun kota. Tapi, karena merasa perutnya bermasalah, Fatih pulang ke rumah duluan sekitar pukul 21.30.

“Di rumah.”

“Ada yang bisa membuktikan alibi Anda?”

Menerawang lagi, Fatih akhirnya ingat kalau ia sendirian saja berada di rumah malam itu karena keluarganya sedang menjenguk neneknya yang sakit di kota sebelah. Fatih mendecih, kenapa waktunya tidak pas?

“Tidak ada. Saya sendirian di rumah.”

Gantian Ibad yang mengangguk-angguk. Ia kemudian membaca kertas yang dibawanya.

“Saudara Fatih, bagaimana hubungan Anda dengan Saudara Lavi?”

Fatih berpikir sambil berdeham. Tidak ada yang aneh dengan pertemanannya dengan Lavi. Mereka sering nongkrong bareng, main game online bersama. Karena mereka kuliah di jurusan yang sama, mereka juga mengerjakan tugas kuliah bareng kalau sedang rajin. Fatih tiba-tiba dihajar perasaan melankolis karena saat-saat itu tidak akan terulang lagi.

“Biasa-biasa saja. Kami main, makan bareng.”

“Apa Anda pernah berselisih paham dengan Saudara Lavi?

Fatih tertegun. Pertama dan terakhir kalinya ia nyaris adu jotos dengan Lavi adalah tahun lalu. Saat itu ia tidak setuju dengan keputusan Lavi yang berpacaran dengan seorang gadis bernama Neta. Walaupun gadis itu cantik dan populer, Fatih merasa gadis itu licik dan dahaga perhatian. Tidak ada cocok-cocoknya dengan Lavi yang kalem. Lavi yang dibekap cinta tak terima kekasihnya dicaci, ia hampir saja menerbangkan tinju kalau tidak dihadang oleh teman-teman yang lain.

“Pernah. Pertemanan tidak selalu mulus, kan?”

Ibad mengerutkan jidat, mengira-ngira apakah ada maksud tertentu di balik ucapan Fatih.

“Anda berselisih karena apa?”

Fatih mendengus, sepertinya ia tak suka membicarakan hal yang satu itu.

“Biasa, soal cewek.”

Mendadak Ibad maklum mengapa mereka berselisih. Anak muda memang masih labil.

“Kalian menyukai gadis yang sama?”

Fatih berjengit seperti dipeluk wajan panas.

“Tidak. Saya hanya tidak suka Lavi berpacaran dengan cewek itu. Cewek itu serigala, suka berpura-pura, licik.”

Ibad yang mendengarnya menganggap kata yang dipilih Fatih untuk menggambarkan gadis itu cukup kejam. Pantas saja Lavi berang.

“Siapa namanya?”

Fatih menjawab dengan nada enggan yang sangat kentara, seolah-olah ia mengharamkan diri menyebut namanya.

“Neta.”

Ibad mengangguk dan mengetikkan nama itu ke laptop di hadapannya.

Fatih yang tengah mereka ulang adegan hampir perkelahiannya dengan Lavi tahun lalu di dalam benaknya seketika dihantam pencerahan. Cewek serigala itu sangat memiliki kualifikasi sebagai pembunuh Lavi.

“Pak Polisi.”

Ibad yang merasa dipanggil mendongakkan kepala. Ia disergap keheranan karena wajah Fatih untuk pertama kalinya kelihatan cerah.

“Mungkin cewek serigala itu yang membunuh Lavi.”

###

Kala menanti dengan gelisah di ruang tunggu kantor polisi. Sudah tiga puluh menit berlari sejak Fatih memasuki ruang interogasi. Seharusnya Fatih sudah keluar karena pemeriksaan sebagai saksi biasanya tidak menyantap waktu lama, kecuali kalau Fatih mengamuk karena merasa tidak terima bakal dijadikan tersangka. Dengan postur tubuh seperti itu, polisi akan kerepotan menenangkannya.

“Sepertinya Fatih akan jadi tersangka, Ka.”

Kila muncul sebagai perantara info yang tidak ingin didengar Kala. Menghela napas tak suka, Kala menatap Kila, menagih penjelasan.

“Alat buktinya sudah cukup untuk menetapkan Fatih sebagai tersangka, yaitu pengakuan saksi, yaitu kamu. Dan pengakuan korban sendiri melalui kamu. Dokter forensik juga memastikan, arsenik di dalam tubuh Lavi dimasukkan melalui mulut secara serentak dan dalam jumlah yang memang dimaksudkan untuk membunuh. Jika melihat keadaan di TKP ketika korban merayap menjauh dari kaleng minuman dengan asumsi untuk meminta pertolongan, kami menyimpulkan kalau korban memang dibunuh.”

Seperti yang diperkirakan Kila, Kala langsung membantah.

“Tapi korban bohong. Kak. Berapa kali gue harus negasin hal itu?”

Kila memalingkan muka, tak mampu melihat raut memelas di wajah adiknya.

“Gue sudah bilang sama atasan soal kemampuan lo dan perkataan lo kalo korban bohong, tapi atasan menganggapnya mengada-ada. Gue malah dikhotbahi, dibilang terlalu banyak baca komik lah, sedang berkhayal lah, bahkan gue dikatain tidak waras kalo percaya sama hal begituan.”

Ingin rasanya Kala mendatangi atasan Kila dan mendampratnya karena telah berani menuding kakaknya tidak waras. Kala bahkan bersedia merebut risiko mencari kebohongan yang disembunyikan atasan Kila, meskipun harus sakit kepala berhari-hari.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Biru Gerimis
Iya, Kak... Sori, kurang teliti...
goodnovel comment avatar
carsun18106
maksudnya arsenik dlm tubuh lavi ya, bukan fatih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • POLIGRAF   Ambisi

    AKBP Neco Owiral adalah sosok tinggi besar dengan perut sedikit buncit, kulit putih, mata agak sipit, dan hidung sedikit mancung yang kebetulan memimpin Kepolisian Ryha. Nyaris tak ada yang istimewa dari pembicaraan tentangnya, kecuali bahwa ia sangat pandai menjilat. Mungkin itu juga salah satu alasannya menduduki jabatan mewah di Kepolisian Ryha, hal yang agak sulit dicapai oleh rekannya yang tak berbakat bermulut manis di usia yang sama dengannya. Dan hal itu membuatnya sangat bangga.Jelas, karena menuruti ambisi yang meluap-luap di kepala, AKBP Neco akan melakukan segala cara untuk memastikan jalannya menuju jabatan yang lebih tinggi lebih mulus daripada jalan tol. Segala kasus yang terjadi di wilayah hukumnya mesti tertangani dengan baik –di mata khalayak- dan cepat, meskipun itu berarti harus ada yang menjadi tumbal.Karena itu, saat mengetahui jika bawahannya, AKP Kila yang menangani kasus pembunuhan di bukit belum juga menetapkan tersangka walaupun telah lewat b

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-22
  • POLIGRAF   Temuan

    Kelas siang itu belum dimulai jadi Kala memilih mengunyah waktu dengan bermain game. Bukan game yang melibatkan senjata atau pertarungan seperti yang dimainkan oleh pria seusianya, melainkan game susun kata. Beberapa huruf yang berceceran harus diatur oleh pemain membentuk lebih dari satu kata. Jika ada orang yang memprotes pilihan permainannya yang agak tidak umum itu, Kala akan menjawab dengan santai bahwa game ini melatih otaknya berpikir dari berbagai sudut pandang, seperti menempatkan huruf yang sama untuk menjadi kata yang berbeda, tergantung dari susunannya. Jawaban yang kemudian membuat lawan bicaranya diam, entah karena malas mendebat atau karena jawabannya masuk akal. Ahnaf muncul dari pintu. Menyenggol siku Kala –yang tidak merasakan apa-apa- yang tengah asyik memanyun-manyunkan bibir, mengira-ngira kata apa lagi yang bisa dibentuk huruf-huruf di layar ponselnya. Merasa kehadirannya tak disambut dengan semestinya, Ahnaf duduk di samping Kala sambil melongok-longok

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-23
  • POLIGRAF   Ceroboh

    “Makanannya enak. Bakso Mang Ujang emang tiada duanya.”Ana menggerung puas.“Bener banget.”Neta yang berjalan bersama Ana dari kantin mengiyakan. Mereka telah melewati koridor di lantai dasar dan baru saja melewati tangga menuju lantai dua.“Abis mata kuliah ini sudah nggak ada kelas. Mau langsung pulang atau ke kafe biasa dulu?”Neta menimbang-nimbang.“Ke kafe biasa aja dulu kali ya? Di rumah bosan, selalu sendirian.”Ana mengangguk. Neta memang anak tunggal, ibu dan ayahnya sama-sama sibuk. Wajar kalau Neta merasa sepi di rumah.“Eh, lo bawa makalah kita, kan? Hari ini giliran kita presentasi loh.”Neta tidak langsung menjawab, malah sibuk membuka ransel mahalnya. Semenit kemudian ia telah selesai dengan kesibukannya. Melihat ekspresinya saja Ana sudah tahu kalau makalah itu tidak ada di ransel mahal Neta.“Sepertinya ketinggalan di mobil. Gue ambil dulu, ya!”Sambil terburu-buru, Neta merogoh saku kecil di bagian depan r

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-24
  • POLIGRAF   Murka

    Atmosfer ruangan mewah yang berisi barang-barang mahal itu terasa menegangkan. Pemilik ruangan tengah bertatap muka dengan jendela, kemurkaan menyelubungi setiap senti kulitnya. Objek pemicu kemarahan sedang duduk santai di sofa berwarna merah marun sambil menyilangkan kaki, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Meskipun tak saling bicara, hawa perselisihan di antara keduanya bertarung di udara.“Masalah apa lagi yang kau buat kali ini, Neta? Profesor Radi datang dan mengeluhkan tingkahmu yang kurang ajar di kelasnya.”Neta bergeming, tak tertarik menjawab.“Pemilihan rektor sudah dekat. Bagaimana Ayah bisa terpilih kalau kelakuanmu seperti preman? Bisa-bisa Ayah gagal karena dianggap tidak mampu mengurus kampus karena mengurus anak sendiri tidak becus.”Saraf harga diri Neta tersengat, tidak terima disamakan dengan preman. Bagi Neta, contoh yang paling mewakili sosok preman hanya Fatih.“Aku bukan preman, Ayah. Sembarangan aja nyamain aku.”Profesor Gani

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-25
  • POLIGRAF   Desakan

    “Saya sudah memerintahkan anak buah saya untuk menetapkan pria bernama Fatih sebagai tersangka kasus pembunuhan kekasih putri Anda, Profesor. Anda tidak usah khawatir soal itu. Saya turut sedih saat mengetahui pria yang terbunuh itu adalah kekasih putri Anda. Putri Anda pasti sangat terpukul.”Profesor Gani menerima simpati penuh kepura-puraan yang dilontarkan oleh AKBP Neco itu dengan senyum yang ditulus-tuluskan kemudian meneguk teh yang tersaji di meja.“Terima kasih atas perhatian Anda, Komandan. Saya merasa tersanjung mengetahui betapa Komandan menjadikan kasus ini sebagai prioritas. Semoga hal ini dapat menghibur putri saya yang bersedih.”Girang karena menganggap pria di depannya itu akan menjadi tiket ke jabatan lebih tinggi, AKBP Neco berusaha terlihat sungguh-sungguh menangani kasus semata-mata demi keadilan.“Anda terlalu memandang tinggi saya, Profesor. Saya hanya menjalankan tugas sebagai polisi yang wajib menjamin keamanan masyarakat.”Profes

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • POLIGRAF   Lacak

    Jus apel yang dipesan teronggok begitu saja di meja, tak menarik minat makhluk berkaos warna tosca dilapisi kemeja flanel warna hitam yang tadi memesan karena sedang sibuk sendiri. Kala tengah intens mencoret-coret kertas di depannya, tak memedulikan apa pun yang terjadi di kantin. Frasa “gantungan kunci” tertulis besar-besar di kertas, menemani kata “racun”. Mengetuk-ngetuk kata “racun” dengan ujung pena sampai kata itu dipenuhi titik hitam bagai jerawat, Kala disergap pemikiran baru yang mendukung teorinya tentang pembunuh Lavi.“Lagi ngapain, lo?”Fatih muncul dari keramaian, menghampiri Kala dan duduk di kursi di depannya sambil memandang kasihan pada jus apel yang malang.“Lagi berpikir aja.”Fatih menghunjamkan tatapan ke kertas di depan Kala, menebak-nebak.“Kasus Lavi?”Kala mengangguk. Itu juga alasannya meminta Fatih untuk bertemu di kantin hari ini.“Lo kan temen Lavi, gue pengen nanya sesuatu.”Fatih mengerjap. Ia tidak sedang di

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • POLIGRAF   Geram

    “Cewek serigala, beraninya bunuh temen baik gue!”Fatih mengumpat sambil menghajar samsak yang tergantung di salah satu sisi kamarnya. Membayangkan sedang menghantam wajah memesona Neta.“Tunggu aja, lo bakal terima pembalasan dari gue!”Sambil mencaci, Fatih melesakkan tinju terakhir ke samsak yang terayun-ayun menyedihkan lalu duduk di kursi dan menenggak air dari botol seraya terengah-engah. Begitu mendengar cerita Kala tadi siang, Fatih sudah akan mencari Neta dan menyeretnya ke kantor polisi. Namun, Kala mencegah dan menyarankan mereka untuk bermain halus karena hal itu belum pasti. Jika memang benar ia pelakunya, Neta bukan lawan yang mudah. Tindakan kejinya yang meracuni Lavi dan upaya membentengi dirinya agar tidak dicurigai menunjukkan betapa berbahayanya wanita itu. Apalagi, posisi Fatih yang merupakan kandidat kuat tersangka pembunuhan Lavi tidak membolehkannya bersikap sembrono, bisa-bisa tuduhan terhadapnya semakin bertambah.Memelototi langi

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-29
  • POLIGRAF   Teori

    Kala menunggu dengan tak sabar meskipun kursi yang didudukinya sebenarnya menawarkan kenyamanan. Apa semua kursi di kantor polisi menimbulkan perasaan seperti ini? Pantas saja Kila memilih memajang lilin aromaterapi di mejanya untuk menetralisir aura menekan yang dipancarkan para kursi.Kila tengah ke ruangan Bagian Identifikasi Sidik Jari menemui Pita untuk meminta hasil identifikasi gantungan kunci mobil kedua saat Kala tiba siang itu. Ibad yang kebingungan karena sebagai saksi Kala terlalu sering mendatangi kantor polisi mempersilakannya menunggu di kantor Kila.Pembicaraan Kala dengan Fatih kemarin menuntunnya pada pencerahan. Jika kedua gantungan kunci memilki sidik jari Neta, Kala akan dengan riang gembira memburunya. Jika tidak, Kala belum memikirkannya.Pintu terbuka di samping Kala. Kila memasuki ruangan dengan ekpresi yang sulit diterjemahkan. Langsung menuju meja dan menyalakan lilin aromaterapi, Kila duduk dan berusaha membuat dirinya santai. Kala yakin

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30

Bab terbaru

  • POLIGRAF   Kehidupan

    Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu

  • POLIGRAF   Sidang Lanjutan

    "Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal

  • POLIGRAF   Sadar

    Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot

  • POLIGRAF   Dapat

    "Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan

  • POLIGRAF   Cari

    Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say

  • POLIGRAF   Bangkit

    "Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu

  • POLIGRAF   Sengaja

    Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim

  • POLIGRAF   Ricuh

    "Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi

  • POLIGRAF   Kecelakaan

    Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal

DMCA.com Protection Status