AKBP Neco Owiral adalah sosok tinggi besar dengan perut sedikit buncit, kulit putih, mata agak sipit, dan hidung sedikit mancung yang kebetulan memimpin Kepolisian Ryha. Nyaris tak ada yang istimewa dari pembicaraan tentangnya, kecuali bahwa ia sangat pandai menjilat. Mungkin itu juga salah satu alasannya menduduki jabatan mewah di Kepolisian Ryha, hal yang agak sulit dicapai oleh rekannya yang tak berbakat bermulut manis di usia yang sama dengannya. Dan hal itu membuatnya sangat bangga.
Jelas, karena menuruti ambisi yang meluap-luap di kepala, AKBP Neco akan melakukan segala cara untuk memastikan jalannya menuju jabatan yang lebih tinggi lebih mulus daripada jalan tol. Segala kasus yang terjadi di wilayah hukumnya mesti tertangani dengan baik –di mata khalayak- dan cepat, meskipun itu berarti harus ada yang menjadi tumbal. Karena itu, saat mengetahui jika bawahannya, AKP Kila yang menangani kasus pembunuhan di bukit belum juga menetapkan tersangka walaupun telah lewat berhari-hari, AKBP Neco seperti kebakaran cambang, karena ia tak pernah punya janggut. Untuk memadamkan kebakaran itu, ia memerintahkan AKP Kila untuk menunjuk saksi paling potensial, yaitu Fatih, sebagai tersangka. Dengan begitu, koran dan media online di Ryha akan mengguyuri institusinya dengan pujian karena dianggap bekerja cepat. Itu bisa jadi pertimbangan buat petinggi untuk memilihnya menduduki pangkat yang lebih mentereng. Setelah AKP Kila meninggalkan ruangannya sehabis dicekoki dengan nasihat yang dibungkus dengan kalimat yang cukup membuat telinga merah saking pedasnya, AKBP Neco memikirkan perkataan AKP Kila soal kemampuan adiknya untuk mendeteksi kebohongan. Ia tentu saja tidak percaya kalau ada hal yang seperti itu dan menyimpulkan kalau AKP Kila hanya mencoba mengemukakan alasan payah untuk mengulur-ulur penyelesaian kasus. AKBP Neco tengah membayangkan ucapan selamat yang bakal diterimanya dari berbagai pihak –kasus pembunuhan di bukit nyatanya menuai banyak perhatian, terutama karena pembunuhan jarang terjadi di Kota Ryha- jika telah menuntaskan kasus ketika ponselnya berdering. Setengah kesal karena imajinasinya digunting, AKBP Neco menoleh ke ponsel dan mengernyit melihat nama yang tertera di layar. Setahunya orang yang menelpon itu tidak punya urusan dengan polisi. Atau punya? “Halo.” Suara di seberang kedengaran menjawab. “Ada urusan apa menelpon, Kak?” Makhluk yang dipanggil Kakak menjawab pertanyaannya. “Mau bertemu? Untuk apa?” Jawaban pertanyaannya membuat kernyitan di jidat AKBP Neco semakin dalam. Setelah berbincang lagi beberapa kalimat, pembicaraan keduanya diakhiri. AKBP Neco meletakkan ponselnya kembali ke meja dan memelototi benda itu sambil mengulang panggilan tadi di otaknya. Orang itu mengenal pria yang dibunuh di bukit itu? Pertanda apa ini untuk karirnya? Baik? Atau buruk? Jika kasus ini selesai sesuai harapan, dengan koneksinya yang luas orang itu bisa melancarkan langkahnya. Tapi jika tidak, orang itu tidak akan sungkan mengumbar ketidakbecusannya. Kasus ini mendadak menjelma pedang bermata ganda. Bisa melontarkan kedudukannya ke kursi impiannya, juga mampu menyurukkannya ke inti bumi sampai tidak sanggup lagi mengangkat kepala. Kesempatan ini tidak boleh dicemari dengan keputusan gegabah yang sangat mungkin diambil bawahannya. Untuk itu, ia harus memberi perhatian penuh pada kasus ini. Kasus yang lain tidak penting.### Kila menggenggam erat plastik bening di tangannya. Ini satu-satunya benda yang mungkin bisa membuktikan kalau Fatih tidak bersalah. Sebagai polisi, ia harus menyelidiki segala kemungkinan. Itu hal yang pernah ia gembar-gemborkan kepada Kala. Tentu saja ia merasa malu jika tidak bisa bertindak sesuai perkataannya. Pintu bangunan tempat Bagian Identifikasi Sidik Jari bersemayam sudah terlihat. Ia berniat mengidentifikasi sidik jari di gantungan kunci mobil berwarna coklat dengan motif polkadot hitam itu. Ia tidak bisa mengabaikan teori Kala bahwa mungkin saja pemilik benda ini pelaku sebenarnya. Terus terang ia juga heran, kenapa benda yang sudah dikembalikan ke pemiliknya malah tergeletak di TKP pembunuhan? Ini lebih mencurigakan dibanding menemukan Kala sebagai saksi di tempat yang tidak lazim. Bukan karena Kala adalah adiknya jadi ia percaya, tapi karena Kala tidak bisa berbohong makanya ia berani merebut risiko. Jika kebohongan orang lain bisa diketahui, kebohongan sendiri tidak mungkin terlewati, kan? Membuka pintu sebuah ruangan, Kila disuguhi pemandangan berupa sesosok tubuh berkemeja biru dan bercelana bahan hitam tengah duduk di sebuah kursi dengan meja di depannya, serius membaca berkas. Tak memedulikan pintu ruangannya dibuka. “Pit….” Kila memanggil. Sosok itu mendongakkan kepala dari berkas yang mengisap perhatiannya. Melihat Kila berdiri di pintu, sosok itu tersenyum dan berdiri menyambut teman baiknya itu. “Kali ini kasus apa yang kau bawa, Kil?” AKP Pita –Kepala Bagian Identifikasi Sidik Jari Kepolisian Ryha- menodongkan pertanyaan. Ia sudah hafal dengan kebiasaan Kila yang langsung memanggil namanya begitu masuk ke ruangannya jika ingin memintanya mengidentifikasi sidik jari untuk sebuah kasus. Bukannya menjawab, Kila malah menyodorkan plastik bening yang dibawanya ke muka Pita. Pita sendiri memerhatikan gantungan kunci mobil itu. “Ini barang bukti untuk kasus apa?” Kila merendahkan suaranya seperti sedang berkonspirasi merencanakan kudeta dan menjawab. “Kasus pembunuhan di bukit.” Pita menghadiahinya tatapan heran. “Gue dengar kasus itu sudah ada tersangkanya? Pria, kan? Sedangkan benda yang lo bawa ini lebih pantas dimiliki wanita.” Sebagai respons, Kila menutup pintu ruangan Pita kemudian kembali mendekati Pita. “Adik gue bilang bukan pria itu pelakunya. Gue percaya. Adik gue nggak bisa bohong soalnya.” Pita mengangguk-angguk. Tentu saja ia mengenal Kala dan kemampuan anehnya itu. Ia bahkan pernah iseng mengetes keampuhannya dengan memegang lengan Kala dan mengatakan kalau Kila sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Kontan saja Kila mendelik mendengarnya, sedangkan Kala dihajar rasa sakit kepala. Pita yang merasa bersalah karena kemampuan itu ternyata mempunyai efek yang menyakitkan akhirnya mentraktir mereka berdua makan. Sejak itu, Pita tak berminat menggelar uji coba lagi. “Kalo Kala yang bilang begitu gue juga bakal percaya.” Kila hampir memeluk Pita karena sangat senang mendapat dukungan. Setelah disajikan menu berupa nasihat pedas di ruangan AKBP Neco, support seperti inilah yang dibutuhkannya. “Yang aneh, Kala bilang kalo dia sudah kembaliin gantungan kunci mobil ini ke pemiliknya di jalanan menuju bukit sebelum nemuin mayat. Tapi, benda ini malah ditemukan tercecer di semak sekitar tempat mayat itu berada. Mencurigakan, kan? Tidak mungkin benda ini terbang sendiri ke TKP.” Pita mengangguk lagi, membenarkan ucapan Kila tanpa kata. Ia kemudian teringat pada sesuatu. “Gimana reaksi atasan soal ini?” Kila mengembuskan napas malas. “Si atasan bertindak seperti biasa, pengen buru-buru nyelesaiin kasus. Bahkan dia yang nyuruh gue netapin Fatih sebagai tersangka.” Pita maklum. AKBP Neco memang sudah kondang sifatnya gemar menguber-uber penyelesaian kasus. “Semoga si atasan cepat dimutasi. Gue bisa sinting kalau dia lama-lama di sini.” Pita melongo. Kila sepertinya sudah sinting.Kelas siang itu belum dimulai jadi Kala memilih mengunyah waktu dengan bermain game. Bukan game yang melibatkan senjata atau pertarungan seperti yang dimainkan oleh pria seusianya, melainkan game susun kata. Beberapa huruf yang berceceran harus diatur oleh pemain membentuk lebih dari satu kata. Jika ada orang yang memprotes pilihan permainannya yang agak tidak umum itu, Kala akan menjawab dengan santai bahwa game ini melatih otaknya berpikir dari berbagai sudut pandang, seperti menempatkan huruf yang sama untuk menjadi kata yang berbeda, tergantung dari susunannya. Jawaban yang kemudian membuat lawan bicaranya diam, entah karena malas mendebat atau karena jawabannya masuk akal. Ahnaf muncul dari pintu. Menyenggol siku Kala –yang tidak merasakan apa-apa- yang tengah asyik memanyun-manyunkan bibir, mengira-ngira kata apa lagi yang bisa dibentuk huruf-huruf di layar ponselnya. Merasa kehadirannya tak disambut dengan semestinya, Ahnaf duduk di samping Kala sambil melongok-longok
“Makanannya enak. Bakso Mang Ujang emang tiada duanya.”Ana menggerung puas.“Bener banget.”Neta yang berjalan bersama Ana dari kantin mengiyakan. Mereka telah melewati koridor di lantai dasar dan baru saja melewati tangga menuju lantai dua.“Abis mata kuliah ini sudah nggak ada kelas. Mau langsung pulang atau ke kafe biasa dulu?”Neta menimbang-nimbang.“Ke kafe biasa aja dulu kali ya? Di rumah bosan, selalu sendirian.”Ana mengangguk. Neta memang anak tunggal, ibu dan ayahnya sama-sama sibuk. Wajar kalau Neta merasa sepi di rumah.“Eh, lo bawa makalah kita, kan? Hari ini giliran kita presentasi loh.”Neta tidak langsung menjawab, malah sibuk membuka ransel mahalnya. Semenit kemudian ia telah selesai dengan kesibukannya. Melihat ekspresinya saja Ana sudah tahu kalau makalah itu tidak ada di ransel mahal Neta.“Sepertinya ketinggalan di mobil. Gue ambil dulu, ya!”Sambil terburu-buru, Neta merogoh saku kecil di bagian depan r
Atmosfer ruangan mewah yang berisi barang-barang mahal itu terasa menegangkan. Pemilik ruangan tengah bertatap muka dengan jendela, kemurkaan menyelubungi setiap senti kulitnya. Objek pemicu kemarahan sedang duduk santai di sofa berwarna merah marun sambil menyilangkan kaki, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Meskipun tak saling bicara, hawa perselisihan di antara keduanya bertarung di udara.“Masalah apa lagi yang kau buat kali ini, Neta? Profesor Radi datang dan mengeluhkan tingkahmu yang kurang ajar di kelasnya.”Neta bergeming, tak tertarik menjawab.“Pemilihan rektor sudah dekat. Bagaimana Ayah bisa terpilih kalau kelakuanmu seperti preman? Bisa-bisa Ayah gagal karena dianggap tidak mampu mengurus kampus karena mengurus anak sendiri tidak becus.”Saraf harga diri Neta tersengat, tidak terima disamakan dengan preman. Bagi Neta, contoh yang paling mewakili sosok preman hanya Fatih.“Aku bukan preman, Ayah. Sembarangan aja nyamain aku.”Profesor Gani
“Saya sudah memerintahkan anak buah saya untuk menetapkan pria bernama Fatih sebagai tersangka kasus pembunuhan kekasih putri Anda, Profesor. Anda tidak usah khawatir soal itu. Saya turut sedih saat mengetahui pria yang terbunuh itu adalah kekasih putri Anda. Putri Anda pasti sangat terpukul.”Profesor Gani menerima simpati penuh kepura-puraan yang dilontarkan oleh AKBP Neco itu dengan senyum yang ditulus-tuluskan kemudian meneguk teh yang tersaji di meja.“Terima kasih atas perhatian Anda, Komandan. Saya merasa tersanjung mengetahui betapa Komandan menjadikan kasus ini sebagai prioritas. Semoga hal ini dapat menghibur putri saya yang bersedih.”Girang karena menganggap pria di depannya itu akan menjadi tiket ke jabatan lebih tinggi, AKBP Neco berusaha terlihat sungguh-sungguh menangani kasus semata-mata demi keadilan.“Anda terlalu memandang tinggi saya, Profesor. Saya hanya menjalankan tugas sebagai polisi yang wajib menjamin keamanan masyarakat.”Profes
Jus apel yang dipesan teronggok begitu saja di meja, tak menarik minat makhluk berkaos warna tosca dilapisi kemeja flanel warna hitam yang tadi memesan karena sedang sibuk sendiri. Kala tengah intens mencoret-coret kertas di depannya, tak memedulikan apa pun yang terjadi di kantin. Frasa “gantungan kunci” tertulis besar-besar di kertas, menemani kata “racun”. Mengetuk-ngetuk kata “racun” dengan ujung pena sampai kata itu dipenuhi titik hitam bagai jerawat, Kala disergap pemikiran baru yang mendukung teorinya tentang pembunuh Lavi.“Lagi ngapain, lo?”Fatih muncul dari keramaian, menghampiri Kala dan duduk di kursi di depannya sambil memandang kasihan pada jus apel yang malang.“Lagi berpikir aja.”Fatih menghunjamkan tatapan ke kertas di depan Kala, menebak-nebak.“Kasus Lavi?”Kala mengangguk. Itu juga alasannya meminta Fatih untuk bertemu di kantin hari ini.“Lo kan temen Lavi, gue pengen nanya sesuatu.”Fatih mengerjap. Ia tidak sedang di
“Cewek serigala, beraninya bunuh temen baik gue!”Fatih mengumpat sambil menghajar samsak yang tergantung di salah satu sisi kamarnya. Membayangkan sedang menghantam wajah memesona Neta.“Tunggu aja, lo bakal terima pembalasan dari gue!”Sambil mencaci, Fatih melesakkan tinju terakhir ke samsak yang terayun-ayun menyedihkan lalu duduk di kursi dan menenggak air dari botol seraya terengah-engah. Begitu mendengar cerita Kala tadi siang, Fatih sudah akan mencari Neta dan menyeretnya ke kantor polisi. Namun, Kala mencegah dan menyarankan mereka untuk bermain halus karena hal itu belum pasti. Jika memang benar ia pelakunya, Neta bukan lawan yang mudah. Tindakan kejinya yang meracuni Lavi dan upaya membentengi dirinya agar tidak dicurigai menunjukkan betapa berbahayanya wanita itu. Apalagi, posisi Fatih yang merupakan kandidat kuat tersangka pembunuhan Lavi tidak membolehkannya bersikap sembrono, bisa-bisa tuduhan terhadapnya semakin bertambah.Memelototi langi
Kala menunggu dengan tak sabar meskipun kursi yang didudukinya sebenarnya menawarkan kenyamanan. Apa semua kursi di kantor polisi menimbulkan perasaan seperti ini? Pantas saja Kila memilih memajang lilin aromaterapi di mejanya untuk menetralisir aura menekan yang dipancarkan para kursi.Kila tengah ke ruangan Bagian Identifikasi Sidik Jari menemui Pita untuk meminta hasil identifikasi gantungan kunci mobil kedua saat Kala tiba siang itu. Ibad yang kebingungan karena sebagai saksi Kala terlalu sering mendatangi kantor polisi mempersilakannya menunggu di kantor Kila.Pembicaraan Kala dengan Fatih kemarin menuntunnya pada pencerahan. Jika kedua gantungan kunci memilki sidik jari Neta, Kala akan dengan riang gembira memburunya. Jika tidak, Kala belum memikirkannya.Pintu terbuka di samping Kala. Kila memasuki ruangan dengan ekpresi yang sulit diterjemahkan. Langsung menuju meja dan menyalakan lilin aromaterapi, Kila duduk dan berusaha membuat dirinya santai. Kala yakin
“Lavi dan Neta rencana nikah?”Gelas berisi minuman bersoda yang hampir sampai di bibir Kala tiba-tiba berhenti. Shock mendengar kabar yang dibawa Fatih.“Kata Ana sih gitu.” Kehilangan minat untuk minum, Kala meletakkan kembali gelasnya. Kesimpulan yang dibangunnya bersama Fatih harus ia akui agak goyah diterpa info ini. Jika memang Neta pelakunya, buat apa ia menghilangkan nyawa orang yang akan dinikahinya? Lagipula, apa memang Neta benar pelakunya? Bagaimana kalau selama ini ia hanya percaya pada apa yang ingin ia percayai saja? Semua pemikiran yang menyerbu otaknya ini membuat Kala kecurian semangat.“Tih, gimana kalo selama ini ternyata kita salah?”Fatih termenung. Bukannya ia tidak pernah berpikir seperti itu setelah mendengar penuturan Ana.“Jujur sih, gue sempet berpikir kayak gitu. Tapi akhirnya gue sadar kalo kita cuman curiga dan menyelidiki. Kalo emang Neta yang bunuh Lavi, kita sudah bertindak benar. Tapi kalo emang bukan, setidaknya ki