Sudah selesai!
Langkahnya panjang-panjang hampir berlari menuruni bukit yang gelap. Ingin segera pergi dari tempat mengerikan itu. Wanita berambut layer sebahu itu masih tidak bisa menyingkirkan gambaran menakutkan seorang pria telentang kesakitan dengan sorot mata memohon yang tercetak jelas di otaknya. Meskipun begitu, ia merasa harus memberi pujian kepada dirinya sendiri karena telah berhasil melepaskan diri dari belitan manusia membosankan yang bernama kekasih itu. Bahkan untuk selamanya. Suatu hal yang sebelumnya tak berani ia pikirkan. Sebenarnya, wanita itu tak pernah berniat mengakhiri hubungan dengan cara seperti ini. Tapi sejak sebulan terakhir, keadaan menjadi semakin terasa menjemukan. Tak ada perasaan senang yang membuncah-buncah saat bertemu, tak ada rasa rindu yang meledak-ledak jika berjauhan. Segalanya hambar, seakan-akan saling berkirim pesan dan bertemu di akhir pekan hanya sebuah rutinitas untuk mengunyah waktu. Ia ingat, situasi ini bermula ketika ia bilang kepada pria yang tengah terkapar di bukit itu bahwa dirinya hamil. Awalnya, ia hanya penasaran seperti apa reaksi kekasihnya jika berkata seperti itu, apakah seperti sebagian pria yang menolak kenyataan atau sebagian lainnya yang berdamai dengan kondisi. Ternyata, pria itu termasuk ke dalam golongan yang belakangan, bahkan sampai mengajaknya menikah saat itu juga. Sebagai wanita cantik yang populer di kampus, ia tentu saja menolak lamaran dadakan itu. Bisa-bisa kepopulerannya meredup jika bertiup kabar ia menikah secepat itu. Mulut-mulut yang suka bergosip pasti akan menceritakan dengan seru jika dirinya menikah karena isi duluan. Meskipun permintaannya ditepis, pria itu tetap mendesaknya. Ia kemudian dihujani perhatian dan kata-kata rayuan tiap hari sampai terasa sesak hingga perasaannya sendiri memudar dan terbasmi. Dan kemarin, pria itu menelepon dan memberitahunya bahwa ia akan berkunjung bersama keluarganya untuk membicarakan pernikahan. Ia sontak terperanjat mendengarnya dan dengan gugup akhirnya meminta pria itu untuk bertemu dengannya di bukit tengah malam ini untuk membicarakan hal itu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghadang keinginan pria tolol itu. Sempat muncrat keinginan untuk membeberkan kalau kabar kehamilannya cuma bohong, tapi ia tidak suka kalau isu soal dirinya pembohong jadi santapan orang-orang yang iri padanya. Sampai kemudian setan bercokol di otaknya dan membuatnya memikirkan satu cara. Jalanan gelap karena lampu jalan yang jaraknya berjauhan tersaji di depannya, namun wanita itu tidak takut karena telah mengenal dengan baik daerah itu. Kawasan itu meskipun sepi, tapi cukup aman untuk dilalui oleh wanita di malam hari. Hal yang sama membuatnya memilih bukit itu untuk melakukan rencananya. Sembari mengembuskan napas senang, wanita itu bermaksud mengambil kunci mobil di dalam tas tangan mahalnya. Namun, mendadak ia mendengar suara langkah kaki yang berlari mendekat. Berpikir area itu tidak seaman yang dikiranya, ia buru-buru merogoh kunci mobil. Sialnya, kunci mobil itu justru terhempas ke jalanan yang gelap. Panik, wanita itu meraba-raba jalanan mencari kunci mobilnya. Tidak sempat berpikir untuk menggunakan penerangan dari ponselnya. Tiba-tiba tangannya mendarat di sepatu sneaker. Walapun prasangka buruk telah mondar-mandir di benaknya, ia memberanikan diri untuk mendongak, tapi yang dilihatnya hanya siluet karena lampu jalan tidak menjangkau tempatnya terpaku. “Lo cari ini?” Sosok itu bersuara sambil menggoyangkan benda di tangannya berupa gantungan kunci berbentuk dompet berwarna dasar coklat dengan motif polkadot hitam yang dikenali wanita itu sebagai kunci mobilnya. “Tadi nggak sengaja gue injak. Pas gue liat pake senter ponsel, ternyata kunci mobil.” Sosok itu menjelaskan padahal tidak pernah diminta. Sebentar ragu, jangan-jangan orang ini punya maksud keji, wanita itu akhirnya menyambar kunci mobilnya dan berlari menghindar. Tak melihat sosok di belakangnya yang melongo keheranan. Setelah meyakinkan diri kalau sosok itu tidak menguntit, wanita itu menoleh ke belakang. Di bawah penerangan lampu jalan yang remang-remang, ia melihat sosok yang berpapasan dengannya tengah berlari dengan langkah yang tetap menuju arah yang berlawanan memakai pakaian olahraga. Joging di tengah malam? Seperti tidak ada waktu lain saja. Sambil menggelengkan kepala karena tak habis pikir dengan kelakuan aneh sosok itu, wanita itu berjalan kembali. Namun, baru beberapa langkah, sebuah pemikiran baru yang menabrak kepalanya membuatnya kembali berhenti dan menoleh. Matanya membelalak ketika menyadari satu hal. Sosok itu joging ke arah bukit. Terguncang, wanita itu menenggelamkan niatnya untuk pulang. Ia harus memastikan pria itu sudah mati saat sosok itu sampai di bukit. Ia pun mengikuti sosok itu sembari mencoba membuat langkahnya tak terdeteksi yang ternyata sulit dilakukan karena keadaan sepi membuat suara sekecil apapun jadi terdengar. Wanita itu nyaris mengumpat ketika mendapati pria yang diberinya minuman beracun belum meninggal. Memperbaharui posisi berjongkok di balik semak rimbun agar dapat mengintip dan menguping dengan lebih saksama, ia memerhatikan sosok berpakaian olahraga tengah berupaya berbicara kepada pria itu. “Lo kenapa? Sakit? Ayo ke rumah sakit.” Tidak boleh, pria itu tidak boleh dibawa ke rumah sakit! “Ra…cun…, ra…cun….” Wanita itu hampir tewas duluan dibanding pria yang diracuninya karena ketakutan. Apa yang bakal terjadi padanya jika pria itu ternyata selamat? “Siapa yang ngelakuin ini?” Wanita itu mendengar sosok berpakaian olahraga bertanya. Habislah sudah! Wanita itu sudah membayangkan ketenaran di kampus yang setengah hidup dibangunnya akan berceceran akibat fakta mengenai dirinya yang seorang pembunuh terkuak. Cemoohan dari orang sekitar, interogasi polisi, suasana pengadilan yang menekan, sorotan media yang menjadikannya berita eksklusif, media sosial yang memviralkannya, dan penjara yang diisi oleh penjahat wanita yang lebih kejam darinya adalah hal yang tengah menantinya. Ia bahkan telah merasa memijat bahu dan kaki penjahat wanita sadis yang dihukum karena membunuh bayinya sendiri. Belum sempat menjawab pertanyaan sosok berpakaian olahraga, pria itu kelihatan sangat shock dan kesakitan. Ayolah, kumohon dia cepat mati! Mencengangkan. Kali pertama wanita itu memohon justru meminta kematian seseorang dipercepat. Rupanya ia sudah tak tahu harus bagaimana agar pria itu cepat mati kecuali memohon. “Fa…tih…, Fa…tih….” Tergesa-gesa menutup mulut dengan telapak tangan karena nyaris memekik, wanita itu tak memercayai pendengarannya. Bukannya menyebut namanya, pria itu justru mengucapkan nama orang lain. Kenapa? Bukan karena ia kira aku sedang hamil anaknya, kan? Pria itu nampak gemetaran hebat. Anehnya, sosok berpakaian olahraga juga terlihat kesakitan dan tangannya bergetar. Tidak mungkin kan ia keracunan juga? Apapun itu, wanita itu tak peduli. Imajinasi ngawur yang tadi sempat membanjiri otaknya kini lenyap seketika. Tiba-tiba malam terasa lebih indah. Angin dingin menjelma selimut hangat yang membekapnya. Ada gunanya juga pria itu lambat mati. Dengan riang, wanita itu bergerak perlahan-lahan menjauhi persembunyiannya. Tak sadar sebuah benda menghilang dari tas tangan mahalnya.Berkas kasus dugaan pembunuhan pria di bukit yang dipegangnya tak lagi menarik perhatian. Pikiran Kila justru terpancang pada perkataan Kala soal korban yang berbohong semalam. Ia tentu harus mengikuti prosedur untuk menjadikan kesaksian Kala sebagai alat bukti. Namun, siapa yang akan percaya jika Kila bilang Kala tahu kalau korbannya berbohong? Ia hanya akan terlihat seperti manusia dengan daya khayal yang menyeramkan kalau Kila membeberkan kemampuan Kala. Tapi, kalau Kila memilih mengabaikan omongan Kala yang merisaukan itu, bukannya ia akan menghukum orang yang tidak bersalah? Kila sadar tidak akan berani merebut risiko itu karena ia tahu seberapa ampuhnya kemampuan Kala mendeteksi kebohongan. Terutama sejak Kala memberitahunya kalau Jamal –mantan kekasih Kila- telah berbohong kepadanya.Kila tiba-tiba-bergidik mengingat kejadian itu. Kalau saja Kala tidak keras kepala merongrongnya supaya percaya, mungkin di dahi Kila akan terpahat tulisan “perusak rumah tangga orang”. M
Kampus masih terdengar bergemuruh seperti biasanya. Sambil melangkah hati-hati agar tidak menyentuh orang lain –bisa saja kalimat terakhir orang yang disentuhnya adalah kebohongan, Kala sedang tidak berminat untuk sakit kepala-, Kala berjalan ke kelasnya bersama temannya, Ahnaf.Sambil mendengarkan dengan tidak sungguh-sungguh ucapan Ahnaf tentang teman kampus mereka yang bunuh diri kemarin, Kala baru tahu kalau pria sekarat yang ditemukannya ternyata sekampus dengannya. Ia pun membiarkan Ahnaf bersenang-senang dengan anggapannya bahwa pria itu bunuh diri, itu lebih baik daripada memberi tahu kalau pria itu dibunuh dan Ahnaf menyiksanya untuk membeberkan siapa pelakunya. Tidak jauh dari mereka nampak tercipta kerumunan, Kala yang memang tidak peduli pada hal apapun yang tidak berkaitan dengan dirinya, kecuali perilaku kriminal yang menimpa orang lain, baru akan melewati pintu kelasnya ketika buntut matanya terhunjam pada makhluk yang sangat dikenalnya. Jaket bomber yan
Fatih menggeser-geserkan badan kekarnya disertai perasaan jengah tiap beberapa detik di kursi berangka besi dengan bantalan dudukan yang sebenarnya cukup nyaman itu. Kursi kosong dengan bentuk yang sama dengan meja sebagai antara berada di depannya, menunggu ditempati. Meskipun ruangan itu cukup luas, penerangan yang hanya diletakkan di atas meja menciptakan ilusi menyeramkan bahwa ada makhluk mengerikan yang mengintai di area yang tak terjilat cahaya. Kaca yang terpasang di salah satu sisi memantulkan bayangan menakutkan yang ditimbulkan oleh pencahayaan yang pelit itu. Secara keseluruhan, ruangan itu memberi kesan suram. Fatih bisa mengerti mengapa perasaan tertekan membungkus para penjahat jika diinterogasi di sini. Atmosfer ruangan menusuk-nusuk otak tersangka agar mengakui saja perbuatannya daripada harus lama-lama di sini. Sambil bergeser sekali lagi, Fatih yakin kemuraman apapun yang ditawarkan ruangan ini tidak akan mengusiknya. Alasannya sederhana, ia tidak harus mengakui apa
AKBP Neco Owiral adalah sosok tinggi besar dengan perut sedikit buncit, kulit putih, mata agak sipit, dan hidung sedikit mancung yang kebetulan memimpin Kepolisian Ryha. Nyaris tak ada yang istimewa dari pembicaraan tentangnya, kecuali bahwa ia sangat pandai menjilat. Mungkin itu juga salah satu alasannya menduduki jabatan mewah di Kepolisian Ryha, hal yang agak sulit dicapai oleh rekannya yang tak berbakat bermulut manis di usia yang sama dengannya. Dan hal itu membuatnya sangat bangga.Jelas, karena menuruti ambisi yang meluap-luap di kepala, AKBP Neco akan melakukan segala cara untuk memastikan jalannya menuju jabatan yang lebih tinggi lebih mulus daripada jalan tol. Segala kasus yang terjadi di wilayah hukumnya mesti tertangani dengan baik –di mata khalayak- dan cepat, meskipun itu berarti harus ada yang menjadi tumbal.Karena itu, saat mengetahui jika bawahannya, AKP Kila yang menangani kasus pembunuhan di bukit belum juga menetapkan tersangka walaupun telah lewat b
Kelas siang itu belum dimulai jadi Kala memilih mengunyah waktu dengan bermain game. Bukan game yang melibatkan senjata atau pertarungan seperti yang dimainkan oleh pria seusianya, melainkan game susun kata. Beberapa huruf yang berceceran harus diatur oleh pemain membentuk lebih dari satu kata. Jika ada orang yang memprotes pilihan permainannya yang agak tidak umum itu, Kala akan menjawab dengan santai bahwa game ini melatih otaknya berpikir dari berbagai sudut pandang, seperti menempatkan huruf yang sama untuk menjadi kata yang berbeda, tergantung dari susunannya. Jawaban yang kemudian membuat lawan bicaranya diam, entah karena malas mendebat atau karena jawabannya masuk akal. Ahnaf muncul dari pintu. Menyenggol siku Kala –yang tidak merasakan apa-apa- yang tengah asyik memanyun-manyunkan bibir, mengira-ngira kata apa lagi yang bisa dibentuk huruf-huruf di layar ponselnya. Merasa kehadirannya tak disambut dengan semestinya, Ahnaf duduk di samping Kala sambil melongok-longok
“Makanannya enak. Bakso Mang Ujang emang tiada duanya.”Ana menggerung puas.“Bener banget.”Neta yang berjalan bersama Ana dari kantin mengiyakan. Mereka telah melewati koridor di lantai dasar dan baru saja melewati tangga menuju lantai dua.“Abis mata kuliah ini sudah nggak ada kelas. Mau langsung pulang atau ke kafe biasa dulu?”Neta menimbang-nimbang.“Ke kafe biasa aja dulu kali ya? Di rumah bosan, selalu sendirian.”Ana mengangguk. Neta memang anak tunggal, ibu dan ayahnya sama-sama sibuk. Wajar kalau Neta merasa sepi di rumah.“Eh, lo bawa makalah kita, kan? Hari ini giliran kita presentasi loh.”Neta tidak langsung menjawab, malah sibuk membuka ransel mahalnya. Semenit kemudian ia telah selesai dengan kesibukannya. Melihat ekspresinya saja Ana sudah tahu kalau makalah itu tidak ada di ransel mahal Neta.“Sepertinya ketinggalan di mobil. Gue ambil dulu, ya!”Sambil terburu-buru, Neta merogoh saku kecil di bagian depan r
Atmosfer ruangan mewah yang berisi barang-barang mahal itu terasa menegangkan. Pemilik ruangan tengah bertatap muka dengan jendela, kemurkaan menyelubungi setiap senti kulitnya. Objek pemicu kemarahan sedang duduk santai di sofa berwarna merah marun sambil menyilangkan kaki, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Meskipun tak saling bicara, hawa perselisihan di antara keduanya bertarung di udara.“Masalah apa lagi yang kau buat kali ini, Neta? Profesor Radi datang dan mengeluhkan tingkahmu yang kurang ajar di kelasnya.”Neta bergeming, tak tertarik menjawab.“Pemilihan rektor sudah dekat. Bagaimana Ayah bisa terpilih kalau kelakuanmu seperti preman? Bisa-bisa Ayah gagal karena dianggap tidak mampu mengurus kampus karena mengurus anak sendiri tidak becus.”Saraf harga diri Neta tersengat, tidak terima disamakan dengan preman. Bagi Neta, contoh yang paling mewakili sosok preman hanya Fatih.“Aku bukan preman, Ayah. Sembarangan aja nyamain aku.”Profesor Gani
“Saya sudah memerintahkan anak buah saya untuk menetapkan pria bernama Fatih sebagai tersangka kasus pembunuhan kekasih putri Anda, Profesor. Anda tidak usah khawatir soal itu. Saya turut sedih saat mengetahui pria yang terbunuh itu adalah kekasih putri Anda. Putri Anda pasti sangat terpukul.”Profesor Gani menerima simpati penuh kepura-puraan yang dilontarkan oleh AKBP Neco itu dengan senyum yang ditulus-tuluskan kemudian meneguk teh yang tersaji di meja.“Terima kasih atas perhatian Anda, Komandan. Saya merasa tersanjung mengetahui betapa Komandan menjadikan kasus ini sebagai prioritas. Semoga hal ini dapat menghibur putri saya yang bersedih.”Girang karena menganggap pria di depannya itu akan menjadi tiket ke jabatan lebih tinggi, AKBP Neco berusaha terlihat sungguh-sungguh menangani kasus semata-mata demi keadilan.“Anda terlalu memandang tinggi saya, Profesor. Saya hanya menjalankan tugas sebagai polisi yang wajib menjamin keamanan masyarakat.”Profes