Minggat dari ruang tahanan, Ibad dan Pita berjalan dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Mereka selalu memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan Wira dan Yudi sebelum melewati koridor. Mereka juga menghindari bertemu dengan polisi lain karena bisa saja Wira dan Yudi telah bertanya pada rekannya dan memintanya memberi tahu jika melihat Ibad dan Pita.
Tinggal melewati satu koridor lagi sebelum mereka sampai di tempat parkir di sebelah selatan bangunan kantor polisi itu, tempat Pita memarkirkan mobilnya. Sejauh ini perjalanan mereka aman, tidak bertemu dengan siapapun. Rencananya, mereka akan menggunakan mobil Pita untuk kabur dari kantor polisi menuju rumah Kila demi mendiskusikan hasil curian mereka sekaligus mengutuki diri karena hampir ketahuan. Ibad dan Pita tengah berjongkok di samping mesin penjual otomatis di ujung koridor depan gudang barang bukti sambil mengamati situasi. Keberadaan mereka dihalangi dari pandangan orang yang berlalu lalang oleh tumpukan kardus koso“Apa yang kamu lakukan, Pa? Kenapa pintunya dikunci?”Istri Profesor Gani, wanita memukau itu, akhirnya bereaksi. Ia tidak mengerti dengan kelakuan aneh suaminya yang tidak membiarkan tamu mereka pulang hanya karena tidak lebih awal membeberkan identitasnya. Iya sih, wanita itu sempat berbohong dengan mengaku sebagai teman Neta, tapi mewawancarai seseorang bukan hal yang ilegal. Sebab itu, ia tidak setuju dengan perilaku yang ditampilkan Profesor Gani.“Kamu diam saja, jangan ikut campur. Kamu tidak tahu apa-apa.”Sambil membuat gerakan mengusir serangga dengan tangannya, Profesor Gani menyuruh istrinya untuk minggat dari situ. Tapi istrinya bertekad tidak akan meninggalkan ruangan sampai tamu yang malang itu keluar dari rumahnya.“Tidak tahu apa-apa bagaimana, Pa? Apa yang salah dari wanita itu yang ingin mewawancarai Neta? Wawancara kan tidak dilarang.”Menyaksikan suami istri itu berdebat, Tita yang telah menghentikan usaha sia-sianya untuk membuka pint
Suara dobrakan pintu dari luar membuat Kila berdiri dari posisinya dalam ketegangan. Belum sempat melakukan apapun untuk menyadarkan Neta yang pingsan dihantam peluru bius, sekarang Kila harus mengantisipasi kedatangan belasan preman suruhan ayah Neta yang berniat menculik Neta. Ia harus bagaimana? Menyandang status sebagai polisi yang diskors, Kila tentu tidak dilengkapi dengan tanda pengenal kepolisian dan pistol.Menatap sekeliling, Kila sudah tidak bisa menemukan benda lain yang dapat digunakan untuk memperkuat pertahanan di pintu. Ia melempar napas. Meskipun ia polisi yang menguasai ilmu bela diri taekwondo, tetap saja untuk menumbangkan belasan preman sambil melindungi dua orang yang tak sadarkan diri bukan hal yang enteng. Tidak ada cara lain, sepertinya Kila harus menyadarkan Kala dari pingsannya bagaimanapun caranya demi membantunya mempertahankan Neta. Lagipula, Kala telah pingsan terlalu lama. Sudah banyak yang ia lewatkan.Kursi dan meja yang ditumpuk di bela
“Kila bilang apa? Dia ada di rumahnya, kan? Semoga gitu deh, saya pengen rebahan. Capek main petak umpet betulan sama Yudi dan Wira.”Pita bertanya tanpa memandang Ibad. Ia tengah sibuk mengamati keadaan lalu lintas di sekitar mereka, khawatir tiba-tiba Wira dan Yudi datang menggerebek. Saat ini mereka sedang parkir di alun-alun Kota Ryha, mencoba tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan yang menaungi salah satu sudut alun-alun. Namun, tetap saja mereka harus waspada sebab warna mobil Pita agak tidak umum ditemukan sehingga gampang dikenali.Sadar jika Ibad belum bersuara sedikit pun sejak selesai menelpon Kila, Pita akhirnya menoleh ke Ibad dan ekspresinya tiba-tiba cemas ketika menemukan Ibad menyetel tampang horor di wajahnya.“Ada apa, Ibad? Kila kenapa? Terjadi apa-apa sama Kila? Dia di mana?” Ibad tak bereaksi, Pita sampai harus menggoyang-goyangkan lengannya untuk membuatnya waras lagi.“Ibad, ngomong dong! Ada apa? Kila kenapa?”Dirongrong se
Tita mendengarkan semua suara dengan saksama. Begitu Profesor Gani selesai memasukkan istrinya yang tidak sadarkan diri di kamar sebelah, membuka pintu utama, berteriak memanggil Mang Karta untuk dibukakan pintu pagar, dan meninggalkan rumah dengan mobilnya, Tita langsung memeriksa kamar tamu tempatnya disekap itu secermat mungkin, terutama pintu dan jendelanya. Tapi, nampaknya kamar itu sengaja didesain untuk tidak membiarkan penghuninya kabur karena selain dilengkapi dengan pintu yang kokoh, jendela lebar di kamar itu juga dihiasi dengan terali besi berukir berbentuk bunga yang terpasang erat di kusen jendela. Selain demi menambah estetika ruangan, fungsi hiasan itu juga untuk tidak menjadikan jendela sebagai akses untuk minggat.Menendang terali besi itu dengan rasa frustrasi, Tita sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya agar dapat keluar dari kamar itu. Ia berkali-kali menendang terali besi itu sekuat tenaga, setengah berharap terali itu bakal sedikit tergeser.Rupan
“Awas, Kak!”Kala berteriak memperingatkan Kila saat melihat tiga orang preman sekaligus berusaha menyerang kakaknya. Karena tindakannya itu, Kala sama sekali tidak menyadari serangan dari seorang preman lain yang mengincar perutnya dengan tinju. Alhasil, Kala hanya bisa membungkuk kesakitan ketika tinju yang cukup keras itu parkir di perutnya.Kila sedikit lebih beruntung. Berkat peringatan dari Kala ditambah keahliannya dalam taekwondo, Kila dapat menghindar dengan menggunakan teknik dwi chagi dan menjatuhkan satu dari tiga preman yang menyerangnya dengan tendangan. Sedangkan dua orang yang terkejut mendapati temannya dihantam oleh kaki Kila tidak dapat mengelak dari teknik gawi chagi yang dipraktekkan Kila.Setelah itu, Kila cepat-cepat mendekati Kala dan membalaskan dendamnya pada preman yang telah menonjok perut adiknya dengan menghadiahinya teknik dwi chagi hingga preman itu terkapar di lantai.“Than…ks, Ka…k!”Kala berkata sambil tersengal-sengal. E
Sakil sudah tidak sabar lagi. Lima belas menit ia telah menunggu Ibad dan Pita yang katanya mengambil barang yang telah dicuri dari ruangannya dalam keheningan. Berkali-kali ia, Wira, dan Yudi saling melirik, sama-sama tak tahu apa yang harus dikatakan dalam situasi tersebut. AKBP Neco kelihatannya bisa menanti dengan lebih tenang, ia justru tiduran dengan damai di ranjangnya.Seraya menunggu, Sakil yang tidak bisa penasaran lebih lama lagi tentang info mengejutkan yang dibawa Ibad akhirnya memberanikan diri bertanya setelah memastikan suasana hati atasannya tengah kondusif untuk ditanyai soal kabar sensitif. “Eng… maaf, Komandan, tapi kami penasaran mengenai berita yang disampaikan Ibad tadi tentang upaya penculikan di rumah makan XX. Apa benar tidak ada apa-apa di sana? Apa kita tidak perlu bertindak, Komandan? Misalnya mengirimkan intel kita ke sana?”Sakil melihat jidat AKBP Neco mengernyit saat mendengar pertanyaannya. Ia menegang. Ini bukan pertanda yang baik
“Ayo, Ibad. Cepat!”Pita menarik tangan Ibad, yang berjalan pelan seolah tak tega meninggalkan ruangan yang baru saja dkuncinya, menjauh dari bangunan Klinik Kepolisian Ryha. Tidak punya pilihan lain, Ibad pasrah saja diseret-seret oleh Pita sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya bahwa akhirnya ia punya nyali untuk melakukan hal barusan.“Apa tidak apa-apa kita mengunci mereka di kamar Pak Neco, Pita?”Mendengar pertanyaan Ibad yang disesaki oleh rasa simpati, Pita berhenti melangkah dan menoleh. Pita seharusnya sudah menduga jika ide yang dibisikkannya tadi akan membuat Ibad gamang karena ia termasuk kategori orang yang mudah iba, tapi Pita tidak melihat ada peluang lain untuk lolos.“Tentu saja tidak apa-apa, mereka bukan anak kecil yang bakal panik hanya karena dikuncikan pintu.”Melihat Ibad yang diam saja menanggapi jawabannya, Pita pun memutuskan sesuatu. Bukannya berjalan lurus melewati koridor tempat mereka tadi datang, Pita malah memba
Tidak terdengar suara dari kamar sebelah. Masih merasa belum yakin, Tita menempelkan telinganya sekali lagi ke dinding kamar bercat marun yang berbatasan langsung dengan kamar tempat istri Profesor Gani dikurung. Benar, tidak ada bunyi yang menepuk pendengarannya. Tita menarik kembali tubuhnya dan memberi dinding tatapan bimbang, bertanya-tanya apakah hal yang baru saja dilakukannya adalah hal yang tepat.Barusan ia telah memberi tahu istri Profesor Gani, wanita memukau itu, tentang semua yang telah diketahuinya tentang pembunuhan Lavi, terutama soal Neta yang dicurigai sebagai pelaku sebenarnya. Tita sesungguhnya merasa tidak berhak menyampaikan semua itu, tapi ia menyerah pada desakan seorang ibu yang begitu putus asa untuk menyelamatkan anaknya. Sekarang Tita hanya bisa berharap bahwa Kila, Pita, dan Kala tidak akan terlalu murka kepadanya.Setelah melempar napas penyesalan, Tita merapat lagi ke dinding dalam rangka memantau pergerakan di kamar sebelah. Masih belum ad