Sakil sudah tidak sabar lagi. Lima belas menit ia telah menunggu Ibad dan Pita yang katanya mengambil barang yang telah dicuri dari ruangannya dalam keheningan. Berkali-kali ia, Wira, dan Yudi saling melirik, sama-sama tak tahu apa yang harus dikatakan dalam situasi tersebut. AKBP Neco kelihatannya bisa menanti dengan lebih tenang, ia justru tiduran dengan damai di ranjangnya.
Seraya menunggu, Sakil yang tidak bisa penasaran lebih lama lagi tentang info mengejutkan yang dibawa Ibad akhirnya memberanikan diri bertanya setelah memastikan suasana hati atasannya tengah kondusif untuk ditanyai soal kabar sensitif. “Eng… maaf, Komandan, tapi kami penasaran mengenai berita yang disampaikan Ibad tadi tentang upaya penculikan di rumah makan XX. Apa benar tidak ada apa-apa di sana? Apa kita tidak perlu bertindak, Komandan? Misalnya mengirimkan intel kita ke sana?” Sakil melihat jidat AKBP Neco mengernyit saat mendengar pertanyaannya. Ia menegang. Ini bukan pertanda yang baik“Ayo, Ibad. Cepat!”Pita menarik tangan Ibad, yang berjalan pelan seolah tak tega meninggalkan ruangan yang baru saja dkuncinya, menjauh dari bangunan Klinik Kepolisian Ryha. Tidak punya pilihan lain, Ibad pasrah saja diseret-seret oleh Pita sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya bahwa akhirnya ia punya nyali untuk melakukan hal barusan.“Apa tidak apa-apa kita mengunci mereka di kamar Pak Neco, Pita?”Mendengar pertanyaan Ibad yang disesaki oleh rasa simpati, Pita berhenti melangkah dan menoleh. Pita seharusnya sudah menduga jika ide yang dibisikkannya tadi akan membuat Ibad gamang karena ia termasuk kategori orang yang mudah iba, tapi Pita tidak melihat ada peluang lain untuk lolos.“Tentu saja tidak apa-apa, mereka bukan anak kecil yang bakal panik hanya karena dikuncikan pintu.”Melihat Ibad yang diam saja menanggapi jawabannya, Pita pun memutuskan sesuatu. Bukannya berjalan lurus melewati koridor tempat mereka tadi datang, Pita malah memba
Tidak terdengar suara dari kamar sebelah. Masih merasa belum yakin, Tita menempelkan telinganya sekali lagi ke dinding kamar bercat marun yang berbatasan langsung dengan kamar tempat istri Profesor Gani dikurung. Benar, tidak ada bunyi yang menepuk pendengarannya. Tita menarik kembali tubuhnya dan memberi dinding tatapan bimbang, bertanya-tanya apakah hal yang baru saja dilakukannya adalah hal yang tepat.Barusan ia telah memberi tahu istri Profesor Gani, wanita memukau itu, tentang semua yang telah diketahuinya tentang pembunuhan Lavi, terutama soal Neta yang dicurigai sebagai pelaku sebenarnya. Tita sesungguhnya merasa tidak berhak menyampaikan semua itu, tapi ia menyerah pada desakan seorang ibu yang begitu putus asa untuk menyelamatkan anaknya. Sekarang Tita hanya bisa berharap bahwa Kila, Pita, dan Kala tidak akan terlalu murka kepadanya.Setelah melempar napas penyesalan, Tita merapat lagi ke dinding dalam rangka memantau pergerakan di kamar sebelah. Masih belum ad
“Mobil siapa itu?”Profesor Gani memberi tatapan heran pada mobil berwarna tosca yang ditemuinya begitu memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah makan XX. Ia dengan sangat jelas telah memberi instruksi kepada preman suruhannya untuk tidak membiarkan siapapun berada di rumah makan ketika menjalankan aksi. Apa para preman itu telah berani membangkang perintahnya?Setelah melihat berkeliling dan tidak mendapati kendaraan lain kecuali tiga unit mobil hitam yang dikenali Profesor Gani sebagai mobil yang digunakan para preman, karena mobil Neta dan Kala telah disingkirkan, dan mobil tosca yang mencolok itu, sepertinya rumah makan itu benar-benar tidak menyisakan lagi pengunjung dan pegawai di dalamnya. Kalau begitu, siapa pemilik mobil tosca itu?Pemikiran bahwa mobil itu mungkin saja milik polisi tiba-tiba menghantam jidatnya. Tapi, tampaknya hal itu tidak mungkin karena sebelumnya Profesor Gani telah memberi tahu AKBP Neco tentang sedikit urusan yang akan diselesaika
Melirik AKBP Neco yang tertidur pulas di ranjangnya, Sakil mendecih. Ia sudah begitu ingin keluar dari ruangan yang sama sekali tidak nyaman ini tapi tidak bisa karena Ibad dan Pita telah mengunci pintu dan minggat. Bersama Wira dan Yudi, ia telah mencoba berbagai upaya untuk keluar, seperti meminta rekan mereka di luar memintakan kunci cadangan ruang rawat itu di petugas klinik.“Petugas klinik bilang semua ruang rawat tidak punya kunci cadangan, hanya ruangan penting saja yang punya, seperti ruang arsip dan ruang penyimpanan obat.”Sakil melempar napas kesal usai membaca chat yang dikirim oleh rekannya dari luar pintu, berpikir berapa lama lagi ia harus merana seperti ini. Tiba-tiba ponsel di tangannya bergetar lagi, Sakil menyentuh layar dan membaca chat yang ternyata masih dari rekannya.“Kenapa tidak kalian dobrak saja pintunya? Kalian kan bertiga, pintu itu pasti bisa terbuka dengan mudah.”Bergeming menatap layar ponsel, Sakil bukannya tidak memikirkan c
“Tante! Tante! Anda kenapa? Anda tidak apa-apa?”Tita langsung berlari memasuki kamar dan menghampiri istri Profesor Gani, wanita memukau itu, yang tengah memejamkan mata di tempat tidur yang dilapisi bed cover berwarna biru. Tadinya Tita mengira nyonya rumah sedang tidur, tapi begitu melihat botol obat yang tergeletak terbuka dan beberapa butir obat berhamburan di lantai, Tita sudah panik dan cepat-cepat mengguncang tubuh istri Profesor Gani.“Tante! Tante! Jawab saya, Tante!”Sekarang Tita berteriak sambil menangis. Seraya menoleh ke Mang Karta yang kebingungan tidak tahu harus berbuat apa di belakangnya, Tita berkata dengan nada sedih.“Tolong telpon ambulans, Mang.”Setelah Mang Karta mengangguk dan berjalan, Tita kembali menghadapkan mukanya ke arah istri Profesor Gani dan mengguncang badannya lagi, kali ini lebih keras.“Tante! Maafin saya, Tante!”Terlalu sibuk menangis sembari menundukkan kepalanya, Tita tidak tahu jika nyonya rumah yang
Kila dan Ibad tidak menunggu Profesor Gani terlalu jauh dengan sanderanya ketika mereka memutuskan menyusulnya. Baru beberapa langkah berjalan, kaki Kila menginjak benda berbentuk gantungan kunci yang terkapar di lantai dalam keadaan yang nyaris hancur. Kila memungut dan mengamatinya, matanya melotot begitu tahu benda yang terlihat jelas telah diinjak oleh banyak kaki dengan kabel yang mencuat di beberapa tempat itu adalah alat penyadap. Tapi, bukannya Neta telah mengubur alat penyadap yang ditemukannya di pot tanaman peace lily?Ia melempar napas kesal begitu menyadari kebodohannya. Bagaimana mungkin ia berpikir para preman itu hanya akan menempatkan satu alat penyadap? Benda di tangannya inilah yang membuat para preman itu mendengar ucapan Neta walaupun sebelumnya satu alat penyadap telah dikubur hidup-hidup.“Apa itu alat penyadap?”Ibad mempertanyakan temuan Kila yang dibalas dengan anggukan.“Padahal kami udah kubur dalam-dalam alat penyadap yang Neta temu
“Sialan!”Kata itu meluncur begitu saja dari mulut Profesor Gani ketika ia menoleh dan mendapati si preman yang membopong anaknya tengah dikeroyok oleh dua orang wanita yang seharusnya terkurung di rumahnya. Begitu kepalanya menghadap ke ruang makan privat yang ditinggalkannya, Ibad dan Kila yang tadi kelihatan menyusulnya sudah menghilang.Berpendapat bahwa dua polisi itu saat ini bukan ancaman utama, langsung saja Profesor Gani menahan langkah Pita di depannya dan bersembunyi di balik dinding, menunda memperlihatkan dirinya di depan istrinya, wanita memukau itu. Dengan wajah dipenuhi kemurkaan ia bertanya-tanya, bagaimana cara kedua wanita itu membebaskan diri dari kamar.“Sialan, sialan, sialan!”Profesor Gani mengumpat lagi. Dengan Pita yang sedang ia sandera, sulit baginya untuk terjun langsung menjauhkan istrinya dan wanita reporter itu dari si preman. Melepaskan Pita juga bukan pilihan karena polisi wanita itu bisa menjadi sandera yang berguna agar rekan
Wira dan Yudi serempak memandang ketua tim mereka. Sakil sendiri hanya menatap pria paruh baya namun masih kelihatan bugar yang baru saja menghardik istrinya, tak menyangka situasinya bakal sepelik ini. Ia bertanya-tanya apa yang dipikirkan oleh AKBP Neco saat mengatakan tidak ada apa-apa di rumah makan. Apa penyanderaan warga sipil dan anggota polisi bukan apa-apa bagi atasannya? Sepertinya sudah terbukti kalau Sakil memilih pihak yang kuat namun keji. Mungkin ia harus mempertimbangkan pilihannya setelah ini. Sakil mencoba menganalisa keadaan. Di depannya ada belasan preman, dua sandera, dua pelaku bersenjata tajam, dan dua orang warga sipil yang berpotensi dijadikan sandera tambahan. Sedangkan ia cuma ditemani oleh Wira, Yudi, Ibad, dan Kila yang sudah mendapatkan banyak luka di tangan, kaki, dan wajahnya. Itupun Kila tidak bersenjata karena masih diskors.Ia melempar napas. Nampaknya ini bukan pertarungan yang bisa pihaknya menangkan. Selain karena kalah jumlah, pro