“Mobil siapa itu?”
Profesor Gani memberi tatapan heran pada mobil berwarna tosca yang ditemuinya begitu memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah makan XX. Ia dengan sangat jelas telah memberi instruksi kepada preman suruhannya untuk tidak membiarkan siapapun berada di rumah makan ketika menjalankan aksi. Apa para preman itu telah berani membangkang perintahnya? Setelah melihat berkeliling dan tidak mendapati kendaraan lain kecuali tiga unit mobil hitam yang dikenali Profesor Gani sebagai mobil yang digunakan para preman, karena mobil Neta dan Kala telah disingkirkan, dan mobil tosca yang mencolok itu, sepertinya rumah makan itu benar-benar tidak menyisakan lagi pengunjung dan pegawai di dalamnya. Kalau begitu, siapa pemilik mobil tosca itu? Pemikiran bahwa mobil itu mungkin saja milik polisi tiba-tiba menghantam jidatnya. Tapi, tampaknya hal itu tidak mungkin karena sebelumnya Profesor Gani telah memberi tahu AKBP Neco tentang sedikit urusan yang akan diselesaikaMelirik AKBP Neco yang tertidur pulas di ranjangnya, Sakil mendecih. Ia sudah begitu ingin keluar dari ruangan yang sama sekali tidak nyaman ini tapi tidak bisa karena Ibad dan Pita telah mengunci pintu dan minggat. Bersama Wira dan Yudi, ia telah mencoba berbagai upaya untuk keluar, seperti meminta rekan mereka di luar memintakan kunci cadangan ruang rawat itu di petugas klinik.“Petugas klinik bilang semua ruang rawat tidak punya kunci cadangan, hanya ruangan penting saja yang punya, seperti ruang arsip dan ruang penyimpanan obat.”Sakil melempar napas kesal usai membaca chat yang dikirim oleh rekannya dari luar pintu, berpikir berapa lama lagi ia harus merana seperti ini. Tiba-tiba ponsel di tangannya bergetar lagi, Sakil menyentuh layar dan membaca chat yang ternyata masih dari rekannya.“Kenapa tidak kalian dobrak saja pintunya? Kalian kan bertiga, pintu itu pasti bisa terbuka dengan mudah.”Bergeming menatap layar ponsel, Sakil bukannya tidak memikirkan c
“Tante! Tante! Anda kenapa? Anda tidak apa-apa?”Tita langsung berlari memasuki kamar dan menghampiri istri Profesor Gani, wanita memukau itu, yang tengah memejamkan mata di tempat tidur yang dilapisi bed cover berwarna biru. Tadinya Tita mengira nyonya rumah sedang tidur, tapi begitu melihat botol obat yang tergeletak terbuka dan beberapa butir obat berhamburan di lantai, Tita sudah panik dan cepat-cepat mengguncang tubuh istri Profesor Gani.“Tante! Tante! Jawab saya, Tante!”Sekarang Tita berteriak sambil menangis. Seraya menoleh ke Mang Karta yang kebingungan tidak tahu harus berbuat apa di belakangnya, Tita berkata dengan nada sedih.“Tolong telpon ambulans, Mang.”Setelah Mang Karta mengangguk dan berjalan, Tita kembali menghadapkan mukanya ke arah istri Profesor Gani dan mengguncang badannya lagi, kali ini lebih keras.“Tante! Maafin saya, Tante!”Terlalu sibuk menangis sembari menundukkan kepalanya, Tita tidak tahu jika nyonya rumah yang
Kila dan Ibad tidak menunggu Profesor Gani terlalu jauh dengan sanderanya ketika mereka memutuskan menyusulnya. Baru beberapa langkah berjalan, kaki Kila menginjak benda berbentuk gantungan kunci yang terkapar di lantai dalam keadaan yang nyaris hancur. Kila memungut dan mengamatinya, matanya melotot begitu tahu benda yang terlihat jelas telah diinjak oleh banyak kaki dengan kabel yang mencuat di beberapa tempat itu adalah alat penyadap. Tapi, bukannya Neta telah mengubur alat penyadap yang ditemukannya di pot tanaman peace lily?Ia melempar napas kesal begitu menyadari kebodohannya. Bagaimana mungkin ia berpikir para preman itu hanya akan menempatkan satu alat penyadap? Benda di tangannya inilah yang membuat para preman itu mendengar ucapan Neta walaupun sebelumnya satu alat penyadap telah dikubur hidup-hidup.“Apa itu alat penyadap?”Ibad mempertanyakan temuan Kila yang dibalas dengan anggukan.“Padahal kami udah kubur dalam-dalam alat penyadap yang Neta temu
“Sialan!”Kata itu meluncur begitu saja dari mulut Profesor Gani ketika ia menoleh dan mendapati si preman yang membopong anaknya tengah dikeroyok oleh dua orang wanita yang seharusnya terkurung di rumahnya. Begitu kepalanya menghadap ke ruang makan privat yang ditinggalkannya, Ibad dan Kila yang tadi kelihatan menyusulnya sudah menghilang.Berpendapat bahwa dua polisi itu saat ini bukan ancaman utama, langsung saja Profesor Gani menahan langkah Pita di depannya dan bersembunyi di balik dinding, menunda memperlihatkan dirinya di depan istrinya, wanita memukau itu. Dengan wajah dipenuhi kemurkaan ia bertanya-tanya, bagaimana cara kedua wanita itu membebaskan diri dari kamar.“Sialan, sialan, sialan!”Profesor Gani mengumpat lagi. Dengan Pita yang sedang ia sandera, sulit baginya untuk terjun langsung menjauhkan istrinya dan wanita reporter itu dari si preman. Melepaskan Pita juga bukan pilihan karena polisi wanita itu bisa menjadi sandera yang berguna agar rekan
Wira dan Yudi serempak memandang ketua tim mereka. Sakil sendiri hanya menatap pria paruh baya namun masih kelihatan bugar yang baru saja menghardik istrinya, tak menyangka situasinya bakal sepelik ini. Ia bertanya-tanya apa yang dipikirkan oleh AKBP Neco saat mengatakan tidak ada apa-apa di rumah makan. Apa penyanderaan warga sipil dan anggota polisi bukan apa-apa bagi atasannya? Sepertinya sudah terbukti kalau Sakil memilih pihak yang kuat namun keji. Mungkin ia harus mempertimbangkan pilihannya setelah ini. Sakil mencoba menganalisa keadaan. Di depannya ada belasan preman, dua sandera, dua pelaku bersenjata tajam, dan dua orang warga sipil yang berpotensi dijadikan sandera tambahan. Sedangkan ia cuma ditemani oleh Wira, Yudi, Ibad, dan Kila yang sudah mendapatkan banyak luka di tangan, kaki, dan wajahnya. Itupun Kila tidak bersenjata karena masih diskors.Ia melempar napas. Nampaknya ini bukan pertarungan yang bisa pihaknya menangkan. Selain karena kalah jumlah, pro
Walaupun tidak dapat melihatnya secara langsung, Pita yakin Profesor Gani sedang tersenyum menyaksikan perselisihan Ibad dan Sakil yang dirasanya menarik. Pita agak kesal. Bukannya kompak agar semua sandera selamat dan penjahatnya dapat diciduk, mereka malah mempertontonkan perbedaan pendapat. Pita baru akan mengutuk-ngutuk Ibad dalam pikiran dan merencanakan upaya balas dendam karena lebih memilih adu mulut daripada menyelamatkannya ketika ia merasa garpu yang menusuk kulit lehernya menjauh beberapa senti. Rupanya Profesor Gani kelewat riang menonton perdebatan Ibad dan Sakil sehingga kewaspadaannya mengendur.Tidak ingin senang terlalu cepat, Pita menenangkan dirinya dahulu. Sebagai orang yang kerap kehilangan kemampuan melakukan hal yang dikuasai saat panik, ia harus menyamankan diri untuk dapat lepas dari sekapan Profesor Gani. Untuk itu, Pita menunggu dengan sabar ketika percekcokan Ibad dan Sakil semakin seru dan Profesor Gani semakin menikmati.Ujung tajam garpu m
“Tidak! Hentikan mereka, mereka mau kabur!”Kila berteriak begitu mendengar suara mesin mobil yang siap-siap tancap gas, minggat dari tempat itu. Ia sendiri masih berusaha merangsek pertahanan yang diciptakan oleh para preman yang tidak ikut pergi seperti pimpinan mereka, mencari tahu apakah Kala juga dibawa atau tidak. Sulit bagi Kila untuk melihat ke tengah lingkaran para preman karena postur tubuh mereka menjulang dengan otot-otot yang menonjol.Mendengar teriakan Kila, Sakil langsung meloncat masuk ke mobilnya, diikuti oleh Yudi dan Wira. Belum sempat ia membunyikan mesin, mobil hitam yang dikemudikan oleh Profesor Gani itu melaju dengan kecepatan gila-gilaan melewati mobil mereka. Yudi dapat melihat Bento duduk di kursi penumpang, di samping Profesor Gani, sedangkan si preman merebut tempat di belakang Bento. Wanita yang pingsan itu tidak kelihatan, mungkin dibaringkan di kursi belakang.“Sialan!”Sakil mengumpat sebelum memundurkan dan membelokkan mobilny
Begitu merasa yakin bahwa tidak ada polisi yang melihatnya karena dihalangi oleh para preman anak buah Bento, Profesor Gani langsung meloncat memasuki mobil, disusul oleh Bento dan preman yang memanggul Neta. Ia sempat gugup saat mendengar teriakan Kila yang memeringatkan rekan polisinya perihal rencana kaburnya mereka. Rancangan penculikan Neta yang telah disusun dalam otaknya tidak menyertakan tindakan apa yang harus ia lakukan jika aksinya ketahuan polisi. Profesor Gani terlalu mengandalkan posisi AKBP Neco untuk mengatur bawahannya, tanpa mempertimbangkan kemungkinan munculnya oknum seperti Kila dan teman-temannya. Sebab itu, ia sempat ciut dan memikirkan ulang tindakannya. Namun, Bento mendesaknya untuk jalan terus. Lagipula, Neta sudah di tangan mereka. Jika mereka akhirnya kehilangan Neta karena kegalauan Profesor Gani di menit-menit akhir, pengorbanan para preman anak buah Bento yang merelakan diri menjadi penghalang bagi polisi demi memberinya kesempatan minggat bak
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal