“Apa Neta ada di rumah, Mang Karta?”
Profesor Gani bertanya begitu turun dari mobilnya yang telah terparkir damai di halaman rumahnya yang agak luas kepada Mang Karta yang baru selesai menutup pintu pagar kayu yang tadi dibukakakannya untuk Profesor Gani. Mendengar pertanyaan tuan rumah, Mang Karta berjalan tergopoh-gopoh dan tiba di depan Profesor Gani sambil membungkuk-bungkuk. “Tidak, Tuan. Non Neta tadi keluar rumah.” Profesor Gani sudah menduga hal itu. Tak melihat mobil navy yang sering digunakan Neta di halaman rumahnya membuatnya penasaran. Jika tidak di rumah, ia harus tahu ke mana Neta pergi agar bisa mengawasi Neta kalau-kalau ia memproduksi masalah lagi. Tiga bulan lagi pemilihan rektor dan ia termasuk bakal calon yang terpilih. Profesor Gani hanya harus menjaga Neta agar tetap tenang selama tiga bulan agar kursi rektor menjadi miliknya. Setelah itu, ia akan memikirkan apa yang bakal dilakukannya pada putrinya yang gemar membuat pusing orang tua itu.Fatih dan ibunya terkejut dan hanya bisa saling berpandangan ketika dua orang yang tiba-tiba memasuki ruang tahanan tempat mereka bersemayam berceceran untuk mencari tempat persembunyian. Si wanita yang berpakaian seperti dokter itu lebih mudah menemukan tempat persembunyian berupa pojokan yang dibentuk oleh lemari dan dinding setelah sebelumnya menyingkirkan kursi yang tadinya tergeletak di situ. Ia kemudian berjongkok dan menutupi tubuhnya yang ramping dari pandangan dengan kursi yang barusan dipindahkannya. Sekarang wanita itu takkan terlihat kecuali dicari dengan sepenuh hati.Sedangkan si pria, yang dikenali Fatih sebagai Ibad, agak kesulitan mendapat tempat yang ideal untuk bersembunyi karena postur badannya yang hampir menyamai Fatih, tinggi dan kekar. Begitu memasuki ruang tahanan, Ibad langsung merebut tempat di salah satu kolong meja berongga, berusaha menyamankan dirinya. Tak berhasil, ia lalu keluar dari kolong meja dan menatap berkeliling, mencari tempat sembunyi
“Sidik jari lo ada di gantungan kunci gue? Kok bisa?” Neta bertanya dengan jidat mengernyit. Ia pertama kali melihat Kala ketika polisi wanita di depannya bersama rekannya mendatangi kampus untuk menjemput Fatih dan saat itu gantungan kunci itu sudah lenyap. Lagipula, tidak ada orang lain yang pernah menyentuh benda miliknya itu. Sebenarnya ada satu orang sih, yaitu manusia aneh yang joging tengah malam dan menemukan gantungan kuncinya di jalan. Mata Neta tiba-tiba membesar ketika menyadari satu hal. Jika sidik jari Kala juga ada di gantungan kunci bersama miliknya, berarti yang berpapasan dengannya dan menemukan Lavi yang tengah sekarat itu juga Kala? “Simpel aja. Gue pungut gantungan kunci lo yang jatuh di jalan dan gue kembaliin ke lo. Sidik jari gue jadi ada juga, kan?” Neta tidak berhasil menyembunyikan raut terkejutnya. Kila yang sejak tadi mengamatinya pun tahu jika Neta shock mengetahui bahwa Kala-lah yang ia temui begitu minggat dari TKP setelah me
Begitu langkah kaki Wira dan Yudi yang berlari sudah tidak kedengaran dan ibu Fatih sudah puas, atau sadar bahwa teriakannya tidak akan didengar oleh orang yang ditujunya, atau capek, berteriak memaki-maki kedua polisi yang menyebalkan itu, Ibad pun memunculkan dirinya dari balik pintu dan Pita berdiri dari tempat persembunyiannya yang aman. Masih sambil sekali-sekali menoleh ke pintu, mereka mendekati sel tahanan tempat Fatih bersemayam. “Thanks, Fatih, udah nolong gue dan temen gue.” Ibad menyalami Fatih yang menyambutnya dengan senyum di balik jeruji. Ibu Fatih sendiri menyaksikan dengan saksama, siap mengeluarkan teriakan membahana lagi jika ternyata dua polisi di depannya ini menghina putranya juga. “Jadi, lo yang namanya Fatih? Manis juga. Nggak rugi gue nerima permintaan Kila untuk jadi mata-mata karena ternyata yang mau diselamatkan adalah manusia semanis ini.” Pita tersenyum-senyum tidak jelas sambil berusaha menjawil lengan Fatih yang cepat-cepat
Neta bergeming. Ia memikirkan perkataan Kila. Sebenarnya, sejak melihat ibunya menangisi anak orang lain yang dibunuhnya, mengunjungi makam Lavi dan bertemu orang tua Lavi di sana, hingga berkesempatan melihat-lihat kamar Lavi, dorongan untuk mengaku tidak berhenti menggedor-gedor kepalanya. Yang menahan Neta untuk pergi ke kantor polisi dan membuat pengakuan hanyalah rasa tidak tega untuk meninggalkan ibunya sendirian di rumah. Ia tidak tega membayangkan bagaimana perasaan ibunya jika mengetahui putri satu-satunya adalah pembunuh. Neta merasa tidak akan sanggup menerima tatapan kecewa dari ibunya. Sedangkan soal ayahnya, bisa dibilang Neta justru semakin berkobar untuk mengaku kalau mengingat ayahnya yang ambisius itu. Ia telah teramat sakit hati dengan perlakuan ayahnya sampai merasa tidak masalah jika reputasi yang sudah setengah hidup dirajut ayahnya bakal berceceran karena ulahnya. Neta dengan senang hati akan menganggapnya sebagai pembalasan dendam.“Gue pengen ke toile
“Barusan nelpon sama siapa?”Profesor Gani bertanya dengan suara mengerikan yang belum pernah didengar oleh istrinya, wanita memukau itu. Begitu selesai menelpon preman-preman yang bekerja untuknya dan keluar dari kamar dengan maksud untuk menyusul mereka di rumah makan, Profesor Gani berhenti melangkah ketika melewati ruang keluarga dan tidak sengaja mendengar istrinya menyebut-nyebut nama Neta dan sesuatu seperti melarangnya melakukan apapun.Kemurkaan kemudian mulai membungkus kulitnya ketika Profesor Gani berpikir bahwa istrinya telah menguping pembicaraannya di telepon barusan dan memperingatkan Neta tentang preman-preman yang mengikutinya. Jika Neta belum ngomong apapun, hal itu tidak masalah, justru akan menjadi pertimbangan bagi Neta agar tidak berani berbuat macam-macam. Namun, kalau Neta sudah membeberkan yang sebenarnya tentang kasus Lavi, terutama pada Kala, situasi mulai akan sulit dikendalikan. Profesor Gani masih ingat bagaimana Kala berupaya keras a
Tita memelototi papan nama rumah bercat coklat yang terpasang di samping pagar kayu di depannya kemudian melihat lagi kertas di tangannya. Ia tengah mencocokkan alamat yang diberikan Kala. Setelah memerhatikan dengan saksama, Tita pun yakin rumah inilah yang dimaksud Kala. Deskripsinya pun cocok: rumah berlantai dua bercat putih dengan rooftop di salah satu sisinya dan berpagar kayu dengan halaman samping yang luas dan dipenuhi tanaman.Setelah mengelilingi rumah dari luar pagar demi memastikan bahwa itu adalah rumah yang tepat, Tita pun memberanikan diri memencet bel pintu yang tergeletak di atas papan nama rumah dan menunggu sambil mengintip-ngintip melalui celah pagar kayu.Tita memutuskan untuk mendatangi Neta di rumahnya usai bertemu dengan Ana tadi. Selain karena ingin melihat langsung orang yang dicurigai oleh teman-teman barunya sebagai pembunuh Lavi, Tita juga penasaran dengan Neta yang kabarnya depresi. Ia pun meminta alamat rumah Neta dari Kala dan mengunjungi
“Jangan! Siapa tau lo bisa selamat kalo tidak ngomong apapun!”Neta rasanya ingin tertawa mendengar ucapan Kila. Kila tidak tahu apa-apa tentang ayahnya, jadi wajar jika ia berpikir begitu.“Hahaha. Harus gue akui perkataan lo membuat gue terhibur. Tapi nggak, bicara atau nggak, semua itu nggak ada bedanya. Perlakuan ayah gue ke gue tetep sama. Jadi, daripada gue bakal entah diapain oleh ayah gue dengan sia-sia, lebih baik gue jujur. Seenggaknya kedatangan kalian kemari ada hasilnya.”Kila menggeleng. Ia merasa aneh mendengar Neta seakan-akan bersedia berkorban agar mereka mendapatkan informasi berharga. Namun, melihat Neta kembali ke ruang makan privat begitu melihat preman suruhan ayahnya dan memperingatkan Kila, bukannya pergi bersama manusia-manusia berotot itu dan meninggalkan Kala dan Kila dalam kegeraman karena pembunuh Lavi yang sebenarnya telah kabur, membuat Kila berpikir bahwa Neta sebaiknya diberi kesempatan untuk membuktikan penyampaiannya.“Gue se
Minggat dari ruang tahanan, Ibad dan Pita berjalan dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Mereka selalu memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan Wira dan Yudi sebelum melewati koridor. Mereka juga menghindari bertemu dengan polisi lain karena bisa saja Wira dan Yudi telah bertanya pada rekannya dan memintanya memberi tahu jika melihat Ibad dan Pita.Tinggal melewati satu koridor lagi sebelum mereka sampai di tempat parkir di sebelah selatan bangunan kantor polisi itu, tempat Pita memarkirkan mobilnya. Sejauh ini perjalanan mereka aman, tidak bertemu dengan siapapun. Rencananya, mereka akan menggunakan mobil Pita untuk kabur dari kantor polisi menuju rumah Kila demi mendiskusikan hasil curian mereka sekaligus mengutuki diri karena hampir ketahuan.Ibad dan Pita tengah berjongkok di samping mesin penjual otomatis di ujung koridor depan gudang barang bukti sambil mengamati situasi. Keberadaan mereka dihalangi dari pandangan orang yang berlalu lalang oleh tumpukan kardus koso
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal