"Ada suara dari dalam kamar itu, seperti orang yang sedang mencari-cari sesuatu. Mungkin itu sebabnya kamarnya seberantakan itu."Fikri berujar sambil mengikuti Herli dan Citra menyeberangi ruangan, mendekati kamar yang menarik perhatian mereka."Itu bukan kamar Neta, kan?"Pertanyaan yang dibalut nada ketakutan melompat dari mulut Citra. Merasakan keresahan anaknya, Fikri menyentuh lembut bahu Citra, mencoba menenangkan. Herli diam saja. Ia lebih memfokuskan diri untuk bersiap menghadapi serangan yang mungkin saja datang. Bisa saja ada preman yang lolos dari gempuran anggotanya dan bersembunyi di sekitar situ, memilihnya sebagai korban.Semakin dekat ke kamar itu, suara-suara yang dimaksud Fikri semakin jelas tertangkap. Sepertinya di kamar itu bukan hanya satu orang. Apa yang mereka cari sampai merasa perlu memorak-porandakan pintu begini?Pelan-pelan Herli meletakkan tangannya di pintu dan menguaknya. Cengkeraman Fikri dan Citra terasa erat di lengan
Neta terbangun mendengar jeritan yang mencengangkan itu. Ia menengok kanan kiri, namun yang menyambutnya adalah ruang persegi empat yang gelap. Sesaat ia bingung kenapa bisa terdampar di tempat agak sempit dan suram itu, tapi ingatan tentang apa yang ia lakukan kurang lebih tiga puluh menit sebelumnya menghantam jidatnya dan ketakutan kembali membungkus tubuhnya.Bugh! Bugh! Bugh!Bunyi erangan itu disusul dengan cepat oleh suara seperti pukulan. Mencoba menggerakkan badannya yang agak kaku karena ketiduran dalam keadaan duduk, Neta beringsut sedikit dari posisinya menuju celah yang mengirimkan cahaya ke tempatnya.Bertumpu pada lututnya, Neta merendahkan kepala dan mengintip. Dari lokasinya ia bisa melihat puncak kepala seorang pria yang kelihatannya sedang terduduk dan menunduk. Mata Neta membeliak saat penampakan tiga tubuh berotot yang terkapar di lantai juga masuk dalam penglihatannya dan sosok pria lain yang tengah berdiri di sampingnya."Herli!"Mata
"Sepertinya kita terlambat, Kak. Sudah ada yang duluan datang kemari."Kala mengamati pintu pagar yang sudah bergantung tak berdaya pada engselnya, berkibar-kibar lesu diterpa angin laut. Sejak mendekati tempat itu dan melihat tak ada penjaga, Kala sudah was-was. Ternyata kecurigaannya benar, ada orang lain yang mendahului mereka menemukan lokasi ini.Kila hanya mengangguk singkat sebagai respons dan melewati Kala yang masih agak kecewa menuju halaman. Ia nyaris terjerembab dan mendekap tanah saat kakinya tidak sengaja tersandung sesosok tubuh berotot yang tertelungkup di tanah, di samping mobil hitam yang terparkir. Walaupun sudah dapat mereka-reka siapa yang tengah terkapar itu hanya dari bentuk badannya, Kila berjongkok juga di sampingnya."Ini salah satu preman sewaan Profesor Gani."Kala mendekati kakaknya dan ikut berjongkok. Ia berusaha membalikkan badan preman itu dan setelah berkali-kali upaya yang gagal, di percobaan ke-sembilan akhirnya preman itu mem
Pemuda itu kekar. Postur tubuhnya tidak beda jauh dengan preman anak buah Bento. Tapi, tidak seperti para preman itu, tetap saja tidak ada kebengisan yang tampak dari wajahnya.Duduk diam dalam selnya setelah malam yang tidak riang, dengan penampakan yang sama sekali bukan dirinya, Profesor Gani tidak sanggup menyuruh matanya berpindah dari sosok Fatih yang bersemayam dua sel dari tempatnya.Walaupun ingin, ia tidak bisa berhenti memelototi orang yang telah ditumbalkan olehnya dan Neta. Bukan karena rasa bersalah sudah bercokol di hatinya, tapi karena lebih pada penasaran manusia seperti apa yang menjadi korban konspirasinya dengan anaknya.Fatih sendiri, setelah mengetahui bahwa Profesor Gani kini berbagi ruang tahanan bersamanya, setengah hidup menahan godaan agar tidak memproduksi keributan. Ia tidak ingin memberi para polisi itu alasan lain buat memperberat hukumannya, untuk kekejaman yang tidak dilakukannya. Fatih sudah cukup resah karena tanggal sidang semakin
"Kamu sedang senang, ya? Dari tadi Ayah perhatikan kamu selalu tersenyum, wajahmu juga riang."Citra mengangkat tatapannya dari piring di hadapannya, berpura-pura cemberut sebagai respons untuk ucapan ayahnya, kemudian disambung dengan cengiran. Fikri yang sudah lama tidak melihat anaknya sesenang itu ikut tersenyum."Ayah ini pura-pura tidak tahu, ya? Tentu saja saya gembira karena Neta telah bersama kita lagi. Saya tidak peduli dengan yang lain, termasuk nasib Gani sekarang. Oh ya Ayah, hari ini mau ke kantor polisi liat Gani?"Tidak langsung menjawab, Fikri memilih menyuapkan dulu makanan ke dalam mulutnya, mengunyah beberapa detik, lalu menelannya."Haruskah? Apa urusanku jika yang ditangkap itu benar-benar pria brengsek itu atau bukan? Toh, yang paling penting adalah Neta telah kembali pada kita."Citra membatu sesaat melihat ayahnya tidak sepeduli itu pada orang yang masih berstatus sebagai suaminya. Namun, mengingat semua yang telah Profesor Gani laku
Kala beranjak dari sisi brankar Ibad dengan wajah prihatin. Sudah hampir sepekan polisi itu koma. Walaupun Profesor Gani dan Bento, sebagai pihak yang bersalah di sini, telah ditangkap, namun Ibad belum juga bangun. Kala tahu dirinya akan tampak bodoh jika percaya bahwa penangkapan dua orang itu akan membuat Ibad siuman, tapi tidak ada salahnya ia berharap, kan?Setelah pamit pada ibu Ibad yang kelihatan puluhan tahun lebih tua dibandingkan terakhir kali Kala melihatnya, ia membuka pintu kamar perawatan Ibad dan nyaris bertabrakan dengan seseorang yang tergesa-gesa melintasi koridor rumah sakit. Tidak ingin sakit kepala menggempurnya karena tidak sengaja menyentuh manusia itu, siapa tahu ia baru sudah berbohong, Kala cepat-cepat mundur kembali ke dalam ruangan."Iya, iya, tunggu! Saya akan segera ke sana!"Meskipun sekelebat, Kala masih sempat menangkap kalimat yang melompat dari mulut orang itu dan ia merasa pernah mendengar suara itu entah di mana.Sambil meme
"Sidang? Besok? Tidak masuk akal!"Ibu Fatih berdiri dan memekik di ruang besuk, membuat semua kepala yang ada di ruangan itu menoleh dan memberinya tatapan ingin tahu. Setelah melihat siapa yang telah memproduksi keributan, beberapa orang langsung berbisik dengan manusia di sampingnya dan tidak ragu-ragu melemparkan pandangan mencela. Fatih yang sudah menduga reaksi ibunya akan seperti itu cepat-cepat menarik tangannya agar duduk kembali di kursinya, yang dituruti wanita fashionista setengah baya itu dengan enggan."Ibu, jangan teriak. Nanti petugas di sana menyuruh Ibu keluar."Dengan matanya, Fatih menunjuk petugas yang menjaga ruang besuk, yang sudah menghadiahi mereka pandangan menegur."Fatih benar, Bu. Anda tidak boleh bertindak sembrono karena itu akan merugikan Anda sendiri."Pengacara Fatih, pria bertubuh agak gempal dengan mata sedikit sipit bernama Kevan, ikut berkomentar."Tapi, ini sangat tidak adil, Pak Kevan. Bagaimana bisa anakku di
Citra terperanjat mendengar jawaban Bi Jena. Ia tahu, sangat tahu, bahwa tidak akan banyak waktu yang bisa dihabiskannya bersama anaknya begitu Neta kembali, tapi haruskah para polisi itu merebut putrinya secepat ini?Dengan wajah resah, Citra menoleh ke tempat tidur Neta, tanpa disuruh otaknya memutar ulang percakapannya di telpon beberapa menit yang lalu. Percakapannya dengan Kila. "Saya mengerti Anda ingin bersama Neta lebih lama, tapi anak Anda harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Kami akan menjemput Neta di rumah Anda."Sambil matanya tak lepas menatap Neta, Citra memikirkan ucapan Kila. Citra mengira, lebih tepatnya berharap, polisi tidak akan datang dalam waktu dekat, mungkin sepekan atau paling bagus sebulan lagi. Ia tidak akan bisa melepas Neta secepat ini."Baiklah, Bi Jena. Tolong sampaikan pada para polisi itu untuk menunggu di ruang tamu."Bi Jena mengangguk lalu menutup pintu kembali. Citra masih memelototi pintu sesaat sebelum melempar n