Kala beranjak dari sisi brankar Ibad dengan wajah prihatin. Sudah hampir sepekan polisi itu koma. Walaupun Profesor Gani dan Bento, sebagai pihak yang bersalah di sini, telah ditangkap, namun Ibad belum juga bangun. Kala tahu dirinya akan tampak bodoh jika percaya bahwa penangkapan dua orang itu akan membuat Ibad siuman, tapi tidak ada salahnya ia berharap, kan?Setelah pamit pada ibu Ibad yang kelihatan puluhan tahun lebih tua dibandingkan terakhir kali Kala melihatnya, ia membuka pintu kamar perawatan Ibad dan nyaris bertabrakan dengan seseorang yang tergesa-gesa melintasi koridor rumah sakit. Tidak ingin sakit kepala menggempurnya karena tidak sengaja menyentuh manusia itu, siapa tahu ia baru sudah berbohong, Kala cepat-cepat mundur kembali ke dalam ruangan."Iya, iya, tunggu! Saya akan segera ke sana!"Meskipun sekelebat, Kala masih sempat menangkap kalimat yang melompat dari mulut orang itu dan ia merasa pernah mendengar suara itu entah di mana.Sambil meme
"Sidang? Besok? Tidak masuk akal!"Ibu Fatih berdiri dan memekik di ruang besuk, membuat semua kepala yang ada di ruangan itu menoleh dan memberinya tatapan ingin tahu. Setelah melihat siapa yang telah memproduksi keributan, beberapa orang langsung berbisik dengan manusia di sampingnya dan tidak ragu-ragu melemparkan pandangan mencela. Fatih yang sudah menduga reaksi ibunya akan seperti itu cepat-cepat menarik tangannya agar duduk kembali di kursinya, yang dituruti wanita fashionista setengah baya itu dengan enggan."Ibu, jangan teriak. Nanti petugas di sana menyuruh Ibu keluar."Dengan matanya, Fatih menunjuk petugas yang menjaga ruang besuk, yang sudah menghadiahi mereka pandangan menegur."Fatih benar, Bu. Anda tidak boleh bertindak sembrono karena itu akan merugikan Anda sendiri."Pengacara Fatih, pria bertubuh agak gempal dengan mata sedikit sipit bernama Kevan, ikut berkomentar."Tapi, ini sangat tidak adil, Pak Kevan. Bagaimana bisa anakku di
Citra terperanjat mendengar jawaban Bi Jena. Ia tahu, sangat tahu, bahwa tidak akan banyak waktu yang bisa dihabiskannya bersama anaknya begitu Neta kembali, tapi haruskah para polisi itu merebut putrinya secepat ini?Dengan wajah resah, Citra menoleh ke tempat tidur Neta, tanpa disuruh otaknya memutar ulang percakapannya di telpon beberapa menit yang lalu. Percakapannya dengan Kila. "Saya mengerti Anda ingin bersama Neta lebih lama, tapi anak Anda harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Kami akan menjemput Neta di rumah Anda."Sambil matanya tak lepas menatap Neta, Citra memikirkan ucapan Kila. Citra mengira, lebih tepatnya berharap, polisi tidak akan datang dalam waktu dekat, mungkin sepekan atau paling bagus sebulan lagi. Ia tidak akan bisa melepas Neta secepat ini."Baiklah, Bi Jena. Tolong sampaikan pada para polisi itu untuk menunggu di ruang tamu."Bi Jena mengangguk lalu menutup pintu kembali. Citra masih memelototi pintu sesaat sebelum melempar n
"Yah, kalau orang itu tidak bilang padamu soal identitasnya, maka saya juga tidak berhak memberitahumu."Tatapan menuntut yang diberikan Kala tiba-tiba lenyap mendengar jawaban dokter muka dingin. Punggungnya yang ditegakkan oleh rasa penasaran mengendur kembali, ia bahkan bersandar letih di punggung kursi."Jawaban yang bagus, Dokter Levian. Begitulah seharusnya jawaban yang diberikan oleh anggota organisasi kepada orang luar yang bertanya."Suara yang datang dari belakangnya membuat Kala duduk tegak kembali, dokter muka dingin yang menunduk sambil berurusan dengan sedotan di gelas es tehnya juga mengangkat matanya. Secara berjamaah, mereka memandang manusia yang mewujudkan dirinya secara mendadak di percakapan kecil itu: Efran."Pak Efran? Apa yang Anda lakukan di sini?"Efran menaikkan bahunya sebagai respons dan tanpa meminta izin ataupun diizinkan ikut duduk di kursi kosong yang terserak di meja Kala."Hahaha. Kebetulan yang menyenangkan kan, Kala?
Pita merespons kalimat Efran dengan tawa, seperti yang memang biasanya ia lakukan, kemudian duduk di satu-satunya kursi kosong yang masih terserak di meja itu, di antara dokter muka dingin dan Efran dan tepat berhadapan dengan Kala."Jangan bercanda seperti itu, Pak Wakil. Anda tidak lihat muka Kala sudah kayak apa?"Efran dan dokter muka dingin menoleh dan menemukan Kala tengah cosplay menjadi patung dengan mata mendelik tanpa berkedip dan mulut menganga, bahkan ia juga menahan napas."Kala, kamu tidak apa-apa? Kamu baik-baik saja?"Dokter muka dingin menyentuh lengan Kala dalam upayanya menyadarkan, membuat Kala mulai meraup napas, mengerjap-ngerjap demi mengembalikan matanya ke bentuk semula, lalu setengah hidup memaksa mulutnya menutup karena kekagetan masih tersisa di setiap inci kulitnya."Sepertinya teman kita ini benar-benar shock dengan perkenalan tadi, Dokter Levian. Dia tidak apa-apa, kan? Dia tidak punya riwayat jantung lemah, kan? Yang bisa fata
"Bu, pintunya tidak bisa dibuka. Sepertinya terkunci dari luar."Ekspresi tercengang terpampang di tampang Citra saat ia berdiri dari tempat tidur dan menghampiri Neta yang tengah sibuk menaikturunkan pegangan pintu sambil berupaya menarik pintunya agar terbuka."Yang benar, Neta? Mungkin pintunya hanya macet. Siapa yang mau menguncikan kita pintu di sini? Sini, biar Ibu coba buka."Neta bergeser demi memberi ruang pada ibunya untuk mencoba peruntungan. Citra mengambil alih pegangan dan menurunkannya, pintu tetap di tempatnya. Ia menekankan satu telapak tangannya ke dinding sambil menarik handle, pintu masih bergeming. Akhirnya, Citra kembali ke cara normal, yaitu menggerakkan pegangan, tapi pintu ngotot tetap tertutup.Penasaran, Citra melepas pegangannya dan mengintip di celah antara pintu dan kusen. Matanya mendelik saat melihat besi berbentuk segi empat tipis melintang di sela tersebut. Dengan napas yang tiba-tiba berlarian, Citra kembali ke posisinya dan memberi
Kala bertatap muka dengan ponselnya. Meskipun mata Kala mengarah ke benda tipis persegi panjang berwarna biru itu, tapi pikirannya tengah berkelana. Percakapannya dengan dokter muka dingin alias Dokter Levian, Efran, dan Pita beberapa menit yang lalu masih jumpalitan di dalam otaknya, terutama soal Pita yang ternyata merupakan pimpinan organisasi yang menghimpun pemilik kemampuan mendeteksi kebohongan itu.Pita memang tidak melarang Kala memberitahu kakaknya tentang identitasnya, toh Kila juga sudah tahu kalau organisasi semacam itu terbukti ada. Tapi, yang Kala khawatirkan adalah reaksi Kila setelah mendengar info itu, apakah akan muncul rasa seakan dikhianati seperti yang menggempur Kala tadi? Bagaimanapun juga, Kila lebih lama mengenal Pita daripada Kala.Akhirnya Kala melempar napas dan fokus pada ponselnya. Ia menghidupkan layar dan mencari nama Kila lalu menyentuh nomornya."Halo, Kak. Lagi di mana? Sibuk, nggak? Gue mau ngomong sesuatu nih."Kala diam, menyima
"Aneh, kenapa Kakek tidak menjawab telponnya? Apa dia sibuk atau sedang di kamar mandi?"Neta bergumam sendiri sambil memelototi layar ponsel ibunya yang mempertontonkan nomor kakeknya, sibuk menduga-duga.Tidak ingin menyerah kelewat cepat, Neta menyentuh lagi nomor itu, menempelkan ponsel ke telinganya, dan menunggu panggilannya dijawab. Namun, yang didengarnya hanya bunyi monoton panjang membosankan.Neta tengah fokus memikirkan sangkaan lain saat suara langkah kaki yang terburu-buru lewat di depan pintu kamarnya. Berusaha memanfaatkan secuil pun kesempatan agar bisa bebas, Neta segera berlari ke pintu dan mengetuknya sekeras mungkin, atau lebih tepat disebut menggedor. Tapi, suara langkah itu tidak berhenti dan terus berjalan, semakin jauh jaraknya dengan kamar Neta. Gedorannya pun semakin lemah dan akhirnya berhenti."Tidak apa, saya akan telpon Kakek lagi. Mungkin kali ini dia akan mendengar panggilanku."Berupaya bersikap optimis, Neta kembali bertatap muk
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal