Pita merespons kalimat Efran dengan tawa, seperti yang memang biasanya ia lakukan, kemudian duduk di satu-satunya kursi kosong yang masih terserak di meja itu, di antara dokter muka dingin dan Efran dan tepat berhadapan dengan Kala."Jangan bercanda seperti itu, Pak Wakil. Anda tidak lihat muka Kala sudah kayak apa?"Efran dan dokter muka dingin menoleh dan menemukan Kala tengah cosplay menjadi patung dengan mata mendelik tanpa berkedip dan mulut menganga, bahkan ia juga menahan napas."Kala, kamu tidak apa-apa? Kamu baik-baik saja?"Dokter muka dingin menyentuh lengan Kala dalam upayanya menyadarkan, membuat Kala mulai meraup napas, mengerjap-ngerjap demi mengembalikan matanya ke bentuk semula, lalu setengah hidup memaksa mulutnya menutup karena kekagetan masih tersisa di setiap inci kulitnya."Sepertinya teman kita ini benar-benar shock dengan perkenalan tadi, Dokter Levian. Dia tidak apa-apa, kan? Dia tidak punya riwayat jantung lemah, kan? Yang bisa fata
"Bu, pintunya tidak bisa dibuka. Sepertinya terkunci dari luar."Ekspresi tercengang terpampang di tampang Citra saat ia berdiri dari tempat tidur dan menghampiri Neta yang tengah sibuk menaikturunkan pegangan pintu sambil berupaya menarik pintunya agar terbuka."Yang benar, Neta? Mungkin pintunya hanya macet. Siapa yang mau menguncikan kita pintu di sini? Sini, biar Ibu coba buka."Neta bergeser demi memberi ruang pada ibunya untuk mencoba peruntungan. Citra mengambil alih pegangan dan menurunkannya, pintu tetap di tempatnya. Ia menekankan satu telapak tangannya ke dinding sambil menarik handle, pintu masih bergeming. Akhirnya, Citra kembali ke cara normal, yaitu menggerakkan pegangan, tapi pintu ngotot tetap tertutup.Penasaran, Citra melepas pegangannya dan mengintip di celah antara pintu dan kusen. Matanya mendelik saat melihat besi berbentuk segi empat tipis melintang di sela tersebut. Dengan napas yang tiba-tiba berlarian, Citra kembali ke posisinya dan memberi
Kala bertatap muka dengan ponselnya. Meskipun mata Kala mengarah ke benda tipis persegi panjang berwarna biru itu, tapi pikirannya tengah berkelana. Percakapannya dengan dokter muka dingin alias Dokter Levian, Efran, dan Pita beberapa menit yang lalu masih jumpalitan di dalam otaknya, terutama soal Pita yang ternyata merupakan pimpinan organisasi yang menghimpun pemilik kemampuan mendeteksi kebohongan itu.Pita memang tidak melarang Kala memberitahu kakaknya tentang identitasnya, toh Kila juga sudah tahu kalau organisasi semacam itu terbukti ada. Tapi, yang Kala khawatirkan adalah reaksi Kila setelah mendengar info itu, apakah akan muncul rasa seakan dikhianati seperti yang menggempur Kala tadi? Bagaimanapun juga, Kila lebih lama mengenal Pita daripada Kala.Akhirnya Kala melempar napas dan fokus pada ponselnya. Ia menghidupkan layar dan mencari nama Kila lalu menyentuh nomornya."Halo, Kak. Lagi di mana? Sibuk, nggak? Gue mau ngomong sesuatu nih."Kala diam, menyima
"Aneh, kenapa Kakek tidak menjawab telponnya? Apa dia sibuk atau sedang di kamar mandi?"Neta bergumam sendiri sambil memelototi layar ponsel ibunya yang mempertontonkan nomor kakeknya, sibuk menduga-duga.Tidak ingin menyerah kelewat cepat, Neta menyentuh lagi nomor itu, menempelkan ponsel ke telinganya, dan menunggu panggilannya dijawab. Namun, yang didengarnya hanya bunyi monoton panjang membosankan.Neta tengah fokus memikirkan sangkaan lain saat suara langkah kaki yang terburu-buru lewat di depan pintu kamarnya. Berusaha memanfaatkan secuil pun kesempatan agar bisa bebas, Neta segera berlari ke pintu dan mengetuknya sekeras mungkin, atau lebih tepat disebut menggedor. Tapi, suara langkah itu tidak berhenti dan terus berjalan, semakin jauh jaraknya dengan kamar Neta. Gedorannya pun semakin lemah dan akhirnya berhenti."Tidak apa, saya akan telpon Kakek lagi. Mungkin kali ini dia akan mendengar panggilanku."Berupaya bersikap optimis, Neta kembali bertatap muk
Kila berhenti berjalan. Sebuah pekikan rupanyanya telah dijaring oleh telinganya, kedengarannya seperti suara wanita. Ia pun meminta matanya menjelajahi halaman rumah mewah yang luas itu, menelisik setiap tanaman yang menyembul dari tanahnya.Tidak ada siapapun di antara tumbuhan itu. Mungkinkah suara itu datang dari arah rumah mewah di belakangnya? Kila menoleh dan menemukan Fikri sudah lenyap dari teras, yang ada tinggal para pria berjas hitam rapih yang masih memberinya sikap mengancam. Wanita yang memekik itu juga tidak tampak."Ni ... , Kil ... a ... , si ... , la .... "Potongan jeritan yang dibawakan oleh angin itu membuat Kila yakin bahwa memang ada wanita yang bersuara. Ia berpaling ke samping, Kala dan dua polisi pria berjaket kulit itu kompak menghadiahinya jidat yang mengernyit."Kakak denger suara nggak? Kayak ada cewek yang lagi manggil. Gue cari-cari di halaman tapi nggak ada. Mungkin dia manggil dari rumah? Apa kita perlu kembali buat mastiin?"Ka
"Lepas! Saya bisa jalan sendiri. Tidak usah diseret-seret begini."Kala menyentakkan tangan salah satu pria berjas hitam rapih yang menggamitnya tanpa sopan santun. Untung saja si pria tidak sedang berbohong sehingga sakit kepala tidak menggempur kepala Kala saat itu. Sambil menjaga jarak agar tidak disentuh lagi, Kala menoleh ke belakang, ke rumah mewah yang baru saja ditinggalkannya. Dari jendela, Kala bisa melihat Neta dan ibunya juga dikawal oleh para pria berjas hitam menuju suatu tempat yang jelas-jelas tidak diinginkan oleh keduanya, dilihat dari cara mereka meronta ingin meminggatkan diri. Ia resah, bagaimana caranya ia bisa membantu Fatih kalau Neta disekap lagi? Padahal besok sudah sidang perdana kasus pembunuhan Lavi."Jalan cepat! Atau saya akan menyeret Anda lagi."Suara berat yang datang dari belakangnya membuat Kala berhenti mengamati rumah mewah itu dan menghadap ke depan lagi, ke pintu pagar yang menjulang.Begitu sudah berdiri di depan pintu pa
Kila terdiam sejenak saat pria konter datang ke meja mereka membawakan pesanan. Setelah mengangguk dan menggumamkan terima kasih, ia langsung mencicipi es kopinya begitu pria konter berlalu."Enak!"Kila lalu meletakkan gelasnya di meja dan melanjutkan, tak memberi kesempatan Kala untuk bereaksi."Jadi, salah kalo lo pikir gue sengaja selalu ngelawan perintah Pak Neco. Nggak! Gue cuma protes pada tindakannya yang gue rasa nggak benar aja. Orang-orang pun jadi mengira kalo gue pembangkang dan selalu ngebantah perintah atasan. Padahal kan sebenarnya nggak gitu."Kala manggut-manggut mendengar penjelasan kakaknya, agak geli karena sempat mengira kakaknya memang tidak menyukai Pak Neco sebagai atasannya dan berniat menggulingkannya dari tahta Kepala Kepolisian Ryha."Ucapanmu sangat mengharukan, Kila. Padahal saya sudah telanjur mengecapmu sebagai anak buah kurang ajar."Kila memutar kepalanya secepat yang otot lehernya mampu lakukan dan terperanjat mendapati man
"Kenapa kamu di sini? Memangnya keadaanmu sudah baikan? Bagaimana lukamu? Sudah tidak sakit? Harusnya kamu beristirahat, bukan terjun langsung seperti ini."Herli menoleh dari kesibukannya mengawasi aktivitas para pria berjas hitam rapih yang dipimpinnya dan menemukan Fikri berdiri dengan ekspresi khawatir pada wajahnya."Saya tidak apa-apa, Pak. Luka tusukannya tidak terlalu dalam jadi dokter mengizinkan saya pulang hari ini. Bagaimana mungkin saya bisa istirahat saat semua anggota sibuk begini?"Fikri tersenyum kemudian menghampiri Herli dan menyentuh pundaknya. Ia riang karena salah satu orang kepercayaannya sudah kembali bersemayam di sisinya."Kamu memang kompeten, Herli. Tidak salah saya memilih mempekerjakan kamu dan anggotamu."Herli mengangguk singkat sebagai respons."Saya tahu dari anggota kalau malam ini kita akan membawa Non Neta dan Bu Citra. Kita akan ke mana, Pak?"Tangan Fikri terlepas dari bahu Herli. Ia lalu memalingkan muka, menatap pa