"Lepas! Saya bisa jalan sendiri. Tidak usah diseret-seret begini."
Kala menyentakkan tangan salah satu pria berjas hitam rapih yang menggamitnya tanpa sopan santun. Untung saja si pria tidak sedang berbohong sehingga sakit kepala tidak menggempur kepala Kala saat itu. Sambil menjaga jarak agar tidak disentuh lagi, Kala menoleh ke belakang, ke rumah mewah yang baru saja ditinggalkannya.Dari jendela, Kala bisa melihat Neta dan ibunya juga dikawal oleh para pria berjas hitam menuju suatu tempat yang jelas-jelas tidak diinginkan oleh keduanya, dilihat dari cara mereka meronta ingin meminggatkan diri. Ia resah, bagaimana caranya ia bisa membantu Fatih kalau Neta disekap lagi? Padahal besok sudah sidang perdana kasus pembunuhan Lavi."Jalan cepat! Atau saya akan menyeret Anda lagi."Suara berat yang datang dari belakangnya membuat Kala berhenti mengamati rumah mewah itu dan menghadap ke depan lagi, ke pintu pagar yang menjulang.Begitu sudah berdiri di depan pintu paKila terdiam sejenak saat pria konter datang ke meja mereka membawakan pesanan. Setelah mengangguk dan menggumamkan terima kasih, ia langsung mencicipi es kopinya begitu pria konter berlalu."Enak!"Kila lalu meletakkan gelasnya di meja dan melanjutkan, tak memberi kesempatan Kala untuk bereaksi."Jadi, salah kalo lo pikir gue sengaja selalu ngelawan perintah Pak Neco. Nggak! Gue cuma protes pada tindakannya yang gue rasa nggak benar aja. Orang-orang pun jadi mengira kalo gue pembangkang dan selalu ngebantah perintah atasan. Padahal kan sebenarnya nggak gitu."Kala manggut-manggut mendengar penjelasan kakaknya, agak geli karena sempat mengira kakaknya memang tidak menyukai Pak Neco sebagai atasannya dan berniat menggulingkannya dari tahta Kepala Kepolisian Ryha."Ucapanmu sangat mengharukan, Kila. Padahal saya sudah telanjur mengecapmu sebagai anak buah kurang ajar."Kila memutar kepalanya secepat yang otot lehernya mampu lakukan dan terperanjat mendapati man
"Kenapa kamu di sini? Memangnya keadaanmu sudah baikan? Bagaimana lukamu? Sudah tidak sakit? Harusnya kamu beristirahat, bukan terjun langsung seperti ini."Herli menoleh dari kesibukannya mengawasi aktivitas para pria berjas hitam rapih yang dipimpinnya dan menemukan Fikri berdiri dengan ekspresi khawatir pada wajahnya."Saya tidak apa-apa, Pak. Luka tusukannya tidak terlalu dalam jadi dokter mengizinkan saya pulang hari ini. Bagaimana mungkin saya bisa istirahat saat semua anggota sibuk begini?"Fikri tersenyum kemudian menghampiri Herli dan menyentuh pundaknya. Ia riang karena salah satu orang kepercayaannya sudah kembali bersemayam di sisinya."Kamu memang kompeten, Herli. Tidak salah saya memilih mempekerjakan kamu dan anggotamu."Herli mengangguk singkat sebagai respons."Saya tahu dari anggota kalau malam ini kita akan membawa Non Neta dan Bu Citra. Kita akan ke mana, Pak?"Tangan Fikri terlepas dari bahu Herli. Ia lalu memalingkan muka, menatap pa
Waktu sudah berlari selama empat jam sejak pengintaian mereka dimulai. Dengan menggunakan jendela besar di lantai tiga yang menghadap langsung ke gerbang rumah mewah Fikri tepat di depannya, Kila dan Kala bergantian memantau situasi menggunakan teropong yang, entah kesurupan apa, dipinjamkan oleh AKBP Neco, katanya agar lebih mudah mengamati pergerakan orang-orang di rumah itu.Kala melongok ke layar ponselnya, tidak tahu untuk yang keberapa kalinya, dan melihat angka 22.09 terpampang. Setelah melempar napas, ia meraih lagi teropong yang terkapar di meja di sampingnya, mengarahkannya ke arah rumah mewah Fikri, dan menegakkan punggung begitu sebuah pemandangan memasuki penglihatannya."Lo lihat apa, Ka? Ada gerakan yang mencurigakan?"Kala mengangguk dengan semangat tanpa melepaskan teropong dari matanya."Gue liat mereka kayak lagi siap-siap mau pergi, Kak. Banyak mobil berjejer di depan teras dan pria berjas hitam itu mondar-mandir lagi masukin barang ke mobil."
"Jangan gugup, tenang saja. Jangan terprovokasi sama apapun yang mungkin dikatakan oleh jaksa dan saksi. Kamu harus memperlihatkan kepada majelis hakim bahwa kamu orang yang santun."Fatih mengangguk lemah mendengar nasihat Kevan yang duduk di sampingnya. Ia kemudian memandang ke kursi penonton sidang, yang tak disangkanya akan terisi penuh, dan menemukan ibunya tetap dengan selera fashionnya yang memanjakan mata, berusaha menegarkan dirinya sendiri.Ibu Fatih menyadari tatapan anaknya dan ia mengangguk, mendukung Fatih dari tempat duduknya. Ia berusaha tersenyum meskipun yang dihasilkan hanya senyum lemah yang jelas-jelas terlihat dipaksakan.Di samping ibunya, duduk ayah dan adik Fatih, Veli, dengan wajah risau yang persis sama. Bahkan Veli sepertinya sudah siap menggelontorkan air mata."Kakak! Kakak!"Mulut Veli memanggil kakaknya tanpa suara, yang dijawab Fatih dengan anggukan tertekan. Tidak kuat menggendong beban kesedihan, Veli akhirnya menggulirkan air m
Wajahnya, yang biasanya terbalut make up tipis dan berkilau cemerlang sampai membuat banyak makhluk berjakun tidak kuasa memalingkan muka, kini tampak mengerikan. Rambut bergelora seperti habis bersalaman dengan tornado, lingkaran hitam yang lebih banyak dibanding yang dimiliki panda di bawah mata, dan mata cekung seperti seminggu tidak tidur membuat Neta tampak seperti orang lain."Neta sayang, apa yang terjadi padamu, Nak? Kamu tidak enak badan? Di mana yang sakit? Apa Ibu perlu meminta kakekmu memanggil dokter?"Kepala Neta langsung menoleh dari aktivitasnya memelototi lantai dan matanya seketika mendelik saat ibunya menyebut-nyebut kakeknya."Jangan sebut orang tua itu sebagai Kakek. Saya tidak sudi punya kakek seperti dia. Kakek mana yang akan tega menyiksa cucunya seperti yang dia lakukan? Dasar orang tua tidak berperasaan."Citra melempar napas, maklum dengan reaksi anaknya. Walaupun ia diam-diam setuju dengan tindakan ayahnya, karena tahu alasannya adalah aga
"Gimana, Kak? Kakak berhasil nyusup ke sana? Kakak ketemu Neta, kan? Nggak ada pengawal yang memergoki Kakak, kan? Apa kata Neta? Dia setuju?"Kala menggempur kakaknya dengan pertanyaan bertubi-tubi begitu Kila muncul sambil mengendap-endap persis maling yang baru saja mengintai rumah calon korban, membuka pintu mobil, dan memarkirkan pantatnya di kursi depan kemudi."Neta belum bilang setuju ataupun nolak. Gue sudah duga sih, dia pasti berat ninggalin ibunya. Tapi, kita tetap harus ngikutin rencana, siapa tahu Neta pengen ikut dengan kita."Mengangguk, Kala pun menganggap mematuhi rencana sebagai tindakan paling bijaksana yang bisa mereka lakukan. Ia kemudian melongok ke layar ponselnya yang menyala mempertontonkan waktu."Sudah jam sembilan, sidang perdana Fatih kayaknya udah mulai. Sepertinya kita nggak bakal sempat ke sana."Kila ikut-ikutan melirik jam tangannya lalu melempar napas. Tiba-tiba ponselnya memekik-mekik, membuat Kila sempat terlonjak."Pita.
Walaupun sudah setengah hidup menahan godaan agar tidak termamah oleh provokasi yang sengaja ditebar oleh Irsita, kemarahan Fatih tersengat juga. Hal itu terutama dipicu oleh kebohongan Irsita soal motif pembunuhan. Dendam karena sering direndahkan? Lavi bukan orang tidak berkualitas yang gemar merendahkan manusia lain. Tidak sekali pun Fatih merasa Lavi pernah menyinggung harga dirinya sebagai individu.Tangan Fatih yang membentuk tinju gemetar di atas meja kayu di depannya. Kevan yang tanggap terhadap sikap kliennya cepat-cepat menyentuh bahu Fatih dengan niat memeringatkan agar tetap tenang. Sangat tidak elok kalau Fatih sampai melompati meja dan menghajar Irsita karena tidak bisa mengendalikan emosi."Jangan terpengaruh, Fatih. Jaksa sedang memancingmu agar bertindak agresif. Ingat, semua yang terjadi di ruang sidang akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan."Mendengar peringatan Kevan, Fatih berupaya mengekang keinginannya menghantam Irsita dengan memejamkan mata dan
"Kamu baik-baik saja, Neta sayang? Wajahmu pucat. Mungkin karena semalam kamu tidak tidur setelah kita sampai di sini."Citra berujar sambil memegangi pipi anaknya. Neta sendiri tidak langsung menjawab, sibuk memikirkan pesan yang disampaikan oleh Kila padanya."Saya tidak apa-apa, Bu. Paling istirahat sebentar juga sudah baikan."Fikri yang duduk di kursi depan dan Herli yang bertindak sebagai pengemudi melirik melalui kaca spion tengah."Di pom bensin kira-kira 9 kilometer dari sini ada fasilitas kafetaria. Mungkin Bu Citra mau singgah di sana untuk menenangkan diri bersama Non Neta? Penerbangan kita juga masih lama. Bagaimana?"Tawaran Herli membuat Neta semakin bimbang. Ia bisa melakukan hal yang dibilang Kila di kafetaria itu, tapi bagaimana dengan ibunya? Pasti ibunya sangat sedih kalau Neta minggat."Sepertinya itu ide bagus. Kamu bisa sarapan di sana. Sebelum berangkat tadi kamu belum sarapan. Mungkin itu sebabnya kami lesu begini."Mengerjap, Net