"Kamu sedang senang, ya? Dari tadi Ayah perhatikan kamu selalu tersenyum, wajahmu juga riang."Citra mengangkat tatapannya dari piring di hadapannya, berpura-pura cemberut sebagai respons untuk ucapan ayahnya, kemudian disambung dengan cengiran. Fikri yang sudah lama tidak melihat anaknya sesenang itu ikut tersenyum."Ayah ini pura-pura tidak tahu, ya? Tentu saja saya gembira karena Neta telah bersama kita lagi. Saya tidak peduli dengan yang lain, termasuk nasib Gani sekarang. Oh ya Ayah, hari ini mau ke kantor polisi liat Gani?"Tidak langsung menjawab, Fikri memilih menyuapkan dulu makanan ke dalam mulutnya, mengunyah beberapa detik, lalu menelannya."Haruskah? Apa urusanku jika yang ditangkap itu benar-benar pria brengsek itu atau bukan? Toh, yang paling penting adalah Neta telah kembali pada kita."Citra membatu sesaat melihat ayahnya tidak sepeduli itu pada orang yang masih berstatus sebagai suaminya. Namun, mengingat semua yang telah Profesor Gani laku
Kala beranjak dari sisi brankar Ibad dengan wajah prihatin. Sudah hampir sepekan polisi itu koma. Walaupun Profesor Gani dan Bento, sebagai pihak yang bersalah di sini, telah ditangkap, namun Ibad belum juga bangun. Kala tahu dirinya akan tampak bodoh jika percaya bahwa penangkapan dua orang itu akan membuat Ibad siuman, tapi tidak ada salahnya ia berharap, kan?Setelah pamit pada ibu Ibad yang kelihatan puluhan tahun lebih tua dibandingkan terakhir kali Kala melihatnya, ia membuka pintu kamar perawatan Ibad dan nyaris bertabrakan dengan seseorang yang tergesa-gesa melintasi koridor rumah sakit. Tidak ingin sakit kepala menggempurnya karena tidak sengaja menyentuh manusia itu, siapa tahu ia baru sudah berbohong, Kala cepat-cepat mundur kembali ke dalam ruangan."Iya, iya, tunggu! Saya akan segera ke sana!"Meskipun sekelebat, Kala masih sempat menangkap kalimat yang melompat dari mulut orang itu dan ia merasa pernah mendengar suara itu entah di mana.Sambil meme
"Sidang? Besok? Tidak masuk akal!"Ibu Fatih berdiri dan memekik di ruang besuk, membuat semua kepala yang ada di ruangan itu menoleh dan memberinya tatapan ingin tahu. Setelah melihat siapa yang telah memproduksi keributan, beberapa orang langsung berbisik dengan manusia di sampingnya dan tidak ragu-ragu melemparkan pandangan mencela. Fatih yang sudah menduga reaksi ibunya akan seperti itu cepat-cepat menarik tangannya agar duduk kembali di kursinya, yang dituruti wanita fashionista setengah baya itu dengan enggan."Ibu, jangan teriak. Nanti petugas di sana menyuruh Ibu keluar."Dengan matanya, Fatih menunjuk petugas yang menjaga ruang besuk, yang sudah menghadiahi mereka pandangan menegur."Fatih benar, Bu. Anda tidak boleh bertindak sembrono karena itu akan merugikan Anda sendiri."Pengacara Fatih, pria bertubuh agak gempal dengan mata sedikit sipit bernama Kevan, ikut berkomentar."Tapi, ini sangat tidak adil, Pak Kevan. Bagaimana bisa anakku di
Citra terperanjat mendengar jawaban Bi Jena. Ia tahu, sangat tahu, bahwa tidak akan banyak waktu yang bisa dihabiskannya bersama anaknya begitu Neta kembali, tapi haruskah para polisi itu merebut putrinya secepat ini?Dengan wajah resah, Citra menoleh ke tempat tidur Neta, tanpa disuruh otaknya memutar ulang percakapannya di telpon beberapa menit yang lalu. Percakapannya dengan Kila. "Saya mengerti Anda ingin bersama Neta lebih lama, tapi anak Anda harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Kami akan menjemput Neta di rumah Anda."Sambil matanya tak lepas menatap Neta, Citra memikirkan ucapan Kila. Citra mengira, lebih tepatnya berharap, polisi tidak akan datang dalam waktu dekat, mungkin sepekan atau paling bagus sebulan lagi. Ia tidak akan bisa melepas Neta secepat ini."Baiklah, Bi Jena. Tolong sampaikan pada para polisi itu untuk menunggu di ruang tamu."Bi Jena mengangguk lalu menutup pintu kembali. Citra masih memelototi pintu sesaat sebelum melempar n
"Yah, kalau orang itu tidak bilang padamu soal identitasnya, maka saya juga tidak berhak memberitahumu."Tatapan menuntut yang diberikan Kala tiba-tiba lenyap mendengar jawaban dokter muka dingin. Punggungnya yang ditegakkan oleh rasa penasaran mengendur kembali, ia bahkan bersandar letih di punggung kursi."Jawaban yang bagus, Dokter Levian. Begitulah seharusnya jawaban yang diberikan oleh anggota organisasi kepada orang luar yang bertanya."Suara yang datang dari belakangnya membuat Kala duduk tegak kembali, dokter muka dingin yang menunduk sambil berurusan dengan sedotan di gelas es tehnya juga mengangkat matanya. Secara berjamaah, mereka memandang manusia yang mewujudkan dirinya secara mendadak di percakapan kecil itu: Efran."Pak Efran? Apa yang Anda lakukan di sini?"Efran menaikkan bahunya sebagai respons dan tanpa meminta izin ataupun diizinkan ikut duduk di kursi kosong yang terserak di meja Kala."Hahaha. Kebetulan yang menyenangkan kan, Kala?
Pita merespons kalimat Efran dengan tawa, seperti yang memang biasanya ia lakukan, kemudian duduk di satu-satunya kursi kosong yang masih terserak di meja itu, di antara dokter muka dingin dan Efran dan tepat berhadapan dengan Kala."Jangan bercanda seperti itu, Pak Wakil. Anda tidak lihat muka Kala sudah kayak apa?"Efran dan dokter muka dingin menoleh dan menemukan Kala tengah cosplay menjadi patung dengan mata mendelik tanpa berkedip dan mulut menganga, bahkan ia juga menahan napas."Kala, kamu tidak apa-apa? Kamu baik-baik saja?"Dokter muka dingin menyentuh lengan Kala dalam upayanya menyadarkan, membuat Kala mulai meraup napas, mengerjap-ngerjap demi mengembalikan matanya ke bentuk semula, lalu setengah hidup memaksa mulutnya menutup karena kekagetan masih tersisa di setiap inci kulitnya."Sepertinya teman kita ini benar-benar shock dengan perkenalan tadi, Dokter Levian. Dia tidak apa-apa, kan? Dia tidak punya riwayat jantung lemah, kan? Yang bisa fata
"Bu, pintunya tidak bisa dibuka. Sepertinya terkunci dari luar."Ekspresi tercengang terpampang di tampang Citra saat ia berdiri dari tempat tidur dan menghampiri Neta yang tengah sibuk menaikturunkan pegangan pintu sambil berupaya menarik pintunya agar terbuka."Yang benar, Neta? Mungkin pintunya hanya macet. Siapa yang mau menguncikan kita pintu di sini? Sini, biar Ibu coba buka."Neta bergeser demi memberi ruang pada ibunya untuk mencoba peruntungan. Citra mengambil alih pegangan dan menurunkannya, pintu tetap di tempatnya. Ia menekankan satu telapak tangannya ke dinding sambil menarik handle, pintu masih bergeming. Akhirnya, Citra kembali ke cara normal, yaitu menggerakkan pegangan, tapi pintu ngotot tetap tertutup.Penasaran, Citra melepas pegangannya dan mengintip di celah antara pintu dan kusen. Matanya mendelik saat melihat besi berbentuk segi empat tipis melintang di sela tersebut. Dengan napas yang tiba-tiba berlarian, Citra kembali ke posisinya dan memberi
Kala bertatap muka dengan ponselnya. Meskipun mata Kala mengarah ke benda tipis persegi panjang berwarna biru itu, tapi pikirannya tengah berkelana. Percakapannya dengan dokter muka dingin alias Dokter Levian, Efran, dan Pita beberapa menit yang lalu masih jumpalitan di dalam otaknya, terutama soal Pita yang ternyata merupakan pimpinan organisasi yang menghimpun pemilik kemampuan mendeteksi kebohongan itu.Pita memang tidak melarang Kala memberitahu kakaknya tentang identitasnya, toh Kila juga sudah tahu kalau organisasi semacam itu terbukti ada. Tapi, yang Kala khawatirkan adalah reaksi Kila setelah mendengar info itu, apakah akan muncul rasa seakan dikhianati seperti yang menggempur Kala tadi? Bagaimanapun juga, Kila lebih lama mengenal Pita daripada Kala.Akhirnya Kala melempar napas dan fokus pada ponselnya. Ia menghidupkan layar dan mencari nama Kila lalu menyentuh nomornya."Halo, Kak. Lagi di mana? Sibuk, nggak? Gue mau ngomong sesuatu nih."Kala diam, menyima