Akhirnya pada percobaan ke-43, pintu kamar berhasil terbuka, menyisakan satu buah kunci. Langsung saja, Bastian menerobos kerumunan yang bergerombol di depan pintu kamar Dhimas.
"Mas, salah! Kamar mandinya bukan di sana." teriak seseorang di antara kerumunan.a
Bastian lupa ini bukan di tempat kosnya yang lama—kos semasa SMA.
Bastian mengerem mendadak, seperti sepeda motor dengan rem cakram depan belakang, lalu langsung berbalik arah. Dan langsung tancap gas lagi. Tepat di ujung lorong, Bastian menoleh kiri-kanan, gamang membuat pilihan antara belok kiri atau kanan. Tak nampak olehnya keberadaan kamar kecil.
"Kanan, Mas." Teriak salah seorang di antara kerumunan di depan kamar Dhimas.
Tanpa mengucapkan 'terima kasih' Bastian langsung berbelok sesuai petunjuk suara yang tadi meneriakinya. Lalu berbelok ke kanan sekali lagi. Dan tampaklah empat pintu berderet.
Tapi sialnya keempat pintu tertutup.
"Ada orangnya nggak?" Bastian mengetok pintu pertama.
"Ada." jawab suara tanpa rupa.
"Ada orangnya?"
"Ada"
"Ada orangnya?"
"Ada."
"Ada orangnya?"
"Ada."
SIAAAAAL!!!
"Mas, bisa cepetan nggak? Sakit perut, kebelet 'ni!" Bastian berteriak geram. Tak sopan sekali. Apa ia lupa kalau dirinya di sana adalah tamu?
"Sabar!!" teriak para pemilik suara tanpa rupa dari balik keempat pintu yang terkunci dari dalam.
"Lagi b***r juga." Sambung salah satunya.
"Ssshh ...." Bastian mendesis menahan mulasnya.
"Ke atas aja!" Sambung yang lain lagi.
Bastian kembali tancap gas, menuju lantai atas. Melewati tangga yang berada tepat di samping deretan kamar mandi. Lalu segera menuju titik yang menurut dugaannya merupakan tempat di mana kamar mandi berada. Lagi-lagi sial, keempat pintu yang berjajar di sana juga tertutup. Bastian kembali mengetuk dan mengabsen satu per satu bilik-bilik kecil di depannya. Seperti dugaannya, semuanya sedang berpenghuni.
Dengan wajah merah-hitam-biru Bastian terpaksa menunggu di sana sambil terus menghitung detik-detik yang terasa seperti bom waktu. Hanya saja yang ini tidak berjalan mundur, melainkan maju.
"Whoi, siapa yang tadi kebelet?!" Teriak suara dari lorong di depan kamar mandi di bawah.
"Yaa ...!!" sahut Bastian lalu berlari kembali ke lantai bawah.
Tapi lagi-lagi sial. BRAK! Tepat pada saat Bastian tiba di depan deretan kamar mandi terdengar suara dari salah satu pintu tertutup. Seseorang menyerobotnya.
Bastian pun dengan lantang mengabsen para penghuni kebun binatang.
Untunglah salah satu pintu kemudian terbuka dan muncullah seseorang dengan raut muka bahagia dari balik pintu itu.
Bastian segera masuk ke dalam bilik privasi dan mengambil posisi ternyaman.
_______
Thalia berpegang teguh pada jaket Sumaryanto yang melaju kencang bagai badai, memenuhi titah sang raja—penumpang adalah raja.
Berbekal peta digital pada aplikasi ojek online, pengemudi ojek online itu melaju membelah jalanan Kota Malang. Namun hasrat membalapnya terpaksa ia redam ketika ia sampai pada ruas jalan yang macet. Macetnya tak masuk akal, tak bisa diterima nalar. Macet total, sama sekali tak bergerak. Ayolah, ini Jl. Veteran. Jalan protokal ini cukup lebar dengan volume kendaraan tak seberapa besar, tak biasanya macet seperti saat ini.
Thalia semakin ketar-ketir memikirkan nasib sahabat sepanjang perjalan hidupnya.
Tak mau lebih banyak membuang waktu, setelah berzig-zag melewati antrean mobil-mobil yang memenuhi jalan dan memanaskan aspal, Sumaryanto sampai pada titik putar balik. Ia pun berbalik arah di titik itu. Lalu berbelok ke sebuah jalan yang menghubungkan Jl. Veteran dengan Jl. Mayjend Panjaitan.
Sumaryanto menghentikan sepeda motornya di tepi jalan, lalu membuka Peta G****e, hal yang seharusnya dilakukan olehnya sejak awal, agar tak terjebak kemacetan. Sejauh yang Sumaryanto ketahui, hanya itu satu-satunya peta yang cukup akurat menampilkan informasi tentang kepadatan lalu lintas.
Sial ... sial ... sial!!
Peta menunjukkan kemacetan di Jl. Mayjend Panjaitan yang sama gilanya dengan Jl. Veteran.
Ingin menyebut nama Tuhan, tetapi yang meluncur dari mulut pengemudi ojek itu malah nama serangga yang khas dengan bunyi "krik ... krik ... krik". Kata itu terucap dengan mantap dan penekanan kuat, membuat sang makhluk mendapat konotasi negatif bersifat sarkastik.
Tetapi karena tak ada jalan alternatif yang menghubungkan jalan itu dengan lokasi yang ditujunya, mau tak mau Sumaryanto membawa sepeda motor beserta penumpangnya menembus kemacetan yang berdasarkan peta digitalnya perlu waktu lima belas menit untuk menembusnya.
Thalia hanya bisa pasrah.
Setelah berhasil melewati kemacetan dan kepadatan jalan-jalan raya, tibalah saatnya Sumaryanto memasuki gang kecil yang akan membawanya ke Kos Tinggal Kenangan.
Hanya saja jalan yang harus dilewati Sumaryanto dan Thalia, berdasarkan peta, bukanlah jalan lurus yang diridhoi Sang Pencipta. Mereka halus melewati jalan-jalan kecil yang banyak dihuni oleh polisi tidur. Kenapa juga polisi-polisi itu tidur di jalan, memangnya mereka tidak punya rumah? Tidak takut mati apa? Sedemikian depresikah mereka hingga memilih menyiksa diri dengan tidur di jalan? Gelandangan saja tidak mau tidur di jalan. Sedangkan mereka ...?
Menyebalkan dan melelahkan. Masih diperparah dengan kondisi shock breaker sepeda motor Sumaryanto yang sudah mati, membuat guncangan dan hentakan semakin terasa. Naik sepeda motor serasa naik kuda liar tanpa pelana. Semoga saja encok tak hinggap nantinya. Lalu mereka juga terpaksa melewati jalan tikus yang mengharuskan siapa pun yang melewatinya menggunakan sepeda motor harus turun dan menuntun kendaraannya.
Thalia sadar, jalan-jalan kecil yang dilaluinya berbeda dengan jalan ketika berangkat tadi. Peta sialan!
Setelah perjalanan panjang dan melelahkan di tengah siang, sampai juga mereka di kos Dhimas.
Syukurlah.
Thalia langsung melompat turun dari sepeda motor Sumaryanto, mengabaikan panggilan kang ojol yang mulutnya terbungkan helm full face itu.
"Mbeuk ... mbeuk ... mbeuk ...!" begitulah suara teriakan Sumaryanto.
_______
Sementara itu Dhimas masih terjebak bersama dua orang amatir yang masih berjibaku memasang ban tubeless sepeda motornya. Secangkir kopi yang menjadi temannya telah lenyap, hanya menyisakan ampas setebal 1,5 cm.
Mengantuk, Dhimas menguap lebar-lebar tanpa menutup mulutnya, mirip simpanse yang didera kantuk ratusan ton, kantuk berat. Sayup-sayup hingga akhirnya mata Dhimas tetutup. Dhimas tertidur dengan bersandar pada salah satu tiang penyangga emperan lapak.
Semestinya secangkir kopi cukup untuk membuat Dhimas tetap terjaga karena mengandung kafein—bukan cuma ibu yang bisa mengandung, kopi pun bisa mengandung, meski bukan bayi—, kecuali minuman berwarna hitam yang konon berasal dari daratan Afrika itu sebenarnya tidak hanya dibuat dari biji kopi, melainkan juga biji jagung. Terlebih jika persentase biji kopinya hanya sekitar 10%. Begitulah yang dikatakan salah seorang teman kos Dhimas yang pernah bekerja di sebuah pabrik kopi. Jadi seharusnya itu bukan secangkir kopi, melainkan secangkir jagung. Patutlah Dhimas masih mengantuk ratusan ton.
"Mas, Mas." tepukan di pundak dan suara tukang tambal ban membangunkan Dhimas.
Begitu terkejutnya, membuat jantung Dhimas berdetak kencang seperti genderang mau perang, padahal yang ada bersamanya hanyalah tukang tambal ban dan teman mabarnya, bukan makhluk Tuhan yang tercipta paling seksi. Dhimas meraup wajahnya. Akhirnya penantiannya berakhir. Dan Dhimas pun tancap gas meluncur kembali ke kos.
Di dalam ngebutnya Dhimas berdo'a dengan khusyuk, memohon semoga kamarnya tak ternoda.
_______
Thalia berlari menuju kamar Dhimas. Ia mendapati pintu kamar itu menganga tanpa ada siapa pun di dalamnya. Langsung saja Thalia melempar helm dan tas selempangnya ke kamar, tak mempedulikan di dalam tasnya ada benda elektronik sensitif guncangan bernama ponsel. Semoga saja ponsel itu tak merasakan guncangan seperti yang Thalia rasakan tadi. Dan helmnya entah mendarat dengan selamat atau tidak, Thalia tak peduli.
"Mas ... Mas ...." Thalia menghentikan seseorang yang kebetulan lewat, "..., tahu anak yang tadi di kamar sini nggak?"
"Oh, yang tadi kekunci?"
"Iya."
"Dia di kamar mandi."
"Alhamdulillah."
Thalia bernafas lega. Tapi perasaannya masih mengganjal.
"Kamar mandinya di mana?"
"Di sana, Mbak. Mentok, belok kanan." jawab laki-laki di hadapan Thalia sambil menunjuk ke arah di mana kamar mandi berada.
"'makasih, Mas." Thalia pun berjalan cepat menuju ke kamar mandi.
"Bas ... Bastian ...! Kamu di mana?!" panggil Thalia sesampainya di ujung deretan kamar mandi.
"Whoii ..., Ya!! Syukur deh kamu datang. Tolong ambilin air!"
Thalia bergegas menuju satu-satunya pintu yang masih tertutup. Tiga pintu yang lain sudah terbuka tanpa ada penghuni di dalamnya. "Bastian, ini kamu?" tanua Thalia sambil mengetok pintu yang masih tertutup.
"Iya, cepet ambilin air, kakiku kesemutan!"
"Emang di dalam nggak ada air?!"
"Nggak ada. Cepetan, Ya!"
TAK ADA AIR?! Bagaimana bisa?
"Oke, tunggu sebentar!"
Tak sampai lima menit, Thalia kembali dengan seember air yang didapatnya dengan bersusah payah menimba di sumur.
Selesai mengurus Bastian, Thalia kembali ke kamar Dhimas. Sayup terdengar dering ponsel dari dalam tas selempangnya. Secepatnya Thalia mengeluarkan ponselnya. Sederet angka tak dikenal muncul di layar ponsel.
Mungkinkah itu sang mantan? Thalia ragu apakah akan menjawabnya atau tidak.
_______
Dengan ragu, Thalia memutuskan untuk menjawab panggilan di ponselnya."Ya, halo ..., dengan siapa?" jawab Thalia dengan suara mengambang."Saya Sumaryanto, Mbak. Masih setia menunggu di luar, sampai Mbak mau menemui saya.""Sumaryanto ..." Thalia masih mencoba mencerna nama itu dalam kepalanya."Ojol, Mbak.""Lhoh, kenapa, Mas?""Mbak 'kan belum bayar, helm saya juga masih dibawa sama Mbak?""Haah?" dengan keterkejutannya, Thalia menoleh ke arah ambang pintu kamar. Dan benar saja, ada sebuah helm yang tak ia kenali menggelundung di samping pintu. "Ya Allah, sori Mas. Tadi saya buru-buru banget soalnya. Tunggu ya, Mas. Tunggu sebentar, saya keluar sekarang."Langsung saja Thalia menyambar helm dan tasnya. Kemudian berjalan cepat-cepat menuju ke luar, ke tempat di mana Sumaryanto menunggunya.Tampak oleh Thalia punggung seseorang yang mengenakan jaket hijau-hitam khas ojek online. Orang itu—Sumaryanto—tengah be
Akhirnya, meski dengan sedikit ragu, Thalia memutusan untuk menyentuh tombol hijau di layar ponselnya. Tak apalah mengambil sedikit resiko berbicara dengan sang mantan yang mungkin akan menagih uang untuk membayar helm mahalnya. "Halo, selamat si ... a...l ..." Belum selesai Thalia bicara, seorang perempuan di ujung sambungan menyemburnya. Untung saja mereka tidak sedang berhadapan, bisa-bisa muka Thalia basah terguyur hujan lokal. "Hei ... dasar cewek murahan, lonte, ba*****, tukang rebut pacar orang!! Sini kalau berani, kita ketemuan, jangan main belakang!!" "Oh, mantannya Bastian?! Ngajak gelud?! Oke, aku ladenin, mau ketemuan di mana?!" Seperti api tersiram bensin, Thalia terbakar emosi. "Pertigaan kuburan kembar jam sepuluh malam. Berani nggak situ?" "Kuburan kembar ...? Kecil, Bos! Jangankan kuburan kembar, kuburan tingkat pun aku datangin! Jangankan cuma kamu,
Lewat pukul sembilan malam Anita dan yang lain telah sampai kembali di kos. Dhimas langsung pulang dengan membawakan Bastian sekotak pizza ukuran sedang. Sedangkan Thalia langsung masuk ke kamar Anita di lantai dua, ia tak ingin mengganggu Anita dan Adrian yang sedang ingin berduaan. Thalia merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, lalu meletakkan tas itu di salah satu kasur yang ada di kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur itu. Ia melihat ponselnya, 21.27, waktu yang tertera di layar ponselnya. Ia menatap layar ponsel itu dengan muka cemberut, seperti selimut kusut. Seharusnya ia ada jadwal adu mulut, adu jotos dan adu jambak rambut dengan mantan pacar Bastian 33 menit lagi. Tak mungkin Thalia mau menemempuh tiga jam perjalanan hanya demi adu-adu tak berfaedah dengan mantan pacar Bastian itu. "Ssshh ..." desis Thalia kesal. Ia membayangkan betapa kesal dan marahnya setan berwujud gadis preman kuburan itu saat menyadari telah dipermainkan olehnya. Da
"Mau kamu apa?" tanya Thalia malas, sebelah tangannya menopang dagu. Matanya mengarah pada lalu lalang orang-orang di kantin kampus. Ia sama sekali tak ingin melihat penampakan sangar di depannya.Segelas es teh yang telah bermenit-menit diabaikan telah banyak berembun, meleleh, layaknya keringat atlet badminton yang minta dilap dengan lap kanebo, saking banyaknya. Embun meleleh membasahi meja."Ayo kita balikan." Bayu memohon dengan muka dibuat memelas, sebelah tangannya meraih tangan Thalia. "Kalau helmnya sih nggak masalah. Tapi kita balikan ya."Tetapi Thalia menarik tangannya dari genggaman tangan Bayu.Nada memelas Bayu itu kontras dengan tampang sangar brewokan dan alis tebalnya. Setiap yang melihat Bayu akan berpikir bahwa ia adalah seseorang yang harus dihindari. Lebih baik jangan dekat-dekat daripada terkena masalah. Padahal itu memang benar.Thalia melipat kedua tangannya di atas meja, membuang nafas malas lalu menoleh pada Bayu "Bay, ka
Mobil Bayu kini tengah melaju kencang di jalan tol. Zig-zag, serong ke kiri, serong ke kanan, mirip bebek angsa mata duitan. Perumpamaan yang buruk. Dan hanya dalam dua jam perjalanan mobil itu telah turun dari tol lewat Gerbang Waru Utama. "Ini di mana?" heran Thalia sambil menatap kagum pada menara menjulang tinggi sebuah masjid yang atapnya berwarna hijau toska yang tampak di kejauhan. "Surabaya." jawab Bayu santai. "Kamu mau menculik aku?!" "Aku nggak perlu menculik kamu. Aku cuma mau kita ketemuan sama mamaku." "Mama?" "Ya. Dia mau ketemu sama calon mantu." "Bay! Bercanda jangan keterlaluan dong! Ya Allah Ya Rab, sumpah, kamu bisa bikin emakku jantungan!" "Sudahlah, Yang. Aku tahu ibu kamu nggak keberatan kalau aku sama kamu." "Turunin aku sekarang!" ancam Thalia sambil mencari wujud menara menjulang yang kini hilang dari pandangan. "Yakin?" "Ya!" ketus Thalia. "Oke." tanpa rag
Sebuah tas ransel berisi beberapa helai pakaian, perlengkapan kamar mandi dan tentu saja dompet serta map transparan berisi persyaratan administratif untuk mengikuti sebuah seleksi bertengger manis di punggung seorang gadis berusia delapan belasan. Di depan rumahnya, seorang laki-laki sebayanya telah menunggu di atas sepeda motor matic. "Bu, aku berangkat." pamitnya setelah mencium punggung tangan ibunya. "Ya, hati-hati." Balas sang ibu sambil mengelus kepala anak gadis satu-satunya. "Bas, tolong awasi dia, ya." "Siap, Tante." jawab laki-laki teman si gadis. "Assalaamu 'alaikum." ucap salam si gadis dan temannya. "Wa 'alaikum salam." jawab sang ibu. Gadis yang mengenakana jaket denim itu pun kemudian mengenakan helm dan naik ke jok belakang sepeda motor matic temannya. Di ceruk antara kemudi dan jog sepeda motor teronggok sebuah tas ransel si pengemudi alias teman si gadis. Pengemudi itu menganggukkan kepala penuh horma
"By the way kalian berdua ambil jurusan apa?" Dhimas membuka obrolan selagi menunggu pesanannya datang. "Akuntansi" jawab Bastian setelah menyedot jus kopi. Jus kopi? Adakah? Pokoknya itu lah. "Kalau kamu, Thalia?" Dhimas mengalihkan pandangannya pada Thalia di posisi diagonal darinya. "Sama." jawab Thalia singkat sambil mengaduk-aduk jus tomat. "Kalian pacaran? Sehidup semati?" "Mana ada?!" tukas Thalia dan Bastian serempak. "Demi nurutin ortu, Kak." jawab Thalia kemudian. "Lhah, yang kuliah kamu apa orang tua kamu?" "Long story. Mending nggak usah dibahas." "Kalau kamu, Bas?" "Aku ngikutin dia." Bastian menunjuk pundak Thalia. "Bucin, nih, ceritanya?" "Nggak dengar apa tadi? Nggak ada urusannya sama cinta-cintaan. Aku cuma nggak yakin aja minatku di mana, daripada bingung ya aku ngikut dia 'aja. 'kan lumayan, kali 'aja nanti butuh contekan." "Parasit." ledek Thalia. "Mut
Dari kampus perguruan tinggi berlambang Ganesha, Dhimas membawa kedua tamunya ke tempat kosnya. Dhimas dan Bastian memarkir sepeda motor di garasi yang berjarak dua puluh meter dari kamar Dhimas. Dan untuk sampai ke sana ia dan kedua tamunya harus melewati beberapa kamar. Beberapa kamar sepertinya sedang ditinggalkan oleh penghuninya, terlihat dari pintu dan tirainya yang tertutup. Sedangkan kamar-kamar lain pintunya terbuka, membiarkan aktivitas di dalamnya terlihat. Tampak oleh Thalia dan Bastian ada tamu perempuan di dalam satu atau dua kamar di antaranya. Positive thinking, hanya teman yang sedang bertamu. Sepertinya itu yang duo Basthard pikirkan. Seperti halnya Thalia saat ini yang terpaksa menitipkan bawaannya di kos Dhimas. "Masuk." Dhimas mempersilahkan Bastian dan Thalia masuk setelah ia membuka pintu kamarnya yang sebelumnya terkunci. "Iya." jawab Thalia. Pandangan Thalia menyisir ke sudut-sudut kamar itu, tapi ia berusaha agar tak