Dengan ragu, Thalia memutuskan untuk menjawab panggilan di ponselnya.
"Ya, halo ..., dengan siapa?" jawab Thalia dengan suara mengambang.
"Saya Sumaryanto, Mbak. Masih setia menunggu di luar, sampai Mbak mau menemui saya."
"Sumaryanto ..." Thalia masih mencoba mencerna nama itu dalam kepalanya.
"Ojol, Mbak."
"Lhoh, kenapa, Mas?"
"Mbak 'kan belum bayar, helm saya juga masih dibawa sama Mbak?"
"Haah?" dengan keterkejutannya, Thalia menoleh ke arah ambang pintu kamar. Dan benar saja, ada sebuah helm yang tak ia kenali menggelundung di samping pintu. "Ya Allah, sori Mas. Tadi saya buru-buru banget soalnya. Tunggu ya, Mas. Tunggu sebentar, saya keluar sekarang."
Langsung saja Thalia menyambar helm dan tasnya. Kemudian berjalan cepat-cepat menuju ke luar, ke tempat di mana Sumaryanto menunggunya.
Tampak oleh Thalia punggung seseorang yang mengenakan jaket hijau-hitam khas ojek online. Orang itu—Sumaryanto—tengah bersandar pada tunggangannya, sumber nafkahnya. Sumaryanto melepas helmnya karena, tampaknya ia kepanasan. Ia lalu mengibas-ngibaskan rambutnya yang lepek karena keringat.
Iiish ..., mulut Thalia mencebik melihat aksi kang ojol yang menurutnya berlebihan. Huek ...! Ingin Thalia melemparkan helm bau apek di tangannya pada pria berjaket hijau yang sedang berakting bagai model iklan shampo itu. Sayangnya ia ingat betapa baik dan sabarnya kang ojol itu yang telah bersedia bersusah payah mencarinya di tengah terik siang tadi, lantaran itulah Thalia mengurungkan niat jahatnya.
"Mas ...." panggil Thalia dengan sopan. Bagaimanapun Sumaryanto telah berbaik hati menolongnya, jadi ia harus bersikap sopan.
"Oh ya, Mbak." jawab Sumaryanto sambil beranjak dari sadel sepeda motornya dan mengusak-usak rambutnya dari bawah ke atas. Memberikan ruang bagi udara agar bisa mengalir melalui sela-sela rambutnya dan memberikan rasa segar di kulit kepalanya.
Dan pada saat itulah Thalia takjub sekaligus kesal dengan pemandangan indah yang tersaji di hadapannya. "Park Bo-gem ..." gumam Thalia refleks.
"Jangan dibogem, Mbak. Saya masih sayang sama muka saya." respon Sumaryanto sambil sedikit membungkuk dan menunduk. "Kalau ada pelayanan saya yang kurang memuaskan, Mbak boleh mengambil kembali uang Mbak. Tapi tolong jangan bogem saya dan jangan beri review jelek. Saya nggak mau kena suspend, Mbak. Saya mohon, Mbak."
"Hah ...?" Thalia jadi salah tingkah dengan permohonan Sumaryanto yang tak beralasan.
Sumaryanto masih menunduk.
Haruskah Thalia menjelaskan bahwa yang dimaksudnya dengan 'bogem' bukanlah pukulan kepalan tangan alias tinju? Melainkan Bo-gem, Park Bo-gem—nama ejekan yang Thalia sematkan pada Park Bo-gum. Begitu miripnya wajah Sumaryanto dengan aktor ganteng imut nyaris cantik asal negeri ginseng itu. Aktor yang menjadi idola kaum hawa hingga membuat khayalan mereka membubung tinggi ke luar angkasa. Namun, bagi Thalia tipe wajah laki-laki yang seperti itu sangatlah menjijikkan. Menjijikkan, itu hanyalah dalih Thalia yang tak mau mengakui rasa irinya pada pria-pria yang menurut persepsinya berwajah cantik.
"Nggak kok, Mas. Saya cuma ... itu ... ingat sama teman saya yang sering dipanggil 'Bogem'." Thalia berkilah. Dan ini helmnya." kata Thalia sambil menyodorkan helm di tangannya.
Tetapi saat itu, mata Thalia terbelalak melihat apa yang terjadi pada helm di tangannya. Kaca visor helm itu pecah di sebelah kiri, menjadikan dua bagian yang berbeda ukuran.
"Ya salam." suara Thalia jelas sekali menyiratkan keterkejutan.
"Kena ... pa .... Mbak, kok bisa pecah sih?" Sumaryanto terlihat kecewa.
"Eh ... maaf, Mas. Biar saya ganti ya. Gimana mas? Berapa harganya?" saat mengatakannya, Thalia terlihat tak yakin.
"Ya ... gimana ya?" ekspresi Sumaryanto berubah ragu. "Saya 'kan harus narik sekarang. Kalau helmnya pecah gini 'kan nggak bisa dipakai."
"Tukar sama helm saya 'aja, gimana?"
"Eng ... nggak apa-apa sih?"
"Oke ..." baru saja Thalia akan melangkah kembali ke dalam, ia teringat bahwa helmnya masih dibawa oleh Dhimas. "Mas, saya baru ingat, helm saya masih dibawa teman saya."
"Terus gimana dong, Mbak?"
Sebenarnya Thalia bersyukur dalam hati ketika mengingat helmnya masih dibawa oleh Dhimas. Ia sayang sekali dengan helm itu, selain karena kenangan manis bersama helm itu, tetapi juga harganya, yang Thalia ketahui lumayan mahal. Thalia tak akan mungkin memiliki helm itu kalau bukan karena seseorang menghadiahkannya.
Terdengar suara sepeda motor sport yang mirip dengan milik Dhimas. Beberapa detik kemudian muncul sosok Dhimas sedang mengendarai sepeda motornya perlahan memasuki gang di depan kos. Gawat!
"Sebentar ya, Mas. Saya ke belakang dulu. Sebentar 'aja kok." setelah mengatakan itu, Thalia langsung melesat meninggalkan Sumaryanto.
Di dalam kamar Thalia menunggu dengan cemas kedatangan Dhimas. Bastian duduk di kasur spons, bersandar pada dinding kamar. Ia terlihat lemas. Ia heran melihat Thalia tampak bingung. Ingin diabaikannya saja teman seperjuangannya itu. Ia masih ingin menikmati mengelus perutnya yang baru saja terbebas dari penderitaan. Namun, Bastian tak tega. Setidaknya ia harus berbasa-basi.
"Kenapa, Ya?" tanya Bastian tak bersunguh-sungguh.
"Emm ..." Thalia berpikir sejenak. "Bas, helm kamu boleh aku gantiin gak?"
"Maksud kamu?"
"Aku beli helm kamu."
"Mencurigakan."
"Bas, aku perlu bantuan. Aku barusan mecahin helm tukang ojol di depan. Sekarang aku harus ganti."
"Helm kamu sendiri, kenapa?"
"Jangan lah, Bas. Sayang, 'kan helm mahal."
"Ya salah kamu sendiri, kenapa dipecahin."
"Nggak sengaja, Bas. Bas, ayolah, Bas. Udah deh, aku beli sesuai harga baru."
"Nggak, dengan uang segitu sekarang sudah nggak bisa beli helm dengan kualitas yang sama."
"Jahat kamu, Bas, sama teman sendiri juga. Nggak ingat tadi sudah ditolongin. Lagian helm murah juga, sok-sokan bicara kualitas."
"Ya ..."
"Heh, Bas! Kamu nggak b***r di kamarku 'kan?" sahut Dhimas tiba-tiba yang baru saja datang.
"'tu, minta tolong 'tu sama Dhimas."
"Kenapa emang?"
Menanggapi keingintahuan Dhimas, Thalia pun menceritakan permasalahannya. Dhimas berpikir. Memikirkan solusi terbaik yang low budget.
.
.
Thalia berjalan dengan langkah berat menuju gerbang kos. Di tangannya tertenteng sebuah lakban selebar 7 cm berwarna hitam. Ia mendengus kesal, ingin menyalahkan seseorang, tetapi nyatanya ia sendirilah yang salah. Bastian menemaninya.
Dan saat keduanya telah berhadapan dengan Sumaryanto, Bastian sempat terkejut melihat oppa ganteng berjaket ojek online itu. Untung saja, ia bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Mas ..." panggil Thalia pada Sumaryanto yang telah kembali bersandar pada sepeda motornya.
"Ya, Mbak."
"Emm ... gini, Mas. Saya nggak bisa ganti helmnya Mas Sumaryanto dengan helm saya, bisanya ganti pakai uang. Saya transfer sekarang juga."
"Iya, Mas. Untuk sementara helmnya Mas ditambal dulu pakai lakban, yang penting 'kan Mas-nya bisa narik hari ini." Bastian menimpali
Sumaryanto terlihat mempertimbangkan usulan Bastian. "Ya sudah."
"Mas, saya isi saldonya Mas aja buat ganti helmnya, soalnya saya nggak pegang uang cash." sambung Thalia.
"Sudah, Mbak, nggak usah. Nggak apa-apa ...."
"Ya ..., Mas, kok nggak mau sih, 'kan saya jadi nggak enak."
"Nggak apa-apa, Mbak. Ongkosnya 'aja, Mbak."
Mulailah perdebatan yang tak akan berujung, kecuali salah satu mengalah.
Bastian menyela adu kemauan antara pemberi dan pengguna jasa ojek itu, "Sini, Mas, biar saya tambal helmnya." Ia menyambar lakban dari tangan Thalia, lalu mengambil helm yang berada di atas sadel sepeda motor Sumaryanto
"Mas, tolong diterima. Saya merasa bersalah kalau Mas nggak mau terima." mohon Thalia dengan wajah memelas.
Akhirnya Sumaryanto mengalah, "Ya sudah, Mbak. Ini nomor ponsel saya." Ia tak ingin lebih banyak lagi waktu terbuang hanya karena berdebat, dan mengurangi jam nariknya.
Thalia pun mentransfer sejumlah uang ke nomor ponsel Sumaryanto, meski dengan setengah hati. Sejujurnya, Thalia berat melakukannya, apalagi uang itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri dengan menjual manga¹ doujinshi² roman picisan pada para ABG labil—siswi SMP. Menjual secara online manga doujinshi tidaklah mudah, pemainnya banyak, penggemarnya pun banyak, tetapi lebih banyak yang suka gratisan. Maklum, di negeri khatulistiwa ini berlaku prinsip ekonomi, pengorbanan sekecil-kecilnya dengan keuntungan sebesar-besarnya. Dan prinsip ini diterapkan dengan sangat baik, tidak hanya oleh para penjual, tetapi juga konsumen, termasuk konsumen doujinshi. Wujudnya adalah, kalau bisa mendapat gratisan kenapa harus membeli? Miris, mental gratisan. Namun, Thalia tak ingin menjadi orang yang tak bertanggung jawab, meski dengan berat hati, ia tetap mengganti helm Sumaryanto dengan sejumlah uang.
.
.
"Kok ada ya, oppa-oppa ganteng mau jadi tukang ojol?" kritik Bastian tanpa mengalihkan fokus matanya pada permainan di ponselnya.
"Daripada kaya kamu? Ganteng enggak, gengsi selangit." Dhimas menimpali.
"Masih mendinglah, nggak ganteng, tapi manis. Manis itu lebih enak dilihat daripada ganteng. Daripada kamu, dilihat dari sisi mana pun, kamu nggak ada sedap-sedapnya dilihat."
"Apaan manis, tebu 'tu manis plus cungkring. Pede tahu tempat 'napa?" ledek Dhimas pada temannya yang kurus itu.
"Iri bilang, bos? Lihat 'aja, sebentar lagi wajahku akan menghiasi iklan-iklan ..."
"Iklan apa ... paling juga iklan pil kina."
"Khu ... khu ... khu ..." kikikan Thalia yang tertahan oleh telapak tangannya sendiri menginterupsi debat Bastian-Dhimas.
"Kenapa, kamu?" penasaran Bastian.
"Kebayang nggak sih, gimana tampang Sumaryanto pake helm tambalan gitu?"
"Kenapa memangnya?" Dhimas tak mengerti.
Thalia dan Bastian pun kompak menjelaskan, bergantian, bersahutan. Sambung-menyambung menjadi satu cerita.
_______
Sumaryanto melanjutkan pekerjaannya menjemput dan mengantar orang-orang yang membutuhkan jasanya. Dengan sedikit kesal ia tetap mengemudikan sepeda motornya keliling kota.
Bagaimana tak kesal, kalau ia jadi merasa seperti orang yang matanya buta sebelah? Kaca helmnya patah tepat di bagian depan mata kiri dan lakban yang diberikan teman Thalia—yang tak lain adalah Bastian—bukanlah lakban transparan, melainkan lakban berwarna hitam. Lakban itu dipasang melintang sepanjang 10 cm, sebanyak tiga tambalan. Bodoh ... bodoh ... bodoh ...!
Sebenarnya siapa yang bodoh? Bastian yang menambal visor helm itu asal-asalan atau Sumaryanto yang mau saja menerima helm itu?
Tak mungkin Sumaryanto membiarkan penumpangnya memakai helm itu. Ia mengalah memakainya demi memberi pelayanan terbaik pada penumpangnya. Ya sudahlah. Sudah terlanjur.
Setelah menurunkan penumpangnya, laki-laki berwajah mirip Park Bo-gum itu kembali melajukan sepeda motornya. Namun, tak sampai jauh ia menghentikan sepeda motor dan mematikan mesinnya. Lalu ia membuka sadel dan mengambil sebuah obeng dari bagasi. Dengan obeng itu ia melepas visor helmnya. Ia semakin menyesali kebodohannya, seharusnya ia melepaskan visor itu sejak tadi.
_______
Lagi, ponsel Thalia berdering dengan memunculkan sederet angka tanpa identitas. Thalia berdecak kesal. Semoga saja bukan mantan pacar yang selama seminggu ini terus menerornya dengan nomor yang selalu berbeda. Atau penagih pinjaman online yang selalu menagihnya atas hutang yang ia sendiri tak kenal nama debiturnya.
Hanya saja, mau tak diangkat juga sayang. Bagaimana kalau itu adalah publisher yang sudah Thalia kirimi naskah novel roman picisannya? Okelah, Thalia mau menjual sendiri manga-nya, tetapi untuk novel ia ingin menjadi penulis yang sesungguhnya, menulis untuk sebuah publisher dan mendapat bayaran yang pantas atas karya recehannya. Lalu apakah Thalia tidak menyimpan nomor publishernya? Tentu saja sudah, tetapi bisa saja 'kan publisher menelepon menggunakan nomor yang berbeda?
Thalia masih ragu untuk menjatuhkan jempolnya pada tombol hijau di layar ponsel.
_______
1. manga : komik Jepang
2. doujinshi : karya berupa novel, manga, gambar, lagu, game dan semacamnya yang diterbitkan secara independen
Akhirnya, meski dengan sedikit ragu, Thalia memutusan untuk menyentuh tombol hijau di layar ponselnya. Tak apalah mengambil sedikit resiko berbicara dengan sang mantan yang mungkin akan menagih uang untuk membayar helm mahalnya. "Halo, selamat si ... a...l ..." Belum selesai Thalia bicara, seorang perempuan di ujung sambungan menyemburnya. Untung saja mereka tidak sedang berhadapan, bisa-bisa muka Thalia basah terguyur hujan lokal. "Hei ... dasar cewek murahan, lonte, ba*****, tukang rebut pacar orang!! Sini kalau berani, kita ketemuan, jangan main belakang!!" "Oh, mantannya Bastian?! Ngajak gelud?! Oke, aku ladenin, mau ketemuan di mana?!" Seperti api tersiram bensin, Thalia terbakar emosi. "Pertigaan kuburan kembar jam sepuluh malam. Berani nggak situ?" "Kuburan kembar ...? Kecil, Bos! Jangankan kuburan kembar, kuburan tingkat pun aku datangin! Jangankan cuma kamu,
Lewat pukul sembilan malam Anita dan yang lain telah sampai kembali di kos. Dhimas langsung pulang dengan membawakan Bastian sekotak pizza ukuran sedang. Sedangkan Thalia langsung masuk ke kamar Anita di lantai dua, ia tak ingin mengganggu Anita dan Adrian yang sedang ingin berduaan. Thalia merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, lalu meletakkan tas itu di salah satu kasur yang ada di kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur itu. Ia melihat ponselnya, 21.27, waktu yang tertera di layar ponselnya. Ia menatap layar ponsel itu dengan muka cemberut, seperti selimut kusut. Seharusnya ia ada jadwal adu mulut, adu jotos dan adu jambak rambut dengan mantan pacar Bastian 33 menit lagi. Tak mungkin Thalia mau menemempuh tiga jam perjalanan hanya demi adu-adu tak berfaedah dengan mantan pacar Bastian itu. "Ssshh ..." desis Thalia kesal. Ia membayangkan betapa kesal dan marahnya setan berwujud gadis preman kuburan itu saat menyadari telah dipermainkan olehnya. Da
"Mau kamu apa?" tanya Thalia malas, sebelah tangannya menopang dagu. Matanya mengarah pada lalu lalang orang-orang di kantin kampus. Ia sama sekali tak ingin melihat penampakan sangar di depannya.Segelas es teh yang telah bermenit-menit diabaikan telah banyak berembun, meleleh, layaknya keringat atlet badminton yang minta dilap dengan lap kanebo, saking banyaknya. Embun meleleh membasahi meja."Ayo kita balikan." Bayu memohon dengan muka dibuat memelas, sebelah tangannya meraih tangan Thalia. "Kalau helmnya sih nggak masalah. Tapi kita balikan ya."Tetapi Thalia menarik tangannya dari genggaman tangan Bayu.Nada memelas Bayu itu kontras dengan tampang sangar brewokan dan alis tebalnya. Setiap yang melihat Bayu akan berpikir bahwa ia adalah seseorang yang harus dihindari. Lebih baik jangan dekat-dekat daripada terkena masalah. Padahal itu memang benar.Thalia melipat kedua tangannya di atas meja, membuang nafas malas lalu menoleh pada Bayu "Bay, ka
Mobil Bayu kini tengah melaju kencang di jalan tol. Zig-zag, serong ke kiri, serong ke kanan, mirip bebek angsa mata duitan. Perumpamaan yang buruk. Dan hanya dalam dua jam perjalanan mobil itu telah turun dari tol lewat Gerbang Waru Utama. "Ini di mana?" heran Thalia sambil menatap kagum pada menara menjulang tinggi sebuah masjid yang atapnya berwarna hijau toska yang tampak di kejauhan. "Surabaya." jawab Bayu santai. "Kamu mau menculik aku?!" "Aku nggak perlu menculik kamu. Aku cuma mau kita ketemuan sama mamaku." "Mama?" "Ya. Dia mau ketemu sama calon mantu." "Bay! Bercanda jangan keterlaluan dong! Ya Allah Ya Rab, sumpah, kamu bisa bikin emakku jantungan!" "Sudahlah, Yang. Aku tahu ibu kamu nggak keberatan kalau aku sama kamu." "Turunin aku sekarang!" ancam Thalia sambil mencari wujud menara menjulang yang kini hilang dari pandangan. "Yakin?" "Ya!" ketus Thalia. "Oke." tanpa rag
Sebuah tas ransel berisi beberapa helai pakaian, perlengkapan kamar mandi dan tentu saja dompet serta map transparan berisi persyaratan administratif untuk mengikuti sebuah seleksi bertengger manis di punggung seorang gadis berusia delapan belasan. Di depan rumahnya, seorang laki-laki sebayanya telah menunggu di atas sepeda motor matic. "Bu, aku berangkat." pamitnya setelah mencium punggung tangan ibunya. "Ya, hati-hati." Balas sang ibu sambil mengelus kepala anak gadis satu-satunya. "Bas, tolong awasi dia, ya." "Siap, Tante." jawab laki-laki teman si gadis. "Assalaamu 'alaikum." ucap salam si gadis dan temannya. "Wa 'alaikum salam." jawab sang ibu. Gadis yang mengenakana jaket denim itu pun kemudian mengenakan helm dan naik ke jok belakang sepeda motor matic temannya. Di ceruk antara kemudi dan jog sepeda motor teronggok sebuah tas ransel si pengemudi alias teman si gadis. Pengemudi itu menganggukkan kepala penuh horma
"By the way kalian berdua ambil jurusan apa?" Dhimas membuka obrolan selagi menunggu pesanannya datang. "Akuntansi" jawab Bastian setelah menyedot jus kopi. Jus kopi? Adakah? Pokoknya itu lah. "Kalau kamu, Thalia?" Dhimas mengalihkan pandangannya pada Thalia di posisi diagonal darinya. "Sama." jawab Thalia singkat sambil mengaduk-aduk jus tomat. "Kalian pacaran? Sehidup semati?" "Mana ada?!" tukas Thalia dan Bastian serempak. "Demi nurutin ortu, Kak." jawab Thalia kemudian. "Lhah, yang kuliah kamu apa orang tua kamu?" "Long story. Mending nggak usah dibahas." "Kalau kamu, Bas?" "Aku ngikutin dia." Bastian menunjuk pundak Thalia. "Bucin, nih, ceritanya?" "Nggak dengar apa tadi? Nggak ada urusannya sama cinta-cintaan. Aku cuma nggak yakin aja minatku di mana, daripada bingung ya aku ngikut dia 'aja. 'kan lumayan, kali 'aja nanti butuh contekan." "Parasit." ledek Thalia. "Mut
Dari kampus perguruan tinggi berlambang Ganesha, Dhimas membawa kedua tamunya ke tempat kosnya. Dhimas dan Bastian memarkir sepeda motor di garasi yang berjarak dua puluh meter dari kamar Dhimas. Dan untuk sampai ke sana ia dan kedua tamunya harus melewati beberapa kamar. Beberapa kamar sepertinya sedang ditinggalkan oleh penghuninya, terlihat dari pintu dan tirainya yang tertutup. Sedangkan kamar-kamar lain pintunya terbuka, membiarkan aktivitas di dalamnya terlihat. Tampak oleh Thalia dan Bastian ada tamu perempuan di dalam satu atau dua kamar di antaranya. Positive thinking, hanya teman yang sedang bertamu. Sepertinya itu yang duo Basthard pikirkan. Seperti halnya Thalia saat ini yang terpaksa menitipkan bawaannya di kos Dhimas. "Masuk." Dhimas mempersilahkan Bastian dan Thalia masuk setelah ia membuka pintu kamarnya yang sebelumnya terkunci. "Iya." jawab Thalia. Pandangan Thalia menyisir ke sudut-sudut kamar itu, tapi ia berusaha agar tak
Dhimas memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket."Kamu punya aplikasi ojol nggak?""Ada." Thalia menjawab dengan enggan."Tolong kamu pesan ojol sekarang, kamu balik ke kos bawa kunci, bukain Bastian pintu!""Terus kamu gimana, Kak?""Nggak usah dipikirin! Yang penting sekarang Bastian nggak b***r di kamarku!" wajah Dhimas mengernyit menahan cahaya matahari agar tak semakin banyak menimpa retinanya."Oke deh, aku pesan sekarang." segera saja Thalia menuruti perkataan Dhimas. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya dan membuka aplikasi ojek online. Tanpa ragu dipilihnya titik penjemputan sesuai lokasinya dalam peta. Namun, kemudian ia berhenti. "Kak, tujuannya mana?""Masukin aja nama tempat kosku, 'Kos Tinggal Kenangan'." instruksi singkat dari Dhimas.Thalia mengetikkan nama yang Dhimas sebutkan pada kolom tujuan. Ketemu. Dan setelahnya, Thalia membuat pesanan.Beres. Tinggal menunggu kang ojol datang.