Dari kampus perguruan tinggi berlambang Ganesha, Dhimas membawa kedua tamunya ke tempat kosnya.
Dhimas dan Bastian memarkir sepeda motor di garasi yang berjarak dua puluh meter dari kamar Dhimas. Dan untuk sampai ke sana ia dan kedua tamunya harus melewati beberapa kamar. Beberapa kamar sepertinya sedang ditinggalkan oleh penghuninya, terlihat dari pintu dan tirainya yang tertutup.
Sedangkan kamar-kamar lain pintunya terbuka, membiarkan aktivitas di dalamnya terlihat. Tampak oleh Thalia dan Bastian ada tamu perempuan di dalam satu atau dua kamar di antaranya. Positive thinking, hanya teman yang sedang bertamu. Sepertinya itu yang duo Basthard pikirkan. Seperti halnya Thalia saat ini yang terpaksa menitipkan bawaannya di kos Dhimas.
"Masuk." Dhimas mempersilahkan Bastian dan Thalia masuk setelah ia membuka pintu kamarnya yang sebelumnya terkunci.
"Iya." jawab Thalia.
Pandangan Thalia menyisir ke sudut-sudut kamar itu, tapi ia berusaha agar tak terlalu mencolok. Itu tidak sopan, tahu?
Sebuah kasur busa berukuran 2x1 m dihamparkan begitu saja di salah satu sudut, hanya dialasi karpet. Dan dibalut sprei bergambar bunga. Serius, bunga? Bukankan pemilik kamar ini adalah laki-laki? Dua buah bantal dengan sarung yang motifnya berbeda satu sama lain juga dengan spreinya bertumpuk di salah satu pinggiran kasur yang posisinya mepet ke dinding. Pada dinding di atas bantal, tergantung sebuah poster jumbo bergambar seorang wanita seksi karakter game MMORPG.
Lalu pada dinding lain tergantung poster panoramik pembalap MotoGP bernomor 93 dengan wearpack¹ berwarna dominan oranye dengan posisi leaning angle² 45°. Coba tebak siapa dia! Di bawahnya terdapat sebuah meja kerja dengan banyak buku berbagai ketebalan bertumpuk di atasnya. Ada juga beberapa kertas kalkir³ berserak di atas meja itu, ada yang masih kosong dan ada yang sudah bergambar semacam desain 3D sebuah bangunan.
Dan tentu saja sebuah lemari pakaian, tetapi tak ada yang istimewa dari lemari itu.
Secara keseluruhan kamar itu rapi kecuali satu sudut di balik pintu. Anak kos pasti tahu apa yang ada di sana. Yap, beberapa helai pakaian bergelantungan seperti sedang melakukan lomba siapa paling lama bertahan.
"Kalian bisa istirahat dulu di sini."
"Kak, masa' aku tidur di sini. Lagian 'kan tadi rencananya aku mau jalan-jalan di kota." protes Thalia.
"Ya, aku capek, ngantuk, mau tidur. Kamu sih enak tinggal nangkring aja sampai. Sedangkan aku ..., pegel-pegel ini pundak sama punggung." keluh Bastian seraya membaringkan badannya di kasur. "Pijitin, kek."
"Iih ... Bastian nggak asik deh."
"Ya sudah, kamu tidur 'aja. Biar aku yang ajak Thalia jalan-jalan." sahut Dhimas.
"Serius kamu, Dhim?"
"Iya lah."
"Beneran 'ni, Kak."
"Iya ...!" Dhimas menegaskan.
"Oh iya, Kak. Aku belum tahu ruangan tempat tesnya."
"Ya 'udah, sekalian 'aja kita keluarnya."
"Oke deh."
"Eh, tapi tunggu sebentar ya. Aku mau mandi dulu. Nggak lama kok."
"Oke."
Apa semua anak kos laki-laki seperti itu? Belum mandi, tapi sudah jalan-jalan ke kampus, padahal bukan hari libur.
Lima belas menit Thalia menuggu di dalam kamar, Dhimas kembali dengan memakai celana pendek bertelanjang dada. Oh no, oh what? Thalia jadi membayangkan kolam renang. Kenapa? Thalia tak pernah ke kolam renang, dia tidak bisa berenang dan tidak ingin belajar berenang, dan dia benci kolam renang. Kenapa? Lain kali saja kita bahas itu.
"Aku tunggu di luar deh." kata Thalia sambil mengeluarkan tas selempang kecil dari dalam tas ranselnya. Ia harus menyembunyikan wajahnya yang tersipu.
"Iya, tunggu sebentar ya."
Setelah sepasang sepatu terpakai, Thalia pun meninggalkan kamar sambil menyelempangkan tasnya.
Seperti umumnya laki-laki yang menemukan pandangan baru untuk dijadikan pengusir sepi di malam Minggu, Dhimas pun ingin memperlihatkan penampilan terbaiknya. Cologne dan deodorant untuk menambah kepercayaan dirinya, supaya Thalia betah menempel. Dasar korban iklan. Dipilihnya sehelai kaos berwarna hitam dengan desain tulisan robotik-futuristik minimalis. Lalu untuk celana ..., sayang, celana terbaiknya masih dalam keranjang pakaian kotor. Oke, cukup dengan celana denim belel yang menggantung di daun pintu. Dhimas harus lebih rajin mencuci pakaian. Untuk urusan rambut, tak perlu repot bersisir apalagi memakai gel atau pomade yang sedang kekinian, toh dia akan memakai helm. Cukup dicakar-cakar sebentar dan diikat di atas tengkuk. Jangan berharap lebih dari seorang mahasiswa tehnik arsitektur yang selalu sibuk berkutat dengan penggaris dan kertas kalkir. Terakhir, sepasang sepatu kets berbahan kanvas yang setia menunggu di samping pintu.
Selesai. Dhimas tak lupa mengambil helm yang menggelundung tak jauh dari sepatu kets semula berada. Sebelum meninggalkan kamarnya, Dhimas tak lupa mengunci. Bahaya jika sampai desainnya dicuri oleh oknum tak bertanggung jawab. Oh ... itu alasannya.
Hei, tunggu! Dhimas lupa bahwa ia meninggalkan seonggok manusia terkapar di kamarnya.
Baru berjalan beberapa langkah, Dhimas memutar balik arah langkahnya. Ia baru saja mengingat sesuatu. Syukurlah.
Dhimas kembali masuk ke kamar dan mengambil sebuah jaket denim dari gantungan di balik daun pintu. Beres. Setelah itu ia keluar dari kamar dan kembali mengunci kamarnya.
Astaga. Ternyata Dhimas tidak mengingatnya.
Sebelum sampai tepat di hadapan Thalia yang menunggu sambil duduk di sebuah kursi di garasi dan sambil memeluk helmnya, Dhimas berhenti di depan sebuah kamar yang tepat bersebelahan dengan garasi. "Gepenk, pinjam kunci motor kamu sebentar."
"Kenapa?" seseorang dalam kamar itu balik bertanya.
"Motor kamu menghalangi motorku."
"Oh, sebentar."
Setelah mendapatkan kunci sepeda motor orang yang dipanggil 'Gepenk' itu, Dhimas langsung menuju garasi, meletakkan helmnya di atas jog sepeda motor milik entah siapa, memindahkan sepeda motor matic berwarna biru putih, lalu mengeluarkan sepeda motor sport berwarna dominan oranye. Setelah itu Dhimas kembali ke kamar Gepenk.
"Penk, kunci. Oh ya, ini sekalian titip kunci motor Nyong." Dhimas menyodorkan dua buah kunci pada temannya itu. "'makasih."
"Yo'i."
Sekilas Thalia memperhatikan penampilan Dhimas, rambut gondrong sebahu diikat asal-asalan, jaket dan celana denim pudar, sepatu kets berbahan kanvas berwarna merah. A bit bad boy.
"Kak, kita lihat ruangan tes dulu ya."
"Oke."
Setelah memakai helm, Dhimas naik ke sepeda motor dan menyalakan mesinnya. Kemudian Thalia menyusul. Dan, berangkat.
_______
Mata Bastian mengernyit dan ia merasakan sedikit mulas di perutnya. Waktunya menabung demi kesehatan jasmaninya. Dengan malas ia bangun dari kasur.
Cklek. Hah?! Tak percaya, Bastian pun kembali memutar-mutar gagang pintu. Daun pintu masih bergeming. Ia benar-benar terkunci? Dalam kamar, dalam keadaan perut mulas?
Oke, tenang, Bastian, pikirkan sesuatu! Mungkin ada toilet dalam kamar Dhimas. Ia pun mengedarkan pandangannya mengelilingi seluruh kamar. Sayangnya, harapannya pupus ketika ia hanya menemukan satu-satunya pintu di kamar itu, yaitu pintu keluar yang sekarang terkunci.
Alternatif lain, jendela. Benar, ia bisa keluar lewat jendela. Ia pun berjalan mendekat ke jendela dan menyingkap tirai yang masih menutup sebagian jendela di kamar itu.
"Aarrrghh ... sial!" erangnya frustrasi saat mendapati jendela itu adalah jendela mati berdampingan mesra dengan jendela nako.
Sumpah demi perutnya yang semakin mulas, ia akan membalas Dhimas nanti.
Dengan menahan rasa sakit di perutnya yang semakin melilit, ia mengeluarkan ponsel dari jaketnya yang terserak di lantai. Membuka panggilan terakhir. Nama Dhimas berada di posisi teratas dalam daftar. Ia memanggil nomor itu.
_______
"Kak, masih jauh ya?" tanya Thalia dengan wajah berpeluh tanda kelelahan dan kepanasan.
"Nggak tahu, juga Thalia." yang penting kita jalan aja.
Asal tahu saja, Kota Malang tak sesejuk sepuluh tahun yang lalu. Berjalan kaki cukup jauh saat tengah hari, pasti akan berkeringat. Apalagi ditambah harus menuntun sepeda motor yang tak bisa dibilang kecil. Karuan saja. Sedikit beruntung karena jalan yang mereka lalui saat ini ditumbuhi pohon-pohon rindang di sisi kiri-kanannya. Namun tetap saja, gerah dan berkeringat.
Samar terdengar ponsel Dhimas berbunyi dalam saku jaketnya. Ia pun menghentikan langkah dan menyandarkan sepeda motornya dengan standar samping.
"Sebentar, ada yang telepon."
"Ya Allah ya Rab." gumam Dhimas saat melihat nama yang muncul di layar ponselnya. Sepertinya sekarang ia sadar akan kesalahannya. "Ya, Bas ..."
"Whoii ... sarap kamu, Dhim! Masa' aku dikunci dalam kamar!" semprot suara di seberang.
"Ya ... ya ... aku balik secepatnya."
"Cepetan, perutku mules ini!"
"Iya sabar, dulu."
"Iya sabar. Tapi ini perut 'emang bisa disuruh sabar? Kalau nggak tahan lagi, aku keluarin aja dalam kamar kamu!"
"Whoi, berani kamu ya?! Iya ... iya ... aku balik!"
"Cept ..."
Telepon terputus.
Dhimas mengakhiri panggilan. Ia tak bisa berlama-lama bertelepon, baterai ponselnya kritis. "Siaal ...!"
"Ada apa, Kak?" tanya Thalia penasaran.
"Dhimas kekunci di kamar."
"Ya salam .... Serius, Kak?"
"Beribu rius malah. Dan katanya sekarang perutnya mules."
Thalia menepuk jidatnya. Nggak di kampung, nggak di rantau, tetap saja ia harus terjebak bersama orang-orang yang sembrono bin konyol alias absurd.
"Kok bisa sih kekunci?"
"Tadi aku kunci aja pintunya pas mau pergi, sudah kebiasaan kalau mau keluar soalnya. Nggak mikir kalau ada Dhimas di dalam."
"Terus gimana dong?"
Dhimas diam, terlihat berpikir.
_______
1. wearpack : pakaian overall untuk balap atau kerja
2. leaning angle : sudut kemiringan3. kertas kalkir : kertas transparan untuk membuat desain.Dhimas memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket."Kamu punya aplikasi ojol nggak?""Ada." Thalia menjawab dengan enggan."Tolong kamu pesan ojol sekarang, kamu balik ke kos bawa kunci, bukain Bastian pintu!""Terus kamu gimana, Kak?""Nggak usah dipikirin! Yang penting sekarang Bastian nggak b***r di kamarku!" wajah Dhimas mengernyit menahan cahaya matahari agar tak semakin banyak menimpa retinanya."Oke deh, aku pesan sekarang." segera saja Thalia menuruti perkataan Dhimas. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya dan membuka aplikasi ojek online. Tanpa ragu dipilihnya titik penjemputan sesuai lokasinya dalam peta. Namun, kemudian ia berhenti. "Kak, tujuannya mana?""Masukin aja nama tempat kosku, 'Kos Tinggal Kenangan'." instruksi singkat dari Dhimas.Thalia mengetikkan nama yang Dhimas sebutkan pada kolom tujuan. Ketemu. Dan setelahnya, Thalia membuat pesanan.Beres. Tinggal menunggu kang ojol datang.
Akhirnya pada percobaan ke-43, pintu kamar berhasil terbuka, menyisakan satu buah kunci. Langsung saja, Bastian menerobos kerumunan yang bergerombol di depan pintu kamar Dhimas."Mas, salah! Kamar mandinya bukan di sana." teriak seseorang di antara kerumunan.aBastian lupa ini bukan di tempat kosnya yang lama—kos semasa SMA.Bastian mengerem mendadak, seperti sepeda motor dengan rem cakram depan belakang, lalu langsung berbalik arah. Dan langsung tancap gas lagi. Tepat di ujung lorong, Bastian menoleh kiri-kanan, gamang membuat pilihan antara belok kiri atau kanan. Tak nampak olehnya keberadaan kamar kecil."Kanan, Mas." Teriak salah seorang di antara kerumunan di depan kamar Dhimas.Tanpa mengucapkan 'terima kasih' Bastian langsung berbelok sesuai petunjuk suara yang tadi meneriakinya. Lalu berbelok ke kanan sekali lagi. Dan tampaklah empat pintu berderet.Tapi sialnya keempat pintu tertutup."Ada orangnya nggak?" Bastian menge
Dengan ragu, Thalia memutuskan untuk menjawab panggilan di ponselnya."Ya, halo ..., dengan siapa?" jawab Thalia dengan suara mengambang."Saya Sumaryanto, Mbak. Masih setia menunggu di luar, sampai Mbak mau menemui saya.""Sumaryanto ..." Thalia masih mencoba mencerna nama itu dalam kepalanya."Ojol, Mbak.""Lhoh, kenapa, Mas?""Mbak 'kan belum bayar, helm saya juga masih dibawa sama Mbak?""Haah?" dengan keterkejutannya, Thalia menoleh ke arah ambang pintu kamar. Dan benar saja, ada sebuah helm yang tak ia kenali menggelundung di samping pintu. "Ya Allah, sori Mas. Tadi saya buru-buru banget soalnya. Tunggu ya, Mas. Tunggu sebentar, saya keluar sekarang."Langsung saja Thalia menyambar helm dan tasnya. Kemudian berjalan cepat-cepat menuju ke luar, ke tempat di mana Sumaryanto menunggunya.Tampak oleh Thalia punggung seseorang yang mengenakan jaket hijau-hitam khas ojek online. Orang itu—Sumaryanto—tengah be
Akhirnya, meski dengan sedikit ragu, Thalia memutusan untuk menyentuh tombol hijau di layar ponselnya. Tak apalah mengambil sedikit resiko berbicara dengan sang mantan yang mungkin akan menagih uang untuk membayar helm mahalnya. "Halo, selamat si ... a...l ..." Belum selesai Thalia bicara, seorang perempuan di ujung sambungan menyemburnya. Untung saja mereka tidak sedang berhadapan, bisa-bisa muka Thalia basah terguyur hujan lokal. "Hei ... dasar cewek murahan, lonte, ba*****, tukang rebut pacar orang!! Sini kalau berani, kita ketemuan, jangan main belakang!!" "Oh, mantannya Bastian?! Ngajak gelud?! Oke, aku ladenin, mau ketemuan di mana?!" Seperti api tersiram bensin, Thalia terbakar emosi. "Pertigaan kuburan kembar jam sepuluh malam. Berani nggak situ?" "Kuburan kembar ...? Kecil, Bos! Jangankan kuburan kembar, kuburan tingkat pun aku datangin! Jangankan cuma kamu,
Lewat pukul sembilan malam Anita dan yang lain telah sampai kembali di kos. Dhimas langsung pulang dengan membawakan Bastian sekotak pizza ukuran sedang. Sedangkan Thalia langsung masuk ke kamar Anita di lantai dua, ia tak ingin mengganggu Anita dan Adrian yang sedang ingin berduaan. Thalia merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, lalu meletakkan tas itu di salah satu kasur yang ada di kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur itu. Ia melihat ponselnya, 21.27, waktu yang tertera di layar ponselnya. Ia menatap layar ponsel itu dengan muka cemberut, seperti selimut kusut. Seharusnya ia ada jadwal adu mulut, adu jotos dan adu jambak rambut dengan mantan pacar Bastian 33 menit lagi. Tak mungkin Thalia mau menemempuh tiga jam perjalanan hanya demi adu-adu tak berfaedah dengan mantan pacar Bastian itu. "Ssshh ..." desis Thalia kesal. Ia membayangkan betapa kesal dan marahnya setan berwujud gadis preman kuburan itu saat menyadari telah dipermainkan olehnya. Da
"Mau kamu apa?" tanya Thalia malas, sebelah tangannya menopang dagu. Matanya mengarah pada lalu lalang orang-orang di kantin kampus. Ia sama sekali tak ingin melihat penampakan sangar di depannya.Segelas es teh yang telah bermenit-menit diabaikan telah banyak berembun, meleleh, layaknya keringat atlet badminton yang minta dilap dengan lap kanebo, saking banyaknya. Embun meleleh membasahi meja."Ayo kita balikan." Bayu memohon dengan muka dibuat memelas, sebelah tangannya meraih tangan Thalia. "Kalau helmnya sih nggak masalah. Tapi kita balikan ya."Tetapi Thalia menarik tangannya dari genggaman tangan Bayu.Nada memelas Bayu itu kontras dengan tampang sangar brewokan dan alis tebalnya. Setiap yang melihat Bayu akan berpikir bahwa ia adalah seseorang yang harus dihindari. Lebih baik jangan dekat-dekat daripada terkena masalah. Padahal itu memang benar.Thalia melipat kedua tangannya di atas meja, membuang nafas malas lalu menoleh pada Bayu "Bay, ka
Mobil Bayu kini tengah melaju kencang di jalan tol. Zig-zag, serong ke kiri, serong ke kanan, mirip bebek angsa mata duitan. Perumpamaan yang buruk. Dan hanya dalam dua jam perjalanan mobil itu telah turun dari tol lewat Gerbang Waru Utama. "Ini di mana?" heran Thalia sambil menatap kagum pada menara menjulang tinggi sebuah masjid yang atapnya berwarna hijau toska yang tampak di kejauhan. "Surabaya." jawab Bayu santai. "Kamu mau menculik aku?!" "Aku nggak perlu menculik kamu. Aku cuma mau kita ketemuan sama mamaku." "Mama?" "Ya. Dia mau ketemu sama calon mantu." "Bay! Bercanda jangan keterlaluan dong! Ya Allah Ya Rab, sumpah, kamu bisa bikin emakku jantungan!" "Sudahlah, Yang. Aku tahu ibu kamu nggak keberatan kalau aku sama kamu." "Turunin aku sekarang!" ancam Thalia sambil mencari wujud menara menjulang yang kini hilang dari pandangan. "Yakin?" "Ya!" ketus Thalia. "Oke." tanpa rag
Sebuah tas ransel berisi beberapa helai pakaian, perlengkapan kamar mandi dan tentu saja dompet serta map transparan berisi persyaratan administratif untuk mengikuti sebuah seleksi bertengger manis di punggung seorang gadis berusia delapan belasan. Di depan rumahnya, seorang laki-laki sebayanya telah menunggu di atas sepeda motor matic. "Bu, aku berangkat." pamitnya setelah mencium punggung tangan ibunya. "Ya, hati-hati." Balas sang ibu sambil mengelus kepala anak gadis satu-satunya. "Bas, tolong awasi dia, ya." "Siap, Tante." jawab laki-laki teman si gadis. "Assalaamu 'alaikum." ucap salam si gadis dan temannya. "Wa 'alaikum salam." jawab sang ibu. Gadis yang mengenakana jaket denim itu pun kemudian mengenakan helm dan naik ke jok belakang sepeda motor matic temannya. Di ceruk antara kemudi dan jog sepeda motor teronggok sebuah tas ransel si pengemudi alias teman si gadis. Pengemudi itu menganggukkan kepala penuh horma