Akhirnya, meski dengan sedikit ragu, Thalia memutusan untuk menyentuh tombol hijau di layar ponselnya. Tak apalah mengambil sedikit resiko berbicara dengan sang mantan yang mungkin akan menagih uang untuk membayar helm mahalnya.
"Halo, selamat si ... a...l ..."
Belum selesai Thalia bicara, seorang perempuan di ujung sambungan menyemburnya. Untung saja mereka tidak sedang berhadapan, bisa-bisa muka Thalia basah terguyur hujan lokal.
"Hei ... dasar cewek murahan, lonte, ba*****, tukang rebut pacar orang!! Sini kalau berani, kita ketemuan, jangan main belakang!!"
"Oh, mantannya Bastian?! Ngajak gelud?! Oke, aku ladenin, mau ketemuan di mana?!" Seperti api tersiram bensin, Thalia terbakar emosi.
"Pertigaan kuburan kembar jam sepuluh malam. Berani nggak situ?"
"Kuburan kembar ...? Kecil, Bos! Jangankan kuburan kembar, kuburan tingkat pun aku datangin! Jangankan cuma kamu, cewek bulukan, ngga laku, ngaku-ngaku, beraninya main keroyokan, gank kunti 'aja kuhajar! Heh, datang sendiri kalau berani!!" Dada Thalia naik-turun menahan emosi yang nyaris naik ke ubun-ubun.
"Oke! Jam sepuluh malam! Lihat aja! Kamu bakalan aku buat menyesal!! Aw ..." ancam mantan pacar Bastian.
Thalia menyentuh tombol merah, tak dipedulikannya lagi suara bagai halilintar yang berteriak-teriak di seberang. Wajahnya memerah, tetapi setelah sekian detik kemudian semburat merah di wajah itu memudar seiring meredanya detak jantung Thalia. Gadis tomboi itu kemudian terkikik sendiri membayangkan dirinya berhasil mengerjai mantan pacar Bastian yang tak tahu malu itu.
Thalia kemudian menyimpan nomor itu dan mengatur supaya tak ada dering ketika nomor itu menelepon. Mengganggu saja. Saat ini Thalia harus fokus agar ia tak masuk ke pilihan pertama—jurusan Akuntansi—, Thalia lebih berminat untuk masuk ke Hubungan Internasional yang menjadi pilihan keduanya. Bekerja di kantor perwakilan Indonesia di luar negeri pastilah sangat keren. Itulah impian Thalia sejak ia mengenal Bahasa Inggris. Sedangkan pilihan ketiga terpaksa Thalia kosongkan, mengingat bahwa ia tak ingat mempunyai minat lagi sealin menggambar anime dan menulis receh.
_______
Dhimas berdiri di depan sebuah kos khusus mahasiswi sambil berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia bersama Thalia yang menggendong tas ransel tengah menunggu seseorang di sana.
"Oke, aku tunggu." pungkas Dhimas lalu memasukkan ponsel ke dalam celana belelnya.
"Dia sebentar lagi sampai."
"Iya, Kak."
Dhimas dan Thalia sedang menunggu di depan kos Anita. Di pagar rumah dua lantai itu tergantung sebuah papan putih bertulisan cukup besar berwarna hitam hitam berbunyi 'Terima Kos Putri', dan di bawah tulisan itu tertulis nomor ponsel yang bisa dihubungi. Melihat tulisan itu, Thalia langsung menyimpannya di ponsel, mungkin suatu saat ia membutuhkannya.
Tak lama kemudian, muncullah sebuah mobil hatchback¹ kecil berwarna kuning cerah. Mobil itu lalu berhenti tak jauh dari Dhimas dan Thalia. Dan dari dalamnya muncul seorang gadis dari pintu penumpang bagian depan, menyusul seorang laki-laki dari pintu pengemudi.
Gadis itu terlihat cantik meski hanya diterangi cahaya lampu jalan. Semakin dekat semakin tampak jelas ia berkulit putih bersih tanpa setitik pun noda di wajahnya. Rambutnya lurus hitam kecokelatan, tampak sekali warna rambutnya bukan alami. Rambut itu dibiarkan tergerai. Turun ke bawah pinggangnya. Gadis itu memakai celana pendek setengah paha, memperlihatkan kulit paha yang sama mulus dengan kulit wajahnya. Thalia bisa memastikan gadis ini 'mahal'.
Glek ... Thalia menahan ludah penuh rasa iri. Andai saja hasil menjual manga cukup untuk kebutuhan perawatan kulitnya.
"Hei, Dhim ... halo ... masuk yuk." setelah menyapa Dhimas, gadis itu menyapa Thalia dan memepersilakan mereka masuk dengan suaranya yang mengalun indah bagai nyanyian seorang Dewi.
Laki-laki yang mungkin adalah kekasih Anita berjalan begitu saja melewati Dhimas dan Thalia dengan wajah angkuhnya tanpa sedikit pun menoleh pada Dhimas dan Thalia.
Dhimas dan Thalia mengekor.
Sumpah demi-kian seterusnya—bukan demi Tuhan penguasa semesta alam—, Thalia rela bertukar tubuh dengan gadis itu. Thalia iri, sangat ... sangat ... sangat iri. Thalia tahu ada dua hal, atau dua cara, yang membuat seorang wanita terlihat cantik : cantik dari sananya atau cantik dari dananya. Sedangkan Thalia sendiri sadar, dari sananya ia biasa-biasa saja. Dari dananya ..., dana yang mana? Dana yang di ponselnya? Isinya hanya cukup untuk makan sebulan.
"Kenalin, Nita, ini Thalia."
Anita si tuan rumah berjabat tangan dengan Thalia. Haluuuus .... Rasa iri Thalia semakin menggila saat menyentuh telapak tangan sehalus kasmir itu. Gadis ini benar-benar mahal, sepertinya tak sekali pun pernah menyentuh ulekan atau gagang sapu. Apakah dia seorang putri? Atau anak konglomerat? Atau anak bos kebun sawit? Anak bos batu bara? Juragan martabak rasa batu bara? Juragan jengkol? Sepertinya bukan yang terakhir. Pikiran Thalia menerka-nerka tanpa dasar. Ngawur.
"Thalia."
"Anita. Yuk, kita ke dalam dulu, kamu taruh dulu barang kamu."
"'bentar ya, Hon." pamit Anita pada laki-laki yang ternyata memang adalah kekasihnya, yang dipanggil 'Hon' alias honey. Madu?
"Hmm ... jangan lama-lama. Aku lapar."
"Iya." jawab Anita lalu berjalan ke dalam rumah.
Dhimas dan kekasih Anita menunggu di teras rumah dengan suasana canggung. Mereka hanya membisu dalam posisi duduk berseberangan diagonal. Untung saja Anita dan Thalia tak lama meninggalkan mereka berdua.
Anita lagsung duduk mepet pada kekasihnya. "Dhim, kita mau cari makan, kamu sama Thalia sekalian bareng sama kita ya." ajaknya.
Sedangkan Thalia duduk di samping Dhimas dengan mengambil sedikit jarak.
"Yang ..." kekasih Anita menyela.
"Nggak usah, Nita. Nanti ngerepotin." tolak Dhimas halus, ia sadar keberadaannya tak diinginkan oleh laki-laki angkuh yang memanggil Anita dengan sebutan 'Yang' itu.
"Nggak, kok. Aku ulang tahun, rasanya ada yang kurang kalau nggak dirayain. Biasanya 'kan rame-rame, ya kamu tahu lah .... Tapi khusus kali ini aku pengen sedikit privacy. Jadi ya ... kecil-kecilan 'aja lah."
"Itulah ..., kita nggak ingin mengganggu privacy kalian."
"Dhim! Sikap kamu itu seolah-olah aku ini orang lain buat kamu. Sudahlah, nggak ada penolakan!"
Jika Anita sudah berkata "tidak ada penolakan", maka tak ada yang boleh menolak. Hitung-hitung lumayan juga ada yang mentraktir, anak orang kaya pula. Makanan lezat menunggu untuk mengisi perut Dhimas dan Thalia malam ini.
Sementara itu Thalia hanya bisa diam sambil sedikit mencuri pandang pada laki-laki yang duduk tepat di depannya. Ganteng, sayangnya sombong. Jauh-jauhlah dari hidup Thalia! Yang seperti ini cuma bikin makan hati. Daripada makan hati, lebih baik makan ampela. Minumnya teh kotak dalam kemasan botol, kalau ada. Dari penampilannya, laki-laki itu juga terlihat mahal. Sungguh pasangan serasi yang mahal, siapa pun yang melihat pasangan itu pasti akan iri.
.
.
Anita dan kekasihnya membawa Dhimas dan Thalia ke sebuah restoran masakan Italia yang trade mark-nya sudah terkenal di seantero nusantara, hanya saja keberadaannya tak menjangkau pelosok negeri. Sehingga yang tinggal di pelosok hanya mampu membayangkan saja kemewahan yang tak terjangkau kaki dan tangan.
Anita memilih meja di sebuah sudut dengan sofa berwarna putih tulang. Tempat favorit banyak orang. Ia pun memesan menu apa saja yang terlihat menarik di matanya. Kedua orang yang diajak Anita hanya bisa mengikuti karena mereka terlalu tahu diri. Kekasih Anita pun hanya mengikuti saja kemauan Anita, bukan karena terlalu tahu diri, melainkan terlalu malas berada bersama orang yang tak dikenalnya.
Sambil menunggu pesanan diantar, mereka pun berbincang.
"Oh ya, aku sampai lupa ngenalin kamu." ucapan Anita pada kekasihnya itu lebih terdengar seperti gadis penjaja tester makanan yang sedang menawarkan produknnya.
"Dhim, kenalin, tunanganku."
Dhimas mengulurkan tangannya sambil menyebut namanya, "Dhimas."
Kekasih Anita pun mengulurkan tangannya sambil menyebut nama, "Adrian." Setelah berjabat tangan dengan Dhimas, laki-laki itu kemudian mengulurkan tangannya pada Thalia. "Adrian."
"Thalia."
Dag ... dig ... dug ... jantung Thalia berdegup saat telapak tangannya bersentuhan dengan telapak tangan dingin Adrian.
Tangan itu halus, sama halusnya dengan telapak tangan sang tunangan. Bagaimana bisa seorang laki-laki memiliki tangan sehalus itu? Thalia saja tangannya kapalan akibat terlalu sering berurusan dengan ulekan batu ibunya. Ditambah dengan suara Adrian yang sangat maskulin, mampu menggetarkan jiwa siapa pun yang mendengarnya, seperti dentuman bass yang dihasilkan sound system yang biasa manggung bersama penyanyi impor. Sepertinya sikap angkuh itu bisa dimaafkan.
Dan haruskah Thalia rela disebut pelakor demi Adrian?
_______
1. hatchback : mobil penumpang berbasis sedan yang tidak memiliki 'ekor' sebagai bagasi, melainkan bagasi berada di belakang bangku penumpang.
Lewat pukul sembilan malam Anita dan yang lain telah sampai kembali di kos. Dhimas langsung pulang dengan membawakan Bastian sekotak pizza ukuran sedang. Sedangkan Thalia langsung masuk ke kamar Anita di lantai dua, ia tak ingin mengganggu Anita dan Adrian yang sedang ingin berduaan. Thalia merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, lalu meletakkan tas itu di salah satu kasur yang ada di kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur itu. Ia melihat ponselnya, 21.27, waktu yang tertera di layar ponselnya. Ia menatap layar ponsel itu dengan muka cemberut, seperti selimut kusut. Seharusnya ia ada jadwal adu mulut, adu jotos dan adu jambak rambut dengan mantan pacar Bastian 33 menit lagi. Tak mungkin Thalia mau menemempuh tiga jam perjalanan hanya demi adu-adu tak berfaedah dengan mantan pacar Bastian itu. "Ssshh ..." desis Thalia kesal. Ia membayangkan betapa kesal dan marahnya setan berwujud gadis preman kuburan itu saat menyadari telah dipermainkan olehnya. Da
"Mau kamu apa?" tanya Thalia malas, sebelah tangannya menopang dagu. Matanya mengarah pada lalu lalang orang-orang di kantin kampus. Ia sama sekali tak ingin melihat penampakan sangar di depannya.Segelas es teh yang telah bermenit-menit diabaikan telah banyak berembun, meleleh, layaknya keringat atlet badminton yang minta dilap dengan lap kanebo, saking banyaknya. Embun meleleh membasahi meja."Ayo kita balikan." Bayu memohon dengan muka dibuat memelas, sebelah tangannya meraih tangan Thalia. "Kalau helmnya sih nggak masalah. Tapi kita balikan ya."Tetapi Thalia menarik tangannya dari genggaman tangan Bayu.Nada memelas Bayu itu kontras dengan tampang sangar brewokan dan alis tebalnya. Setiap yang melihat Bayu akan berpikir bahwa ia adalah seseorang yang harus dihindari. Lebih baik jangan dekat-dekat daripada terkena masalah. Padahal itu memang benar.Thalia melipat kedua tangannya di atas meja, membuang nafas malas lalu menoleh pada Bayu "Bay, ka
Mobil Bayu kini tengah melaju kencang di jalan tol. Zig-zag, serong ke kiri, serong ke kanan, mirip bebek angsa mata duitan. Perumpamaan yang buruk. Dan hanya dalam dua jam perjalanan mobil itu telah turun dari tol lewat Gerbang Waru Utama. "Ini di mana?" heran Thalia sambil menatap kagum pada menara menjulang tinggi sebuah masjid yang atapnya berwarna hijau toska yang tampak di kejauhan. "Surabaya." jawab Bayu santai. "Kamu mau menculik aku?!" "Aku nggak perlu menculik kamu. Aku cuma mau kita ketemuan sama mamaku." "Mama?" "Ya. Dia mau ketemu sama calon mantu." "Bay! Bercanda jangan keterlaluan dong! Ya Allah Ya Rab, sumpah, kamu bisa bikin emakku jantungan!" "Sudahlah, Yang. Aku tahu ibu kamu nggak keberatan kalau aku sama kamu." "Turunin aku sekarang!" ancam Thalia sambil mencari wujud menara menjulang yang kini hilang dari pandangan. "Yakin?" "Ya!" ketus Thalia. "Oke." tanpa rag
Sebuah tas ransel berisi beberapa helai pakaian, perlengkapan kamar mandi dan tentu saja dompet serta map transparan berisi persyaratan administratif untuk mengikuti sebuah seleksi bertengger manis di punggung seorang gadis berusia delapan belasan. Di depan rumahnya, seorang laki-laki sebayanya telah menunggu di atas sepeda motor matic. "Bu, aku berangkat." pamitnya setelah mencium punggung tangan ibunya. "Ya, hati-hati." Balas sang ibu sambil mengelus kepala anak gadis satu-satunya. "Bas, tolong awasi dia, ya." "Siap, Tante." jawab laki-laki teman si gadis. "Assalaamu 'alaikum." ucap salam si gadis dan temannya. "Wa 'alaikum salam." jawab sang ibu. Gadis yang mengenakana jaket denim itu pun kemudian mengenakan helm dan naik ke jok belakang sepeda motor matic temannya. Di ceruk antara kemudi dan jog sepeda motor teronggok sebuah tas ransel si pengemudi alias teman si gadis. Pengemudi itu menganggukkan kepala penuh horma
"By the way kalian berdua ambil jurusan apa?" Dhimas membuka obrolan selagi menunggu pesanannya datang. "Akuntansi" jawab Bastian setelah menyedot jus kopi. Jus kopi? Adakah? Pokoknya itu lah. "Kalau kamu, Thalia?" Dhimas mengalihkan pandangannya pada Thalia di posisi diagonal darinya. "Sama." jawab Thalia singkat sambil mengaduk-aduk jus tomat. "Kalian pacaran? Sehidup semati?" "Mana ada?!" tukas Thalia dan Bastian serempak. "Demi nurutin ortu, Kak." jawab Thalia kemudian. "Lhah, yang kuliah kamu apa orang tua kamu?" "Long story. Mending nggak usah dibahas." "Kalau kamu, Bas?" "Aku ngikutin dia." Bastian menunjuk pundak Thalia. "Bucin, nih, ceritanya?" "Nggak dengar apa tadi? Nggak ada urusannya sama cinta-cintaan. Aku cuma nggak yakin aja minatku di mana, daripada bingung ya aku ngikut dia 'aja. 'kan lumayan, kali 'aja nanti butuh contekan." "Parasit." ledek Thalia. "Mut
Dari kampus perguruan tinggi berlambang Ganesha, Dhimas membawa kedua tamunya ke tempat kosnya. Dhimas dan Bastian memarkir sepeda motor di garasi yang berjarak dua puluh meter dari kamar Dhimas. Dan untuk sampai ke sana ia dan kedua tamunya harus melewati beberapa kamar. Beberapa kamar sepertinya sedang ditinggalkan oleh penghuninya, terlihat dari pintu dan tirainya yang tertutup. Sedangkan kamar-kamar lain pintunya terbuka, membiarkan aktivitas di dalamnya terlihat. Tampak oleh Thalia dan Bastian ada tamu perempuan di dalam satu atau dua kamar di antaranya. Positive thinking, hanya teman yang sedang bertamu. Sepertinya itu yang duo Basthard pikirkan. Seperti halnya Thalia saat ini yang terpaksa menitipkan bawaannya di kos Dhimas. "Masuk." Dhimas mempersilahkan Bastian dan Thalia masuk setelah ia membuka pintu kamarnya yang sebelumnya terkunci. "Iya." jawab Thalia. Pandangan Thalia menyisir ke sudut-sudut kamar itu, tapi ia berusaha agar tak
Dhimas memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket."Kamu punya aplikasi ojol nggak?""Ada." Thalia menjawab dengan enggan."Tolong kamu pesan ojol sekarang, kamu balik ke kos bawa kunci, bukain Bastian pintu!""Terus kamu gimana, Kak?""Nggak usah dipikirin! Yang penting sekarang Bastian nggak b***r di kamarku!" wajah Dhimas mengernyit menahan cahaya matahari agar tak semakin banyak menimpa retinanya."Oke deh, aku pesan sekarang." segera saja Thalia menuruti perkataan Dhimas. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya dan membuka aplikasi ojek online. Tanpa ragu dipilihnya titik penjemputan sesuai lokasinya dalam peta. Namun, kemudian ia berhenti. "Kak, tujuannya mana?""Masukin aja nama tempat kosku, 'Kos Tinggal Kenangan'." instruksi singkat dari Dhimas.Thalia mengetikkan nama yang Dhimas sebutkan pada kolom tujuan. Ketemu. Dan setelahnya, Thalia membuat pesanan.Beres. Tinggal menunggu kang ojol datang.
Akhirnya pada percobaan ke-43, pintu kamar berhasil terbuka, menyisakan satu buah kunci. Langsung saja, Bastian menerobos kerumunan yang bergerombol di depan pintu kamar Dhimas."Mas, salah! Kamar mandinya bukan di sana." teriak seseorang di antara kerumunan.aBastian lupa ini bukan di tempat kosnya yang lama—kos semasa SMA.Bastian mengerem mendadak, seperti sepeda motor dengan rem cakram depan belakang, lalu langsung berbalik arah. Dan langsung tancap gas lagi. Tepat di ujung lorong, Bastian menoleh kiri-kanan, gamang membuat pilihan antara belok kiri atau kanan. Tak nampak olehnya keberadaan kamar kecil."Kanan, Mas." Teriak salah seorang di antara kerumunan di depan kamar Dhimas.Tanpa mengucapkan 'terima kasih' Bastian langsung berbelok sesuai petunjuk suara yang tadi meneriakinya. Lalu berbelok ke kanan sekali lagi. Dan tampaklah empat pintu berderet.Tapi sialnya keempat pintu tertutup."Ada orangnya nggak?" Bastian menge