"By the way kalian berdua ambil jurusan apa?" Dhimas membuka obrolan selagi menunggu pesanannya datang.
"Akuntansi" jawab Bastian setelah menyedot jus kopi. Jus kopi? Adakah? Pokoknya itu lah.
"Kalau kamu, Thalia?" Dhimas mengalihkan pandangannya pada Thalia di posisi diagonal darinya.
"Sama." jawab Thalia singkat sambil mengaduk-aduk jus tomat.
"Kalian pacaran? Sehidup semati?"
"Mana ada?!" tukas Thalia dan Bastian serempak.
"Demi nurutin ortu, Kak." jawab Thalia kemudian.
"Lhah, yang kuliah kamu apa orang tua kamu?"
"Long story. Mending nggak usah dibahas."
"Kalau kamu, Bas?"
"Aku ngikutin dia." Bastian menunjuk pundak Thalia.
"Bucin, nih, ceritanya?"
"Nggak dengar apa tadi? Nggak ada urusannya sama cinta-cintaan. Aku cuma nggak yakin aja minatku di mana, daripada bingung ya aku ngikut dia 'aja. 'kan lumayan, kali 'aja nanti butuh contekan."
"Parasit." ledek Thalia.
"Mutual, Ya, mutual. Kamu butuh ojekan, aku butuh contekan."
"Siapa bilang aku mau minta anjem¹ kamu terus? Kaya nggak ada yang lain. Nanti kamu punya pacar, auto lupa lah kamu sama sohib se-TK."
"Nggak, lah, Hib. Aku nggak mau kehilangan kamu, sumber contekanku."
"Silahkan, nasi goreng Jawa." seseorang datang mengantarkan pesanan Thalia.
"Kamu makan lagi, Ya?" Bastian melongo melihat porsi pesanan Thalia. Mengingat belum lama mereka sudah sarapan masing-masing dua lapis roti bakar, yang artinya sama dengan empat lembar roti tawar. Meskipun cuma roti, kalau empat lembar seharusnya cukup kenyang apalagi ditambah segelas susu cokelat hangat.
"Iya, lapar lagi. Nutrisi sarapan yang tadi banyak menguap gara-gara kena angin."
"Emang segitu habis?"
"Lihat saja nanti." jawab Thalia enteng.
Sepiring nasi goreng porsi kuli, serius?
"Mi ayam?" Datang lagi seseorang mengantar pesanan Dhimas.
Kantin yang menjadi tempat pemuas nafsu makan Dhimas dan kawan-kawannya saat itu berkonsep pujasera. Ck ... tak tahu? Kalau food court tahu? Dua istilah itu artinya sama.
Sejujurnya Dhimas sedikit penasaran dengan daya tampung lambung cewek di posisi diagonal darinya. Hanya saja, mau bertanya tapi takut sampai tujuan. Eh ...? Mau mengukur, tak ada meteran apalagi timbangan, dan sepertinya prosedurnya agak ribet.
Dengan demikian, dengan latar belakang untuk mengetahui penyebab seorang gadis manis memiliki kapasitas lambung ekstra tetapi tetap berbadan langsing, Dhimas akan melakukan suatu penelitian semi ilmiah bernama PDKT terhadap Thalia. Sekalian saja topik tersebut bisa dijadikan materi untuk artikel di kapanhari.com, situs serba ada di mana Dhimas menjadi salah satu penulisnya. Lumayan, sambil menyelam motek terumbu karang.
Jangan, Nak! Itu merusak lingkungan hidup, cukup kau rusak masa depanmu saja. DASAR KARDUS!
Oke, kembali ke tablet.
Dhimas, Thalia dan Bastian pun menikmati masing-masing apa yang telah mereka pesan dengan khidmat. Ibu bilang tidak boleh berbicara selagi makan bukan? Anak pintar.
Setelah sekian menit khusyuk dengan makanan dan atau minuman masing-masing, tuntas sudah urusan pemenuhan nutrisi untuk anak-anak yang masa pertumbuhannya sudah atau hampir habis itu. Mereka tak lupa mengucap do'a sesudah makan dan minum sebagai wujud rasa syukur, meski lupa mengucap doa' sebelum makan dan minum. Anak pintar, tetapi sering lupa.
Dan Dhimas melongo mendapati kenyataan bahwa Thalia mampu menghabiskan nasi goreng porsi kulinya. Tanpa sisa, kecuali sebelas batang tangkai cabe rawit berwarna hijau tua sedikit kemerahan. Mungkinkah dia jelmaan naga api?
"Thalia, boleh pinjam ponsel?" pinta Dhimas.
"Buat apa?"
"Nanti juga tahu."
Bastian melirik curiga pada Dhimas.
"Ini." Thalia menyodorkan ponselnya.
"Masih dikunci." Dhimas mengembalikan ponsel Thalia.
"Oh iya, lupa." Thalia mengambil kembali ponselnya, membuka kuncinya, lalu memberikannya lagi pada Dhimas.
Setelah menerima ponsel itu, Dhimas langsung mengetikkan sebaris nomor, lalu menyentuh tombol 'panggil'. Ponselnya pun berdering. "Barangkali kamu perlu bantuan selagi di sini."
"Ciyeee ..., dasar kardus." celetuk Bastian, lalu menyenggol pundak Thalia dengan pundaknya. "Hati-hati sama playboy cap kardus!"
"Santai 'aja, Bas. Kamu nggak usah posesif gitu. Kamu bukan pacarnya 'kan?" Dhimas lalu menyimpan namanya di ponsel Thalia, setelah itu mengembalikan si ponsel pada pemiliknya.
"Yak ...?!"
Thalia hanya tersenyum miring, tetapi manis. Jangan salah sangka! Itu bukan meremehkan atau menghina apalagi menyeringai. Senyumnya memang miring, otot motorik pipinya asimetris. Dan jangan salah sangka, Thalia itu .... Lebih baik kalian nilai sendiri nanti.
"Terus kalian mau nginap di mana?" tanya Dhimas kemudian.
"Itulah masalahnya. Aku sih sudah jelas nginap di tempatmu. Kalau dia ... masih belum jelas nasibnya. Aku sudah coba menghubungi temanku cewek, tapi nggak ada respon."
"Gimana sih, Bas? Kemarin bilangnya ada tempat, kok malah sekarang jadi gantung gini."
"Iya, kemarin dia bilang bisa, tapi ini nggak tahu kenapa nggak bisa dihubungi. Nih, chat-ku masih centang satu." Bastian menunjukkan sebuah ruang chat di layar ponsenya. "Dari tadi ditelepon juga nggak aktif."
"Kita langsung ke tempat dia 'aja gimana?"
"Hei, kalian tenang aja. Thalia bisa nginap di tempat kos temanku. Orangnya baik kok." sahut Dhimas.
"Nggak perlu repot, Kak, aku bisa cari tempat kos harian. Aku sudah simpan nomornya buat jaga-jaga, cuma belum booking aja."
"Dapat dari mana?"
"Palapa."
"Kamu suka pakai aplikasi itu ya? Sama dong."
"Gimana kalau kita nginap di villa aja?" seloroh Bastian.
"Gundulmu!" umpat Thalia sambil menoyor kepala Bastian.
"Nah 'kan suudzon lagi. Vila itu 'kan kamarnya nggak cuma satu, Ya." bantah Bastian tak mau kalah sambil mengelus-elus bekas toyoran Thalia.
"Boleh 'tu. Aku ikut ya." Dhimas menyahut.
"Ini lagi. Ngikut aja!"
"Ya apa salahhya? Mumpung musimnya lagi bagus 'ni, nggak ada hujan. 'kan enak malamnya bisa jalan-jalan."
"Heh, kalian ...! Bas, kita di sini 'tu mau ikut seleksi maba, bukannya jalan-jalan apalagi rekreasi. Fokus donk!"
"Ya ... iya .... Jadi nanti kamu mau tidur di mana?"
"Sebentar aku telepon temanku." lerai Dhimas sambil mencari sebuah nama dalam daftar kontaknya. Dan setelahnya ia memanggil nomor yang dicarinya. "Halo, Nita?"
"Ya, Dhim, ada apa?" respon suara seorang gadis di seberang udara.
"Aku mau minta tolong. Ini ada temannya temanku, cewek. Dia butuh tempat buat nginap. Ya paling satu atau dua malam. Boleh nggak kalau dia nginap di tempat kamu?"
"Oh, mau ikut seleksi maba ya?"
"Iya."
"Nggak masalah. Kebetulan teman sekamarku juga lagi pulkam."
"Wah, sip donk."
"Tapi sekarang aku lagi nggak di kosan. Aku lagi keluar sama Andre, paling, malam baru pulang."
"Sebentar." Dhimas menahan panggilannya dengan temannya yang bernama Anita. "Thalia, ada tempat di kosan temanku, tapi sekarang ini anaknya lagi keluar, malam baru balik. Gimana?"
"Ya ..., nggak apa-apa sih. Aku bisa menghabiskan waktu sambil jalan-jalan di sekitaran kampus. Ya 'kan Bas?"
"Iya, benar." setuju Bastian.
"Ya sudah kalau gitu. Halo, Nita." Dhimas kembali berbicara dengan Anita. "Iya, nggak masalah. Tapi nanti kalau sudah balik, tolong kabari aku, oke?"
"Oke."
"'makasih, Nita."
"Yow ... no problemo, amigo."
Setelah itu Dhimas berdiri dari tempat duduknya.
"Eh, Dhim, nggak usah repot-repot, aku nanti bayar sendiri." Bastian pura-pura menolak ditraktir.
Thalia melirik sambil menaikkan sebelah alisnya ke arah Bastian.
"Siapa juga yang mau nraktir kamu. Numpang gratis, tapi makan tetep bayar sendiri."
Saat itu juga Thalia menyusul berdiri berjalan di belakang Dhimas. Merasa ada yang mengikuti, Dhimas pun menoleh.
"Mau ke mana, Thalia?"
"Mau bayar lah."
"Eh ..., kok, biar aku aja yang bayar."
"Nggak usah repot."
Dhimas telah sampai di stand mi ayam yang bersebelahan dengan stand nasi goreng yang dituju Thalia. Setelah mengetahui total pesanannya Thalia mengeluarkan selembar uang berwarna biru. Di saat menunggu uang kembalian, Thalia mendapati Dhimas sedang berdebat dengan mbak penjaga stand.
"Sori, Mbak, tapi aku beneran nggak bawa uang ini."
"Ya terus gimana dong, Mas ...? Masa' nggak dibayar?"
"Gini deh. Aku ke ATM sebentar ambil uang, emm ... dua puluh menit 'aja, nanti pasti aku bayar."
"Iya kalau Mas-nya balik. Kalau enggak?"
"Haduh Si Mbak ini. Kalau sama Tante Imel nggak bakal ribet deh ..."
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundak Dhimas dari belakang
"Ada apa, Thalia?"
"Dipanggil Bastian." .
"Oh ... Mbak, sebentar ya, aku mau ke mejaku dulu. Temanku pasti bawa duit."
Dhimas berjalan meninggalkan stand mi ayam menuju mejanya. "Ada apa, Bas?"
"Apa?" Bastian balik bertanya keheranan.
"Thalia bilang kamu manggil."
"Enggak."
Ada yang tidak beres. Berani sekali Thalia mengerjainya? Dhimas menoleh ke stand mi ayam. Thalia tak nampak di sana, melainkan sudah bergeser ke stand minuman.
Dhimas dalam dilema, antara pinjam uang atau ngutang. Menimbang-nimbang mana yang lebih menguntungkan. Ngutang, artinya dia jadi tawanan sampai Tante Imel kembali dari dokter gigi. Karena asisten baru Tante Imel belum mengenal Dhimas. Pinjam Bastian, mau di taruh mana mukanya? Kolong meja? Atau diuntel-untel² dan dilempar ke mangkuk mi yang masih ada sisa kuahnya? Biar nyunyut³ sekalian. Opsi terakhir, pinjam Thalia? Hello!!! Pinjam pada teman yang baru dikenal, cewek lagi, mana harga dirimu, Dhimas?
Selagi berpikir, Dhimas tak menyadari Thalia baru saja kembali.
"Yuk lah, cabut."
"Eeh ... kalian duluan aja." tolak Dhimas.
"Gimana sih, Dhim? Kita 'kan nggak tahu kosan kamu."
"Ya kalian tunggu sebentar di parkiran, aku nanti nyusul. Atau kalian bisa lihat-lihat kampus dulu. Aku baru ingat ada janji sama temanku." kilah Dhimas.
"Ya 'udah." setuju Bastian. "Jangan lama-lama!"
"Kita duluan, Kak." pamit Thalia sambil nyengir manis. Nyengir saja manis, apalagi kalau tersenyum?
Nun jauh di sana, dalam jarak 25 m, asisten Tante Imel melambaikan tangannya, mengisyaratkan pada Dhimas untuk datang. Mukanya masam. Matilah kau, Dhimas!
Dhimas pun dengan berat hati melangkah memenuhi panggilan mbak penjaga stand mi ayam.
"Mbak, aku bayar pakai kartu ATM ya, atau mobile banking aja deh."
"Heh! Di sini nggak bisa pakai ATM dan apaan itu mobel ... mobel ...? Mobel Legend?" Ya ampun, si mbak katrok deh. "Pesanan kamu sudah dibayar sama pacar kamu."
"Aah ... Si Mbak bercanda nih, pacar yang mana?"
"Yang cewek itu. Masa' yang cowok?"
"Cewek?"
"Iya, yang tadi di sini. Sudah sana, sujud sukur! Kamu lolos kali ini."
TIIIDAAAAAAK! Gema jeritan hati Dhimas saat itu. Harga dirinya terluka, entah mau ditaruh mana mukanya. Sepertinya ia memang harus menguntel-untel mukanya dan merendamnya dalam sisa kuah mi ayam sampai meduk⁴.
_______
1. anjem : antar-jemput
2. diuntel-untel : diremas-remaa hingga kusut3. nyunyut : lembek dan nyaris hancur.4. meduk : empuk, lunak.Dari kampus perguruan tinggi berlambang Ganesha, Dhimas membawa kedua tamunya ke tempat kosnya. Dhimas dan Bastian memarkir sepeda motor di garasi yang berjarak dua puluh meter dari kamar Dhimas. Dan untuk sampai ke sana ia dan kedua tamunya harus melewati beberapa kamar. Beberapa kamar sepertinya sedang ditinggalkan oleh penghuninya, terlihat dari pintu dan tirainya yang tertutup. Sedangkan kamar-kamar lain pintunya terbuka, membiarkan aktivitas di dalamnya terlihat. Tampak oleh Thalia dan Bastian ada tamu perempuan di dalam satu atau dua kamar di antaranya. Positive thinking, hanya teman yang sedang bertamu. Sepertinya itu yang duo Basthard pikirkan. Seperti halnya Thalia saat ini yang terpaksa menitipkan bawaannya di kos Dhimas. "Masuk." Dhimas mempersilahkan Bastian dan Thalia masuk setelah ia membuka pintu kamarnya yang sebelumnya terkunci. "Iya." jawab Thalia. Pandangan Thalia menyisir ke sudut-sudut kamar itu, tapi ia berusaha agar tak
Dhimas memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket."Kamu punya aplikasi ojol nggak?""Ada." Thalia menjawab dengan enggan."Tolong kamu pesan ojol sekarang, kamu balik ke kos bawa kunci, bukain Bastian pintu!""Terus kamu gimana, Kak?""Nggak usah dipikirin! Yang penting sekarang Bastian nggak b***r di kamarku!" wajah Dhimas mengernyit menahan cahaya matahari agar tak semakin banyak menimpa retinanya."Oke deh, aku pesan sekarang." segera saja Thalia menuruti perkataan Dhimas. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya dan membuka aplikasi ojek online. Tanpa ragu dipilihnya titik penjemputan sesuai lokasinya dalam peta. Namun, kemudian ia berhenti. "Kak, tujuannya mana?""Masukin aja nama tempat kosku, 'Kos Tinggal Kenangan'." instruksi singkat dari Dhimas.Thalia mengetikkan nama yang Dhimas sebutkan pada kolom tujuan. Ketemu. Dan setelahnya, Thalia membuat pesanan.Beres. Tinggal menunggu kang ojol datang.
Akhirnya pada percobaan ke-43, pintu kamar berhasil terbuka, menyisakan satu buah kunci. Langsung saja, Bastian menerobos kerumunan yang bergerombol di depan pintu kamar Dhimas."Mas, salah! Kamar mandinya bukan di sana." teriak seseorang di antara kerumunan.aBastian lupa ini bukan di tempat kosnya yang lama—kos semasa SMA.Bastian mengerem mendadak, seperti sepeda motor dengan rem cakram depan belakang, lalu langsung berbalik arah. Dan langsung tancap gas lagi. Tepat di ujung lorong, Bastian menoleh kiri-kanan, gamang membuat pilihan antara belok kiri atau kanan. Tak nampak olehnya keberadaan kamar kecil."Kanan, Mas." Teriak salah seorang di antara kerumunan di depan kamar Dhimas.Tanpa mengucapkan 'terima kasih' Bastian langsung berbelok sesuai petunjuk suara yang tadi meneriakinya. Lalu berbelok ke kanan sekali lagi. Dan tampaklah empat pintu berderet.Tapi sialnya keempat pintu tertutup."Ada orangnya nggak?" Bastian menge
Dengan ragu, Thalia memutuskan untuk menjawab panggilan di ponselnya."Ya, halo ..., dengan siapa?" jawab Thalia dengan suara mengambang."Saya Sumaryanto, Mbak. Masih setia menunggu di luar, sampai Mbak mau menemui saya.""Sumaryanto ..." Thalia masih mencoba mencerna nama itu dalam kepalanya."Ojol, Mbak.""Lhoh, kenapa, Mas?""Mbak 'kan belum bayar, helm saya juga masih dibawa sama Mbak?""Haah?" dengan keterkejutannya, Thalia menoleh ke arah ambang pintu kamar. Dan benar saja, ada sebuah helm yang tak ia kenali menggelundung di samping pintu. "Ya Allah, sori Mas. Tadi saya buru-buru banget soalnya. Tunggu ya, Mas. Tunggu sebentar, saya keluar sekarang."Langsung saja Thalia menyambar helm dan tasnya. Kemudian berjalan cepat-cepat menuju ke luar, ke tempat di mana Sumaryanto menunggunya.Tampak oleh Thalia punggung seseorang yang mengenakan jaket hijau-hitam khas ojek online. Orang itu—Sumaryanto—tengah be
Akhirnya, meski dengan sedikit ragu, Thalia memutusan untuk menyentuh tombol hijau di layar ponselnya. Tak apalah mengambil sedikit resiko berbicara dengan sang mantan yang mungkin akan menagih uang untuk membayar helm mahalnya. "Halo, selamat si ... a...l ..." Belum selesai Thalia bicara, seorang perempuan di ujung sambungan menyemburnya. Untung saja mereka tidak sedang berhadapan, bisa-bisa muka Thalia basah terguyur hujan lokal. "Hei ... dasar cewek murahan, lonte, ba*****, tukang rebut pacar orang!! Sini kalau berani, kita ketemuan, jangan main belakang!!" "Oh, mantannya Bastian?! Ngajak gelud?! Oke, aku ladenin, mau ketemuan di mana?!" Seperti api tersiram bensin, Thalia terbakar emosi. "Pertigaan kuburan kembar jam sepuluh malam. Berani nggak situ?" "Kuburan kembar ...? Kecil, Bos! Jangankan kuburan kembar, kuburan tingkat pun aku datangin! Jangankan cuma kamu,
Lewat pukul sembilan malam Anita dan yang lain telah sampai kembali di kos. Dhimas langsung pulang dengan membawakan Bastian sekotak pizza ukuran sedang. Sedangkan Thalia langsung masuk ke kamar Anita di lantai dua, ia tak ingin mengganggu Anita dan Adrian yang sedang ingin berduaan. Thalia merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, lalu meletakkan tas itu di salah satu kasur yang ada di kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur itu. Ia melihat ponselnya, 21.27, waktu yang tertera di layar ponselnya. Ia menatap layar ponsel itu dengan muka cemberut, seperti selimut kusut. Seharusnya ia ada jadwal adu mulut, adu jotos dan adu jambak rambut dengan mantan pacar Bastian 33 menit lagi. Tak mungkin Thalia mau menemempuh tiga jam perjalanan hanya demi adu-adu tak berfaedah dengan mantan pacar Bastian itu. "Ssshh ..." desis Thalia kesal. Ia membayangkan betapa kesal dan marahnya setan berwujud gadis preman kuburan itu saat menyadari telah dipermainkan olehnya. Da
"Mau kamu apa?" tanya Thalia malas, sebelah tangannya menopang dagu. Matanya mengarah pada lalu lalang orang-orang di kantin kampus. Ia sama sekali tak ingin melihat penampakan sangar di depannya.Segelas es teh yang telah bermenit-menit diabaikan telah banyak berembun, meleleh, layaknya keringat atlet badminton yang minta dilap dengan lap kanebo, saking banyaknya. Embun meleleh membasahi meja."Ayo kita balikan." Bayu memohon dengan muka dibuat memelas, sebelah tangannya meraih tangan Thalia. "Kalau helmnya sih nggak masalah. Tapi kita balikan ya."Tetapi Thalia menarik tangannya dari genggaman tangan Bayu.Nada memelas Bayu itu kontras dengan tampang sangar brewokan dan alis tebalnya. Setiap yang melihat Bayu akan berpikir bahwa ia adalah seseorang yang harus dihindari. Lebih baik jangan dekat-dekat daripada terkena masalah. Padahal itu memang benar.Thalia melipat kedua tangannya di atas meja, membuang nafas malas lalu menoleh pada Bayu "Bay, ka
Mobil Bayu kini tengah melaju kencang di jalan tol. Zig-zag, serong ke kiri, serong ke kanan, mirip bebek angsa mata duitan. Perumpamaan yang buruk. Dan hanya dalam dua jam perjalanan mobil itu telah turun dari tol lewat Gerbang Waru Utama. "Ini di mana?" heran Thalia sambil menatap kagum pada menara menjulang tinggi sebuah masjid yang atapnya berwarna hijau toska yang tampak di kejauhan. "Surabaya." jawab Bayu santai. "Kamu mau menculik aku?!" "Aku nggak perlu menculik kamu. Aku cuma mau kita ketemuan sama mamaku." "Mama?" "Ya. Dia mau ketemu sama calon mantu." "Bay! Bercanda jangan keterlaluan dong! Ya Allah Ya Rab, sumpah, kamu bisa bikin emakku jantungan!" "Sudahlah, Yang. Aku tahu ibu kamu nggak keberatan kalau aku sama kamu." "Turunin aku sekarang!" ancam Thalia sambil mencari wujud menara menjulang yang kini hilang dari pandangan. "Yakin?" "Ya!" ketus Thalia. "Oke." tanpa rag