Sebuah tas ransel berisi beberapa helai pakaian, perlengkapan kamar mandi dan tentu saja dompet serta map transparan berisi persyaratan administratif untuk mengikuti sebuah seleksi bertengger manis di punggung seorang gadis berusia delapan belasan.
Di depan rumahnya, seorang laki-laki sebayanya telah menunggu di atas sepeda motor matic.
"Bu, aku berangkat." pamitnya setelah mencium punggung tangan ibunya.
"Ya, hati-hati." Balas sang ibu sambil mengelus kepala anak gadis satu-satunya. "Bas, tolong awasi dia, ya."
"Siap, Tante." jawab laki-laki teman si gadis.
"Assalaamu 'alaikum." ucap salam si gadis dan temannya.
"Wa 'alaikum salam." jawab sang ibu.
Gadis yang mengenakana jaket denim itu pun kemudian mengenakan helm dan naik ke jok belakang sepeda motor matic temannya. Di ceruk antara kemudi dan jog sepeda motor teronggok sebuah tas ransel si pengemudi alias teman si gadis.
Pengemudi itu menganggukkan kepala penuh hormat pada ibu si gadis.
Sang ibu melambaikan tangannya mengiringi kepergian putrinya. Dan sang putri membalas lambaian tangan ibunya.
Hari masih cukup pagi, baru sekitar pukul lima. Dan sengaja mereka berangkat pagi untuk menghindari teriknya matahari siang kota berjuluk kota ledre, serta demi menghindari macetnya ruas jalan menuju pertigaan kota wingko. Dengan begitu juga mereka bisa berkendara dengan santai menuju kota yang DULUNYA terkenal dengan hawa sejuk, entah kini seperti apa.
Dua remaja beda gender itu memilih rute kota asal seorang kiyai besar yang terkenal dengan jargonnya "Gitu aja kok repot', karena memang rute itu lebih dekat jika dibandingkan harus lewat Surabaya. Apalagi mereka mengendarai sepeda motor, mana bisa lewat tol?
Dan bagian terfavoritnya adalah ketika melewati daerah Kasembon, Ngantang, Pujon hingga Kota Batu, hawanya itu lo suejuk ... suejuk .... Berdasarkan perkiraan, mereka akan melewati wilayah itu antara pukul 7.30 hingga 8.30 an saat kabut sudah menyingkir dari area pegunungan itu.
.."Whuuuu ... ini keren, Bas." seru Thalia penuh semangat sambil merentangkan kedua tangannya.
"Norak, tahu?" ledek Bastian.
"Fakta ini, Bas. Fakta."
"Iya, tapi nggak perlu segitunya kali."
"Ya habis gimana? Aku baru pertama kali lewat sini. Sumpah ini keren."
"Ya ... ya ...."
"Nanti sarapan di mana?"
"Payung."
"Payung apaan?"
"Ada lah pokoknya nanti sebelum Batu, ada tempat nongkrong, nanti kita makan di sana." jelas singkat Bastian.
"Tempatnya enak, nggak?"
"Dijamin."
"Haalaaaal." seru keduanya kompak penuh semangat.
Syuuuuut ..., tiba-tiba Bastian mengerem mendadak. Membuat Thalia kelabakan saat posisi bokongnya bergesar beberapa senti ke depan. Sudahlah jog sepeda motor itu licin, ditambah Thalia memang tak berpegangan. Peluk pinggang, seperti orang pacaran? Yang benar saja? Pantang bagi Thalia. Dan inilah akibatnya, nempel ... emp ... uk.
Bugh!
"Adaw. Sakit, Non!" protes Bastian
"Sialan, kamu, Bas! Nyetir yang bener, donk. Mau cari kesempatan dalam kesengajaan ya?" maki Thalia sambil meninju punggung Bastian.
"Suudzon 'aja, sih. Itu ada kucing nyeberang. Lagian salah sendiri nggak mau pegangan." Bastian menghentikan laju sepeda motornya.
"Bukan mahram."
"Belagu!"
Di depan mereka seekor kucing sempat reflek menghentikan langkah kaki-kaki kecilnya saat sepeda motor Bastian tiba-tiba muncul. Kucing itu menoleh pada Bastian dan Thalia dengan mata menyipit, seperti sedang mengolok, waspada atau entah apa. Badannya berotot kekar dengan beberapa luka lecet bekas pertarungan. Sepertinya seekor penguasa wilayah. Ia menggondol sebujur ikan lele sebesar lengan Thalia.
"Lagian cuma kucing, sampai segitunya ngerem. Cepat jalan!"
Setelah kucing itu lewat, Bastian kembali melajukan sepeda motornya.
"Sembarangan. Entar kuwalat baru tahu bulat."
"Tahu rasa!"
"Rasa stroberi apa coklat?"
"Rasa pete."
Begitulah, tak pernah sejoli sahabat itu melewatkan perdebatan dalam setiap pertemuan mereka. Namanya juga teman akrab dari orok.
.."Kok berhenti?" tanya Thalia heran.
"Katanya mau sarapan?" sanggah Bastian.
"Katanya di payung?"
"Ya ini Payung." Bastian menegaskan.
"Mana payungnya?"
"Tempat ini namanya Payung."
"Hah?" Thalia masih berpikir.
Payung yang Thalia bayangkan adalah sebuah tempat—kafe, rest area atau apa pun—yang memiliki meja-meja dengan payung besar. Sedangkan tempatnya berada saat ini adalah rest area, bukan seperti rest area di jalan tol melainkan deretan kedai-kedai bambu lesehan di satu sisi jalan yang berupa lereng pegunungan.
Tapi tak disangkal, tempat ini memang bagus. Di sisi kanan jalan berupa bukit dengan barisan pohon-pohon pinus. Dan di sisi kiri warung-warung berderet di sepanjang jalan. Di balik kedai, tampak pemandangan di bawah pegunungan berupa pemukiman, vila-vila dan hotel-hotel.
Thalia mengikuti Bastian memasuki salah satu kedai. Sengaja Bastian memilih tempat paling dalam, atau tepatnya paling tepi dari kedai itu agar mereka bisa menikmati pemandangan luas yang terhampar di bawah—pemandangan Kota Batu.
Dan tak lupa, SELFIE. Kegiatan yang seolah wajib bagi setiap pengguna ponsel dalam setiap travelling.
Beberapa jepretan telah tersimpan dalam ponsel Thalia dan Bastian, baik di dalam maupun di luar kedai. Berbagai objek mereka abadikan—diri mereka sendiri, pemandangan spektakuler, pohon-pohon, awan-awan, makanan, minuman, bahkan kerikil nyempil pun tak ketinggalan.
Berbagai pose juga mereka lakukan—berdiri, duduk, jongkok, merentangkan tangan, rebahan, menunduk, mendongak, pura-pura terjun bebas, mengedipkan mata, makan, minum, mengupil ..., eh ...?"
Dipilih ... dipilih ... dipilih ... semua foto dipilih dan diposting. Akun medsos mereka pun menampilkan foto yang sebagian kecil aesthetic sisanya ... astaghfirullah ....
Perut kenyang, hati pun senang.
Lanjut ke Kota Malang, tarik, Bang."Kayanya nanti malam nginap di sini enak deh." seloroh Bastian ketika mereka melewati jalanan Kota Batu yang di kiri-kanannya banyak hotel dan vila, bukan pohon cemara. Pohon cemaranya sudah lewat tadi di Pujon.
"Excuse me?" sahut Thalia dengan penekanan.
"Kenapa?"
"Ooh ... nggak apa-apa, cuma nggak jelas aja dengarnya." kilah Thalia kemudian.
"Pasti suudzon lagi, 'ni."
"Nggak."
..Setelah perjalanan etape kedua, jjiahh memangnya Tour de France, di mana mereka harus bermacet-macet ria di sekitar Dinoyo dan Sumbersari, sampailah kedua sahabat Basthard—Bastian Thalia absurd—di komplek kampus universitas negeri yang identik dengan lambang Ganesha.
Dan di sinilah dua orang sahabat sekampung, se-TK, se-SD, se-SMP, se-SMA sedang duduk-duduk di sebuah gazebo di dalam komplek kampus tersebut. Dan kesan ndeso pun tak bisa disembunyikan. Biarlah, nantinya juga mereka bisa menyesuaikan diri. Dan apakah sejoli Basthard akan berlanjut sekampus, sefakultas? Kita lihat saja nasib mereka dalam beberapa hari ke depan.
Bastian mengeluarkan ponsel dari salah satu kantong ranselnya. Waktu menunjukkan pukul 09.36 WIB di layar ponsel. Bastian mencari sebuah nama dalam daftar kontaknya, lalu menelepon nama itu.
"Yo, Bas." sapa suara di seberang.
"Yo, Dhim. Aku sudah di kampusmu." jawab Bastian.
"Di mana tepatnya?"
"Sebentar, ini di mana ya? Ya, Lia, ini di mana?"
"Aku juga nggak tahu."
"Nggak tahu ini, Dhim."
"Di sekitar kamu, kamu lihat apa?"
"Oh ini, ada lapangan besar, di dekatnya ada gedung yang tinggi."
"Oh, rektorat. Oke, kamu tunggu aja di sana. Aku paling sekitar sepuluh menit sampai di tempat kamu. Aku lagi nggak di kampus soalnya, jadi agak lama."
"Oke, Dhim."
..Setelah melewati ruas jalan di depan perpustakaan besar kampus dan hasilnya nihil, Dhimas memutar balik sepeda motornya, lalu melewati jalan di sisi lain lapangan di depan rektorat. Dan di sinilah duo Bhasthard telah menunggu.
"Hei, Bastian." sapa Dhimas sambil melepas helm.
"Hei, Dhimas."
Kedua teman yang sudah setahun tak bersua itu saling berjabat tangan.
"Oh ya, Dhim, kenalin ini temanku."
Dhimas dan Thalia saling mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dan berkenalan.
"Dhimas."
"Thalia."
Serasa terhipnotis, teman Bastian yang berambut gondrong itu memelototi, bukan, melainkan menatap terpesona pada sosok gadis berkulit sawo matang dengan rambut lurus yang diikat longgar di bawah tengkuknya.
"Sudah, lepas!" suara Bastian membuyarkan keterpesonaan Dhimas. "Bukan mahram."
"Apaan, sih." protes Dhimas.
Sedangkan Thalia tersenyum canggung.
"Ya sudah, kita ke kantin sekarang."
"Nggak usah, Dhim. Kita sudah sarapan, kok." Bastian pura-pura menolak.
"Beneran, 'ni? Bagus lah, berarti aku nggak perlu nraktir kamu."
"Sialan!"
"Kamu sendiri yang nolak. Yuk lah, cepetan! Aku belum sarapan."
Ketiga orang itu kemudian meninggalkan posisi mereka semula di depan Widyaloka. Bastian dan Thalia berboncengan, mengekori Dhimas menuju parkiran Fakultas Ekonomi. Lalu ketiganya berjalan menuju kantin.
_______
"By the way kalian berdua ambil jurusan apa?" Dhimas membuka obrolan selagi menunggu pesanannya datang. "Akuntansi" jawab Bastian setelah menyedot jus kopi. Jus kopi? Adakah? Pokoknya itu lah. "Kalau kamu, Thalia?" Dhimas mengalihkan pandangannya pada Thalia di posisi diagonal darinya. "Sama." jawab Thalia singkat sambil mengaduk-aduk jus tomat. "Kalian pacaran? Sehidup semati?" "Mana ada?!" tukas Thalia dan Bastian serempak. "Demi nurutin ortu, Kak." jawab Thalia kemudian. "Lhah, yang kuliah kamu apa orang tua kamu?" "Long story. Mending nggak usah dibahas." "Kalau kamu, Bas?" "Aku ngikutin dia." Bastian menunjuk pundak Thalia. "Bucin, nih, ceritanya?" "Nggak dengar apa tadi? Nggak ada urusannya sama cinta-cintaan. Aku cuma nggak yakin aja minatku di mana, daripada bingung ya aku ngikut dia 'aja. 'kan lumayan, kali 'aja nanti butuh contekan." "Parasit." ledek Thalia. "Mut
Dari kampus perguruan tinggi berlambang Ganesha, Dhimas membawa kedua tamunya ke tempat kosnya. Dhimas dan Bastian memarkir sepeda motor di garasi yang berjarak dua puluh meter dari kamar Dhimas. Dan untuk sampai ke sana ia dan kedua tamunya harus melewati beberapa kamar. Beberapa kamar sepertinya sedang ditinggalkan oleh penghuninya, terlihat dari pintu dan tirainya yang tertutup. Sedangkan kamar-kamar lain pintunya terbuka, membiarkan aktivitas di dalamnya terlihat. Tampak oleh Thalia dan Bastian ada tamu perempuan di dalam satu atau dua kamar di antaranya. Positive thinking, hanya teman yang sedang bertamu. Sepertinya itu yang duo Basthard pikirkan. Seperti halnya Thalia saat ini yang terpaksa menitipkan bawaannya di kos Dhimas. "Masuk." Dhimas mempersilahkan Bastian dan Thalia masuk setelah ia membuka pintu kamarnya yang sebelumnya terkunci. "Iya." jawab Thalia. Pandangan Thalia menyisir ke sudut-sudut kamar itu, tapi ia berusaha agar tak
Dhimas memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket."Kamu punya aplikasi ojol nggak?""Ada." Thalia menjawab dengan enggan."Tolong kamu pesan ojol sekarang, kamu balik ke kos bawa kunci, bukain Bastian pintu!""Terus kamu gimana, Kak?""Nggak usah dipikirin! Yang penting sekarang Bastian nggak b***r di kamarku!" wajah Dhimas mengernyit menahan cahaya matahari agar tak semakin banyak menimpa retinanya."Oke deh, aku pesan sekarang." segera saja Thalia menuruti perkataan Dhimas. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya dan membuka aplikasi ojek online. Tanpa ragu dipilihnya titik penjemputan sesuai lokasinya dalam peta. Namun, kemudian ia berhenti. "Kak, tujuannya mana?""Masukin aja nama tempat kosku, 'Kos Tinggal Kenangan'." instruksi singkat dari Dhimas.Thalia mengetikkan nama yang Dhimas sebutkan pada kolom tujuan. Ketemu. Dan setelahnya, Thalia membuat pesanan.Beres. Tinggal menunggu kang ojol datang.
Akhirnya pada percobaan ke-43, pintu kamar berhasil terbuka, menyisakan satu buah kunci. Langsung saja, Bastian menerobos kerumunan yang bergerombol di depan pintu kamar Dhimas."Mas, salah! Kamar mandinya bukan di sana." teriak seseorang di antara kerumunan.aBastian lupa ini bukan di tempat kosnya yang lama—kos semasa SMA.Bastian mengerem mendadak, seperti sepeda motor dengan rem cakram depan belakang, lalu langsung berbalik arah. Dan langsung tancap gas lagi. Tepat di ujung lorong, Bastian menoleh kiri-kanan, gamang membuat pilihan antara belok kiri atau kanan. Tak nampak olehnya keberadaan kamar kecil."Kanan, Mas." Teriak salah seorang di antara kerumunan di depan kamar Dhimas.Tanpa mengucapkan 'terima kasih' Bastian langsung berbelok sesuai petunjuk suara yang tadi meneriakinya. Lalu berbelok ke kanan sekali lagi. Dan tampaklah empat pintu berderet.Tapi sialnya keempat pintu tertutup."Ada orangnya nggak?" Bastian menge
Dengan ragu, Thalia memutuskan untuk menjawab panggilan di ponselnya."Ya, halo ..., dengan siapa?" jawab Thalia dengan suara mengambang."Saya Sumaryanto, Mbak. Masih setia menunggu di luar, sampai Mbak mau menemui saya.""Sumaryanto ..." Thalia masih mencoba mencerna nama itu dalam kepalanya."Ojol, Mbak.""Lhoh, kenapa, Mas?""Mbak 'kan belum bayar, helm saya juga masih dibawa sama Mbak?""Haah?" dengan keterkejutannya, Thalia menoleh ke arah ambang pintu kamar. Dan benar saja, ada sebuah helm yang tak ia kenali menggelundung di samping pintu. "Ya Allah, sori Mas. Tadi saya buru-buru banget soalnya. Tunggu ya, Mas. Tunggu sebentar, saya keluar sekarang."Langsung saja Thalia menyambar helm dan tasnya. Kemudian berjalan cepat-cepat menuju ke luar, ke tempat di mana Sumaryanto menunggunya.Tampak oleh Thalia punggung seseorang yang mengenakan jaket hijau-hitam khas ojek online. Orang itu—Sumaryanto—tengah be
Akhirnya, meski dengan sedikit ragu, Thalia memutusan untuk menyentuh tombol hijau di layar ponselnya. Tak apalah mengambil sedikit resiko berbicara dengan sang mantan yang mungkin akan menagih uang untuk membayar helm mahalnya. "Halo, selamat si ... a...l ..." Belum selesai Thalia bicara, seorang perempuan di ujung sambungan menyemburnya. Untung saja mereka tidak sedang berhadapan, bisa-bisa muka Thalia basah terguyur hujan lokal. "Hei ... dasar cewek murahan, lonte, ba*****, tukang rebut pacar orang!! Sini kalau berani, kita ketemuan, jangan main belakang!!" "Oh, mantannya Bastian?! Ngajak gelud?! Oke, aku ladenin, mau ketemuan di mana?!" Seperti api tersiram bensin, Thalia terbakar emosi. "Pertigaan kuburan kembar jam sepuluh malam. Berani nggak situ?" "Kuburan kembar ...? Kecil, Bos! Jangankan kuburan kembar, kuburan tingkat pun aku datangin! Jangankan cuma kamu,
Lewat pukul sembilan malam Anita dan yang lain telah sampai kembali di kos. Dhimas langsung pulang dengan membawakan Bastian sekotak pizza ukuran sedang. Sedangkan Thalia langsung masuk ke kamar Anita di lantai dua, ia tak ingin mengganggu Anita dan Adrian yang sedang ingin berduaan. Thalia merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, lalu meletakkan tas itu di salah satu kasur yang ada di kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur itu. Ia melihat ponselnya, 21.27, waktu yang tertera di layar ponselnya. Ia menatap layar ponsel itu dengan muka cemberut, seperti selimut kusut. Seharusnya ia ada jadwal adu mulut, adu jotos dan adu jambak rambut dengan mantan pacar Bastian 33 menit lagi. Tak mungkin Thalia mau menemempuh tiga jam perjalanan hanya demi adu-adu tak berfaedah dengan mantan pacar Bastian itu. "Ssshh ..." desis Thalia kesal. Ia membayangkan betapa kesal dan marahnya setan berwujud gadis preman kuburan itu saat menyadari telah dipermainkan olehnya. Da
"Mau kamu apa?" tanya Thalia malas, sebelah tangannya menopang dagu. Matanya mengarah pada lalu lalang orang-orang di kantin kampus. Ia sama sekali tak ingin melihat penampakan sangar di depannya.Segelas es teh yang telah bermenit-menit diabaikan telah banyak berembun, meleleh, layaknya keringat atlet badminton yang minta dilap dengan lap kanebo, saking banyaknya. Embun meleleh membasahi meja."Ayo kita balikan." Bayu memohon dengan muka dibuat memelas, sebelah tangannya meraih tangan Thalia. "Kalau helmnya sih nggak masalah. Tapi kita balikan ya."Tetapi Thalia menarik tangannya dari genggaman tangan Bayu.Nada memelas Bayu itu kontras dengan tampang sangar brewokan dan alis tebalnya. Setiap yang melihat Bayu akan berpikir bahwa ia adalah seseorang yang harus dihindari. Lebih baik jangan dekat-dekat daripada terkena masalah. Padahal itu memang benar.Thalia melipat kedua tangannya di atas meja, membuang nafas malas lalu menoleh pada Bayu "Bay, ka