Dhimas memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket."Kamu punya aplikasi ojol nggak?"
"Ada." Thalia menjawab dengan enggan.
"Tolong kamu pesan ojol sekarang, kamu balik ke kos bawa kunci, bukain Bastian pintu!"
"Terus kamu gimana, Kak?"
"Nggak usah dipikirin! Yang penting sekarang Bastian nggak b***r di kamarku!" wajah Dhimas mengernyit menahan cahaya matahari agar tak semakin banyak menimpa retinanya.
"Oke deh, aku pesan sekarang." segera saja Thalia menuruti perkataan Dhimas. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya dan membuka aplikasi ojek online. Tanpa ragu dipilihnya titik penjemputan sesuai lokasinya dalam peta. Namun, kemudian ia berhenti. "Kak, tujuannya mana?"
"Masukin aja nama tempat kosku, 'Kos Tinggal Kenangan'." instruksi singkat dari Dhimas.
Thalia mengetikkan nama yang Dhimas sebutkan pada kolom tujuan. Ketemu. Dan setelahnya, Thalia membuat pesanan.
Beres. Tinggal menunggu kang ojol datang.
"Aku tinggal dulu nggak apa-apa 'kan?"
"Iya, Kak. Tinggal aja, daripada di sini ngapain? Mending cepet cari tukang tambal ban."
"Sori, ya. Thalia. Nggak tahu kalau bakal jadi kaya' gini."
"Nggak apa-apa, memangnya siapa yang tahu? Sudah sana buruan! Aku tinggal nunggu kang ojolnya datang 'kan. Santai aja!" Thalia meyakinkan Dhimas bahwa dirinya akan baik-baik saja.
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya."
Setelah menyerahkan kunci kamar pada Thalia, Dhimas pun pergi meninggalkan Thalia sendiri, melanjutkan pencarian tukang tambal ban.
_______
Sementara itu Bastian yang masih terkurung dalam kamar Dhimas merasakan mulas di perutnya semakin menjadi-jadi. Ia gelisah, mondar-mandir ke sana-kemari, duduk-berdiri, jongkok-berdiri lagi, sambil terus meremas perutnya. Wajahnya berkerut tak berbentuk. Pucat. Berkeringat. Lalu berguling-guling di kasur sambil merintih, meracau dan sesekali mengutuk pemilik kamar. Keadaannya saat ini sudah mirip perempuan mau melahirkan.
Tup ... tup ... Ia merasakan 'calon bayinya' sudah muntup-muntup di pintu keluar dan siap melihat dunia.
"Aarrgh ...!!" Teriak Bastian tak tahan lagi. Ia pun lalu beranjak dari kasur, berlari menuju sambil memegangi pantat dan perutnya.
DORR ... DORR ... DORR ...!! Bukan suara tembakan, melainkan pintu yang digedor dari dalam.
"Tolong ... siapa 'aja tolooong ...!!" Bastian berteriak sejadi-jadinya.
Mendengar gedoran sekaligus teriakan minta tolong, beberapa orang langsung mendatangi sumber suara.
"Ada apa? Ada apa?!" Tanya orang-orang yang sudah bergerombol di depan pintu kamar Dhimas.
"Tolong, Mas. Saya kekunci, nggak bisa keluar. Dan sekarang saya sakit perut!" Bastian meringis menahan sakit.
"Lho, kok bisa kekunci?"
"Ngak tahu, Mas, teman saya lupa mungkin .... Aduh, Mas, nggak penting. Yang penting sekarang tolong bukain pintu, sudah nggak tahan 'ni!" Bastian sudah hampir berteriak saat itu gara-gara pertanyaan tak penting dari seseorang yang tak dikenalnya. Dalam situasi genting seperti ini, mencari solusi lebih penting daripada mencari penyebab.
"Terus Dhimas ke mana?"
"NGGAK TAHU ...!! CEPETAN BUKAIN!!" Bastian pun berteriak tak tahan dengan keadaannya saat ini.
"Cepet panggil Mak Ting, pinjam kunci master!" sahut yang lain.
"Mak Ting nggak ada, lagi arisan." sahut yang lain lagi.
"Pak Gal, kalau gitu!"
"Pak Galih ngantar Mak Ting."
Gerombolan di depan kamar terus bersahutan.
"Mas Ken, Mas Kenta aja!"
"Sebentar aku panggil." sahut seseorang lagi lalu pergi.
Tak lama kemudian orang itu kembali. "Mas Ken nggak ada."
"Mas Nanang?"
"Mas Nang juga nggak ada."
"Waduh, gimana ini? Sebentar ya, sabar." Seseorang mencoba menenangkan Bastian yang wajahnya semakin pucat. "Eh ya, kan ada Aan."
"Oh ya, kok nggak kepikiran ya." orang yang tadi mencari Kenta menepuk jidatnya.
"Sudah sana, cepat!"
Orang itu lalu kembali ke rumah pemilik kos yang terletak di depan. Lalu selang beberapa menit kemudian ia kembali bersama seorang anak yang terlihat seperti anak SD membawa seombyok kunci.
"An, banyak banget kuncinya ..." protes seseorang di antara gerombolan.
"Masternya hilang." jawab anak bernama Aan singkat.
Dari seombyok kunci yang berisi puluhan kunci cadangan kamar kos itu, pastilah ada satu yang cocok. Hanya saja, mungkin akan sedikit butuh proses karena kunci-kunci itu tak bernomor. Tak apalah, hanya perlu mencobanya satu-satu aku sayang ibu. Pasti ketemu, hanya soal waktu.
Aan pun melakukan percobaan pertama. Gagal. Percobaan kedua, masih gagal. Dan seterusnya.
_______
Lima belas menit menunggu di titik penjemputan, Thalia mulai bosan. Dan cemas. Dan lelah. Lima belas menit yang terasa bagai lima belas tahun. Menunggu kang ojol di saat genting di tempat asing itu melelahkan, lebih melelahkan daripada menunggu dilamar.
"Di mana sih kang ojol itu? Lama banget." gerutu Thalia sambil memantau pergerakan gambar sepeda motor di peta aplikasi ojek online.
Gambar itu tampak beberapa kali berbelok, berbalik arah, berputar-putar di lokasi yang seharusnya tak jauh dari posisi Thalia saat ini. Seharusnya kang ojol itu ada di hadapannya saat ini. Namun, Thalia tak juga mendapati sosok akang yang sangat dinantikannya. Ada apakah gerangan?
Mungkinkah kang ojol itu adalah sosok tak kasat mata? Atau justru dirinyalah yang tak kasat mata? Seperti seorang superticiuous¹, pikiran Thalia menggiring akal sehatnya pada cerita-cerita tentang kesialan para kang ojol yang dipermainkan oleh order fiktif ulah mbak-mbak penghuni dunia lain. Ah ... mana mungkin.
Ponsel Thalia berdering. Muncul nomor yang telah empat kali menghubunginya, dan ini yang kelima.
"Mbak, di mana sih, kok nggak kelihatan? Saya sudah capek muter-muter dari tadi."
"Saya juga sudah capek nungguin dari tadi, Mas. Dan ini saya sudah di perempatan, tapi nggak ada nama jalannya. Harusnya 'kan Mas sudah sampai di tempat saya. Ini di peta ada, tapi kok nggak kelihatan."
Perempatan itu adalah titik ketiga yang didatangi Thalia demi mengakhiri penantiannya. Namun, hingga di titik itu Thalia masih belum berhasil mendapatkan sesuatu untuk dijadikan penanda lokasi. Thalia juga sudah membagikan lokasi terkini dan koordinat posisinya di peta digital pada kang ojol itu, tetapi cara itu belum juga berhasil.
Thalia menyesal membiarkan Dhimas meninggalkannya.
"Iya, Mbak. Seharusnya saya bisa lihat Mbak, tapi kok nggak ada?"
Sesaat keduanya sama-sama terdiam.
"Mbak ... Mbak manusia 'kan."
Deg .... Plass ... Hati Thalia mencelos. Mungkinkah tanpa ia sadari jiwanya telah berpisah dari raganya?
"MAS! Ya jelas saya manusia lah." Thalia tak terima dengan perkataan kang ojol, yang berdasarkan aplikasi bernama Sumaryanto, yang telah secara tak langsung menyebutnya makhluk astral.
"Mbak, cancel aja, ya. Capek saya nyari. Mbak buat order lagi aja."
"Mas ... Mas ..., jangan donk, Mas! Mas tolong, Mas, plis. Saya nggak kenal daerah sini. Saya takut nggak bisa pulang." rengek Thalia panik nyaris putus asa.
Sumaryanto mendesah lelah. "Ya sudah, saya cari sekali lagi."
"Tolong ya, Mas."
"Iya. Tapi, Mbak, apa di sana nggak ada sesuatu, apa gitu, bangunan, kafe, monumen atau apalah gitu yang bisa dijadikan ancer-ancer?"
"Nggak ada, Mas. di sini cuma ada rumah-rumah."
Terdengar kang ojol berdecak. "Gini deh, Mbak. Mbak jalan sekali lagi sampai ketemu sesuatu, apa 'aja lah, warkop, bimbel atau apa 'aja ..."
"Iya, tapi teleponnya jangan dimatiin ya, Mas."
"Iya, Mbak." terdengar suara Sumaryanto mencoba bersabar.
Lima menit berjalan kaki, akhirnya Thalia menemukan sebuah tempat yang bisa dijadikan penanda lokasinya. Matanya berbinar bahagia melihat sebuah papan nama, meskipun ia sedikit ngeri dengan tulisan yang ada di papan itu.
"Mas, dapat, Mas!" seru Thalia girang. "Sekarang saya di 'Dunia Lain'."
"APA MBAK?! DUNIA LAIN? Mbak, jangan bercanda donk! Mbak masih hidup 'kan?"
"MAS!!" Thalia kembali tak terima dengan pertanyaan konyol Sumaryanto. "Saya masih hidup! Ini 'tu bukan dunia lain yang tempatnya makhluk astral. Ini nama ... apa ya? Sebentar, saya lihat. Angkringan. Angkringan Dunia Lain. Cari 'aja di peta, Mas! Saya tunggu di sini!"
"Oke, Mbak. Jangan ke mana-mana."
Setelah memutus sambungan telepon dengan Sumaryanto, Thalia membuka aplikasi peta digital. Fokusnya tertuju pada titik biru pada peta, lalu bergeser pada sebuah tulisan berbunyi 'Angkringan Dunia Lain'. Aneh, titik biru yang menandakan posisinya saat ini terpisah jarak dari Angkringan Dunia Lain, sementara riilnya Thalia berada tepat di depan di tempat itu. Lalu ia mencoba membuka rute dari titik biru ke angkringan dan memilih sepeda motor sebagai moda transportasi. Aplikasi menyebutkan bahwa waktu tempuhnya adalah 3 menit.
Pantas saja tadi ia tak kasat mata. Rupanya ada yang salah pada peta itu. Bukan peta itu sebenarnya yang bermasalah, melainkan akurasi pada ponselnya yang perlu dipertanyakan, mungkin perlu dikalibrasi ulang.
Thalia pun mengkalibrasi magnet pada ponselnya. Ia membuat gerakan seperti anak kecil bermain pesawat terbang. Tak ada perubahan yang nampak pada ponselnya. Sial! Apa karena ponselnya sering terjatuh sehingga melemahkan magnetnya?
Sumaryanto Kang Ojol yang wajahnya tersembunyi di balik helm full face akhirnya muncul di hadapannya. Tanpa bicara lagi, setelah menerima helm dari Sumaryanto, Thalia langsung nagkring saja di bagian belakang sadel sepeda motor. Satu permasalahan Thalia terselesaikan. Entahlah mungkin masih akan ada permasalahan lain yang sedang menunggu mereka. Siapa yang tahu?
_______
Sementara itu sudah lebih dari setengah jam Dhimas menyusuri jalan sambil dalam hatinya mendendangkan lagu 'Gelandangan' milik Raja Dangdut yang terus berputar-putar dalam kepalanya. Beruntung ia tak harus memakan sisa orang. Pencariannya berakhir sudah. Ia mendapatkan sebuah kios tambal ban.
Dhimas terpaksa menunggu cukup lama di sebuah lapak tambal ban. Pemiliknya sedang ke 'belakang', kata seseorang yang sedang menemani secangkir kopi. Baiklah, Dhimas tak punya pilihan lain. 'Belakang", Dhimas mendengus kesal saat mendengar kata itu.
Masalah belum selesai.
"Mas, ini bukan bocor lagi, tapi sobek." kata tukang tambal ban sambil menunjukkan sobekan di ban bagian belakang sepeda motor Dhimas.
"Sobek, Pak?" Dhimas hampir tak percaya dengan yang didengarnya.
"Ya, Mas."
Dhimas meninggalkan bangku panjang tempatnya semula duduk, lalu berjongkok di samping sepeda motornya. Ia melihat dengan teliti pada bannya.
Benar, ban itu sobek. Memang seharusnya ban itu sudah diganti dua bulan yang lalu. Namun, apalah daya, jatah perawatan sepeda motor terpaksa dialokasikan pada pembuatan maket desain apartemen mewah berharga murah yang menjadi tugas kelompok untuk salah satu mata kuliahnya. Apes.
Sebelum tukang tambal melanjutkan presentasinya, Dhimas sudah memperkirakan apa yang akan dikatakan laki-laki berkulit gelap karena terbakar matahari itu.
"Harus ganti, Mas. Sebenarnya bannya untuk sementara bisa dibikin jadi ban biasa, bukan ban tubles ..."
Dhimas sempat mencemooh dalam hati saat mendengar laki-laki itu menyebut 'tubeless' dengan 'tubles' dangan suku kata 'bles' diucapkan seperti pada kata 'ambles'. Maklum, lidah Jawa.
Lalu Dhimas melihat dengan miris pada sisi dalam ban sepeda motornya yang sudah ramai dengan tambalan tip-top dan tusuk. Seketika ia merasa menjadi orang termiskin di dunia, jangankan permata, beli ban sepeda motor saja tak bisa.
"Tinggal kasih ban dalam saja. Tapi saya nggak jual ban dalam motor besar. Jarang ada yang cari soalnya. Rugi, mahal ... bleh ... bleh ...bleh ..."
Dhimas tak begitu peduli dengan apa yang dikatakan laki-laki itu. Ia tak butuh presentasi panjang lebar tanpa solusi. Ya, solusi, itu yang penting.
"Di mana ada yang jual, Pak?"
"Kurang tahu saya, Mas."
"Ya sudah, Pak."
Dhimas mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket dan memandangi ponselnya dengan merana. Ponsel kritis itu kini sedang sekarat. Hanya 3% daya tersisa. Dengan berat hati Dhimas membuka ponselnya, lalu mencari kontak bengkel ban langganannya.
"Whoi, tumben telepon. Ada apa?" suara di seberang itu seolah tahu, Dhimas sedang butuh sesuatu.
"Banku sobek."
"Depan apa belakang?"
"Belakang. Butuh sekarang juga, bisa kirim sekarang nggak?"
"Kamu lagi di jalan?"
"Iya, di Jl. Bondowoso."
"Sebelah mana?"
"Tambal ban, dekat pertigaan Jl. Jombang."
"Oh situ. Ya udah, tunggu sebentar. Aku segera meluncur ke sana."
Tetapi sebentar yang di maksud oleh seseorang yang akan mengirim ban itu tidaklah kurang dari lima menit, bahkan kalau sedang sial bisa lebih dari setengah jam. Mengingat bengkel ban langganan Dhimas itu berada di daerah yang lalu lintasnya sangat padat di jam seperti sekarang ini—menjelang tengah hari—di sekitar Dinoyo. Apalagi untuk mencapai lokasi Dhimas, orang itu harus melewati jalan-jalan yang juga padat dan semrawut.
Jadi pilihan Dhimas saat ini hanyalah bersabar sambil menemani secangkir kopi dan dua orang laki-laki yang sedang asik mabar simulator bus sambil misuh-misuh karena sering bertabrakan.
Dan selagi Dhimas menunggu, ponselnya pun tewas. Tak tertolong. Sebenarnya Dhimas sempat hendak mengisi daya di lapak tambal ban, tetapi ia tak membawa charger maupun kabel. Ada charger pemilik lapak, tetapi kabelnya tak cocok dengan ponsel mahalnya.
_______
1. superticious : percaya takhyul
Akhirnya pada percobaan ke-43, pintu kamar berhasil terbuka, menyisakan satu buah kunci. Langsung saja, Bastian menerobos kerumunan yang bergerombol di depan pintu kamar Dhimas."Mas, salah! Kamar mandinya bukan di sana." teriak seseorang di antara kerumunan.aBastian lupa ini bukan di tempat kosnya yang lama—kos semasa SMA.Bastian mengerem mendadak, seperti sepeda motor dengan rem cakram depan belakang, lalu langsung berbalik arah. Dan langsung tancap gas lagi. Tepat di ujung lorong, Bastian menoleh kiri-kanan, gamang membuat pilihan antara belok kiri atau kanan. Tak nampak olehnya keberadaan kamar kecil."Kanan, Mas." Teriak salah seorang di antara kerumunan di depan kamar Dhimas.Tanpa mengucapkan 'terima kasih' Bastian langsung berbelok sesuai petunjuk suara yang tadi meneriakinya. Lalu berbelok ke kanan sekali lagi. Dan tampaklah empat pintu berderet.Tapi sialnya keempat pintu tertutup."Ada orangnya nggak?" Bastian menge
Dengan ragu, Thalia memutuskan untuk menjawab panggilan di ponselnya."Ya, halo ..., dengan siapa?" jawab Thalia dengan suara mengambang."Saya Sumaryanto, Mbak. Masih setia menunggu di luar, sampai Mbak mau menemui saya.""Sumaryanto ..." Thalia masih mencoba mencerna nama itu dalam kepalanya."Ojol, Mbak.""Lhoh, kenapa, Mas?""Mbak 'kan belum bayar, helm saya juga masih dibawa sama Mbak?""Haah?" dengan keterkejutannya, Thalia menoleh ke arah ambang pintu kamar. Dan benar saja, ada sebuah helm yang tak ia kenali menggelundung di samping pintu. "Ya Allah, sori Mas. Tadi saya buru-buru banget soalnya. Tunggu ya, Mas. Tunggu sebentar, saya keluar sekarang."Langsung saja Thalia menyambar helm dan tasnya. Kemudian berjalan cepat-cepat menuju ke luar, ke tempat di mana Sumaryanto menunggunya.Tampak oleh Thalia punggung seseorang yang mengenakan jaket hijau-hitam khas ojek online. Orang itu—Sumaryanto—tengah be
Akhirnya, meski dengan sedikit ragu, Thalia memutusan untuk menyentuh tombol hijau di layar ponselnya. Tak apalah mengambil sedikit resiko berbicara dengan sang mantan yang mungkin akan menagih uang untuk membayar helm mahalnya. "Halo, selamat si ... a...l ..." Belum selesai Thalia bicara, seorang perempuan di ujung sambungan menyemburnya. Untung saja mereka tidak sedang berhadapan, bisa-bisa muka Thalia basah terguyur hujan lokal. "Hei ... dasar cewek murahan, lonte, ba*****, tukang rebut pacar orang!! Sini kalau berani, kita ketemuan, jangan main belakang!!" "Oh, mantannya Bastian?! Ngajak gelud?! Oke, aku ladenin, mau ketemuan di mana?!" Seperti api tersiram bensin, Thalia terbakar emosi. "Pertigaan kuburan kembar jam sepuluh malam. Berani nggak situ?" "Kuburan kembar ...? Kecil, Bos! Jangankan kuburan kembar, kuburan tingkat pun aku datangin! Jangankan cuma kamu,
Lewat pukul sembilan malam Anita dan yang lain telah sampai kembali di kos. Dhimas langsung pulang dengan membawakan Bastian sekotak pizza ukuran sedang. Sedangkan Thalia langsung masuk ke kamar Anita di lantai dua, ia tak ingin mengganggu Anita dan Adrian yang sedang ingin berduaan. Thalia merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, lalu meletakkan tas itu di salah satu kasur yang ada di kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur itu. Ia melihat ponselnya, 21.27, waktu yang tertera di layar ponselnya. Ia menatap layar ponsel itu dengan muka cemberut, seperti selimut kusut. Seharusnya ia ada jadwal adu mulut, adu jotos dan adu jambak rambut dengan mantan pacar Bastian 33 menit lagi. Tak mungkin Thalia mau menemempuh tiga jam perjalanan hanya demi adu-adu tak berfaedah dengan mantan pacar Bastian itu. "Ssshh ..." desis Thalia kesal. Ia membayangkan betapa kesal dan marahnya setan berwujud gadis preman kuburan itu saat menyadari telah dipermainkan olehnya. Da
"Mau kamu apa?" tanya Thalia malas, sebelah tangannya menopang dagu. Matanya mengarah pada lalu lalang orang-orang di kantin kampus. Ia sama sekali tak ingin melihat penampakan sangar di depannya.Segelas es teh yang telah bermenit-menit diabaikan telah banyak berembun, meleleh, layaknya keringat atlet badminton yang minta dilap dengan lap kanebo, saking banyaknya. Embun meleleh membasahi meja."Ayo kita balikan." Bayu memohon dengan muka dibuat memelas, sebelah tangannya meraih tangan Thalia. "Kalau helmnya sih nggak masalah. Tapi kita balikan ya."Tetapi Thalia menarik tangannya dari genggaman tangan Bayu.Nada memelas Bayu itu kontras dengan tampang sangar brewokan dan alis tebalnya. Setiap yang melihat Bayu akan berpikir bahwa ia adalah seseorang yang harus dihindari. Lebih baik jangan dekat-dekat daripada terkena masalah. Padahal itu memang benar.Thalia melipat kedua tangannya di atas meja, membuang nafas malas lalu menoleh pada Bayu "Bay, ka
Mobil Bayu kini tengah melaju kencang di jalan tol. Zig-zag, serong ke kiri, serong ke kanan, mirip bebek angsa mata duitan. Perumpamaan yang buruk. Dan hanya dalam dua jam perjalanan mobil itu telah turun dari tol lewat Gerbang Waru Utama. "Ini di mana?" heran Thalia sambil menatap kagum pada menara menjulang tinggi sebuah masjid yang atapnya berwarna hijau toska yang tampak di kejauhan. "Surabaya." jawab Bayu santai. "Kamu mau menculik aku?!" "Aku nggak perlu menculik kamu. Aku cuma mau kita ketemuan sama mamaku." "Mama?" "Ya. Dia mau ketemu sama calon mantu." "Bay! Bercanda jangan keterlaluan dong! Ya Allah Ya Rab, sumpah, kamu bisa bikin emakku jantungan!" "Sudahlah, Yang. Aku tahu ibu kamu nggak keberatan kalau aku sama kamu." "Turunin aku sekarang!" ancam Thalia sambil mencari wujud menara menjulang yang kini hilang dari pandangan. "Yakin?" "Ya!" ketus Thalia. "Oke." tanpa rag
Sebuah tas ransel berisi beberapa helai pakaian, perlengkapan kamar mandi dan tentu saja dompet serta map transparan berisi persyaratan administratif untuk mengikuti sebuah seleksi bertengger manis di punggung seorang gadis berusia delapan belasan. Di depan rumahnya, seorang laki-laki sebayanya telah menunggu di atas sepeda motor matic. "Bu, aku berangkat." pamitnya setelah mencium punggung tangan ibunya. "Ya, hati-hati." Balas sang ibu sambil mengelus kepala anak gadis satu-satunya. "Bas, tolong awasi dia, ya." "Siap, Tante." jawab laki-laki teman si gadis. "Assalaamu 'alaikum." ucap salam si gadis dan temannya. "Wa 'alaikum salam." jawab sang ibu. Gadis yang mengenakana jaket denim itu pun kemudian mengenakan helm dan naik ke jok belakang sepeda motor matic temannya. Di ceruk antara kemudi dan jog sepeda motor teronggok sebuah tas ransel si pengemudi alias teman si gadis. Pengemudi itu menganggukkan kepala penuh horma
"By the way kalian berdua ambil jurusan apa?" Dhimas membuka obrolan selagi menunggu pesanannya datang. "Akuntansi" jawab Bastian setelah menyedot jus kopi. Jus kopi? Adakah? Pokoknya itu lah. "Kalau kamu, Thalia?" Dhimas mengalihkan pandangannya pada Thalia di posisi diagonal darinya. "Sama." jawab Thalia singkat sambil mengaduk-aduk jus tomat. "Kalian pacaran? Sehidup semati?" "Mana ada?!" tukas Thalia dan Bastian serempak. "Demi nurutin ortu, Kak." jawab Thalia kemudian. "Lhah, yang kuliah kamu apa orang tua kamu?" "Long story. Mending nggak usah dibahas." "Kalau kamu, Bas?" "Aku ngikutin dia." Bastian menunjuk pundak Thalia. "Bucin, nih, ceritanya?" "Nggak dengar apa tadi? Nggak ada urusannya sama cinta-cintaan. Aku cuma nggak yakin aja minatku di mana, daripada bingung ya aku ngikut dia 'aja. 'kan lumayan, kali 'aja nanti butuh contekan." "Parasit." ledek Thalia. "Mut