143. Kejadian di sekolah! (Bagian C)Wanita paruh baya itu sepertinya mendengarkan obrolan Lisa dan juga Astrid dari tadi, karena dia langsung menyambung saat Astrid menolak ketika Lisa ingin membayar semua pesanan mereka."Ya ampun, Bu Wanda … nggak kayak gitu!" kata Lisa sambil tersenyum malu.Sangat terlihat jelas, kalau menantu pertama dari keluarga Bu Sri itu kelihatannya senang dengan pujian yang diberikan oleh Bu Wanda."Nggak gimana? Kalian itu keluarga yang sangat makmur, loh! Suaminya agen sawit, uangnya banyak, istrinya pegawai negeri sipil yang cantik jelita seperti ini, sudah tidak ada yang bisa menyaingi kemakmuran keluarga kecil kalian!" kata Bu Wanda dengan nada antusias. "Jujur ya, Sa. Ibu aja bahkan ngerasa iri lho, sama keluarga kamu. Kamu itu disayang sama suami, disayang sama mertua, punya pekerjaan bagus, punya kehidupan yang makmur, aduh … tidak ada, yang tidak kamu miliki. Ibu benar-benar merasa iri, loh!" kata Bu Wanda lagi."Aduh! Sama dong, Bu. Saya juga ben
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)144. Rasa malu yang tak tertahankan! (Bagian A)Semua orang di sana lalu menatap Lisa dengan pandangan bingung, sedangkan yang ditatap masih menunduk dengan dalam dan menekuri mangkuk baksonya, seolah mangkuk itu adalah hal yang paling indah di dunia ini.Lisa benar-benar mati kutu sekarang, di dalam pemikirannya adalah malu yang luar biasa. Bahkan kalau bisa dia saat ini lebih memilih untuk menghilang, dan mengubur diri sendiri di dalam tanah."Apa, Pak? Maaf, mungkin Bapak bisa mengulangi sekali lagi?" tanya Bu Wanda memastikan."Kami sedang mencari saudari Lisa Artha, menurut data diri yang dia berikan kepada Amira Finance, dia bekerja sebagai seorang pegawai negeri dengan jabatan seorang guru di SD Negeri 40 ini. Dia mengambil motor nemex berwarna merah, seperti yang ada di sana!" tunjuk Pak Abdul ke arah, motor Lisa yang terparkir apik di bawah pohon mangga. "Jadi kami ingin bertemu dengan saudari Lisa Artha, untuk menarik m
145. Rasa malu yang tak tertahankan! (Bagian B)Bu Wanda langsung memberikan surat penarikan itu kepada rekan kerjanya dengan cepat, sehingga sekarang hampir semua guru di sini sudah melihat surat penarikan motor Lisa."Ya Allah, Sa! Ini benar loh, penarikan untuk motormu. Kamu mencicil selama ini?" tanya Bu Wati dengan nada tak percaya."Mana mungkin Bu, saya tidak mencicil. Kalian tahu sendiri 'kan, kalau Ibu mertua saya memberikan uang tiga puluh juta, untuk membeli motor itu secara cash!" kata Lisa dengan cepat, namun orang yang jeli pasti bisa mendengar nada suaranya yang bergetar ketakutan."Iya, Pak. Yang dikatakan Lisa memang benar, Bu Sri memang setahu saya memberi uang sebanyak tiga puluh juta untuk dia membeli motor nemex itu secara cash," kata Bu Wanda dengan cepat. "Apa Bapak tidak salah input data ini?" tanya Bu wanda lagi."Oh, tenang saja, Bu. Kami tidak mungkin salah input data, karena Amira Finance adalah salah satu perusahaan yang memang dipercayai di bidang ini. Ja
146. Rasa malu yang tak tertahankan! (Bagian C)Bagaimanapun juga dia berharap saat ini Aji sedang berada di sini untuk melindungi dirinya. Lagi pula kenapa mereka bisa tahu di mana Lisa bekerja?Padahal Lisa sudah sangat yakin kalau mereka tidak akan datang hari ini, makanya dia dengan mantap berangkat bekerja dan membiarkan suaminya untuk pergi memancing bersama Herman.Lisa tersentak saat mendengar kerumunan anak-anak yang ada di sekolah dibubarkan oleh Astrid, sepertinya rekan kerjanya itu mulai terusik karena semakin banyak anak-anak yang melihat kejadian ini."Sudah cepat putuskan, Sa. Bagaimanapun juga mereka ini bekerja loh, tidak baik menghambat pekerjaan orang!" kata Bu Wati dengan bijak. "Jika kamu memang memiliki uang, maka bayar saja sekarang. Kalau tidak, ya biarkan saja motormu itu ditarik!" kata Bu Wati lagi.Lisa menatapnya dengan pandangan geram, bagaimana bisa Bu Wati mengatakan hal seperti itu? Membiarkan motornya ditarik, sama saja dengan memalukan Lisa dengan leb
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)147. Cerita Ibu! (Bagian A)POV ANNA"Bi, O, Bi! Abi!"Aku dan Mas Abi langsung saling berpandangan, dan saling melirik satu sama lainnya. Karena mendengar ada seseorang yang memanggil Mas Abi, tapi dari arah samping rumah tidak dari depan.Kami yang sedang berada di toko langsung bergegas keluar, karena bagaimanapun juga kami penasaran dengan siapa orang yang memanggil nama Mas Abi tersebut.Dan setelah aku melihatnya, aku langsung merasa heran karena di sana ada Ibu yang sedang membawa sebuah rantang, dan beliau berdiri di teras rumahku."Bu! Kami di sini," kata Mas Abi sambil melambai.Ibu langsung menoleh dan bergegas mendekati kami, dengan langkah terburu. "Oalah, kalian di sini. Ibu kira kalian tadi di dalam rumah," kata Ibu sambil menyerahkan rantang itu kepadaku."Lah, Ibu datang saja kami nggak tahu, loh. Emangnya Ibu lewat mana?" tanyaku ingin tahu."Oh, Ibu dari sana. Lewat dari pekarangannya Bi Juni," kata Ibu sambil
148. Cerita Ibu! (Bagian B)Dan aku tidak bisa merasa lebih bersyukur daripada ini, ternyata Ibu mau membeli kebutuhannya di toko kami. Padahal aku sudah memikirkan hal yang terburuk, kalau Ibu tidak sudi beli di sini.Ternyata beliau mau melancarkan usaha yang kami bangun, dan aku benar-benar bahagia, walaupun dia tidak menunjukkannya dengan terang-terangan."Ya Allah, Bu! Kalau Ibu tadi mau belanja, Ibu tinggal telepon saja. 'Kan bisa diantar oleh Mas Abi," kataku dengan cepat."Halah, Ibu sudah terbiasa berjalan ke sana ke sini, bahkan dulu sewaktu Abi masih kecil. Ibu itu ikut ke ladang sama bapakmu, menggendong dia dan menuntun si Aji," kata Ibu dengan nada biasa. "Wong dulu kakekmu itu memberikan lahan kepada bapakmu itu, masih lahan setengah jadi. Jadi Ibu dan Bapak benar-benar harus bekerja keras untuk membuat lahan itu seperti sekarang ini," kata Ibu mengenang masa lalu.Aku bisa melihat Mas Abi yang langsung menghentikan suapannya, dan menatap Ibu dengan pandangan dalam. Aku
149. Cerita Ibu! (Bagian C)"Ya, iya. Mau bagaimana lagi, Bapak dan Ibu itu benar-benar bekerja keras karena kami tahu kalau kami itu punya dua orang anak. Jadi kedua anak kami, kehidupannya nanti harus lebih baik daripada kami," kata Ibu sambil menepuk bahu Mas Abi. "Lah, kamu kenapa toh, Nang? Kenapa mau menangis seperti itu? Wajahmu memerah, kayak orang kepedesan. Kuenya tidak enak, tah?" tanya Ibu tiba-tiba.Mas Abi langsung menelan ludah gugup, saat aku dan Ibu memindai wajahnya dengan sangat lekat dan juga dalam. Dia tiba-tiba kesulitan untuk berbicara, dan malah mengalihkan pandangannya ke arah lain.Jangankan Mas Abi, aku sendiri merasa kalau aku ingin menangis saat ini. Ibu benar-benar mempunyai banyak sekali jasa kepada Mas Abi, dan aku benar-benar bertekad kalau aku harus membantu suamiku itu untuk berbakti kepada Ibu.Aku yakin Ibu bisa berubah menyayangi kami dengan tulus, buktinya saja saat ini dia mulai luluh dan juga mulai mencair hatinya. Dan bisa menerima kami apa ad
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)150. Ujaran kebencian dari Lisa (Bagian A)"Apa, sih? Kalian itu bisa tidak? Jangan teriak-teriak begitu, hah? Disekolahkan tinggi-tinggi, dikasih makan yang bergizi, tapi kurang akhlak!" sahut Ibu dengan sewot. "Bukannya ngucapin salam malah teriak-teriak dari jalanan sana! Malu, Sa! Malu, Ji! Ya Allah!" Ibu menepuk dadanya.Mas Aji dan juga Lisa kelihatan terkejut saat melihat keberadaan Ibu di sini, namun mereka berdua dengan cepat menguasai keadaan lagi. Seperti sudah sangat terlatih."Eh … Ibu di sini?" tanya Lisa dengan nada manja, dan juga manis seperti biasa."Iya, memangnya kenapa?" tanya Ibu cepat."Ya tidak apa-apa, Bu. Tumben …." Lisa mencebik sinis, dan menatapku juga Mas Abi dengan pandangan tajam. "Biasanya 'kan, Ibu lebih suka ke rumah kami dan bermain dengan Naufal dan Salsa! Main bersama anak-anak kami!" katanya lagi."Naufal dan Salsa 'kan masih dirumah ibumu, bukannya kemarin kamu tinggal di sana?" tanya Ibu d