145. Rasa malu yang tak tertahankan! (Bagian B)Bu Wanda langsung memberikan surat penarikan itu kepada rekan kerjanya dengan cepat, sehingga sekarang hampir semua guru di sini sudah melihat surat penarikan motor Lisa."Ya Allah, Sa! Ini benar loh, penarikan untuk motormu. Kamu mencicil selama ini?" tanya Bu Wati dengan nada tak percaya."Mana mungkin Bu, saya tidak mencicil. Kalian tahu sendiri 'kan, kalau Ibu mertua saya memberikan uang tiga puluh juta, untuk membeli motor itu secara cash!" kata Lisa dengan cepat, namun orang yang jeli pasti bisa mendengar nada suaranya yang bergetar ketakutan."Iya, Pak. Yang dikatakan Lisa memang benar, Bu Sri memang setahu saya memberi uang sebanyak tiga puluh juta untuk dia membeli motor nemex itu secara cash," kata Bu Wanda dengan cepat. "Apa Bapak tidak salah input data ini?" tanya Bu wanda lagi."Oh, tenang saja, Bu. Kami tidak mungkin salah input data, karena Amira Finance adalah salah satu perusahaan yang memang dipercayai di bidang ini. Ja
146. Rasa malu yang tak tertahankan! (Bagian C)Bagaimanapun juga dia berharap saat ini Aji sedang berada di sini untuk melindungi dirinya. Lagi pula kenapa mereka bisa tahu di mana Lisa bekerja?Padahal Lisa sudah sangat yakin kalau mereka tidak akan datang hari ini, makanya dia dengan mantap berangkat bekerja dan membiarkan suaminya untuk pergi memancing bersama Herman.Lisa tersentak saat mendengar kerumunan anak-anak yang ada di sekolah dibubarkan oleh Astrid, sepertinya rekan kerjanya itu mulai terusik karena semakin banyak anak-anak yang melihat kejadian ini."Sudah cepat putuskan, Sa. Bagaimanapun juga mereka ini bekerja loh, tidak baik menghambat pekerjaan orang!" kata Bu Wati dengan bijak. "Jika kamu memang memiliki uang, maka bayar saja sekarang. Kalau tidak, ya biarkan saja motormu itu ditarik!" kata Bu Wati lagi.Lisa menatapnya dengan pandangan geram, bagaimana bisa Bu Wati mengatakan hal seperti itu? Membiarkan motornya ditarik, sama saja dengan memalukan Lisa dengan leb
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)147. Cerita Ibu! (Bagian A)POV ANNA"Bi, O, Bi! Abi!"Aku dan Mas Abi langsung saling berpandangan, dan saling melirik satu sama lainnya. Karena mendengar ada seseorang yang memanggil Mas Abi, tapi dari arah samping rumah tidak dari depan.Kami yang sedang berada di toko langsung bergegas keluar, karena bagaimanapun juga kami penasaran dengan siapa orang yang memanggil nama Mas Abi tersebut.Dan setelah aku melihatnya, aku langsung merasa heran karena di sana ada Ibu yang sedang membawa sebuah rantang, dan beliau berdiri di teras rumahku."Bu! Kami di sini," kata Mas Abi sambil melambai.Ibu langsung menoleh dan bergegas mendekati kami, dengan langkah terburu. "Oalah, kalian di sini. Ibu kira kalian tadi di dalam rumah," kata Ibu sambil menyerahkan rantang itu kepadaku."Lah, Ibu datang saja kami nggak tahu, loh. Emangnya Ibu lewat mana?" tanyaku ingin tahu."Oh, Ibu dari sana. Lewat dari pekarangannya Bi Juni," kata Ibu sambil
148. Cerita Ibu! (Bagian B)Dan aku tidak bisa merasa lebih bersyukur daripada ini, ternyata Ibu mau membeli kebutuhannya di toko kami. Padahal aku sudah memikirkan hal yang terburuk, kalau Ibu tidak sudi beli di sini.Ternyata beliau mau melancarkan usaha yang kami bangun, dan aku benar-benar bahagia, walaupun dia tidak menunjukkannya dengan terang-terangan."Ya Allah, Bu! Kalau Ibu tadi mau belanja, Ibu tinggal telepon saja. 'Kan bisa diantar oleh Mas Abi," kataku dengan cepat."Halah, Ibu sudah terbiasa berjalan ke sana ke sini, bahkan dulu sewaktu Abi masih kecil. Ibu itu ikut ke ladang sama bapakmu, menggendong dia dan menuntun si Aji," kata Ibu dengan nada biasa. "Wong dulu kakekmu itu memberikan lahan kepada bapakmu itu, masih lahan setengah jadi. Jadi Ibu dan Bapak benar-benar harus bekerja keras untuk membuat lahan itu seperti sekarang ini," kata Ibu mengenang masa lalu.Aku bisa melihat Mas Abi yang langsung menghentikan suapannya, dan menatap Ibu dengan pandangan dalam. Aku
149. Cerita Ibu! (Bagian C)"Ya, iya. Mau bagaimana lagi, Bapak dan Ibu itu benar-benar bekerja keras karena kami tahu kalau kami itu punya dua orang anak. Jadi kedua anak kami, kehidupannya nanti harus lebih baik daripada kami," kata Ibu sambil menepuk bahu Mas Abi. "Lah, kamu kenapa toh, Nang? Kenapa mau menangis seperti itu? Wajahmu memerah, kayak orang kepedesan. Kuenya tidak enak, tah?" tanya Ibu tiba-tiba.Mas Abi langsung menelan ludah gugup, saat aku dan Ibu memindai wajahnya dengan sangat lekat dan juga dalam. Dia tiba-tiba kesulitan untuk berbicara, dan malah mengalihkan pandangannya ke arah lain.Jangankan Mas Abi, aku sendiri merasa kalau aku ingin menangis saat ini. Ibu benar-benar mempunyai banyak sekali jasa kepada Mas Abi, dan aku benar-benar bertekad kalau aku harus membantu suamiku itu untuk berbakti kepada Ibu.Aku yakin Ibu bisa berubah menyayangi kami dengan tulus, buktinya saja saat ini dia mulai luluh dan juga mulai mencair hatinya. Dan bisa menerima kami apa ad
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)150. Ujaran kebencian dari Lisa (Bagian A)"Apa, sih? Kalian itu bisa tidak? Jangan teriak-teriak begitu, hah? Disekolahkan tinggi-tinggi, dikasih makan yang bergizi, tapi kurang akhlak!" sahut Ibu dengan sewot. "Bukannya ngucapin salam malah teriak-teriak dari jalanan sana! Malu, Sa! Malu, Ji! Ya Allah!" Ibu menepuk dadanya.Mas Aji dan juga Lisa kelihatan terkejut saat melihat keberadaan Ibu di sini, namun mereka berdua dengan cepat menguasai keadaan lagi. Seperti sudah sangat terlatih."Eh … Ibu di sini?" tanya Lisa dengan nada manja, dan juga manis seperti biasa."Iya, memangnya kenapa?" tanya Ibu cepat."Ya tidak apa-apa, Bu. Tumben …." Lisa mencebik sinis, dan menatapku juga Mas Abi dengan pandangan tajam. "Biasanya 'kan, Ibu lebih suka ke rumah kami dan bermain dengan Naufal dan Salsa! Main bersama anak-anak kami!" katanya lagi."Naufal dan Salsa 'kan masih dirumah ibumu, bukannya kemarin kamu tinggal di sana?" tanya Ibu d
151. Ujaran kebencian dari Lisa (Bagian B) "Lagian kalian 'kan memang masih punya motor yang lain tuh, Mas Aji masih punya motor KLM yang gagah dan juga terlihat indah. Naik itu sajalah dulu, boncengan ke mana-mana," kataku dengan nada santai.Aku tidak akan membiarkan diriku termakan oleh ucapan-ucapannya yang pedas itu, aku harus membuat dialah yang merasa terpojok dan juga tersudut."Ana! Lancang kamu ya, berbicara seperti itu kepada mbakmu!" kata Mas Aji tiba-tiba. "Kalian itu memang tidak ada sopan santunnya kepada orang yang lebih tua, kami ini adalah Kakak kalian. Tapi kalian bisa-bisanya bersikap seperti itu kepada kami, lagi pula apa untungnya bagi kalian mengadu kepada Pak Sofyan dan juga Pak Abdul, Hah? Memang benar kata Lisa ya, ternyata kalian ini memang iri dengan kehidupan kami, iri dengan kemakmuran keluarga kecil kami!" kata Mas Aji lagi."Loh, kok malah marah sama istriku sih, Mas? Yang buat salah kan istrimu, siapa suruh kalian tidak membelikan motor itu secara cas
152. Ujaran kebencian dari Lisa (Bagian C)"Aku tidak pernah mendoakan kalian, Mas, Mbak. Tapi diri kalian sendiri yang membuat kehidupan kalian seperti ini, sudah enak-enak diberi kehidupan sama Ibu. Diberi uang belanja, dibelikan apapun yang kalian inginkan, dibangunkan rumah, eh … malah bertingkah!" sahut Mas Abi dengan sewot. "Aku ya … bahkan tidak pernah sepeserpun Ibu memberi uang kepadaku untuk kehidupanku dan juga Ana, Ibu bahkan tidak pernah memberikan satu butir beras pun untuk makan kami, jadi apa pernah aku menyusahkan Ibu? Apa pernah aku meminta hal lain kepada Ibu? Tidak! Yang selama ini, selalu menyusahkan Ibu itu, adalah kalian. Dengan permintaan-permintaan kalian yang tidak masuk akal itu," kata Mas Abi dengan nada emosi."Wah, kalau begitu jangan salahkan kami dong! Ya kalau kamu itu nggak diberi fasilitas oleh Ibu, ya itu kesalahan diri kamu sendiri. Berarti kamu itu tidak mempunyai sesuatu yang kami miliki," kata Lisa dengan nada ketus."Loh, maksudnya apa, Mbak? S