116. Tunggakan Lisa (Bagian C)"Emang aku boleh ikut?" tanyaku sambil menatapnya dengan pandangan tertarik."Lah, ya boleh … datang ke rumah Ibu sendiri masa kamu nggak boleh ikut," Kata Mas Abi lagi. "Ayo, Mas tunggu di depan!" katanya sambil mengedikkan kepalanya ke samping."Oke, aku pakai jilbab dulu ya, Mas!" kataku dengan semangat, lalu mengambil jilbab instan yang ada di lemari dan memakainya di kaca, bagaimanapun juga aku harus terlihat paripurna walaupun belum mandi.Aku dan Mas Abi lalu berboncengan dengan mesra, menggunakan nemex berwarna biru ke rumah Ibu, yah setidaknya motor nemex yang kami kendarai tidak kredit. Tetapi aku beli menggunakan uang yang diberikan Emak, dengan cara cash! No credit, credit!Setelah sampai di rumah Ibu aku bisa melihat kedua debt collector itu yang sudah duduk di kursi teras, dengan ibu dan juga Bi Ramlah yang ada di sana. Ibu saat melihat kami datang, langsung berdiri dan melambaikan tangannya ke arah Mas Abi.Suamiku itu lantas dengan cepat
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)117. Keputusan Ibu! (Bagian A)“Tunggu!” Kami semua menoleh ke arah halaman, di sana ada Bapak yang sepertinya baru pulang dari kebun. Dia menatap Pak Sofyan dan juga Pak Abdul dengan pandangan heran, dia mengkode Ibu agar segera mengikuti langkahnya yang kini memasuki rumah.“Sebentar ya, Bapak-bapak!” kata Ibu dengan sungkan. “An, buatin Paka Sofyan dan juga Pak Abdul minum!” suruh Ibu padaku.“Baik, Bu!” sahut mereka kompak.Aku hanya mengangguk cepat dan mengikuti langkah kaki Ibu yang sudah masuk ke dalam rumah, di dalam aku bisa melihat Bapak yang sedang bicara dengan Ibu di depan pintu kamar mereka. Aku segera ke dapur, dan mengambil satu teko air dan mengisinya dengan sirup dan juga es batu. Setelah meletakkannya di atas nampan bersama beberapa buah gelas, aku langsung membawanya ke depan.“Jadi bagaimana?!”Aku masih bisa mendengar suara Ibu yang menyahuti ucapan Bapak, dan aku bisa menyimpulkan kalau mereka tengah be
118. Keputusan Ibu! (Bagian B)Walau wajah Bapak terlihat muram, tetapi Pak Sofyan dan Pak Abdul tetap harus melaksanakan tugas mereka, karena bagaimanapun juga mereka sudah disuruh oleh atasan mereka untuk menyelesaikan motor Lisa hari ini."Bagaimana, Pak, Bu? Apakah sudah ada keputusan?" tanya Pak Sofyan dengan nada tegas."Iya, Pak. Kalau boleh tahu, berapa tunggakan Lisa?" tanya Bapak ingin tahu."Tujuh juta, Pak. Sudah termasuk denda," sahut Pak Abdul cepat.Mas Bai kemudian memberikan surat penarikan yang tadi dibetika Pak Sofyan padanya kepada Bapak, di sana tertera jumlah tunggakan yang harus dibayarkan.Bapak terlihat mengangguk-angguk mengerti, dia lalu menatap Ibu sambil menaikkan alisnya. Namun, Ibu kelihatannya tidak senang karena dia hanya menggeleng."Kami tidak akan membayarnya, Pak. Silahkan Bapak berurusan langsung dengan Lisa dan Aji!" kata Ibu dengan tegas."Bu!" Bapak berujar cepat. "Bukannya sudah diputuskan kalau kita akan menalangi dulu?" tanya Bapak dengan bi
119. Keputusan Ibu! (Bagian C)Tetapi kenapa saat ini dia tidak mau membayarkan uang tujuh juta itu? Bukankah jika tidak Ibu bayar, maka motor itu bisa ditarik oleh pihak leasing?"Capek aku Ram, capek! Sudah diberi uang tiga puluh juta bukannya malah dibelikan cash, malah mereka kredit motor. Eh … menunggak pula! Aku benar-benar meradang, melihat Aji dan juga Lisa!" kata Ibu sambil memijat keningnya. "Padahal sudah aku kasih uang, tetapi malah disia-siakan. Untuk apa uang tiga puluh juta itu, kalau tidak mereka belikan motor coba?" kata Ibu lagi.Mas Aji langsung dengan sigap memijat bahu Ibu, dia kelihatannya begitu khawatir dengan Ibu yang saat ini sedang marah-marah. Mungkin saja dia teringat dengan perkataanku waktu di rumah tadi, Ibu bisa stroke jika dia terlalu banyak memikirkan hal ini.Sedangkan aku sedikit banyak merasa bahagia, karena Ibu tidak membayarkan tunggakan motor Lisa. Bagaimanapun juga, aku memang berharap kalau Ibu akan berubah tidak lagi timpang dalam memberikan
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)120. Amarah Ibu! (Bagian A)Saat telepon dimatikan, Ibu langsung kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi dan mata tuanya langsung terjatuh menatap ke arah halaman dengan pandangan menerawang. Jangankan aku, Bi Ramlah, dan juga Mas Abi, bahkan Bapak sekalipun tidak berani menegur Ibu.Wajah wanita yang sudah membesarkan suamiku itu terlihat benar-benar mengerikan, wajahnya muram dan juga terlihat sangat tidak mengenakan. Sepertinya dia benar-benar marah saat ini, dan menahan emosinya sedemikian rupa.Kembali aku tegaskan, aku benar-benar menunggu apa karma yang akan menimpa Lisa setelah ini. Karena ternyata dia yang selama ini begitu dipuja-puja, dan juga dielu-elukan, ternyata adalah seorang penipu yang dengan tega menipu Ibu mertuanya yang menyayanginya seperti anak sendiri."Kok, bisa-bisanya Lisa menipu Mbak seperti itu, ya, Mbak? Aku nggak pernah lo nyangka bakalan seperti itu, padahal Lisa itu 'kan anak baik-baik!" kata Bi R
121. Amarah Ibu! (Bagian B)Aku benar-benar geram melihatnya, dia sepertinya sangat membela Mas Aji dan juga Lisa, padahal sudah terbukti kalau kedua manusia itu sudah membohongi mereka. Tapi Bapak sepertinya malah santai-santai saja.Setelah ditegur oleh Bapak, Bi Ramlah terlihat mencebik sinis, namun dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah Ibu memandang Ibu dari atas ke bawah."Lah, masih mending punya menantu seperti Anna, sudah tidak pernah menyusahkan, baik, sopan lagi!" kata Bi Ramlah tiba-tiba.Aku tersentak kaget saat namaku disebut, apalagi biramlah menjunjungku setinggi langit sehingga membuat aku mengernyit heran menatapnya, sepertinya Bi Ramlah saat ini sedang berpihak kepadaku sehingga dia begitu meninggikanku.Aku hanya diam dan tidak menyahuti ucapannya, berlagak seperti orang-orang polos yang baik hati dan tidak tahu apa-apa."Anna dan Abi tidak pernah menyusahkan Mbak, tidak juga pernah membuat malu! Haduh, ternyata menantu pegawai negeri yang di bangga-banggakan
122. Amarah Ibu! (Bagian C)"Wah, ibumu masak enak nih! Makan ah …" Kata Bi Ramlah dengan nada ceria.Dia lalu dengan cekatan mengambil piring dan mengisinya dengan dua centong nasi, juga tak lupa mengambil sayur asem lengkap dengan sambal terasi, dan juga ikan asinnya, aku hanya menatapnya dengan gelengan pelan.Benar-benar takjub dengan tingkah ajaib Bi Ramlah yang dengan seenaknya bisa makan, padahal yang punya rumah tidak mempersilahkan."Memangnya tadi belum makan ya, B" tanyaku ingin tahu."Belumlah, aku belum makan. Apalagi ini aku barusan mengompori Ibumu, itu tentu saja aku saat ini sudah kelaparan, karena energiku sudah terkuras habis," kata Bi Ramlah sambil mulai makan, dia duduk di meja makan dengan tenang."Lah, salah siapa Bibi semangat seperti itu? Lagi pula Bibi ini menghasut Ibu dengan menjelek-jelekkan Lisa padahal aslinya Bibi 'kan sangat pro dengan Lisa," kataku sambil mencebik sinism"Lah, pro ya pro, An. Tetapi tetap saja Ibumu dan bapakmu itu adalah Kang Mas da
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)123. Untuk apa uang itu? (Bagian A)“IBUUUUUU!” Lisa berteriak dengan manja, dia berlari mendekati Ibu dengan langkah ringan dan juga bahagia. Sedangkan Mas Aji mengikuti di belakangnya dengan senyum terkembang. Kelihatannya pasangan suami istri ini tidak merasa bersalah sedikitpun, dan bersikap santai dan juga cuek saja.Ibu hanya diam, dan sama sekali tidak menyahuti panggilan Lisa. Hanya menatap anak dan menantu kesayangannya itu dengan pandangan datar, dan juga muram.Walau bukan aku yang ditatap Ibu sedemikian rupa, tapi tetap saja aku merasa panas dingin. Eh, malah lisa dan Mas Aji bersikap masa bodoh, apa mereka tidak bisa merasakan hawa dingin yang mulai merayap?Aku benar-benar tidak berkedip melihat kepercayaan diri mereka, saat mataku melihat ke sekeliling aku bisa melihat Mas Abi dan juga Bi Ramlah yang sudah berkeringat dingin. Mereka jelas tahu bagaimana Ibu, dibandingkan olehku, jelas mereka yang lebih lama hidup