Cuaca yang dingin terasa hingga merasuk ke tulang, setiap sendi berasa kaku terkena hawa malam yang membekukan. Beginilah kalau kuliah malam, harus siap dengan jeratan hawa dingin yang menangkup badan. Apalagi di musim penghujan.
Han menaikkan ritsleting jaket tebalnya saat melangkah dengan santai menyusuri jalan setapak yang mengitari Fakultas Ekonomi di Universitas Cemara. Pemuda itu melirik ke arah jam tangan. Sudah jam sembilan.
“GAGAK HANDOKO!”
Hmm?
Han berhenti dan menengok ke belakang. Ada yang memanggil? Di belakangnya hanya ada serombongan mahasiswa yang sedang nongkrong di sudut taman yang gelap. Ia tidak mengenal siapa mereka. Sebagai mahasiswa baru, mana kenal dengan orang-orang lama.
Mereka yang sedang nongkrong berpenampilan setipe. Pasukan jarang mandi, rambut gondrong anti sisiran, pakaian lusuh awut-awutan, dan sepatu yang berubah menjadi sandal. Sangat khas mahasiswa angkatan tua. Dua orang dari rombongan itu melompat ke depan dan mendekat ke arah Han dengan percaya diri.
Han masih penasaran dan terdiam. Siapa mereka?
“Nah kan! Bener kan! Wes tak bedhek! Sudah kuduga itu kamu!” Pemuda dengan rambut dikucir kuda dan mengenakan jaket jeans tersenyum lebar.
“Heheheh. Aku juga ga bakalan salah mengenali, Nyuk. Meski rambutnya beda, aku kenal betul wajah dengan codet melintang di pelipis kiri itu,” ujar si Gundul sambil menunjuk ke arah Han, “kamu Gagak Handoko. Kenapa tidak gondrong lagi? Sok alim!”
“Heheheh. Gagak Handoko yang terkenal, yang dulu populer di masa SMA. Sang petarung tangguh pimpinan geng SMA Bangsa yang tiba-tiba lenyap. Menghilang secepat terkenal, pergi secepat datang. Kenapa dulu menghilang, bangsat? Kami belum sempat balas dendam!” Si kucir kuda menggemeretakkan gigi, “Apa yang kamu lakukan di Kampus Cemara? Ngapain kamu di sini!?”
Satu orang lagi melompat dari rombongan preman di taman. Ia memiliki rambut mohawk dan mengenakan jaket kulit.
“Woy! Beneran ini si Gagak yang terkenal di jaman kita SMA? Masa sih?”
“Bener, Nyuk.” Si Gundul mengangguk, “Aku pernah ketemu. Aku tidak pernah lupa wajahnya.”
“Aku tidak akan pernah lupa cerita tentang Gagak Handoko yang konon pernah menantang geng SMA lain demi diakui sebagai yang terkuat,” Si Rambut Mohawk ikut menghampiri, “tapi masa begini dah? Kayak ga ada gasnya.”
Han tidak menjawab. Dia masih terdiam, tidak tertarik menjawab apapun. Kenal juga nggak dengan mereka.
“Kalian salah orang,” Han cuek. Ia berbalik dan melangkah pergi.
Ketiga preman saling bertatapan. Salah orang? Tidak mungkin! Mereka hapal betul dengan wajah yang di masa SMA jadi musuh bersama itu.
“Woooy! Anjeeeng! Kami belum selesai ngomong, Su! Main cabut aja!” Si Gundul tidak terima. Dia melangkah cepat untuk mengejar dan mendorong Han dari belakang.
Han pun terhuyung-huyung. Jika saja kakinya tidak tangkas memijak, dia pasti terjatuh.
“Kamu Han kan!? Pimpinan geng SMA Bangsa?”
“Sudah kubilang, kalian salah orang.” Tanpa menengok ke belakang, Han kembali berjalan.
“Baji…” Si Gundul naik pitam karena disepelekan. Dia berlari ke depan dan melompat sembari menendang bagian belakang Han.
Bggkkhh!
Kencangnya tendangan membuat Han tersungkur ke depan. Ia hampir jatuh tapi tangannya sempat menahan. Beberapa orang yang melihat terkejut, ada yang menjerit. Tapi karena takut terlibat, mereka memilih kabur.
“Bangun kamu! Katanya jagoan! Mana!?” Si Mohawk menggertak.
Ketiga orang penyerang Han maju bersamaan.
Han menggeleng kepala, “Sudah kubilang, kalian salah orang.”
Kucir Kuda, Mohawk, dan si Gundul saling berpandangan. Kok ngeyel banget? Mereka yakin sekali mereka tidak salah orang. Dia adalah Gagak Handoko, pimpinan geng SMA Bangsa yang dulu pernah menyebar ancaman ke hampir semua geng SMA di kota. Wajahnya yang tampan mudah dikenali dengan codet melintang di atas pelipis kirinya.
Han yang hampir tersungkur masih bertahan dengan tangan kanan menahan tubuh supaya tidak terjatuh. Dia tidak mengeluh, bahkan tidak protes sedikit pun.
“Bangke! Tetep ngeyel kowe, Nyuk? Masih tidak mengaku!? Kamu pikir kami bodoh, hah?” Si Gundul kembali menyerang, ia menendang tangan kanan Han yang menahan tubuh.
Bkkkkgh!
Sekali lagi Han hampir tersungkur. Kali ini bertahan dengan lengan kiri. Si Gundul belum puas. Ia melepaskan tendangan kedua. Sepakannya tepat ke rahang.
Jbbbbuuagkkkkgh!
Han terguling ke samping hingga terlentang.
“Masih bilang kami salah orang?” Si Kucir Kuda maju dan jongkok, “Mengaku sajalah.”
“Heheh. Aku tidak tahu siapa yang kalian maksud.”
“Bangsat. Pancene bajing…”
Si Gundul kembali bersiap menyepak, tapi si Kucir Kuda menahan.
“Baiklah,” Si Kucir Kuda tersenyum sinis, ia mengayunkan tangan. Dari rombongan di belakang, berdiri dua orang yang langsung mendatangi.
Si Kucir Kuda menunjuk mereka berdua dan si Mohawk. “Pegang.”
Dengan cepat ketiga orang yang ditunjuk langsung mengangkat Han yang diam tak melawan. Mereka melepas ransel sang pemuda dan melemparnya ke tumpukan bebatuan taman. Ada sesuatu yang pecah terdengar.
Satu orang memegang tangan kiri, satu mengunci tangan kanan dan badan, satu orang lagi memastikan kakinya tidak bergerak. Si Gundul yang diberikan kode oleh Si Kucir Kuda langsung memeriksa celana. Ia menemukan dompet di kantong belakang.
Si Gundul membuka dompet dan menyebar isinya. Surat, uang, dan dua lembar foto terbuang ke jalan.
“Periksa KTP-nya,” ujar si Kucir Kuda.
Si Gundul terkekeh dan mengambil KTP Han. Saat membaca nama yang tertera di kartu itu, Si Gundul langsung mendengus kesal. Ia melemparkan KTP itu pada Si Kucir Kuda.
Si Kucir Kuda yang menerima KTP langsung melirik dengan tatapan mata tajam. Meski badannya dikunci, tapi tak sedikit pun Han berontak. Si Kucir Kuda menggoyang KTP Han dengan jari.
“Masih mau berkelit?” tanya Si Kucir Kuda. “Aku ulang. Apa benar namamu Han, nama panjang Gagak Handoko. Jagoan dari SMA Bangsa yang dulunya sering menyerang SMA lain?”
Han menghela napas panjang, “Kalian salah orang. Namanya sama, tapi aku bukan orang yang kalian maksud. Aku baru datang dari desa.”
Jbkkkkkghhhh!
Satu bogem mentah mengayun dan kepala Han terlempar ke kiri.
“Teteeeep ngeyeeeeeel! Masih aja bilang kami salah orang!?” Si Gundul mendengus karena terpapar emosi. Tangannya bekerja kembali dan terayun, serangannya masuk ke rahang kiri dan kanan.
Jbkkkkkghhhh! Jbkkkkkghhhh!
Kepala Han terlempar ke kanan kiri terkena hantaman. Preman-preman yang memeganginya harus menahan badan karena kencangnya hantaman si Gundul. Han tetap tidak protes dan meronta. Ia masih tetap tenang.
“Masih saja tidak mengaku,” Si Kucir Kuda geleng-geleng kepala, “Kenapa? ngeyel? Apakah ini ada hubungannya dengan menghilangnya dirimu bertahun-tahun yang lalu? Setelah puas menghajar murid SMA lain, menghancurkan banyak orang hingga patah tulang, masuk rumah sakit, dan tidak bisa lulus, lalu memutuskan untuk pensiun begitu saja? Enak bener.”
Han mengangkat bahu, “Aku bukan yang kamu…”
Bkkkghhhh!
Tanpa aba-aba Si Kucir Kuda menghantam bagian perut Han. Sangat keras sampai Han mengernyit pedas.
“Orang desa seharusnya tahu tata krama. Tidak sopan kan menyela orang?” Si Kucir Kuda menghela napas, “Pernah tidak kamu bayangkan kalau dulu kamu dan geng SMA Bangsa telah membuat kami merasa rendah, hina, dan tanpa harga diri? Kami ditaklukkan tanpa bisa membalas.”
Si Gundul mengambil sesuatu yang menarik perhatiannya. Dua lembar foto di atas trotoar. Foto yang tadi jatuh dari dompet Han.
Si Gundul cengengesan, “Wih cantik juga. Ibumu? Janda? Boleh kenalan?”
Untuk pertama kalinya Han tidak tersenyum. Dia seakan menahan sesuatu yang lebih sakit dari sekedar pukulan. Pandangan matanya berubah menjadi tajam. “Percuma. Dia sudah mati.”
Si Gundul melempar foto itu ke wajah Han, “Cih.”
Si Kucir Kuda mengamati perubahan di wajah Han saat foto itu digunakan si Gundul untuk memancingnya. Memang masih tanpa ekspresi, masih tanpa emosi, tapi ada yang sedikit berubah. Tatapan mata tajam Han menjadi sedikit lebih menakutkan dan lebih serius, tatapan itu juga terasa amat sedih.
Ibunya pasti benar-benar sudah mati.
Han terkesiap.Aduh, sudah berapa lama dia pingsan?Han mengusap kepalanya yang terasa berat. Badannya sakit semua dan sekujur tubuh berasa lebam. Ia sedang terkapar di samping sebuah pohon besar di dekat taman Kampus di bawah langit berbintang. Orang-orang yang menyerangnya tadi sepertinya benar-benar menuntaskan kemarahan mereka padanya.Han tersenyum. Jadi seperti ini ya rasanya jadi mangsa tukang bully? Ia berdiri dengan susah payah dan mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan.“Kamu orang yang aneh.”Han menengok ke samping.Ada seorang pria tua kurus yang mengenakan seragam satpam kampus berada tak jauh darinya. Ia duduk di sebuah batu besar di samping lampu taman bulat yang menyala terang.“Bapak ngomong sama saya?”“Mas, Ini jam sebelas malam, kampus sudah sepi, dan cuma ada kita berdua di sini. Kira-kira ngomong sama siapa lagi? Hantu? Ga ada hantu di sini, Mas. Adanya di sana, di toilet deket gedung pertemuan mahasiswa.”Han mencoba tersenyum tapi sesaat kemudian ia mer
“Woalaaaah. Mas Handoko ini kenapa to, Mas? Kok sampe besem-besem begini badannya?” Mbak Tita geleng-geleng kepala saat suaminya mengoleskan salep herbal ke badan Han yang biru-biru, “Sampeyan itu jatuh dari sepeda atau jatuh dari pucuk tebing Breksi? Kok bisa-bisanya biru-biru sak awak begini. Sebadan lho ini lebamnya.”“Hahahaha. Biasalah, Bu. Cah lanang. Kalau laki-laki ya begini ini, meski cuma jatuh dari sepeda, tapi harus mbois jatuhnya! Harus keren! Kalau bisa harus sampai terguling-guling kayak eksyen India, jadi lebamnya sebadan. Lak iyo to, Mas Han?” Lek Wasis menimpali sembari mengoles dan memijat.“Adududuuuh.” Han hanya meringis.Suami istri yang menjadi tetangga kost-nya itu memang grapyak, ramah, dan selalu siap menolong kapan saja dibutuhkan. Mereka yang melihat Han pulang menuntun sepedanya dengan badan lebam-lebam langsung memaksa sang pemuda untuk menerima treatment herbal yang sejatinya tidak dia butuhkan.“Untung sepedanya nggak rusak ya, Mas. Jadi masih bisa dike
Han berjalan menuju sepedanya, di tangannya sudah tersedia satu bungkusan jajanan martabak murah meriah untuk sarapan pagi ini. Ia melangkah sembari menatap ke sekeliling lapangan yang ada di samping SD negeri. Semarak sekali kalau jam istirahat begini, banyak anak-anak SD yang keluar untuk mencari jajanan. Selain martabak yang populer di sini, banyak penjual lain yang menawarkan dagangan mereka.Suasananya ramai dan menyenangkan. Semuanya tenang, nyaman, dan aman sampai kemudian terdengar suara kencang membahana.“MAKANYAAAA BAYAAAAR!!!”Suara teriakan itu datang dari sebuah gerobak yang menjajakan cilok. Seorang bapak pedagang yang kurus merunduk ketakutan ketika tiga orang pemuda yang mengenakan pakaian ala-ala band punk mengerumuni gerobaknya. Caping yang ia kenakan diangkat ke atas untuk menunjukkan wajahnya yang kecut menghadapi ketiga orang pemuda itu. Kulit sang bapak tua yang gelap dan mengkilap makin basah oleh keringat.“Den, gimana saya bisa bayar, Den... hari ini saja bel
Panggung jalanan digelar. Han di sisi kiri, melawan tiga pemuda punk di sisi kanan.Dari ketiga pemuda punk, si Gondrong nampaknya yang paling gemas dengan tingkah tengil Han. Ia yang pertama merangsek ke depan. Langkahnya mantap, yakin dan percaya diri. Pemuda punk itu maju sampai ia berdiri tak jauh dari Han dan mengambil ancang-ancang.Si Gondrong meludah saat melihat senyum si cuek yang baginya sangat menghina, Ia emosi karena merasa diremehkan. Ia dan Han saling menatap tanpa melepas pandangan. Tak perlu ada ucap kata karena masing-masing tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.Si Gondrong meradang, ia menatap Han dengan sengit. Kunyuk satu ini sepertinya belum pernah berkenalan dengan tendangannya, “Dasar tengik! Munyuk! Malah cengengesan! Tendang pisan bubar dapurmu!”Si Gondrong mengamati pose stance Han. Ia masih berdiri saja di situ, tegap dengan kaki setengah ditekuk dan tubuh turun sedikit. Lengan kanan Han ditarik ke tengah badan, sementara telapak tangannya menghadap ke