Cuaca yang dingin terasa hingga merasuk ke tulang, setiap sendi berasa kaku terkena hawa malam yang membekukan. Beginilah kalau kuliah malam, harus siap dengan jeratan hawa dingin yang menangkup badan. Apalagi di musim penghujan.
Han menaikkan ritsleting jaket tebalnya saat melangkah dengan santai menyusuri jalan setapak yang mengitari Fakultas Ekonomi di Universitas Cemara. Pemuda itu melirik ke arah jam tangan. Sudah jam sembilan.
“GAGAK HANDOKO!”
Hmm?
Han berhenti dan menengok ke belakang. Ada yang memanggil? Di belakangnya hanya ada serombongan mahasiswa yang sedang nongkrong di sudut taman yang gelap. Ia tidak mengenal siapa mereka. Sebagai mahasiswa baru, mana kenal dengan orang-orang lama.
Mereka yang sedang nongkrong berpenampilan setipe. Pasukan jarang mandi, rambut gondrong anti sisiran, pakaian lusuh awut-awutan, dan sepatu yang berubah menjadi sandal. Sangat khas mahasiswa angkatan tua. Dua orang dari rombongan itu melompat ke depan dan mendekat ke arah Han dengan percaya diri.
Han masih penasaran dan terdiam. Siapa mereka?
“Nah kan! Bener kan! Wes tak bedhek! Sudah kuduga itu kamu!” Pemuda dengan rambut dikucir kuda dan mengenakan jaket jeans tersenyum lebar.
“Heheheh. Aku juga ga bakalan salah mengenali, Nyuk. Meski rambutnya beda, aku kenal betul wajah dengan codet melintang di pelipis kiri itu,” ujar si Gundul sambil menunjuk ke arah Han, “kamu Gagak Handoko. Kenapa tidak gondrong lagi? Sok alim!”
“Heheheh. Gagak Handoko yang terkenal, yang dulu populer di masa SMA. Sang petarung tangguh pimpinan geng SMA Bangsa yang tiba-tiba lenyap. Menghilang secepat terkenal, pergi secepat datang. Kenapa dulu menghilang, bangsat? Kami belum sempat balas dendam!” Si kucir kuda menggemeretakkan gigi, “Apa yang kamu lakukan di Kampus Cemara? Ngapain kamu di sini!?”
Satu orang lagi melompat dari rombongan preman di taman. Ia memiliki rambut mohawk dan mengenakan jaket kulit.
“Woy! Beneran ini si Gagak yang terkenal di jaman kita SMA? Masa sih?”
“Bener, Nyuk.” Si Gundul mengangguk, “Aku pernah ketemu. Aku tidak pernah lupa wajahnya.”
“Aku tidak akan pernah lupa cerita tentang Gagak Handoko yang konon pernah menantang geng SMA lain demi diakui sebagai yang terkuat,” Si Rambut Mohawk ikut menghampiri, “tapi masa begini dah? Kayak ga ada gasnya.”
Han tidak menjawab. Dia masih terdiam, tidak tertarik menjawab apapun. Kenal juga nggak dengan mereka.
“Kalian salah orang,” Han cuek. Ia berbalik dan melangkah pergi.
Ketiga preman saling bertatapan. Salah orang? Tidak mungkin! Mereka hapal betul dengan wajah yang di masa SMA jadi musuh bersama itu.
“Woooy! Anjeeeng! Kami belum selesai ngomong, Su! Main cabut aja!” Si Gundul tidak terima. Dia melangkah cepat untuk mengejar dan mendorong Han dari belakang.
Han pun terhuyung-huyung. Jika saja kakinya tidak tangkas memijak, dia pasti terjatuh.
“Kamu Han kan!? Pimpinan geng SMA Bangsa?”
“Sudah kubilang, kalian salah orang.” Tanpa menengok ke belakang, Han kembali berjalan.
“Baji…” Si Gundul naik pitam karena disepelekan. Dia berlari ke depan dan melompat sembari menendang bagian belakang Han.
Bggkkhh!
Kencangnya tendangan membuat Han tersungkur ke depan. Ia hampir jatuh tapi tangannya sempat menahan. Beberapa orang yang melihat terkejut, ada yang menjerit. Tapi karena takut terlibat, mereka memilih kabur.
“Bangun kamu! Katanya jagoan! Mana!?” Si Mohawk menggertak.
Ketiga orang penyerang Han maju bersamaan.
Han menggeleng kepala, “Sudah kubilang, kalian salah orang.”
Kucir Kuda, Mohawk, dan si Gundul saling berpandangan. Kok ngeyel banget? Mereka yakin sekali mereka tidak salah orang. Dia adalah Gagak Handoko, pimpinan geng SMA Bangsa yang dulu pernah menyebar ancaman ke hampir semua geng SMA di kota. Wajahnya yang tampan mudah dikenali dengan codet melintang di atas pelipis kirinya.
Han yang hampir tersungkur masih bertahan dengan tangan kanan menahan tubuh supaya tidak terjatuh. Dia tidak mengeluh, bahkan tidak protes sedikit pun.
“Bangke! Tetep ngeyel kowe, Nyuk? Masih tidak mengaku!? Kamu pikir kami bodoh, hah?” Si Gundul kembali menyerang, ia menendang tangan kanan Han yang menahan tubuh.
Bkkkkgh!
Sekali lagi Han hampir tersungkur. Kali ini bertahan dengan lengan kiri. Si Gundul belum puas. Ia melepaskan tendangan kedua. Sepakannya tepat ke rahang.
Jbbbbuuagkkkkgh!
Han terguling ke samping hingga terlentang.
“Masih bilang kami salah orang?” Si Kucir Kuda maju dan jongkok, “Mengaku sajalah.”
“Heheh. Aku tidak tahu siapa yang kalian maksud.”
“Bangsat. Pancene bajing…”
Si Gundul kembali bersiap menyepak, tapi si Kucir Kuda menahan.
“Baiklah,” Si Kucir Kuda tersenyum sinis, ia mengayunkan tangan. Dari rombongan di belakang, berdiri dua orang yang langsung mendatangi.
Si Kucir Kuda menunjuk mereka berdua dan si Mohawk. “Pegang.”
Dengan cepat ketiga orang yang ditunjuk langsung mengangkat Han yang diam tak melawan. Mereka melepas ransel sang pemuda dan melemparnya ke tumpukan bebatuan taman. Ada sesuatu yang pecah terdengar.
Satu orang memegang tangan kiri, satu mengunci tangan kanan dan badan, satu orang lagi memastikan kakinya tidak bergerak. Si Gundul yang diberikan kode oleh Si Kucir Kuda langsung memeriksa celana. Ia menemukan dompet di kantong belakang.
Si Gundul membuka dompet dan menyebar isinya. Surat, uang, dan dua lembar foto terbuang ke jalan.
“Periksa KTP-nya,” ujar si Kucir Kuda.
Si Gundul terkekeh dan mengambil KTP Han. Saat membaca nama yang tertera di kartu itu, Si Gundul langsung mendengus kesal. Ia melemparkan KTP itu pada Si Kucir Kuda.
Si Kucir Kuda yang menerima KTP langsung melirik dengan tatapan mata tajam. Meski badannya dikunci, tapi tak sedikit pun Han berontak. Si Kucir Kuda menggoyang KTP Han dengan jari.
“Masih mau berkelit?” tanya Si Kucir Kuda. “Aku ulang. Apa benar namamu Han, nama panjang Gagak Handoko. Jagoan dari SMA Bangsa yang dulunya sering menyerang SMA lain?”
Han menghela napas panjang, “Kalian salah orang. Namanya sama, tapi aku bukan orang yang kalian maksud. Aku baru datang dari desa.”
Jbkkkkkghhhh!
Satu bogem mentah mengayun dan kepala Han terlempar ke kiri.
“Teteeeep ngeyeeeeeel! Masih aja bilang kami salah orang!?” Si Gundul mendengus karena terpapar emosi. Tangannya bekerja kembali dan terayun, serangannya masuk ke rahang kiri dan kanan.
Jbkkkkkghhhh! Jbkkkkkghhhh!
Kepala Han terlempar ke kanan kiri terkena hantaman. Preman-preman yang memeganginya harus menahan badan karena kencangnya hantaman si Gundul. Han tetap tidak protes dan meronta. Ia masih tetap tenang.
“Masih saja tidak mengaku,” Si Kucir Kuda geleng-geleng kepala, “Kenapa? ngeyel? Apakah ini ada hubungannya dengan menghilangnya dirimu bertahun-tahun yang lalu? Setelah puas menghajar murid SMA lain, menghancurkan banyak orang hingga patah tulang, masuk rumah sakit, dan tidak bisa lulus, lalu memutuskan untuk pensiun begitu saja? Enak bener.”
Han mengangkat bahu, “Aku bukan yang kamu…”
Bkkkghhhh!
Tanpa aba-aba Si Kucir Kuda menghantam bagian perut Han. Sangat keras sampai Han mengernyit pedas.
“Orang desa seharusnya tahu tata krama. Tidak sopan kan menyela orang?” Si Kucir Kuda menghela napas, “Pernah tidak kamu bayangkan kalau dulu kamu dan geng SMA Bangsa telah membuat kami merasa rendah, hina, dan tanpa harga diri? Kami ditaklukkan tanpa bisa membalas.”
Si Gundul mengambil sesuatu yang menarik perhatiannya. Dua lembar foto di atas trotoar. Foto yang tadi jatuh dari dompet Han.
Si Gundul cengengesan, “Wih cantik juga. Ibumu? Janda? Boleh kenalan?”
Untuk pertama kalinya Han tidak tersenyum. Dia seakan menahan sesuatu yang lebih sakit dari sekedar pukulan. Pandangan matanya berubah menjadi tajam. “Percuma. Dia sudah mati.”
Si Gundul melempar foto itu ke wajah Han, “Cih.”
Si Kucir Kuda mengamati perubahan di wajah Han saat foto itu digunakan si Gundul untuk memancingnya. Memang masih tanpa ekspresi, masih tanpa emosi, tapi ada yang sedikit berubah. Tatapan mata tajam Han menjadi sedikit lebih menakutkan dan lebih serius, tatapan itu juga terasa amat sedih.
Ibunya pasti benar-benar sudah mati.
Han terkesiap.Aduh, sudah berapa lama dia pingsan?Han mengusap kepalanya yang terasa berat. Badannya sakit semua dan sekujur tubuh berasa lebam. Ia sedang terkapar di samping sebuah pohon besar di dekat taman Kampus di bawah langit berbintang. Orang-orang yang menyerangnya tadi sepertinya benar-benar menuntaskan kemarahan mereka padanya.Han tersenyum. Jadi seperti ini ya rasanya jadi mangsa tukang bully? Ia berdiri dengan susah payah dan mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan.“Kamu orang yang aneh.”Han menengok ke samping.Ada seorang pria tua kurus yang mengenakan seragam satpam kampus berada tak jauh darinya. Ia duduk di sebuah batu besar di samping lampu taman bulat yang menyala terang.“Bapak ngomong sama saya?”“Mas, Ini jam sebelas malam, kampus sudah sepi, dan cuma ada kita berdua di sini. Kira-kira ngomong sama siapa lagi? Hantu? Ga ada hantu di sini, Mas. Adanya di sana, di toilet deket gedung pertemuan mahasiswa.”Han mencoba tersenyum tapi sesaat kemudian ia mer
“Woalaaaah. Mas Handoko ini kenapa to, Mas? Kok sampe besem-besem begini badannya?” Mbak Tita geleng-geleng kepala saat suaminya mengoleskan salep herbal ke badan Han yang biru-biru, “Sampeyan itu jatuh dari sepeda atau jatuh dari pucuk tebing Breksi? Kok bisa-bisanya biru-biru sak awak begini. Sebadan lho ini lebamnya.”“Hahahaha. Biasalah, Bu. Cah lanang. Kalau laki-laki ya begini ini, meski cuma jatuh dari sepeda, tapi harus mbois jatuhnya! Harus keren! Kalau bisa harus sampai terguling-guling kayak eksyen India, jadi lebamnya sebadan. Lak iyo to, Mas Han?” Lek Wasis menimpali sembari mengoles dan memijat.“Adududuuuh.” Han hanya meringis.Suami istri yang menjadi tetangga kost-nya itu memang grapyak, ramah, dan selalu siap menolong kapan saja dibutuhkan. Mereka yang melihat Han pulang menuntun sepedanya dengan badan lebam-lebam langsung memaksa sang pemuda untuk menerima treatment herbal yang sejatinya tidak dia butuhkan.“Untung sepedanya nggak rusak ya, Mas. Jadi masih bisa dike
Han berjalan menuju sepedanya, di tangannya sudah tersedia satu bungkusan jajanan martabak murah meriah untuk sarapan pagi ini. Ia melangkah sembari menatap ke sekeliling lapangan yang ada di samping SD negeri. Semarak sekali kalau jam istirahat begini, banyak anak-anak SD yang keluar untuk mencari jajanan. Selain martabak yang populer di sini, banyak penjual lain yang menawarkan dagangan mereka.Suasananya ramai dan menyenangkan. Semuanya tenang, nyaman, dan aman sampai kemudian terdengar suara kencang membahana.“MAKANYAAAA BAYAAAAR!!!”Suara teriakan itu datang dari sebuah gerobak yang menjajakan cilok. Seorang bapak pedagang yang kurus merunduk ketakutan ketika tiga orang pemuda yang mengenakan pakaian ala-ala band punk mengerumuni gerobaknya. Caping yang ia kenakan diangkat ke atas untuk menunjukkan wajahnya yang kecut menghadapi ketiga orang pemuda itu. Kulit sang bapak tua yang gelap dan mengkilap makin basah oleh keringat.“Den, gimana saya bisa bayar, Den... hari ini saja bel
Panggung jalanan digelar. Han di sisi kiri, melawan tiga pemuda punk di sisi kanan.Dari ketiga pemuda punk, si Gondrong nampaknya yang paling gemas dengan tingkah tengil Han. Ia yang pertama merangsek ke depan. Langkahnya mantap, yakin dan percaya diri. Pemuda punk itu maju sampai ia berdiri tak jauh dari Han dan mengambil ancang-ancang.Si Gondrong meludah saat melihat senyum si cuek yang baginya sangat menghina, Ia emosi karena merasa diremehkan. Ia dan Han saling menatap tanpa melepas pandangan. Tak perlu ada ucap kata karena masing-masing tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.Si Gondrong meradang, ia menatap Han dengan sengit. Kunyuk satu ini sepertinya belum pernah berkenalan dengan tendangannya, “Dasar tengik! Munyuk! Malah cengengesan! Tendang pisan bubar dapurmu!”Si Gondrong mengamati pose stance Han. Ia masih berdiri saja di situ, tegap dengan kaki setengah ditekuk dan tubuh turun sedikit. Lengan kanan Han ditarik ke tengah badan, sementara telapak tangannya menghadap ke
Gagak Handoko menyeringai dan menatap ke depan tanpa menegakkan kepalanya yang menunduk. Senyumannya kali ini terasa mengerikan untuk ketiga lawan karena mereka berasa berhadapan dengan orang gila yang hanya tersenyum saja.Kembali si cuek itu mengatur kuda-kuda yang unik. Ia merunduk sedikit, jarak kaki agak melebar, posisi telapak tangan tegak tepat di depan dada dengan tangan kanan lebih di depan dibandingkan tangan kiri. Sekilas lihat mirip seperti pose yang tidak mengancam.Si Leher Tato mengernyitkan dahi. Sebentar. Kuda-kuda itu sepertinya tidak asing. Dia pernah melihat stance atau kuda-kuda yang mirip seperti yang tengah ditunjukkan oleh si tengil itu. Tapi di mana ya?Si Gondrong dan si Rambut Ungu bersiap untuk maju. tapi si Leher Tato menahan kedua kawannya. Ia menggeleng kepala. Pose si Tengil memang seakan-akan lembek, tapi dia paham betul ancang-ancang seperti itu justru sangat menunjukkan kesiapan. Dia memberikan peringatan kepada kawan-kawannya untuk berhati-hati.“Ma
Tubuh Han terlempar ke belakang atau lebih tepatnya terseret, karena kakinya masih menapak tanah. Tangannya disilangkan di depan wajah bagaikan perisai dan itu membuat rasa senat-senut menjalar karena tangan itu digunakan untuk menahan serangan Kasper si Hantu Kecil bertubuh bongsor yang melontarkan pukulan telak.Han tahu, pukulan yang dilayangkan dari jarak teramat dekat oleh orang yang sangat lihai bertarung tidak akan bisa dielakkan. Karena dia tidak akan sempat menghindar, maka satu-satunya jalan adalah harus bertahan.Han menyeringai, “Lumayan.”Kasper mendengus. Ia agak kesal. “Hebat juga bisa menahan pukulanku. Biasanya orang lain akan langsung pingsan sekali pukul.”“Mungkin aku salah satu yang beruntung,” ujar Han sembarangan.“Mungkin,” Kasper menimpali. Ia mengayunkan tangan. “Tapi aku tidak akan ada keberuntungan yang kedua kalinya. Aku selalu belajar dari kesalahan.”Han langsung menyadari kalau di belakang Kasper muncul serombongan preman punk yang lain. Dua, empat, sep
Han jatuh ke sungai. Pakaian dan celananya pun basah. Meski begitu Ia dapat berdiri dengan tegak kembali karena memang sungai itu tidak terlampau dalam. Ia tersenyum sembari bertolak pinggang menghadap ke atas, ke arah Kasper si Demit Cilik yang berdiri dengan santai di atas sebatang kayu.“Keren juga. Skor kita satu-satu.”Kasper hanya mendengus. Pria bertubuh besar itu tersenyum sinis. “Naiklah.”Tidak perlu diminta dua kali, Han naik melalui sisi kanan sungai untuk berdiri kembali di hadapan Kasper. Skor sekarang sama imbang. Siapapun masih bisa menang.“Majulah. Aku tidak akan bergeming sedikitpun! Kau lihat sa…!”Jbmmmm!Tubuh Kasper kembali melayang ke belakang dan jatuh berdebam berulang-ulang kali. Lagi-lagi dengan cara yang sama. Serangan yang begitu cepatnya sampai-sampai tak terlihat. Wajahnya berulang kali terantuk tanah.Sang preman bertubuh raksasa itu mendengus kesal dan memukul tanah beberapa kali. Kasper menggemeretakkan gigi. Mau tidak mau dia harus mengakui kalau Ha
“Di-dia tidak bersalah!”Bapak tua penjual cilok dengan berani memasang badan untuk melindungi Han dari kerubutan orang-orang yang menuduhnya. Mereka tertegun ketika pria tua yang mereka kenal itu tiba-tiba saja menyeruak dan berdiri di antara mereka dan sang pemuda.“Dia telah membantu saya dan teman-teman penjual jajanan lain yang selama ini dipalak oleh para preman. Pemuda ini mengalahkan preman-preman yang biasa keliling di sini dan membuat mereka kabur.”Meski bergetar karena takut menghadapi orang banyak, sang penjaja cilok memutuskan untuk membantu Han.Sang guru SD yang cantik itu masih terengah-engah karena emosi, “Tapi Pak! Mereka ini sebenarnya hanya mau berebut lahan par…”“Saya bisa pastikan kalau saya tidak tergabung dalam kelompok atau ormas apapun yang ingin berebut lahan parkir dari para preman. Saya bertengkar dengan mereka semata-mata karena ingin meminta ganti rugi,” ujar Han.Pemuda itu maju ke depan bapak penjual cilok. Ia tersenyum pada sang pria tua, “Terima ka
Han melangkah maju, kobaran api di sekelilingnya semakin mendominasi lapangan yang kini terasa seperti medan perang. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang Viktor menggunakan ledakan api berbentuk harimau yang melesat dengan kecepatan luar biasa. Viktor mencoba menghindar, tetapi ekor harimau api itu menyambar bahunya, membuatnya terlempar beberapa meter.“Jangan berpikir kau bisa lolos dengan mudah,” Viktor berkata sambil berdiri tertatih, memfokuskan kekuatannya untuk melawan. Listrik mulai terkumpul di tangannya, membentuk bola energi yang lebih besar dan mematikan. Ia melemparkannya ke arah Han dengan kekuatan penuh, menciptakan ledakan besar saat menyentuh tanah.Namun, ketika debu menghilang, Han masih berdiri tegap, meskipun kini dengan pakaian yang sebagian hangus. “Itu cukup menghibur,” katanya, senyumnya masih tetap sinis. Ia mengangkat tangannya lagi, kali ini menciptakan dinding api yang melindunginya dari serangan Viktor selanjutnya.Viktor mulai kehabisan tenaga karena
Lapangan sepakbola yang terkurung ruko-ruko itu terasa hening, seolah segala suara dari dunia luar lenyap. Han, dengan tangan dimasukkan ke saku celana, berdiri santai di tengah lapangan. Wajahnya dihiasi senyum menyeringai, meskipun matanya tetap tajam memandang Viktor von Dasch di seberang.Viktor, dengan sikap penuh percaya diri, melangkah maju sambil mengayunkan jemarinya yang memercikkan listrik. “Kamu lumayan, Bro. Jadi Aku akan lebih serius,” Viktor berkata sambil tertawa kecil. “Tadinya Aku pikir Aku tak perlu berusaha terlalu keras.”Han hanya mengangkat alis, tak berkata apa-apa. Ia menggeser kakinya sedikit, bersiap. Sebuah langkah kecil yang hampir tidak terlihat, tetapi penuh makna. Viktor, merasa diremehkan, mengayunkan tangannya ke depan, mengirimkan sambaran petir ke arah Han.Sambaran itu menghantam tanah dengan dentuman keras, meninggalkan bekas hangus yang berasap. Namun, Han sudah tidak berada di tempat itu. Dengan langkah ringan, ia bergeser ke samping, membuat Vi
Di sisi lain, Anjani melompat ke tangga besi yang berkarat, mendaki dengan cepat hingga mencapai atap ruko. Shih-Tzu tak mau kalah, Ia meluncur seperti bayangan gelap, menghantam besi tua itu dengan tumitnya hingga tangga bergoyang hebat. Anjani nyaris terlempar, namun berhasil mencengkeram pinggiran atap dan melompat ke permukaan yang licin.Shih-Tzu sambil melompat ke atap, meluncur seperti badai yang tak terhentikan, seakan-akan hendak menyatakan pada Anjani kalau mau lari kemanapun, Ia sanggup mengejarnya.Anjani memutar badan dan mengayunkan nunchaku-nya dengan gesit, menangkis sabetan pedang kayu Shih-Tzu yang mematikan. Shih-Tzu juga menggunakan pelindung besi untuk bertahan dari serangan Anjani berikutnya. Benturan keduanya menimbulkan percikan api kecil di tengah hujan yang mulai turun lebih deras, menciptakan suasana penuh ketegangan.Dengan gerakan akrobatik, Shih-Tzu melompat ke atap ruko sebelah, tubuhnya meliuk anggun di udara seperti burung elang. Anjani mengejar tanpa
Sementara itu, di gang-gang sempit perkampungan yang menyelinap di belakang ruko-ruko tua, mendadak terdengar riuh oleh suara sepatu yang menghantam permukaan jalan berbatu. Ada yang sedang berkejaran di sana. Dua wanita muda dikejar oleh dua wanita muda yang lain.Anjani dan Khansa berlari berdampingan, napas mereka memburu di bawah sinar remang lampu jalan yang berkelap-kelip. Mereka tahu, dua bayangan hitam yang mengejar mereka saat ini bukanlah cewek-cewek biasa, Shih-Tzu dan Vodel adalah dua ninja wanita cukup mumpuni kemampuannya dari kelompok D.O.G. Baik Khansa maupun Anjani tahu kenapa dua ninja wanita itu ditakuti.Tiba-tiba, Shih-Tzu melesat lebih cepat dari bayangan malam, tubuhnya berputar seperti pusaran angin, menghempaskan tendangan melingkar yang memecahkan dinding kayu di sisi gang. Targetnya adalah salah satu dari kedua target. Anjani dengan sigap berguling ke samping, menghindari serangan berbahaya itu. Anjani mengumpat karena harus berjibaku dengan repot.Sementar
“Let’s go, Bro. Sekali lagi. Adu pukulan,” ucap Garin lemah sambil menyeringai terhadap Hektor.Suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang, seakan semua orang di kerumunan tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Jika Kasper dan Garin saja takluk, siapa yang bisa menghentikan orang ini?Tapi ini bukan masalah takut atau tidak takut. Bukan masalah menang kalah. Ini masalah menjalankan perintah sang pimpinan. Kerumunan preman jalanan berkerumun di sekitar Hektor, seperti ombak yang siap menghantam karang. Bagi mereka, menjalankan perintah Kasper adalah harga mati.Di saat pasukan preman jalanan mengerumuni Hektor, Garin tahu apa yang harus ia lakukan.Garin, dengan napas terengah-engah dan tubuh yang sudah penuh luka, berlari menuju gerbang lapangan sepak bola. Ia tahu di balik gerbang itu Han dan Viktor tengah bertempur, dan misi utamanya kali ini adalah memastikan Hektor tidak bisa mencapainya. Kalau Hektor yang mengerikan ini masuk, ditambah dengan Viktor, entah apakah H
Di bawah sinar lampu jalan yang temaram di dekat lapangan sepakbola, Hektor von Dasch berdiri dengan tangan bersidekap, tubuh jangkungnya tampak kokoh bagaikan baja. Di depannya, Kasper dan Garin bersiap dengan postur siaga, napas mereka berat setelah pertarungan-pertarungan sebelumnya menghabiskan tenaga mereka.Kasper melangkah maju lebih dulu, dengan amarah yang membara. “Mau lewat? Sayang sekali, kamu harus melewati kami terlebih dahulu!” teriaknya.Hektor hanya mengangkat alis, lalu menurunkan tangannya perlahan dan tersenyum meremehkan. Ia memberikan isyarat tantangan dengan menggerakkan kepalanya.Kasper tak menunggu lebih lama. Ia meluncur ke depan dengan gerakan eksplosif, menyerang dengan spear khasnya yang biasanya membuat lawan terpental. Namun kali ini spear yang ia lakukan bagaikan membentur tembok beton.Bukannya jatuh, Hektor malah tetap berdiri kokoh dengan perkasa. Saat tubuh Kasper menghantam dadanya, Hektor hanya melangkah mundur satu langkah kecil sebelum menjepit
Di tengah jalan kampung yang sempit, dengan debu yang beterbangan dan kerumunan orang yang membentuk lingkaran pelindung agar sang pimpinan bisa bertarung satu lawan satu, Kasper dan Hightower berdiri berhadapan.Keduanya bertubuh besar, seperti kaum titan yang siap menghancurkan apa pun di sekitarnya. Kasper, dengan gaya bertarung brutal dan random, langsung menyerang lebih dulu. Ia berlari cepat dan melayangkan spearing tackle ke arah Hightower, seperti banteng mengamuk dan menyeruduk dengan tanduknya. Tubuh kekar Hightower terdorong mundur, menghantam dinding sebuah ruko hingga terdengar suara retakan di tembok.Hightower tidak tinggal diam. Dengan gaya bertarungnya yang stabil dan penuh tenaga, ia memanfaatkan tubuh besarnya untuk melawan. Ketika Kasper bersiap untuk serangan berikutnya, Hightower melayangkan hook kiri ke rusuk Kasper, diikuti pukulan kanan yang menghantam rahang.Kasper terhuyung beberapa langkah, tapi bukannya mundur, ia justru meraung layaknya binatang buas, sa
Di atas atap ruko-ruko kampung yang reyot, Engkus dan Deden terus saling menyerang sambil melompat dari satu genteng ke genteng lain. Engkus, dengan gerakan cepatnya, melompat ke arah antena parabola di salah satu ruko, menggunakan benda itu sebagai tumpuan untuk melompat lebih tinggi. Dengan kecepatan kilat, ia mengayunkan tendangan ke arah Deden. Namun, Deden, yang tidak kalah cekatan, berhasil merunduk tepat waktu, membuat tendangan Engkus hanya mengenai udara.“Wekekekek. Ternyata jago juga!” seru Engkus sambil mendarat dengan ringan di ujung genteng.Deden mendengus sambil mengibaskan debu dari jaketnya. “Hari ini kamu kebanyakan ketawa. Tidak apa-apa, ketawalah selagi bisa,” balasnya sebelum melompat ke arah Engkus dengan tendangan yang diarahkan ke dada.Engkus menangkis pukulan itu dengan lengannya, tetapi tenaga Deden lebih kuat sehingga membuat si kerempeng itu terpental beberapa langkah ke belakang. Saat itulah genteng yang ia pijak retak dan luruh, hampir membuat Engkus te
Arif Ali terbang ke belakang setelah tendangan dari JC berhasil ia blok dengan menyilangkan tangan. Kemampuan mereka memang tidak selevel. Anggota Top Dogs itu menyerang dengan berangasan dan hasilnya sama sekali tak terlihat, sementara hanya dengan beberapa gerakan saja, Jonny Castor alias JC bisa membuat Arif Ali mundur.JC tersenyum sinis, “Suatu ketika sesosok iblis berbisik kepada seorang prajurit yang tengah berjuang – dia bilang : kamu tidak akan sanggup bertahan dari badai yang segera datang. Tapi prajurit itu menatap balik ke arah sang iblis dan berucap dengan penuh keyakinan; akulah badai itu.”Jonny Castor memainkan tangannya bak pesulap tengah memainkan kartu. Di antara kedua telapak tangannya, belasan helai dedaunan kering berterbangan membentuk satu lingkaran. Pria keturunan asing itu menatap Arif Ali dengan tajam, lalu menjentikkan jarinya, menghempaskan satu persatu daun ke depan.Arif Ali mengelak setiap kali daun yang dihempaskan JC datang. Dedaunan itu seharusnya ri