Share

Bab 3 Ada Yang Bimbang

“Woalaaaah. Mas Handoko ini kenapa to, Mas? Kok sampe besem-besem begini badannya?” Mbak Tita geleng-geleng kepala saat suaminya mengoleskan salep herbal ke badan Han yang biru-biru, “Sampeyan itu jatuh dari sepeda atau jatuh dari pucuk tebing Breksi? Kok bisa-bisanya biru-biru sak awak begini. Sebadan lho ini lebamnya.”

“Hahahaha. Biasalah, Bu. Cah lanang. Kalau laki-laki ya begini ini, meski cuma jatuh dari sepeda, tapi harus mbois jatuhnya! Harus keren! Kalau bisa harus sampai terguling-guling kayak eksyen India, jadi lebamnya sebadan. Lak iyo to, Mas Han?” Lek Wasis menimpali sembari mengoles dan memijat.

“Adududuuuh.” Han hanya meringis.

Suami istri yang menjadi tetangga kost-nya itu memang grapyak, ramah, dan selalu siap menolong kapan saja dibutuhkan. Mereka yang melihat Han pulang menuntun sepedanya dengan badan lebam-lebam langsung memaksa sang pemuda untuk menerima treatment herbal yang sejatinya tidak dia butuhkan.

“Untung sepedanya nggak rusak ya, Mas. Jadi masih bisa dikendarai dari kampus ke sini. Padahal jatuhnya kayaknya eksyen banget,” sekali lagi Mbak Tita berceletuk, “lha wong sampai sebadan begini birunya.”

“Iya.” Jawab Han singkat.

Wes. Rampung. Selesai.” Lek Wasis menepuk pundak si Bengal. “Ingat ya, Mas. Setelah ini sebaiknya jangan mandi dulu. Mendingan sampeyan langsung istirahat. Pertama minum jamu yang sudah tak ramu, terus leren dulu bentar, istirahat. Tapi jangan langsung tidur, ojo langsung. Jangan. Biar obat-obatanya meresap dulu. Nah setelah sekitar setengah jam, baru mulai rebahan. Wes to, tak jamin bisa pules tidurnya,”

Lek Wasis sepertinya amat mempercayai ramuan herbalnya.

“Siap. Makasih banyak, Lek. Mbak…”

“Sama-sama, Mas. Istirahat yo.”

Han mengangguk.

Pasangan itu segera pamit dan keluar dari kamar kost Han, meninggalkan sang pemuda sendirian di dalam kamar. Musik mengalun pelan dari laptop yang dinyalakan.

Han duduk di kasurnya yang diletakkan di lantai, menyandarkan punggungnya di tembok. Ia tidak memiliki pesawat televisi dan biasanya menggunakan laptopnya untuk menonton apapun. Ternyata dia masih beruntung, meski sempat dilemparkan ke bebatuan oleh orang-orang yang menyerangnya, ternyata laptop jadulnya hanya lepas baterai saja, tidak rusak parah.

Ia pun memutar lagu city pop versi lofi dan perlahan-lahan menikmati suasana malam, mencoba menenangkan hati dan perasaan dengan luka-luka lebam yang nyeri. Tapi mau bagaimanapun, Han tidak bisa memejamkan mata. Bukan karena sakit, kata-kata dari Pak No saat mereka berpisah berulang kali muncul di benaknya.

Hanya kamu yang bisa membuat perubahan, Han. Supaya tidak ada lagi kejadian mengerikan dan menyedihkan terjadi di tempat ini. Aku memang bodoh dan lemah, tapi bisa membaca aura seseorang. Kamu punya sesuatu. Kamulah perubahan yang ditunggu kampus ini.”

Han melirik ke samping, ke arah sebuah foto yang terdapat di meja. Ada fotonya, foto sang Ibu, Bapak, dan sang Kakek. Sebenar-benarnya keluarga yang membuatnya bahagia tapi kini semuanya sudah tiada.

Ia fokus ke wajah sang Kakek, ingat pertanyaan yang pernah diajukan kepadanya.

Satu pertanyaan yang mendasar dan utama, Han. Kapan kamu harus bertarung dan kapan kamu tidak perlu bertarung?”

Kalimat itu selalu muncul di pikiran sang pemuda. Sebuah pertanyaan yang diajukan oleh mendiang kakeknya ketika mereka berlatih di hutan pada suatu ketika. Hari ini dia dihajar habis-habisan karena tidak melawan. Banyak yang bertanya kenapa? Dia juga mungkin tak bisa menjawab. Apakah karena dia kasihan pada mereka? Tidak ingin ketahuan bisa bertarung? Atau hanya karena malas meladeni? Atau bahkan mungkin akumulasi dari semua hal itu?

Tapi sejujurnya, apakah orang-orang tadi pantas dikasihani?

Kenapa kamu melakukannya? Supaya kamu dianggap hebat? Supaya kamu dianggap paling kuat? Buat apa? Bukan itu yang menjadikan kamu sebagai anak ibu! Bukan itu yang kami inginkan darimu! Ibu kecewa sama kamu! Kasihan mereka, Han!

Dia juga masih teringat dengan jelas bagaimana ibunya meninggal dan masih menyisakan kekecewaan kepadanya. Sang Ibu marah besar karena dia terlibat dalam tawuran hebat yang mengakibatkan korban jiwa. Semua karena ambisinya, semua karena dia merasa hebat, semua karena dia merasa kuat dan tak terkalahkan. Dia tidak pernah peduli, sampai akhirnya dia kehilangan sahabatnya, dan akibatnya dia pun dikeluarkan dari sekolah.

Lalu ibunya sakit-sakitan, lalu meninggal, lalu dia pindah ke tempat Kakek. Han teringat dengan jelas alasan kenapa dia tidak mau bertarung dengan serius lagi. Karena dia sudah berjanji untuk berubah pada mendiang sang Bunda. Janji bahwa dia tidak akan pernah lagi mengecewakannya. Pesan terakhir sang Ibu selalu teringat.

Ketika Ibu sudah tidak ada nanti, jadilah orang yang berguna buat sesama. Mau seperti apapun kondisi kamu, Bapak dan Ibu pasti bangga sama kamu. Bantu yang perlu dibantu, jangan lagi merugikan orang lain.

Napas pemuda itu mulai teratur. Serasa ada yang tengah mengusap kepalanya.

Perlahan-lahan, Han pun lelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status