“Woalaaaah. Mas Handoko ini kenapa to, Mas? Kok sampe besem-besem begini badannya?” Mbak Tita geleng-geleng kepala saat suaminya mengoleskan salep herbal ke badan Han yang biru-biru, “Sampeyan itu jatuh dari sepeda atau jatuh dari pucuk tebing Breksi? Kok bisa-bisanya biru-biru sak awak begini. Sebadan lho ini lebamnya.”
“Hahahaha. Biasalah, Bu. Cah lanang. Kalau laki-laki ya begini ini, meski cuma jatuh dari sepeda, tapi harus mbois jatuhnya! Harus keren! Kalau bisa harus sampai terguling-guling kayak eksyen India, jadi lebamnya sebadan. Lak iyo to, Mas Han?” Lek Wasis menimpali sembari mengoles dan memijat.
“Adududuuuh.” Han hanya meringis.
Suami istri yang menjadi tetangga kost-nya itu memang grapyak, ramah, dan selalu siap menolong kapan saja dibutuhkan. Mereka yang melihat Han pulang menuntun sepedanya dengan badan lebam-lebam langsung memaksa sang pemuda untuk menerima treatment herbal yang sejatinya tidak dia butuhkan.
“Untung sepedanya nggak rusak ya, Mas. Jadi masih bisa dikendarai dari kampus ke sini. Padahal jatuhnya kayaknya eksyen banget,” sekali lagi Mbak Tita berceletuk, “lha wong sampai sebadan begini birunya.”
“Iya.” Jawab Han singkat.
“Wes. Rampung. Selesai.” Lek Wasis menepuk pundak si Bengal. “Ingat ya, Mas. Setelah ini sebaiknya jangan mandi dulu. Mendingan sampeyan langsung istirahat. Pertama minum jamu yang sudah tak ramu, terus leren dulu bentar, istirahat. Tapi jangan langsung tidur, ojo langsung. Jangan. Biar obat-obatanya meresap dulu. Nah setelah sekitar setengah jam, baru mulai rebahan. Wes to, tak jamin bisa pules tidurnya,”
Lek Wasis sepertinya amat mempercayai ramuan herbalnya.
“Siap. Makasih banyak, Lek. Mbak…”
“Sama-sama, Mas. Istirahat yo.”
Han mengangguk.
Pasangan itu segera pamit dan keluar dari kamar kost Han, meninggalkan sang pemuda sendirian di dalam kamar. Musik mengalun pelan dari laptop yang dinyalakan.
Han duduk di kasurnya yang diletakkan di lantai, menyandarkan punggungnya di tembok. Ia tidak memiliki pesawat televisi dan biasanya menggunakan laptopnya untuk menonton apapun. Ternyata dia masih beruntung, meski sempat dilemparkan ke bebatuan oleh orang-orang yang menyerangnya, ternyata laptop jadulnya hanya lepas baterai saja, tidak rusak parah.
Ia pun memutar lagu city pop versi lofi dan perlahan-lahan menikmati suasana malam, mencoba menenangkan hati dan perasaan dengan luka-luka lebam yang nyeri. Tapi mau bagaimanapun, Han tidak bisa memejamkan mata. Bukan karena sakit, kata-kata dari Pak No saat mereka berpisah berulang kali muncul di benaknya.
“Hanya kamu yang bisa membuat perubahan, Han. Supaya tidak ada lagi kejadian mengerikan dan menyedihkan terjadi di tempat ini. Aku memang bodoh dan lemah, tapi bisa membaca aura seseorang. Kamu punya sesuatu. Kamulah perubahan yang ditunggu kampus ini.”
Han melirik ke samping, ke arah sebuah foto yang terdapat di meja. Ada fotonya, foto sang Ibu, Bapak, dan sang Kakek. Sebenar-benarnya keluarga yang membuatnya bahagia tapi kini semuanya sudah tiada.
Ia fokus ke wajah sang Kakek, ingat pertanyaan yang pernah diajukan kepadanya.
“Satu pertanyaan yang mendasar dan utama, Han. Kapan kamu harus bertarung dan kapan kamu tidak perlu bertarung?”
Kalimat itu selalu muncul di pikiran sang pemuda. Sebuah pertanyaan yang diajukan oleh mendiang kakeknya ketika mereka berlatih di hutan pada suatu ketika. Hari ini dia dihajar habis-habisan karena tidak melawan. Banyak yang bertanya kenapa? Dia juga mungkin tak bisa menjawab. Apakah karena dia kasihan pada mereka? Tidak ingin ketahuan bisa bertarung? Atau hanya karena malas meladeni? Atau bahkan mungkin akumulasi dari semua hal itu?
Tapi sejujurnya, apakah orang-orang tadi pantas dikasihani?
“Kenapa kamu melakukannya? Supaya kamu dianggap hebat? Supaya kamu dianggap paling kuat? Buat apa? Bukan itu yang menjadikan kamu sebagai anak ibu! Bukan itu yang kami inginkan darimu! Ibu kecewa sama kamu! Kasihan mereka, Han!”
Dia juga masih teringat dengan jelas bagaimana ibunya meninggal dan masih menyisakan kekecewaan kepadanya. Sang Ibu marah besar karena dia terlibat dalam tawuran hebat yang mengakibatkan korban jiwa. Semua karena ambisinya, semua karena dia merasa hebat, semua karena dia merasa kuat dan tak terkalahkan. Dia tidak pernah peduli, sampai akhirnya dia kehilangan sahabatnya, dan akibatnya dia pun dikeluarkan dari sekolah.
Lalu ibunya sakit-sakitan, lalu meninggal, lalu dia pindah ke tempat Kakek. Han teringat dengan jelas alasan kenapa dia tidak mau bertarung dengan serius lagi. Karena dia sudah berjanji untuk berubah pada mendiang sang Bunda. Janji bahwa dia tidak akan pernah lagi mengecewakannya. Pesan terakhir sang Ibu selalu teringat.
“Ketika Ibu sudah tidak ada nanti, jadilah orang yang berguna buat sesama. Mau seperti apapun kondisi kamu, Bapak dan Ibu pasti bangga sama kamu. Bantu yang perlu dibantu, jangan lagi merugikan orang lain.”
Napas pemuda itu mulai teratur. Serasa ada yang tengah mengusap kepalanya.
Perlahan-lahan, Han pun lelap.
Han berjalan menuju sepedanya, di tangannya sudah tersedia satu bungkusan jajanan martabak murah meriah untuk sarapan pagi ini. Ia melangkah sembari menatap ke sekeliling lapangan yang ada di samping SD negeri. Semarak sekali kalau jam istirahat begini, banyak anak-anak SD yang keluar untuk mencari jajanan. Selain martabak yang populer di sini, banyak penjual lain yang menawarkan dagangan mereka.Suasananya ramai dan menyenangkan. Semuanya tenang, nyaman, dan aman sampai kemudian terdengar suara kencang membahana.“MAKANYAAAA BAYAAAAR!!!”Suara teriakan itu datang dari sebuah gerobak yang menjajakan cilok. Seorang bapak pedagang yang kurus merunduk ketakutan ketika tiga orang pemuda yang mengenakan pakaian ala-ala band punk mengerumuni gerobaknya. Caping yang ia kenakan diangkat ke atas untuk menunjukkan wajahnya yang kecut menghadapi ketiga orang pemuda itu. Kulit sang bapak tua yang gelap dan mengkilap makin basah oleh keringat.“Den, gimana saya bisa bayar, Den... hari ini saja bel
Panggung jalanan digelar. Han di sisi kiri, melawan tiga pemuda punk di sisi kanan.Dari ketiga pemuda punk, si Gondrong nampaknya yang paling gemas dengan tingkah tengil Han. Ia yang pertama merangsek ke depan. Langkahnya mantap, yakin dan percaya diri. Pemuda punk itu maju sampai ia berdiri tak jauh dari Han dan mengambil ancang-ancang.Si Gondrong meludah saat melihat senyum si cuek yang baginya sangat menghina, Ia emosi karena merasa diremehkan. Ia dan Han saling menatap tanpa melepas pandangan. Tak perlu ada ucap kata karena masing-masing tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.Si Gondrong meradang, ia menatap Han dengan sengit. Kunyuk satu ini sepertinya belum pernah berkenalan dengan tendangannya, “Dasar tengik! Munyuk! Malah cengengesan! Tendang pisan bubar dapurmu!”Si Gondrong mengamati pose stance Han. Ia masih berdiri saja di situ, tegap dengan kaki setengah ditekuk dan tubuh turun sedikit. Lengan kanan Han ditarik ke tengah badan, sementara telapak tangannya menghadap ke
Gagak Handoko menyeringai dan menatap ke depan tanpa menegakkan kepalanya yang menunduk. Senyumannya kali ini terasa mengerikan untuk ketiga lawan karena mereka berasa berhadapan dengan orang gila yang hanya tersenyum saja.Kembali si cuek itu mengatur kuda-kuda yang unik. Ia merunduk sedikit, jarak kaki agak melebar, posisi telapak tangan tegak tepat di depan dada dengan tangan kanan lebih di depan dibandingkan tangan kiri. Sekilas lihat mirip seperti pose yang tidak mengancam.Si Leher Tato mengernyitkan dahi. Sebentar. Kuda-kuda itu sepertinya tidak asing. Dia pernah melihat stance atau kuda-kuda yang mirip seperti yang tengah ditunjukkan oleh si tengil itu. Tapi di mana ya?Si Gondrong dan si Rambut Ungu bersiap untuk maju. tapi si Leher Tato menahan kedua kawannya. Ia menggeleng kepala. Pose si Tengil memang seakan-akan lembek, tapi dia paham betul ancang-ancang seperti itu justru sangat menunjukkan kesiapan. Dia memberikan peringatan kepada kawan-kawannya untuk berhati-hati.“Ma
Tubuh Han terlempar ke belakang atau lebih tepatnya terseret, karena kakinya masih menapak tanah. Tangannya disilangkan di depan wajah bagaikan perisai dan itu membuat rasa senat-senut menjalar karena tangan itu digunakan untuk menahan serangan Kasper si Hantu Kecil bertubuh bongsor yang melontarkan pukulan telak.Han tahu, pukulan yang dilayangkan dari jarak teramat dekat oleh orang yang sangat lihai bertarung tidak akan bisa dielakkan. Karena dia tidak akan sempat menghindar, maka satu-satunya jalan adalah harus bertahan.Han menyeringai, “Lumayan.”Kasper mendengus. Ia agak kesal. “Hebat juga bisa menahan pukulanku. Biasanya orang lain akan langsung pingsan sekali pukul.”“Mungkin aku salah satu yang beruntung,” ujar Han sembarangan.“Mungkin,” Kasper menimpali. Ia mengayunkan tangan. “Tapi aku tidak akan ada keberuntungan yang kedua kalinya. Aku selalu belajar dari kesalahan.”Han langsung menyadari kalau di belakang Kasper muncul serombongan preman punk yang lain. Dua, empat, sep
Han jatuh ke sungai. Pakaian dan celananya pun basah. Meski begitu Ia dapat berdiri dengan tegak kembali karena memang sungai itu tidak terlampau dalam. Ia tersenyum sembari bertolak pinggang menghadap ke atas, ke arah Kasper si Demit Cilik yang berdiri dengan santai di atas sebatang kayu.“Keren juga. Skor kita satu-satu.”Kasper hanya mendengus. Pria bertubuh besar itu tersenyum sinis. “Naiklah.”Tidak perlu diminta dua kali, Han naik melalui sisi kanan sungai untuk berdiri kembali di hadapan Kasper. Skor sekarang sama imbang. Siapapun masih bisa menang.“Majulah. Aku tidak akan bergeming sedikitpun! Kau lihat sa…!”Jbmmmm!Tubuh Kasper kembali melayang ke belakang dan jatuh berdebam berulang-ulang kali. Lagi-lagi dengan cara yang sama. Serangan yang begitu cepatnya sampai-sampai tak terlihat. Wajahnya berulang kali terantuk tanah.Sang preman bertubuh raksasa itu mendengus kesal dan memukul tanah beberapa kali. Kasper menggemeretakkan gigi. Mau tidak mau dia harus mengakui kalau Ha
“Di-dia tidak bersalah!”Bapak tua penjual cilok dengan berani memasang badan untuk melindungi Han dari kerubutan orang-orang yang menuduhnya. Mereka tertegun ketika pria tua yang mereka kenal itu tiba-tiba saja menyeruak dan berdiri di antara mereka dan sang pemuda.“Dia telah membantu saya dan teman-teman penjual jajanan lain yang selama ini dipalak oleh para preman. Pemuda ini mengalahkan preman-preman yang biasa keliling di sini dan membuat mereka kabur.”Meski bergetar karena takut menghadapi orang banyak, sang penjaja cilok memutuskan untuk membantu Han.Sang guru SD yang cantik itu masih terengah-engah karena emosi, “Tapi Pak! Mereka ini sebenarnya hanya mau berebut lahan par…”“Saya bisa pastikan kalau saya tidak tergabung dalam kelompok atau ormas apapun yang ingin berebut lahan parkir dari para preman. Saya bertengkar dengan mereka semata-mata karena ingin meminta ganti rugi,” ujar Han.Pemuda itu maju ke depan bapak penjual cilok. Ia tersenyum pada sang pria tua, “Terima ka
Han keluar dari dalam air.Rasty terbelalak dan berteriak kencang. “Haaan!”Sembari membawa sang bocah kecil yang ternyata sudah terdiam tak bergerak. Han berenang ke tepian. Tak butuh waktu lama bagi Han untuk membawa anak itu ke tepian. Sang ibu sudah berteriak-teriak histeris melihat anak itu mulai pucat.Begitu sampai di tepian, Han langsung membaringkan anak itu terlentang di tempat yang kering.“Bagaimana anakku? Bagaimana anakku!?”Han melirik ke arah Rasty. Guru SD itu mendekat ke arah Han.“Piye, Han? Bagaimana?”Han menggeleng, “Tidak respons. Tidak bernapas.”“Bisa CPR?”Han mengangguk.“Aku akan membantu menenangkan sang ibu. Tolong anak itu. Sekarang.”Han segera bergerak. Hal pertama yang harus dilakukan pada korban tenggelam adalah memeriksa napasnya, jika tidak ada respons dan tidak bernapas, maka langkah pertama adalah memastikan leher dan kepala berada dalam posisi yang aman.Untuk menyelamatkan diperlukan CPR. Han harus membuka jalan napas sang bocah. Ia mendongakka
Sekali lagi Gagak Handoko melewati hari dengan tenang, kuliah lancar hatipun senang. Tinggal cari makan malam saja, terus tidur dengan nyenyak setelah mengerjakan beberapa tugas kuliah untuk besok.Sembari menunggu bis lewat, Han membuka buku catatannya. Untung cahaya di halte ini sangat terang.Pemuda itu menekan tombol di ujung bolpennya, lalu mulai melingkari beberapa hal penting yang tadi disampaikan oleh dosen mata kuliahnya. Sebenarnya ada banyak yang tidak ia pahami mengenai algoritma, tapi tentu saja tetap harus dipelajari karena logika berpikir komputasional merupakan dasar pemahaman di Teknik Informatika.“Coek, paham ora koen?” bisik seseorang di sebelah Han dengan logat ala timuran.“Ora e, Nyuk. Dosen-e cerito opo aku ra mudeng,” geleng sang teman yang juga tidak memahami apa yang dijelaskan.“Makane kuwi nek ono tugas digarap, nek ono quiz yo sinau,” orang di sebelah Han menggerutu, “kalau kuliah itu yang serius. Jangan pas dosen menjelaskan malah main hape sendiri. Kala
Han melangkah maju, kobaran api di sekelilingnya semakin mendominasi lapangan yang kini terasa seperti medan perang. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang Viktor menggunakan ledakan api berbentuk harimau yang melesat dengan kecepatan luar biasa. Viktor mencoba menghindar, tetapi ekor harimau api itu menyambar bahunya, membuatnya terlempar beberapa meter.“Jangan berpikir kau bisa lolos dengan mudah,” Viktor berkata sambil berdiri tertatih, memfokuskan kekuatannya untuk melawan. Listrik mulai terkumpul di tangannya, membentuk bola energi yang lebih besar dan mematikan. Ia melemparkannya ke arah Han dengan kekuatan penuh, menciptakan ledakan besar saat menyentuh tanah.Namun, ketika debu menghilang, Han masih berdiri tegap, meskipun kini dengan pakaian yang sebagian hangus. “Itu cukup menghibur,” katanya, senyumnya masih tetap sinis. Ia mengangkat tangannya lagi, kali ini menciptakan dinding api yang melindunginya dari serangan Viktor selanjutnya.Viktor mulai kehabisan tenaga karena
Lapangan sepakbola yang terkurung ruko-ruko itu terasa hening, seolah segala suara dari dunia luar lenyap. Han, dengan tangan dimasukkan ke saku celana, berdiri santai di tengah lapangan. Wajahnya dihiasi senyum menyeringai, meskipun matanya tetap tajam memandang Viktor von Dasch di seberang.Viktor, dengan sikap penuh percaya diri, melangkah maju sambil mengayunkan jemarinya yang memercikkan listrik. “Kamu lumayan, Bro. Jadi Aku akan lebih serius,” Viktor berkata sambil tertawa kecil. “Tadinya Aku pikir Aku tak perlu berusaha terlalu keras.”Han hanya mengangkat alis, tak berkata apa-apa. Ia menggeser kakinya sedikit, bersiap. Sebuah langkah kecil yang hampir tidak terlihat, tetapi penuh makna. Viktor, merasa diremehkan, mengayunkan tangannya ke depan, mengirimkan sambaran petir ke arah Han.Sambaran itu menghantam tanah dengan dentuman keras, meninggalkan bekas hangus yang berasap. Namun, Han sudah tidak berada di tempat itu. Dengan langkah ringan, ia bergeser ke samping, membuat Vi
Di sisi lain, Anjani melompat ke tangga besi yang berkarat, mendaki dengan cepat hingga mencapai atap ruko. Shih-Tzu tak mau kalah, Ia meluncur seperti bayangan gelap, menghantam besi tua itu dengan tumitnya hingga tangga bergoyang hebat. Anjani nyaris terlempar, namun berhasil mencengkeram pinggiran atap dan melompat ke permukaan yang licin.Shih-Tzu sambil melompat ke atap, meluncur seperti badai yang tak terhentikan, seakan-akan hendak menyatakan pada Anjani kalau mau lari kemanapun, Ia sanggup mengejarnya.Anjani memutar badan dan mengayunkan nunchaku-nya dengan gesit, menangkis sabetan pedang kayu Shih-Tzu yang mematikan. Shih-Tzu juga menggunakan pelindung besi untuk bertahan dari serangan Anjani berikutnya. Benturan keduanya menimbulkan percikan api kecil di tengah hujan yang mulai turun lebih deras, menciptakan suasana penuh ketegangan.Dengan gerakan akrobatik, Shih-Tzu melompat ke atap ruko sebelah, tubuhnya meliuk anggun di udara seperti burung elang. Anjani mengejar tanpa
Sementara itu, di gang-gang sempit perkampungan yang menyelinap di belakang ruko-ruko tua, mendadak terdengar riuh oleh suara sepatu yang menghantam permukaan jalan berbatu. Ada yang sedang berkejaran di sana. Dua wanita muda dikejar oleh dua wanita muda yang lain.Anjani dan Khansa berlari berdampingan, napas mereka memburu di bawah sinar remang lampu jalan yang berkelap-kelip. Mereka tahu, dua bayangan hitam yang mengejar mereka saat ini bukanlah cewek-cewek biasa, Shih-Tzu dan Vodel adalah dua ninja wanita cukup mumpuni kemampuannya dari kelompok D.O.G. Baik Khansa maupun Anjani tahu kenapa dua ninja wanita itu ditakuti.Tiba-tiba, Shih-Tzu melesat lebih cepat dari bayangan malam, tubuhnya berputar seperti pusaran angin, menghempaskan tendangan melingkar yang memecahkan dinding kayu di sisi gang. Targetnya adalah salah satu dari kedua target. Anjani dengan sigap berguling ke samping, menghindari serangan berbahaya itu. Anjani mengumpat karena harus berjibaku dengan repot.Sementar
“Let’s go, Bro. Sekali lagi. Adu pukulan,” ucap Garin lemah sambil menyeringai terhadap Hektor.Suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang, seakan semua orang di kerumunan tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Jika Kasper dan Garin saja takluk, siapa yang bisa menghentikan orang ini?Tapi ini bukan masalah takut atau tidak takut. Bukan masalah menang kalah. Ini masalah menjalankan perintah sang pimpinan. Kerumunan preman jalanan berkerumun di sekitar Hektor, seperti ombak yang siap menghantam karang. Bagi mereka, menjalankan perintah Kasper adalah harga mati.Di saat pasukan preman jalanan mengerumuni Hektor, Garin tahu apa yang harus ia lakukan.Garin, dengan napas terengah-engah dan tubuh yang sudah penuh luka, berlari menuju gerbang lapangan sepak bola. Ia tahu di balik gerbang itu Han dan Viktor tengah bertempur, dan misi utamanya kali ini adalah memastikan Hektor tidak bisa mencapainya. Kalau Hektor yang mengerikan ini masuk, ditambah dengan Viktor, entah apakah H
Di bawah sinar lampu jalan yang temaram di dekat lapangan sepakbola, Hektor von Dasch berdiri dengan tangan bersidekap, tubuh jangkungnya tampak kokoh bagaikan baja. Di depannya, Kasper dan Garin bersiap dengan postur siaga, napas mereka berat setelah pertarungan-pertarungan sebelumnya menghabiskan tenaga mereka.Kasper melangkah maju lebih dulu, dengan amarah yang membara. “Mau lewat? Sayang sekali, kamu harus melewati kami terlebih dahulu!” teriaknya.Hektor hanya mengangkat alis, lalu menurunkan tangannya perlahan dan tersenyum meremehkan. Ia memberikan isyarat tantangan dengan menggerakkan kepalanya.Kasper tak menunggu lebih lama. Ia meluncur ke depan dengan gerakan eksplosif, menyerang dengan spear khasnya yang biasanya membuat lawan terpental. Namun kali ini spear yang ia lakukan bagaikan membentur tembok beton.Bukannya jatuh, Hektor malah tetap berdiri kokoh dengan perkasa. Saat tubuh Kasper menghantam dadanya, Hektor hanya melangkah mundur satu langkah kecil sebelum menjepit
Di tengah jalan kampung yang sempit, dengan debu yang beterbangan dan kerumunan orang yang membentuk lingkaran pelindung agar sang pimpinan bisa bertarung satu lawan satu, Kasper dan Hightower berdiri berhadapan.Keduanya bertubuh besar, seperti kaum titan yang siap menghancurkan apa pun di sekitarnya. Kasper, dengan gaya bertarung brutal dan random, langsung menyerang lebih dulu. Ia berlari cepat dan melayangkan spearing tackle ke arah Hightower, seperti banteng mengamuk dan menyeruduk dengan tanduknya. Tubuh kekar Hightower terdorong mundur, menghantam dinding sebuah ruko hingga terdengar suara retakan di tembok.Hightower tidak tinggal diam. Dengan gaya bertarungnya yang stabil dan penuh tenaga, ia memanfaatkan tubuh besarnya untuk melawan. Ketika Kasper bersiap untuk serangan berikutnya, Hightower melayangkan hook kiri ke rusuk Kasper, diikuti pukulan kanan yang menghantam rahang.Kasper terhuyung beberapa langkah, tapi bukannya mundur, ia justru meraung layaknya binatang buas, sa
Di atas atap ruko-ruko kampung yang reyot, Engkus dan Deden terus saling menyerang sambil melompat dari satu genteng ke genteng lain. Engkus, dengan gerakan cepatnya, melompat ke arah antena parabola di salah satu ruko, menggunakan benda itu sebagai tumpuan untuk melompat lebih tinggi. Dengan kecepatan kilat, ia mengayunkan tendangan ke arah Deden. Namun, Deden, yang tidak kalah cekatan, berhasil merunduk tepat waktu, membuat tendangan Engkus hanya mengenai udara.“Wekekekek. Ternyata jago juga!” seru Engkus sambil mendarat dengan ringan di ujung genteng.Deden mendengus sambil mengibaskan debu dari jaketnya. “Hari ini kamu kebanyakan ketawa. Tidak apa-apa, ketawalah selagi bisa,” balasnya sebelum melompat ke arah Engkus dengan tendangan yang diarahkan ke dada.Engkus menangkis pukulan itu dengan lengannya, tetapi tenaga Deden lebih kuat sehingga membuat si kerempeng itu terpental beberapa langkah ke belakang. Saat itulah genteng yang ia pijak retak dan luruh, hampir membuat Engkus te
Arif Ali terbang ke belakang setelah tendangan dari JC berhasil ia blok dengan menyilangkan tangan. Kemampuan mereka memang tidak selevel. Anggota Top Dogs itu menyerang dengan berangasan dan hasilnya sama sekali tak terlihat, sementara hanya dengan beberapa gerakan saja, Jonny Castor alias JC bisa membuat Arif Ali mundur.JC tersenyum sinis, “Suatu ketika sesosok iblis berbisik kepada seorang prajurit yang tengah berjuang – dia bilang : kamu tidak akan sanggup bertahan dari badai yang segera datang. Tapi prajurit itu menatap balik ke arah sang iblis dan berucap dengan penuh keyakinan; akulah badai itu.”Jonny Castor memainkan tangannya bak pesulap tengah memainkan kartu. Di antara kedua telapak tangannya, belasan helai dedaunan kering berterbangan membentuk satu lingkaran. Pria keturunan asing itu menatap Arif Ali dengan tajam, lalu menjentikkan jarinya, menghempaskan satu persatu daun ke depan.Arif Ali mengelak setiap kali daun yang dihempaskan JC datang. Dedaunan itu seharusnya ri