Share

Bab 2 Ada Yang Menunggu

Han terkesiap.

Aduh, sudah berapa lama dia pingsan?

Han mengusap kepalanya yang terasa berat. Badannya sakit semua dan sekujur tubuh berasa lebam. Ia sedang terkapar di samping sebuah pohon besar di dekat taman Kampus di bawah langit berbintang. Orang-orang yang menyerangnya tadi sepertinya benar-benar menuntaskan kemarahan mereka padanya.

Han tersenyum. Jadi seperti ini ya rasanya jadi mangsa tukang bully? Ia berdiri dengan susah payah dan mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan.

“Kamu orang yang aneh.”

Han menengok ke samping.

Ada seorang pria tua kurus yang mengenakan seragam satpam kampus berada tak jauh darinya. Ia duduk di sebuah batu besar di samping lampu taman bulat yang menyala terang.

“Bapak ngomong sama saya?”

“Mas, Ini jam sebelas malam, kampus sudah sepi, dan cuma ada kita berdua di sini. Kira-kira ngomong sama siapa lagi? Hantu? Ga ada hantu di sini, Mas. Adanya di sana, di toilet deket gedung pertemuan mahasiswa.”

Han mencoba tersenyum tapi sesaat kemudian ia meringis pedih. Bibirnya terasa sakit. Mungkin pecah karena tadi dia dihajar sampai pingsan. Ia kembali mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan, memasukkan semuanya ke dalam tas ransel yang ia bawa-bawa.

“Kenapa kok nggak melawan, Mas?”

Han melirik ke arah sang Bapak dan menggelengkan kepala. Tidak dia tidak akan melawan, karena jika dia melawan, semua yang dia perjuangkan sejak keluar dari SMA Bangsa akan hangus begitu saja. Sejak kematian sang sahabat, dia sudah berjanji tidak akan bertarung lagi untuk alasan apapun.

Han ingat sekali betapa hancurnya hati sang Bunda ketika Han harus dikeluarkan dari sekolah gara-gara dituding menjadi penyebab kematian sang sahabat. Han harus pindah sekolah di desa dan tinggal bersama Kakek untuk melanjutkan sekolahnya di pelosok, jauh dari hingar bingar kota. Tak ada lagi pertarungan, tawuran, dan perkelahian.

Untuk memperbaiki diri, Han telah berjanji pada almarhum Ibu dan Bapaknya, pada Kakeknya, dan pada mendiang sahabatnya, bahwa dia hanya akan kembali bertarung, di saat yang tepat dan jika memang alasannya tepat. Kunyuk-kunyuk tadi? Bukan alasan yang tepat.

“Tidak layak untuk dilawan, Pak.”

“Heheh. Padahal aku bisa membaca ada sesuatu yang besar yang bergejolak di dalam dirimu. Kamu mencoba menahannya sekuat tenaga kan? Heheheh. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan.”

Han terdiam sejenak, tapi tidak lantas beranjak, seperti tidak mengindahkan pertanyaan yang diajukan.

Bapak tua itu tidak berhenti mencecar, “Kamu sebenarnya bisa melawan. Bahkan bisa melakukan hal yang lebih dari sekedar itu, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Kenapa? Tidak mungkin karena takut.”

Han hanya tersenyum mendengar pertanyaan sang satpam, apalagi ketika menyadari ada barangnya yang hilang. Han kebingungan mencari kesana dan kemari tapi tetap tidak menemukannya. Di mana mereka membuangnya tadi? Apakah sudah tertiup angin?

Sang satpam mengangkat selembar foto.

Han tersenyum dan menghampiri Bapak Tua itu, lalu menerima foto sang bunda, “Terima kasih, Pak.”

Bapak tua itu mengangguk-angguk. Ia mengulurkan sesuatu, sebotol air mineral.

“Minumlah. Kamu membutuhkannya.”

Han menerimanya dan duduk di sebelah sang Bapak. “Kenapa nungguin saya, Pak?”

Sang satpam tua terkekeh, “Karena aku tertarik padamu. Aku melihat semuanya, membaca auramu, dan sejuta pertanyaan melintas di pikiranku.”

“Oh,” Han mengangkat bahu, “Aku sama sekali tidak paham kenapa Bapak tertarik padaku. Aku hanyalah mahasiswa baru yang hari ini kena naas dihajar geng preman kampus.”

Bapak itu tersenyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Han, “Namaku Djoewarno. Panggil saja Pak No.”

Han menyalami pria tua itu, “Saya Handoko. Panggil saja Han.”

“Handoko? Heheh. Sudah sangat jarang ada yang pakai nama seperti itu, anak-anak jaman sekarang biasanya Andrew, Kenny, Kevin, atau… Zayn misalnya.”

Han menunduk dan tersenyum, “Tidak apa-apa. Itu nama pemberian Bapak dan Ibu saya.”

“Setuju.”

“Sudah lama kerja di sini, Pak?”

Wes suwe, tiga puluh tahun. Sudah banyak yang aku lihat di sini mulai dari kejadian yang menyenangkan sampai yang tidak. Kampus ini punya reputasi yang amat buruk dan aku wes terlalu banyak menyaksikan kejadian yang tidak menyenangkan. Kamu belum mengalami apa-apa.”

“Lagipula aku bukan orang yang mereka cari.”

“Kenapa kamu bersikukuh? Bukankah kamu orang yang mereka cari? Nama sama, penampilan sama. Kamu bahkan memilih mengalah untuk dihajar sampai babak belur. Ada alasan khusus kenapa kamu tidak mengaku?”

Han menggeleng kepala. “Tidak ada.”

Han selalu bilang mereka salah karena orang yang mereka maksud memang sudah tidak ada. Dia yang sekarang bukanlah dia yang dulu. Dia berubah banyak sejak tinggal bersama sang Kakek, apalagi sejak meninggalnya Ibu. Han paham bahwa di balik kemampuan yang besar, dibutuhkan tanggung jawab yang besar pula.

Han dan sang Kakek masih berlatih ilmu bela diri, bahkan kemampuannya sangat meningkat – tapi Kakek selalu berpesan kalau lawannya tidak layak, lebih baik diam saja, karena jika Han membalas, kasihan mereka.

“Orang yang mereka maksud sudah tidak ada lagi.”

Pak No manggut-manggut, “Padahal dari aura, kamu punya ilmu linuwih yang...”

Han hanya tersenyum sedikit dan berdiri, “Terima kasih, Pak. Buat fotonya, minumannya, terima kasih juga sudah bersedia nungguin saya sampai bangun.”

“Handoko. Mereka yang tertindas, tidak bisa melawan, dan tidak bisa mempertahankan diri butuh bantuanmu.”

Han menghela napas, “Saya hanya mahasiswa baru. Tadi saja saya dihajar habis-habisan. Orang seperti saya bisa apa.”

“Ada tiga geng besar di sini. Mereka dibiarkan bebas oleh pengelola kampus karena memang kekuatan mereka berkembang menjadi sangat menakutkan.”

Pak No terdiam sejenak sebelum melanjutkan.

“Semua di sini hobi tawuran. Kampus yang megah jadi sarang preman, sehari-hari ada korban perundungan. Sudah banyak cara ditempuh tapi kondisi tidak berubah selama bertahun-tahun. Sangat disayangkan.”

Han mendengarkan.

“Berbeda dengan kampus tetangga yang ada di seberang ringroad. Kampus yang tadinya diolok-olok, malah berkembang menjadi salah satu kampus terbaik. Lebih populer dan diminati kalangan menengah ke atas. Penuh prestasi, tidak ada tukang bully.”

Han mengangguk paham. Antara Universitas Cemara dan Akademi Komputer Unggulan memang hanya berbatas ringroad.

“Sementara di sini? Kamu tahu sendiri. Mahasiswa berprestasi sedikit, yang punya duit dan pintar mending pilih kampus lain. Kerusuhan merajalela, tawuran antar geng tiga kali sehari. Rata-rata mereka yang masuk ke sini dari keluarga kalangan menengah ke bawah yang dananya kurang untuk kuliah di kampus terbaik.”

“Kenapa Bapak menceritakan ini ke saya?”

Pak No tersenyum, “Cerita? Ah. Aku ingin cerita tentang anakku, Han. Namanya Ahmad, dia baik, pintar, dan cerdas. Sayang gagal dapat beasiswa karena dicurangi pihak sekolah. Mereka mendahulukan siswa berduit minim prestasi.”

Han paham, permainan manajemen sekolah.

“Ujung-ujungnya dia hanya bisa masuk ke Universitas Cemara ini, karena aku mendapat potongan harga. Tapi dia suka dan dia bangga kuliah di sini, dia belajar dengan serius. Sama seperti kamu, dia juga masuk IT.”

Han terdiam. Suara Pak No terdengar bergetar, ia menunjuk ke arah timur laut.

“Sebelah sana. Ahmad dimakamkan di pemakaman umum yang ada di sebelah sana. Dekat dengan tempatku tinggal. Kelompok yang tadi menghajarmu – sering disebut DMA, konon mereka yang menjadi penyebabnya, mereka meninggalkannya begitu saja seperti tikus di tengah jalan. Ahmad terbaring di trotoar dengan tubuh penuh luka lebam dan hantaman benda tumpul di kepala. Tidak ada satupun yang mendapatkan hukuman, tidak ada yang disidang. Pernyataan pihak kepolisian sama dengan pernyataan kampus. Kecelakaan, semua ditutup-tutupi.”

Han menunduk.

“Han, dia bukan yang pertama dan bukan satu-satunya. Aku yakin dia tidak akan menjadi yang terakhir. Bantu mereka yang membutuhkan.”

Han semakin menunduk.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
sempak kancut
hadehhh hann, keras lagi ni kehidupunk mu han
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status