Han terkesiap.
Aduh, sudah berapa lama dia pingsan?
Han mengusap kepalanya yang terasa berat. Badannya sakit semua dan sekujur tubuh berasa lebam. Ia sedang terkapar di samping sebuah pohon besar di dekat taman Kampus di bawah langit berbintang. Orang-orang yang menyerangnya tadi sepertinya benar-benar menuntaskan kemarahan mereka padanya.
Han tersenyum. Jadi seperti ini ya rasanya jadi mangsa tukang bully? Ia berdiri dengan susah payah dan mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan.
“Kamu orang yang aneh.”
Han menengok ke samping.
Ada seorang pria tua kurus yang mengenakan seragam satpam kampus berada tak jauh darinya. Ia duduk di sebuah batu besar di samping lampu taman bulat yang menyala terang.
“Bapak ngomong sama saya?”
“Mas, Ini jam sebelas malam, kampus sudah sepi, dan cuma ada kita berdua di sini. Kira-kira ngomong sama siapa lagi? Hantu? Ga ada hantu di sini, Mas. Adanya di sana, di toilet deket gedung pertemuan mahasiswa.”
Han mencoba tersenyum tapi sesaat kemudian ia meringis pedih. Bibirnya terasa sakit. Mungkin pecah karena tadi dia dihajar sampai pingsan. Ia kembali mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan, memasukkan semuanya ke dalam tas ransel yang ia bawa-bawa.
“Kenapa kok nggak melawan, Mas?”
Han melirik ke arah sang Bapak dan menggelengkan kepala. Tidak dia tidak akan melawan, karena jika dia melawan, semua yang dia perjuangkan sejak keluar dari SMA Bangsa akan hangus begitu saja. Sejak kematian sang sahabat, dia sudah berjanji tidak akan bertarung lagi untuk alasan apapun.
Han ingat sekali betapa hancurnya hati sang Bunda ketika Han harus dikeluarkan dari sekolah gara-gara dituding menjadi penyebab kematian sang sahabat. Han harus pindah sekolah di desa dan tinggal bersama Kakek untuk melanjutkan sekolahnya di pelosok, jauh dari hingar bingar kota. Tak ada lagi pertarungan, tawuran, dan perkelahian.
Untuk memperbaiki diri, Han telah berjanji pada almarhum Ibu dan Bapaknya, pada Kakeknya, dan pada mendiang sahabatnya, bahwa dia hanya akan kembali bertarung, di saat yang tepat dan jika memang alasannya tepat. Kunyuk-kunyuk tadi? Bukan alasan yang tepat.
“Tidak layak untuk dilawan, Pak.”
“Heheh. Padahal aku bisa membaca ada sesuatu yang besar yang bergejolak di dalam dirimu. Kamu mencoba menahannya sekuat tenaga kan? Heheheh. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan.”
Han terdiam sejenak, tapi tidak lantas beranjak, seperti tidak mengindahkan pertanyaan yang diajukan.
Bapak tua itu tidak berhenti mencecar, “Kamu sebenarnya bisa melawan. Bahkan bisa melakukan hal yang lebih dari sekedar itu, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Kenapa? Tidak mungkin karena takut.”
Han hanya tersenyum mendengar pertanyaan sang satpam, apalagi ketika menyadari ada barangnya yang hilang. Han kebingungan mencari kesana dan kemari tapi tetap tidak menemukannya. Di mana mereka membuangnya tadi? Apakah sudah tertiup angin?
Sang satpam mengangkat selembar foto.
Han tersenyum dan menghampiri Bapak Tua itu, lalu menerima foto sang bunda, “Terima kasih, Pak.”
Bapak tua itu mengangguk-angguk. Ia mengulurkan sesuatu, sebotol air mineral.
“Minumlah. Kamu membutuhkannya.”
Han menerimanya dan duduk di sebelah sang Bapak. “Kenapa nungguin saya, Pak?”
Sang satpam tua terkekeh, “Karena aku tertarik padamu. Aku melihat semuanya, membaca auramu, dan sejuta pertanyaan melintas di pikiranku.”
“Oh,” Han mengangkat bahu, “Aku sama sekali tidak paham kenapa Bapak tertarik padaku. Aku hanyalah mahasiswa baru yang hari ini kena naas dihajar geng preman kampus.”
Bapak itu tersenyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Han, “Namaku Djoewarno. Panggil saja Pak No.”
Han menyalami pria tua itu, “Saya Handoko. Panggil saja Han.”
“Handoko? Heheh. Sudah sangat jarang ada yang pakai nama seperti itu, anak-anak jaman sekarang biasanya Andrew, Kenny, Kevin, atau… Zayn misalnya.”
Han menunduk dan tersenyum, “Tidak apa-apa. Itu nama pemberian Bapak dan Ibu saya.”
“Setuju.”
“Sudah lama kerja di sini, Pak?”
“Wes suwe, tiga puluh tahun. Sudah banyak yang aku lihat di sini mulai dari kejadian yang menyenangkan sampai yang tidak. Kampus ini punya reputasi yang amat buruk dan aku wes terlalu banyak menyaksikan kejadian yang tidak menyenangkan. Kamu belum mengalami apa-apa.”
“Lagipula aku bukan orang yang mereka cari.”
“Kenapa kamu bersikukuh? Bukankah kamu orang yang mereka cari? Nama sama, penampilan sama. Kamu bahkan memilih mengalah untuk dihajar sampai babak belur. Ada alasan khusus kenapa kamu tidak mengaku?”
Han menggeleng kepala. “Tidak ada.”
Han selalu bilang mereka salah karena orang yang mereka maksud memang sudah tidak ada. Dia yang sekarang bukanlah dia yang dulu. Dia berubah banyak sejak tinggal bersama sang Kakek, apalagi sejak meninggalnya Ibu. Han paham bahwa di balik kemampuan yang besar, dibutuhkan tanggung jawab yang besar pula.
Han dan sang Kakek masih berlatih ilmu bela diri, bahkan kemampuannya sangat meningkat – tapi Kakek selalu berpesan kalau lawannya tidak layak, lebih baik diam saja, karena jika Han membalas, kasihan mereka.
“Orang yang mereka maksud sudah tidak ada lagi.”
Pak No manggut-manggut, “Padahal dari aura, kamu punya ilmu linuwih yang...”
Han hanya tersenyum sedikit dan berdiri, “Terima kasih, Pak. Buat fotonya, minumannya, terima kasih juga sudah bersedia nungguin saya sampai bangun.”
“Handoko. Mereka yang tertindas, tidak bisa melawan, dan tidak bisa mempertahankan diri butuh bantuanmu.”
Han menghela napas, “Saya hanya mahasiswa baru. Tadi saja saya dihajar habis-habisan. Orang seperti saya bisa apa.”
“Ada tiga geng besar di sini. Mereka dibiarkan bebas oleh pengelola kampus karena memang kekuatan mereka berkembang menjadi sangat menakutkan.”
Pak No terdiam sejenak sebelum melanjutkan.
“Semua di sini hobi tawuran. Kampus yang megah jadi sarang preman, sehari-hari ada korban perundungan. Sudah banyak cara ditempuh tapi kondisi tidak berubah selama bertahun-tahun. Sangat disayangkan.”
Han mendengarkan.
“Berbeda dengan kampus tetangga yang ada di seberang ringroad. Kampus yang tadinya diolok-olok, malah berkembang menjadi salah satu kampus terbaik. Lebih populer dan diminati kalangan menengah ke atas. Penuh prestasi, tidak ada tukang bully.”
Han mengangguk paham. Antara Universitas Cemara dan Akademi Komputer Unggulan memang hanya berbatas ringroad.
“Sementara di sini? Kamu tahu sendiri. Mahasiswa berprestasi sedikit, yang punya duit dan pintar mending pilih kampus lain. Kerusuhan merajalela, tawuran antar geng tiga kali sehari. Rata-rata mereka yang masuk ke sini dari keluarga kalangan menengah ke bawah yang dananya kurang untuk kuliah di kampus terbaik.”
“Kenapa Bapak menceritakan ini ke saya?”
Pak No tersenyum, “Cerita? Ah. Aku ingin cerita tentang anakku, Han. Namanya Ahmad, dia baik, pintar, dan cerdas. Sayang gagal dapat beasiswa karena dicurangi pihak sekolah. Mereka mendahulukan siswa berduit minim prestasi.”
Han paham, permainan manajemen sekolah.
“Ujung-ujungnya dia hanya bisa masuk ke Universitas Cemara ini, karena aku mendapat potongan harga. Tapi dia suka dan dia bangga kuliah di sini, dia belajar dengan serius. Sama seperti kamu, dia juga masuk IT.”
Han terdiam. Suara Pak No terdengar bergetar, ia menunjuk ke arah timur laut.
“Sebelah sana. Ahmad dimakamkan di pemakaman umum yang ada di sebelah sana. Dekat dengan tempatku tinggal. Kelompok yang tadi menghajarmu – sering disebut DMA, konon mereka yang menjadi penyebabnya, mereka meninggalkannya begitu saja seperti tikus di tengah jalan. Ahmad terbaring di trotoar dengan tubuh penuh luka lebam dan hantaman benda tumpul di kepala. Tidak ada satupun yang mendapatkan hukuman, tidak ada yang disidang. Pernyataan pihak kepolisian sama dengan pernyataan kampus. Kecelakaan, semua ditutup-tutupi.”
Han menunduk.
“Han, dia bukan yang pertama dan bukan satu-satunya. Aku yakin dia tidak akan menjadi yang terakhir. Bantu mereka yang membutuhkan.”
Han semakin menunduk.
“Woalaaaah. Mas Handoko ini kenapa to, Mas? Kok sampe besem-besem begini badannya?” Mbak Tita geleng-geleng kepala saat suaminya mengoleskan salep herbal ke badan Han yang biru-biru, “Sampeyan itu jatuh dari sepeda atau jatuh dari pucuk tebing Breksi? Kok bisa-bisanya biru-biru sak awak begini. Sebadan lho ini lebamnya.”“Hahahaha. Biasalah, Bu. Cah lanang. Kalau laki-laki ya begini ini, meski cuma jatuh dari sepeda, tapi harus mbois jatuhnya! Harus keren! Kalau bisa harus sampai terguling-guling kayak eksyen India, jadi lebamnya sebadan. Lak iyo to, Mas Han?” Lek Wasis menimpali sembari mengoles dan memijat.“Adududuuuh.” Han hanya meringis.Suami istri yang menjadi tetangga kost-nya itu memang grapyak, ramah, dan selalu siap menolong kapan saja dibutuhkan. Mereka yang melihat Han pulang menuntun sepedanya dengan badan lebam-lebam langsung memaksa sang pemuda untuk menerima treatment herbal yang sejatinya tidak dia butuhkan.“Untung sepedanya nggak rusak ya, Mas. Jadi masih bisa dike
Han berjalan menuju sepedanya, di tangannya sudah tersedia satu bungkusan jajanan martabak murah meriah untuk sarapan pagi ini. Ia melangkah sembari menatap ke sekeliling lapangan yang ada di samping SD negeri. Semarak sekali kalau jam istirahat begini, banyak anak-anak SD yang keluar untuk mencari jajanan. Selain martabak yang populer di sini, banyak penjual lain yang menawarkan dagangan mereka.Suasananya ramai dan menyenangkan. Semuanya tenang, nyaman, dan aman sampai kemudian terdengar suara kencang membahana.“MAKANYAAAA BAYAAAAR!!!”Suara teriakan itu datang dari sebuah gerobak yang menjajakan cilok. Seorang bapak pedagang yang kurus merunduk ketakutan ketika tiga orang pemuda yang mengenakan pakaian ala-ala band punk mengerumuni gerobaknya. Caping yang ia kenakan diangkat ke atas untuk menunjukkan wajahnya yang kecut menghadapi ketiga orang pemuda itu. Kulit sang bapak tua yang gelap dan mengkilap makin basah oleh keringat.“Den, gimana saya bisa bayar, Den... hari ini saja bel
Panggung jalanan digelar. Han di sisi kiri, melawan tiga pemuda punk di sisi kanan.Dari ketiga pemuda punk, si Gondrong nampaknya yang paling gemas dengan tingkah tengil Han. Ia yang pertama merangsek ke depan. Langkahnya mantap, yakin dan percaya diri. Pemuda punk itu maju sampai ia berdiri tak jauh dari Han dan mengambil ancang-ancang.Si Gondrong meludah saat melihat senyum si cuek yang baginya sangat menghina, Ia emosi karena merasa diremehkan. Ia dan Han saling menatap tanpa melepas pandangan. Tak perlu ada ucap kata karena masing-masing tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.Si Gondrong meradang, ia menatap Han dengan sengit. Kunyuk satu ini sepertinya belum pernah berkenalan dengan tendangannya, “Dasar tengik! Munyuk! Malah cengengesan! Tendang pisan bubar dapurmu!”Si Gondrong mengamati pose stance Han. Ia masih berdiri saja di situ, tegap dengan kaki setengah ditekuk dan tubuh turun sedikit. Lengan kanan Han ditarik ke tengah badan, sementara telapak tangannya menghadap ke
Gagak Handoko menyeringai dan menatap ke depan tanpa menegakkan kepalanya yang menunduk. Senyumannya kali ini terasa mengerikan untuk ketiga lawan karena mereka berasa berhadapan dengan orang gila yang hanya tersenyum saja.Kembali si cuek itu mengatur kuda-kuda yang unik. Ia merunduk sedikit, jarak kaki agak melebar, posisi telapak tangan tegak tepat di depan dada dengan tangan kanan lebih di depan dibandingkan tangan kiri. Sekilas lihat mirip seperti pose yang tidak mengancam.Si Leher Tato mengernyitkan dahi. Sebentar. Kuda-kuda itu sepertinya tidak asing. Dia pernah melihat stance atau kuda-kuda yang mirip seperti yang tengah ditunjukkan oleh si tengil itu. Tapi di mana ya?Si Gondrong dan si Rambut Ungu bersiap untuk maju. tapi si Leher Tato menahan kedua kawannya. Ia menggeleng kepala. Pose si Tengil memang seakan-akan lembek, tapi dia paham betul ancang-ancang seperti itu justru sangat menunjukkan kesiapan. Dia memberikan peringatan kepada kawan-kawannya untuk berhati-hati.“Ma
Tubuh Han terlempar ke belakang atau lebih tepatnya terseret, karena kakinya masih menapak tanah. Tangannya disilangkan di depan wajah bagaikan perisai dan itu membuat rasa senat-senut menjalar karena tangan itu digunakan untuk menahan serangan Kasper si Hantu Kecil bertubuh bongsor yang melontarkan pukulan telak.Han tahu, pukulan yang dilayangkan dari jarak teramat dekat oleh orang yang sangat lihai bertarung tidak akan bisa dielakkan. Karena dia tidak akan sempat menghindar, maka satu-satunya jalan adalah harus bertahan.Han menyeringai, “Lumayan.”Kasper mendengus. Ia agak kesal. “Hebat juga bisa menahan pukulanku. Biasanya orang lain akan langsung pingsan sekali pukul.”“Mungkin aku salah satu yang beruntung,” ujar Han sembarangan.“Mungkin,” Kasper menimpali. Ia mengayunkan tangan. “Tapi aku tidak akan ada keberuntungan yang kedua kalinya. Aku selalu belajar dari kesalahan.”Han langsung menyadari kalau di belakang Kasper muncul serombongan preman punk yang lain. Dua, empat, sep
Han jatuh ke sungai. Pakaian dan celananya pun basah. Meski begitu Ia dapat berdiri dengan tegak kembali karena memang sungai itu tidak terlampau dalam. Ia tersenyum sembari bertolak pinggang menghadap ke atas, ke arah Kasper si Demit Cilik yang berdiri dengan santai di atas sebatang kayu.“Keren juga. Skor kita satu-satu.”Kasper hanya mendengus. Pria bertubuh besar itu tersenyum sinis. “Naiklah.”Tidak perlu diminta dua kali, Han naik melalui sisi kanan sungai untuk berdiri kembali di hadapan Kasper. Skor sekarang sama imbang. Siapapun masih bisa menang.“Majulah. Aku tidak akan bergeming sedikitpun! Kau lihat sa…!”Jbmmmm!Tubuh Kasper kembali melayang ke belakang dan jatuh berdebam berulang-ulang kali. Lagi-lagi dengan cara yang sama. Serangan yang begitu cepatnya sampai-sampai tak terlihat. Wajahnya berulang kali terantuk tanah.Sang preman bertubuh raksasa itu mendengus kesal dan memukul tanah beberapa kali. Kasper menggemeretakkan gigi. Mau tidak mau dia harus mengakui kalau Ha
“Di-dia tidak bersalah!”Bapak tua penjual cilok dengan berani memasang badan untuk melindungi Han dari kerubutan orang-orang yang menuduhnya. Mereka tertegun ketika pria tua yang mereka kenal itu tiba-tiba saja menyeruak dan berdiri di antara mereka dan sang pemuda.“Dia telah membantu saya dan teman-teman penjual jajanan lain yang selama ini dipalak oleh para preman. Pemuda ini mengalahkan preman-preman yang biasa keliling di sini dan membuat mereka kabur.”Meski bergetar karena takut menghadapi orang banyak, sang penjaja cilok memutuskan untuk membantu Han.Sang guru SD yang cantik itu masih terengah-engah karena emosi, “Tapi Pak! Mereka ini sebenarnya hanya mau berebut lahan par…”“Saya bisa pastikan kalau saya tidak tergabung dalam kelompok atau ormas apapun yang ingin berebut lahan parkir dari para preman. Saya bertengkar dengan mereka semata-mata karena ingin meminta ganti rugi,” ujar Han.Pemuda itu maju ke depan bapak penjual cilok. Ia tersenyum pada sang pria tua, “Terima ka
Han keluar dari dalam air.Rasty terbelalak dan berteriak kencang. “Haaan!”Sembari membawa sang bocah kecil yang ternyata sudah terdiam tak bergerak. Han berenang ke tepian. Tak butuh waktu lama bagi Han untuk membawa anak itu ke tepian. Sang ibu sudah berteriak-teriak histeris melihat anak itu mulai pucat.Begitu sampai di tepian, Han langsung membaringkan anak itu terlentang di tempat yang kering.“Bagaimana anakku? Bagaimana anakku!?”Han melirik ke arah Rasty. Guru SD itu mendekat ke arah Han.“Piye, Han? Bagaimana?”Han menggeleng, “Tidak respons. Tidak bernapas.”“Bisa CPR?”Han mengangguk.“Aku akan membantu menenangkan sang ibu. Tolong anak itu. Sekarang.”Han segera bergerak. Hal pertama yang harus dilakukan pada korban tenggelam adalah memeriksa napasnya, jika tidak ada respons dan tidak bernapas, maka langkah pertama adalah memastikan leher dan kepala berada dalam posisi yang aman.Untuk menyelamatkan diperlukan CPR. Han harus membuka jalan napas sang bocah. Ia mendongakka
Han melangkah maju, kobaran api di sekelilingnya semakin mendominasi lapangan yang kini terasa seperti medan perang. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang Viktor menggunakan ledakan api berbentuk harimau yang melesat dengan kecepatan luar biasa. Viktor mencoba menghindar, tetapi ekor harimau api itu menyambar bahunya, membuatnya terlempar beberapa meter.“Jangan berpikir kau bisa lolos dengan mudah,” Viktor berkata sambil berdiri tertatih, memfokuskan kekuatannya untuk melawan. Listrik mulai terkumpul di tangannya, membentuk bola energi yang lebih besar dan mematikan. Ia melemparkannya ke arah Han dengan kekuatan penuh, menciptakan ledakan besar saat menyentuh tanah.Namun, ketika debu menghilang, Han masih berdiri tegap, meskipun kini dengan pakaian yang sebagian hangus. “Itu cukup menghibur,” katanya, senyumnya masih tetap sinis. Ia mengangkat tangannya lagi, kali ini menciptakan dinding api yang melindunginya dari serangan Viktor selanjutnya.Viktor mulai kehabisan tenaga karena
Lapangan sepakbola yang terkurung ruko-ruko itu terasa hening, seolah segala suara dari dunia luar lenyap. Han, dengan tangan dimasukkan ke saku celana, berdiri santai di tengah lapangan. Wajahnya dihiasi senyum menyeringai, meskipun matanya tetap tajam memandang Viktor von Dasch di seberang.Viktor, dengan sikap penuh percaya diri, melangkah maju sambil mengayunkan jemarinya yang memercikkan listrik. “Kamu lumayan, Bro. Jadi Aku akan lebih serius,” Viktor berkata sambil tertawa kecil. “Tadinya Aku pikir Aku tak perlu berusaha terlalu keras.”Han hanya mengangkat alis, tak berkata apa-apa. Ia menggeser kakinya sedikit, bersiap. Sebuah langkah kecil yang hampir tidak terlihat, tetapi penuh makna. Viktor, merasa diremehkan, mengayunkan tangannya ke depan, mengirimkan sambaran petir ke arah Han.Sambaran itu menghantam tanah dengan dentuman keras, meninggalkan bekas hangus yang berasap. Namun, Han sudah tidak berada di tempat itu. Dengan langkah ringan, ia bergeser ke samping, membuat Vi
Di sisi lain, Anjani melompat ke tangga besi yang berkarat, mendaki dengan cepat hingga mencapai atap ruko. Shih-Tzu tak mau kalah, Ia meluncur seperti bayangan gelap, menghantam besi tua itu dengan tumitnya hingga tangga bergoyang hebat. Anjani nyaris terlempar, namun berhasil mencengkeram pinggiran atap dan melompat ke permukaan yang licin.Shih-Tzu sambil melompat ke atap, meluncur seperti badai yang tak terhentikan, seakan-akan hendak menyatakan pada Anjani kalau mau lari kemanapun, Ia sanggup mengejarnya.Anjani memutar badan dan mengayunkan nunchaku-nya dengan gesit, menangkis sabetan pedang kayu Shih-Tzu yang mematikan. Shih-Tzu juga menggunakan pelindung besi untuk bertahan dari serangan Anjani berikutnya. Benturan keduanya menimbulkan percikan api kecil di tengah hujan yang mulai turun lebih deras, menciptakan suasana penuh ketegangan.Dengan gerakan akrobatik, Shih-Tzu melompat ke atap ruko sebelah, tubuhnya meliuk anggun di udara seperti burung elang. Anjani mengejar tanpa
Sementara itu, di gang-gang sempit perkampungan yang menyelinap di belakang ruko-ruko tua, mendadak terdengar riuh oleh suara sepatu yang menghantam permukaan jalan berbatu. Ada yang sedang berkejaran di sana. Dua wanita muda dikejar oleh dua wanita muda yang lain.Anjani dan Khansa berlari berdampingan, napas mereka memburu di bawah sinar remang lampu jalan yang berkelap-kelip. Mereka tahu, dua bayangan hitam yang mengejar mereka saat ini bukanlah cewek-cewek biasa, Shih-Tzu dan Vodel adalah dua ninja wanita cukup mumpuni kemampuannya dari kelompok D.O.G. Baik Khansa maupun Anjani tahu kenapa dua ninja wanita itu ditakuti.Tiba-tiba, Shih-Tzu melesat lebih cepat dari bayangan malam, tubuhnya berputar seperti pusaran angin, menghempaskan tendangan melingkar yang memecahkan dinding kayu di sisi gang. Targetnya adalah salah satu dari kedua target. Anjani dengan sigap berguling ke samping, menghindari serangan berbahaya itu. Anjani mengumpat karena harus berjibaku dengan repot.Sementar
“Let’s go, Bro. Sekali lagi. Adu pukulan,” ucap Garin lemah sambil menyeringai terhadap Hektor.Suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang, seakan semua orang di kerumunan tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Jika Kasper dan Garin saja takluk, siapa yang bisa menghentikan orang ini?Tapi ini bukan masalah takut atau tidak takut. Bukan masalah menang kalah. Ini masalah menjalankan perintah sang pimpinan. Kerumunan preman jalanan berkerumun di sekitar Hektor, seperti ombak yang siap menghantam karang. Bagi mereka, menjalankan perintah Kasper adalah harga mati.Di saat pasukan preman jalanan mengerumuni Hektor, Garin tahu apa yang harus ia lakukan.Garin, dengan napas terengah-engah dan tubuh yang sudah penuh luka, berlari menuju gerbang lapangan sepak bola. Ia tahu di balik gerbang itu Han dan Viktor tengah bertempur, dan misi utamanya kali ini adalah memastikan Hektor tidak bisa mencapainya. Kalau Hektor yang mengerikan ini masuk, ditambah dengan Viktor, entah apakah H
Di bawah sinar lampu jalan yang temaram di dekat lapangan sepakbola, Hektor von Dasch berdiri dengan tangan bersidekap, tubuh jangkungnya tampak kokoh bagaikan baja. Di depannya, Kasper dan Garin bersiap dengan postur siaga, napas mereka berat setelah pertarungan-pertarungan sebelumnya menghabiskan tenaga mereka.Kasper melangkah maju lebih dulu, dengan amarah yang membara. “Mau lewat? Sayang sekali, kamu harus melewati kami terlebih dahulu!” teriaknya.Hektor hanya mengangkat alis, lalu menurunkan tangannya perlahan dan tersenyum meremehkan. Ia memberikan isyarat tantangan dengan menggerakkan kepalanya.Kasper tak menunggu lebih lama. Ia meluncur ke depan dengan gerakan eksplosif, menyerang dengan spear khasnya yang biasanya membuat lawan terpental. Namun kali ini spear yang ia lakukan bagaikan membentur tembok beton.Bukannya jatuh, Hektor malah tetap berdiri kokoh dengan perkasa. Saat tubuh Kasper menghantam dadanya, Hektor hanya melangkah mundur satu langkah kecil sebelum menjepit
Di tengah jalan kampung yang sempit, dengan debu yang beterbangan dan kerumunan orang yang membentuk lingkaran pelindung agar sang pimpinan bisa bertarung satu lawan satu, Kasper dan Hightower berdiri berhadapan.Keduanya bertubuh besar, seperti kaum titan yang siap menghancurkan apa pun di sekitarnya. Kasper, dengan gaya bertarung brutal dan random, langsung menyerang lebih dulu. Ia berlari cepat dan melayangkan spearing tackle ke arah Hightower, seperti banteng mengamuk dan menyeruduk dengan tanduknya. Tubuh kekar Hightower terdorong mundur, menghantam dinding sebuah ruko hingga terdengar suara retakan di tembok.Hightower tidak tinggal diam. Dengan gaya bertarungnya yang stabil dan penuh tenaga, ia memanfaatkan tubuh besarnya untuk melawan. Ketika Kasper bersiap untuk serangan berikutnya, Hightower melayangkan hook kiri ke rusuk Kasper, diikuti pukulan kanan yang menghantam rahang.Kasper terhuyung beberapa langkah, tapi bukannya mundur, ia justru meraung layaknya binatang buas, sa
Di atas atap ruko-ruko kampung yang reyot, Engkus dan Deden terus saling menyerang sambil melompat dari satu genteng ke genteng lain. Engkus, dengan gerakan cepatnya, melompat ke arah antena parabola di salah satu ruko, menggunakan benda itu sebagai tumpuan untuk melompat lebih tinggi. Dengan kecepatan kilat, ia mengayunkan tendangan ke arah Deden. Namun, Deden, yang tidak kalah cekatan, berhasil merunduk tepat waktu, membuat tendangan Engkus hanya mengenai udara.“Wekekekek. Ternyata jago juga!” seru Engkus sambil mendarat dengan ringan di ujung genteng.Deden mendengus sambil mengibaskan debu dari jaketnya. “Hari ini kamu kebanyakan ketawa. Tidak apa-apa, ketawalah selagi bisa,” balasnya sebelum melompat ke arah Engkus dengan tendangan yang diarahkan ke dada.Engkus menangkis pukulan itu dengan lengannya, tetapi tenaga Deden lebih kuat sehingga membuat si kerempeng itu terpental beberapa langkah ke belakang. Saat itulah genteng yang ia pijak retak dan luruh, hampir membuat Engkus te
Arif Ali terbang ke belakang setelah tendangan dari JC berhasil ia blok dengan menyilangkan tangan. Kemampuan mereka memang tidak selevel. Anggota Top Dogs itu menyerang dengan berangasan dan hasilnya sama sekali tak terlihat, sementara hanya dengan beberapa gerakan saja, Jonny Castor alias JC bisa membuat Arif Ali mundur.JC tersenyum sinis, “Suatu ketika sesosok iblis berbisik kepada seorang prajurit yang tengah berjuang – dia bilang : kamu tidak akan sanggup bertahan dari badai yang segera datang. Tapi prajurit itu menatap balik ke arah sang iblis dan berucap dengan penuh keyakinan; akulah badai itu.”Jonny Castor memainkan tangannya bak pesulap tengah memainkan kartu. Di antara kedua telapak tangannya, belasan helai dedaunan kering berterbangan membentuk satu lingkaran. Pria keturunan asing itu menatap Arif Ali dengan tajam, lalu menjentikkan jarinya, menghempaskan satu persatu daun ke depan.Arif Ali mengelak setiap kali daun yang dihempaskan JC datang. Dedaunan itu seharusnya ri