Share

Bab 4 Ada Yang Ramai

Han berjalan menuju sepedanya, di tangannya sudah tersedia satu bungkusan jajanan martabak murah meriah untuk sarapan pagi ini. Ia melangkah sembari menatap ke sekeliling lapangan yang ada di samping SD negeri. Semarak sekali kalau jam istirahat begini, banyak anak-anak SD yang keluar untuk mencari jajanan. Selain martabak yang populer di sini, banyak penjual lain yang menawarkan dagangan mereka.

Suasananya ramai dan menyenangkan. Semuanya tenang, nyaman, dan aman sampai kemudian terdengar suara kencang membahana.

“MAKANYAAAA BAYAAAAR!!!”

Suara teriakan itu datang dari sebuah gerobak yang menjajakan cilok. Seorang bapak pedagang yang kurus merunduk ketakutan ketika tiga orang pemuda yang mengenakan pakaian ala-ala band punk mengerumuni gerobaknya. Caping yang ia kenakan diangkat ke atas untuk menunjukkan wajahnya yang kecut menghadapi ketiga orang pemuda itu. Kulit sang bapak tua yang gelap dan mengkilap makin basah oleh keringat.

Den, gimana saya bisa bayar, Den... hari ini saja belum balik modal. Ciloknya belum laku.”

“Ya bukan urusan kami, Pak! Uang keamanan belum dibayar! Kalau tidak bayar ya jangan jualan di sini! Laku tidak laku bukan urusan kami, Pak!”

“Woooo! Ngerti ora je!

Wes tuwo ra ngerti toto! Sudah tua kok tidak tahu aturan!”

Salah satu pemuda itu menendang roda gerobak cilok sehingga bergoyang keras. Bapak tua itupun berusaha menahan goyangan agar dagangannya tidak tumpah-tumpah.

“Jangan, Den... iya nanti saya bayar, Den...”

“Nanti ki kapaaaan? Sampeyan sudah jualan dari pagi! Jam piro mau? Jam enam, Pak! Dikira kami ga liat apa? Dipikir kami itu picek? Pokoknya gini, wes. Kalau hari ini ga bayar, gerobaknya ditinggal! Besok baru boleh dibawa kalau sudah ada duit! Tapi harus bayar denda dan bunga!”

“Lhaaaa, saya jualannya gimana, Den? Jangan seperti ini lah, Den...”

“Lha ya embuh! Mana saya peduli sampeyan jualannya gimana! Memangnya keamanan itu ga penting apa? Kita di sini kerja, Pak! Bukan minta duit sembarangan! Semua yang jualan di sini juga bayar ke kami!!” pemuda punk yang rambutnya dicat warna ungu mendengus marah. Dia sepertinya yang dijadikan ujung tombak, karena dia yang sejak awal bacot melulu. “Pokoknya nanti jam satu teng, saya balik ke sini lagi sudah ada duit! Ga peduli dari mana!”

“Oaalaaah, Den... dari mana uangnya Den...”

Teman si rambut ungu yang gondrong nanggung bercat merah melirik ke salah satu kaleng roti yang ada di gerobak cilok sang Bapak. Di sela-sela tutup kaleng terselip warna hijau uang dua puluh ribuan. Dengan tangannya yang panjang ia pun menarik kaleng itu dan membawanya pergi.

“Yang ini aku bawa dulu, Pak. Ini jaminan biar sampeyan nggak kabur.”

Den!! jangan Den! Cuma tinggal itu uang saya, Den!!”

Ketiga pemuda punk itupun berlari meninggalkan gerobak cilok milik sang bapak sambil tertawa-tawa kasar. Tawa terbahak yang dibuat-buat, serak beriak yang didengar pun tidak enak. Bapak penjual cilok mencoba mengejar kaleng yang dibawa si gondrong nanggung, namun tiap kali si bapak mendekat, kaleng itu dilempar ke teman yang lain, begitu berulang-ulang. Banyak orang yang menggelengkan kepala melihat ulah ketiga pemuda urakan itu.

Satu ketika, kaleng yang dilemparkan hampir jatuh ke tangan sang bapak yang tangannya meraih-raih udara. Melihat hal tersebut, si rambut ungu pun mendorong sebuah motor yang diparkir untuk menutup jalur sang bapak.

Motor yang didorong si rambut ungu malah jatuh mengenai motor lain, dan motor itu jatuh ke motor yang lain lagi, dan jatuh mengenai motor yang lain lagi. Bagaikan domino berbunyi nyaring. Sang bapak yang tidak awas terdorong oleh salah satu motor dan terjerembab ke tanah, sementara kalengnya terbuka dan uang hasil jualannya yang tidak seberapa pun berceceran.

Mulut Han menganga melihat salah satu motor jatuh mengenai sepedanya. Pemuda berambut cepak itu segera berlari dan mencoba menahan motor yang menumpuk agar bisa menarik sepeda yang terhimpit.

Ketika sepedanya kemudian terbebas dan diangkat, Han memeriksanya. Sepeda itu bengkok di rangka penyangga depan. Pemuda itu pun menghela napas panjang. Dia tidak sendirian, orang-orang yang motornya jatuh ikut ngomel-ngomel, namun tidak ada yang berani protes pada ketiga pemuda punk.

Setelah sepedanya disandarkan, Han mendatangi orang-orang yang sedang membantu sang Bapak Penjual cilok berdiri dan mengumpulkan uang-uangnya. Han menarik selembar uang sepuluh ribu yang terselip di bawah ban sebuah motor dan memasukkannya ke kaleng si Bapak.

Bapak mboten nopo-nopo? Bapak tidak apa-apa, kan?” tanya pemuda berambut cepak itu.

“Tidak apa-apa, Den.”

Wajah Bapak itu nampak bingung dan tegang. Ia takut dianggap bertanggungjawab terhadap motor-motor yang jatuh. Tapi tidak satupun pemilik motor yang menyalahkan si Bapak, termasuk Han. Karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi.

Ketiga orang pemuda berbaju punk itu malah duduk-duduk di dekat motor-motor yang jatuh dengan wajah yang tidak menunjukkan penyesalan atau kesalahan. Padahal salah satu dari mereka tadi mendorong motor itu dengan sengaja.

Oke sih, mereka mengucapkan minta maaf meskipun tidak ikhlas.

“Sori, Mas. Ra sengojo ki mau. Tidak sengaja beneran. Rapopo ya.” Cakap mereka pada setiap pemilik motor. Tapi mereka mengucapkannya sambil terkekeh-kekeh geli.

Mereka tahu tidak akan ada yang berani menyalahkan mereka. Seakan-akan mereka adalah penguasa seluruh lapangan dan para penjaja di tempat ini.

Han mendengus dan menggesek hidung dengan punggung tangannya.

Pemuda cuek itu mendatangi ketiga babi guling berpakaian punk yang bertindak seenak wudel mereka itu dengan wajah tenang. Pemuda itu tahu ia sebenarnya tidak ingin hal seperti ini sampai terjadi, tapi ketiga orang itu sudah keterlaluan. Langkahnya percaya diri.

Ketiga preman itu jelas menatap Han dengan pandangan sengit, siapa lagi orang ini? Orang sok jagoan dari belahan bumi mana yang berani-beraninya menghampiri mereka?

Han berdiri di depan ketiganya dengan tangan dimasukkan ke saku celana jeans.

“Oke. Pertama, yang tadi itu agak kurang ajar. Yang muda seharusnya berlaku sopan dan hormat sama orang tua, bukan malah semena-mena. Jangan mentang-mentang kalian lebih kuat, lebih jago, lebih sehat, terus sok-sokan sama orang yang lebih lemah. Cari uang bukan begitu caranya,” kata Han dengan santai.

Ketiga orang di hadapan pemuda cuek itu pun berdiri, mereka terpicu emosinya.

Tapi Han masih belum selesai, “Kedua, gara-gara kalian sepedaku bengkok dan harus dibenahi di bengkel sepeda. Padahal itu sepeda pinjaman dan aku tidak punya uang. Jadi itu artinya, aku harus minta ganti rugi dari kalian. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kalian memberikannya.”

“Wooooo! Wong gemblung! Orang gila! Kowe ki sopo-e, Su! Kamu itu siapa? Bisa-bisanya minta uang sama kami.” Si Rambut Ungu menengok ke kedua temannya, “Cah! Ono jagoan kih! Ada yang sok jagoan! Maju! Wong gemblung ini perlu dikempesin otaknya!”

Han tersenyum. Ia menekuk kepala ke kanan dan ke kiri, lalu menggemeretakkan jemarinya dengan tangkupan tangan.

Hari ini sepertinya akan seru.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
sempak kancut
wuaaaaaahhh gelut lek
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status