Han berjalan menuju sepedanya, di tangannya sudah tersedia satu bungkusan jajanan martabak murah meriah untuk sarapan pagi ini. Ia melangkah sembari menatap ke sekeliling lapangan yang ada di samping SD negeri. Semarak sekali kalau jam istirahat begini, banyak anak-anak SD yang keluar untuk mencari jajanan. Selain martabak yang populer di sini, banyak penjual lain yang menawarkan dagangan mereka.
Suasananya ramai dan menyenangkan. Semuanya tenang, nyaman, dan aman sampai kemudian terdengar suara kencang membahana.
“MAKANYAAAA BAYAAAAR!!!”
Suara teriakan itu datang dari sebuah gerobak yang menjajakan cilok. Seorang bapak pedagang yang kurus merunduk ketakutan ketika tiga orang pemuda yang mengenakan pakaian ala-ala band punk mengerumuni gerobaknya. Caping yang ia kenakan diangkat ke atas untuk menunjukkan wajahnya yang kecut menghadapi ketiga orang pemuda itu. Kulit sang bapak tua yang gelap dan mengkilap makin basah oleh keringat.
“Den, gimana saya bisa bayar, Den... hari ini saja belum balik modal. Ciloknya belum laku.”
“Ya bukan urusan kami, Pak! Uang keamanan belum dibayar! Kalau tidak bayar ya jangan jualan di sini! Laku tidak laku bukan urusan kami, Pak!”
“Woooo! Ngerti ora je!”
“Wes tuwo ra ngerti toto! Sudah tua kok tidak tahu aturan!”
Salah satu pemuda itu menendang roda gerobak cilok sehingga bergoyang keras. Bapak tua itupun berusaha menahan goyangan agar dagangannya tidak tumpah-tumpah.
“Jangan, Den... iya nanti saya bayar, Den...”
“Nanti ki kapaaaan? Sampeyan sudah jualan dari pagi! Jam piro mau? Jam enam, Pak! Dikira kami ga liat apa? Dipikir kami itu picek? Pokoknya gini, wes. Kalau hari ini ga bayar, gerobaknya ditinggal! Besok baru boleh dibawa kalau sudah ada duit! Tapi harus bayar denda dan bunga!”
“Lhaaaa, saya jualannya gimana, Den? Jangan seperti ini lah, Den...”
“Lha ya embuh! Mana saya peduli sampeyan jualannya gimana! Memangnya keamanan itu ga penting apa? Kita di sini kerja, Pak! Bukan minta duit sembarangan! Semua yang jualan di sini juga bayar ke kami!!” pemuda punk yang rambutnya dicat warna ungu mendengus marah. Dia sepertinya yang dijadikan ujung tombak, karena dia yang sejak awal bacot melulu. “Pokoknya nanti jam satu teng, saya balik ke sini lagi sudah ada duit! Ga peduli dari mana!”
“Oaalaaah, Den... dari mana uangnya Den...”
Teman si rambut ungu yang gondrong nanggung bercat merah melirik ke salah satu kaleng roti yang ada di gerobak cilok sang Bapak. Di sela-sela tutup kaleng terselip warna hijau uang dua puluh ribuan. Dengan tangannya yang panjang ia pun menarik kaleng itu dan membawanya pergi.
“Yang ini aku bawa dulu, Pak. Ini jaminan biar sampeyan nggak kabur.”
“Den!! jangan Den! Cuma tinggal itu uang saya, Den!!”
Ketiga pemuda punk itupun berlari meninggalkan gerobak cilok milik sang bapak sambil tertawa-tawa kasar. Tawa terbahak yang dibuat-buat, serak beriak yang didengar pun tidak enak. Bapak penjual cilok mencoba mengejar kaleng yang dibawa si gondrong nanggung, namun tiap kali si bapak mendekat, kaleng itu dilempar ke teman yang lain, begitu berulang-ulang. Banyak orang yang menggelengkan kepala melihat ulah ketiga pemuda urakan itu.
Satu ketika, kaleng yang dilemparkan hampir jatuh ke tangan sang bapak yang tangannya meraih-raih udara. Melihat hal tersebut, si rambut ungu pun mendorong sebuah motor yang diparkir untuk menutup jalur sang bapak.
Motor yang didorong si rambut ungu malah jatuh mengenai motor lain, dan motor itu jatuh ke motor yang lain lagi, dan jatuh mengenai motor yang lain lagi. Bagaikan domino berbunyi nyaring. Sang bapak yang tidak awas terdorong oleh salah satu motor dan terjerembab ke tanah, sementara kalengnya terbuka dan uang hasil jualannya yang tidak seberapa pun berceceran.
Mulut Han menganga melihat salah satu motor jatuh mengenai sepedanya. Pemuda berambut cepak itu segera berlari dan mencoba menahan motor yang menumpuk agar bisa menarik sepeda yang terhimpit.
Ketika sepedanya kemudian terbebas dan diangkat, Han memeriksanya. Sepeda itu bengkok di rangka penyangga depan. Pemuda itu pun menghela napas panjang. Dia tidak sendirian, orang-orang yang motornya jatuh ikut ngomel-ngomel, namun tidak ada yang berani protes pada ketiga pemuda punk.
Setelah sepedanya disandarkan, Han mendatangi orang-orang yang sedang membantu sang Bapak Penjual cilok berdiri dan mengumpulkan uang-uangnya. Han menarik selembar uang sepuluh ribu yang terselip di bawah ban sebuah motor dan memasukkannya ke kaleng si Bapak.
“Bapak mboten nopo-nopo? Bapak tidak apa-apa, kan?” tanya pemuda berambut cepak itu.
“Tidak apa-apa, Den.”
Wajah Bapak itu nampak bingung dan tegang. Ia takut dianggap bertanggungjawab terhadap motor-motor yang jatuh. Tapi tidak satupun pemilik motor yang menyalahkan si Bapak, termasuk Han. Karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi.
Ketiga orang pemuda berbaju punk itu malah duduk-duduk di dekat motor-motor yang jatuh dengan wajah yang tidak menunjukkan penyesalan atau kesalahan. Padahal salah satu dari mereka tadi mendorong motor itu dengan sengaja.
Oke sih, mereka mengucapkan minta maaf meskipun tidak ikhlas.
“Sori, Mas. Ra sengojo ki mau. Tidak sengaja beneran. Rapopo ya.” Cakap mereka pada setiap pemilik motor. Tapi mereka mengucapkannya sambil terkekeh-kekeh geli.
Mereka tahu tidak akan ada yang berani menyalahkan mereka. Seakan-akan mereka adalah penguasa seluruh lapangan dan para penjaja di tempat ini.
Han mendengus dan menggesek hidung dengan punggung tangannya.
Pemuda cuek itu mendatangi ketiga babi guling berpakaian punk yang bertindak seenak wudel mereka itu dengan wajah tenang. Pemuda itu tahu ia sebenarnya tidak ingin hal seperti ini sampai terjadi, tapi ketiga orang itu sudah keterlaluan. Langkahnya percaya diri.
Ketiga preman itu jelas menatap Han dengan pandangan sengit, siapa lagi orang ini? Orang sok jagoan dari belahan bumi mana yang berani-beraninya menghampiri mereka?
Han berdiri di depan ketiganya dengan tangan dimasukkan ke saku celana jeans.
“Oke. Pertama, yang tadi itu agak kurang ajar. Yang muda seharusnya berlaku sopan dan hormat sama orang tua, bukan malah semena-mena. Jangan mentang-mentang kalian lebih kuat, lebih jago, lebih sehat, terus sok-sokan sama orang yang lebih lemah. Cari uang bukan begitu caranya,” kata Han dengan santai.
Ketiga orang di hadapan pemuda cuek itu pun berdiri, mereka terpicu emosinya.
Tapi Han masih belum selesai, “Kedua, gara-gara kalian sepedaku bengkok dan harus dibenahi di bengkel sepeda. Padahal itu sepeda pinjaman dan aku tidak punya uang. Jadi itu artinya, aku harus minta ganti rugi dari kalian. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kalian memberikannya.”
“Wooooo! Wong gemblung! Orang gila! Kowe ki sopo-e, Su! Kamu itu siapa? Bisa-bisanya minta uang sama kami.” Si Rambut Ungu menengok ke kedua temannya, “Cah! Ono jagoan kih! Ada yang sok jagoan! Maju! Wong gemblung ini perlu dikempesin otaknya!”
Han tersenyum. Ia menekuk kepala ke kanan dan ke kiri, lalu menggemeretakkan jemarinya dengan tangkupan tangan.
Hari ini sepertinya akan seru.
Panggung jalanan digelar. Han di sisi kiri, melawan tiga pemuda punk di sisi kanan.Dari ketiga pemuda punk, si Gondrong nampaknya yang paling gemas dengan tingkah tengil Han. Ia yang pertama merangsek ke depan. Langkahnya mantap, yakin dan percaya diri. Pemuda punk itu maju sampai ia berdiri tak jauh dari Han dan mengambil ancang-ancang.Si Gondrong meludah saat melihat senyum si cuek yang baginya sangat menghina, Ia emosi karena merasa diremehkan. Ia dan Han saling menatap tanpa melepas pandangan. Tak perlu ada ucap kata karena masing-masing tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.Si Gondrong meradang, ia menatap Han dengan sengit. Kunyuk satu ini sepertinya belum pernah berkenalan dengan tendangannya, “Dasar tengik! Munyuk! Malah cengengesan! Tendang pisan bubar dapurmu!”Si Gondrong mengamati pose stance Han. Ia masih berdiri saja di situ, tegap dengan kaki setengah ditekuk dan tubuh turun sedikit. Lengan kanan Han ditarik ke tengah badan, sementara telapak tangannya menghadap ke
Cuaca yang dingin terasa hingga merasuk ke tulang, setiap sendi berasa kaku terkena hawa malam yang membekukan. Beginilah kalau kuliah malam, harus siap dengan jeratan hawa dingin yang menangkup badan. Apalagi di musim penghujan.Han menaikkan ritsleting jaket tebalnya saat melangkah dengan santai menyusuri jalan setapak yang mengitari Fakultas Ekonomi di Universitas Cemara. Pemuda itu melirik ke arah jam tangan. Sudah jam sembilan.“GAGAK HANDOKO!”Hmm?Han berhenti dan menengok ke belakang. Ada yang memanggil? Di belakangnya hanya ada serombongan mahasiswa yang sedang nongkrong di sudut taman yang gelap. Ia tidak mengenal siapa mereka. Sebagai mahasiswa baru, mana kenal dengan orang-orang lama.Mereka yang sedang nongkrong berpenampilan setipe. Pasukan jarang mandi, rambut gondrong anti sisiran, pakaian lusuh awut-awutan, dan sepatu yang berubah menjadi sandal. Sangat khas mahasiswa angkatan tua. Dua orang dari rombongan itu melompat ke depan dan mendekat ke arah Han dengan percaya
Han terkesiap.Aduh, sudah berapa lama dia pingsan?Han mengusap kepalanya yang terasa berat. Badannya sakit semua dan sekujur tubuh berasa lebam. Ia sedang terkapar di samping sebuah pohon besar di dekat taman Kampus di bawah langit berbintang. Orang-orang yang menyerangnya tadi sepertinya benar-benar menuntaskan kemarahan mereka padanya.Han tersenyum. Jadi seperti ini ya rasanya jadi mangsa tukang bully? Ia berdiri dengan susah payah dan mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan.“Kamu orang yang aneh.”Han menengok ke samping.Ada seorang pria tua kurus yang mengenakan seragam satpam kampus berada tak jauh darinya. Ia duduk di sebuah batu besar di samping lampu taman bulat yang menyala terang.“Bapak ngomong sama saya?”“Mas, Ini jam sebelas malam, kampus sudah sepi, dan cuma ada kita berdua di sini. Kira-kira ngomong sama siapa lagi? Hantu? Ga ada hantu di sini, Mas. Adanya di sana, di toilet deket gedung pertemuan mahasiswa.”Han mencoba tersenyum tapi sesaat kemudian ia mer
“Woalaaaah. Mas Handoko ini kenapa to, Mas? Kok sampe besem-besem begini badannya?” Mbak Tita geleng-geleng kepala saat suaminya mengoleskan salep herbal ke badan Han yang biru-biru, “Sampeyan itu jatuh dari sepeda atau jatuh dari pucuk tebing Breksi? Kok bisa-bisanya biru-biru sak awak begini. Sebadan lho ini lebamnya.”“Hahahaha. Biasalah, Bu. Cah lanang. Kalau laki-laki ya begini ini, meski cuma jatuh dari sepeda, tapi harus mbois jatuhnya! Harus keren! Kalau bisa harus sampai terguling-guling kayak eksyen India, jadi lebamnya sebadan. Lak iyo to, Mas Han?” Lek Wasis menimpali sembari mengoles dan memijat.“Adududuuuh.” Han hanya meringis.Suami istri yang menjadi tetangga kost-nya itu memang grapyak, ramah, dan selalu siap menolong kapan saja dibutuhkan. Mereka yang melihat Han pulang menuntun sepedanya dengan badan lebam-lebam langsung memaksa sang pemuda untuk menerima treatment herbal yang sejatinya tidak dia butuhkan.“Untung sepedanya nggak rusak ya, Mas. Jadi masih bisa dike