"Kenapa, Mas?" Dengan tatapan terkejut dan penuh tanya, Indah berbalik dan menatap manik mata suaminya.Mario menatap dengan penuh kebencian ke arah pintu yang masih tertutup. Padahal selama ini, jika Ayah Indah yang Seorang Kyai datang ke rumah mereka, dia selalu menyambutnya dengan hormat, meskipun dia memang tidak begitu menyukai Ayah dan Ibu mertuanya."Jangan pernah katakan apapun pada mereka tentang Aku yang sudah melakukan pesugihan. Aku harap, kamu masih bisa menjaga nama baikku di depan orang tuamu seperti sebelumnya!" ucap Mario datar. Perlahan, tatapan kebenciannya memudar. "Iya, Mas. Aku mengerti," jawab Indah menurut."Aku akan menyimpan semua uang dan perhiasan ke belakang rumah lebih dulu. Jangan sampai mereka curiga. Katakan saja Mas sedang ke kamar kecil!" perintah Mario lagi dengan suara pelan agar tak terdengar ke luar.Indah mengangguk dan menunggu suaminya menghilang di balik pintu dapur kecil rumah mereka."Wa'alaikummussalam, Abah, Emak," ucap Indah seraya mem
Semua yang ada di ruangan itu langsung mengikuti arah pandangan Emak, ke sudut ruangan.Ternyata, di sana ada seekor kera yang sedang menatap tajam penuh kebencian ke arah Abah dan Emak."Ya Allah, itu monyet siapa, Ndah?" tanya Emak dengan wajah ketakutan. Sebenarnya bukan takut pada kera itu, tapi lebih kepada tatapan tak bersahabat yang dipancarkannya."Nggak tahu, tuh, Mas Rio bawa dari mana," jawab Indah acuh tak acuh sambil melirik pada suaminya, berharap Mario bisa menjawab pertanyaan itu dengan wajar.Sementara Abah seolah tak peduli dengan keberadaan hewan itu dan hanya menatap sekilas. Padahal dalam hatinya ada perasaan was-was yang berusaha disembunyikannya. Dia bisa merasakan bahwa itu bukan kera biasa."Oh, kemarin saya mencoba mencari kayu bakar dan buah-buahan ke hutan. Nah, di sana saya melihat kera kecil itu dan mencoba mendekatinya. Ternyata dia sangat jinak dan mengikuti saya saat pulang hingga sampai ke rumah ini," jawab Mario lancar. Tidak terlihat kebohongan dala
Indah tak sanggup memandang wajah Abah Yai dan Emaknya, dia hanya menunduk sambil terisak."Ndah, Emak ingin kamu jujur dan katakan apa yang sudah terjadi sama Ranti, cucu Emak?" tanya Emak lembut sambil menepuk-nepuk bahu Indah yang makin terguncang menahan isakannya."Ayo kita doakan dulu Ranti, Mak. Nggak baik menangis dan bercerita di kuburan. Sebaiknya kita doakan Ranti agar jasadnya segera bisa Abah kembalikan ke dalam sini," kata Abah pelan.Namun, tak urung ucapan itu membuat Indah terkejut bukan main.'Darimana Abah tau, kalau jasad Ranti kemungkinan tidak ada lagi di dalam sini?' Indah bertanya dalam hati.Dia pun menatap Abah dengan takjub hingga tak sadar jika Abahnya pun sedang menatapnya."Sudahlah, kamu tahu siapa Abah, kan!" Ucapan Abah Yai menyadarkan Indah, dia kembali menunduk menatap gundukan tanah yang masih terlihat basah dengan bunga-bunga di atasnya."Bismillahirrahmanirrahim ...," Abah mulai memimpin doa untuk Ranti dengan sangat khusyuk. Terasa hembusan ang
"Si ... Siapa itu?" tanya Mario dan Indah dengan suara bergetar dan tubuh gemetar ketakutan.Pasalnya, suara itu terdengar sangat keras dan mengandung kemarahan.Mario bisa mengenalinya sebagai suara Mbah Suro Gendam dari Lembah Monyet."Ada apa, Mbah? Apakah ada hal salah yang saya lakukan sehingga membuat Mbah Suro begitu marah?" tanya Mario tanpa ragu."Tumbal anakmu telah dicuri dan diambil oleh seseorang dan dikembalikan ke bumi. Iblis Pemimpin Kera sangat marah. Dia meminta kamu untuk segera mencarikan pengganti sebelum malam purnama. Jika gagal, maka salah satu anggota keluargamu akan menggantikannya memjadi tumbal. Atau bahkan kamu sendiri!" jawab Mbah Suro Gendam dengan nada dingin dan dalam.Keringat dingin membasahi tengkuk dan tangan Mario. Sementara Indah hanya bisa terpaku di tempatnya duduk sambil tak lepas menatap suaminya yang sedang duduk bersimpuh di lantai.'Seharusnya kamu sujud pada Allah, Mas. Bukan malah bersimpuh di depan Iblis. Ya Allah, berikan kekuatan dan
Seorang lelaki muda tampak berdiri dengan gelisah di sebuah jembatan kayu yang berada tepat di atas sungai yang terlihat sedang meluap. Alirannya yang deras membuat orang yang melihat merinding dan seolah akan terbawa arusnya. Jembatan kayu itu pun sedikit bergoyang menahan kerasnya hantaman air."Haruskah aku terjun sekarang?" monolog nya dalam hati.Lelaki muda itu menatap nanar ke dalam air, seperti hendak melompat. Namun, diurungkannya."Bagaimana dengan istri dan anak-anakku?" Kemudian dia berjalan ke pinggir jembatan dan mematung di sana untuk waktu yang cukup lama.Tergambar jelas di ingatannya percakapan dengan Indah tadi pagi."Mas, Ranti panasnya belum turun juga, padahal sudah aku kasih obat penurun panas dari warung Bu Ani," ucap Indah, istrinya."Terus gimana, Ndah?" tanya Mario, lelaki muda yang ada di jembatan saat ini."Ya, harus dibawa ke dokter, Mas! Kalau tidak, bisa parah," jawab Indah dengan wajah panik. Ranti kecil yang saat itu berada dalam pelukannya sedang me
Langkah kedua orang itu tersurut ke belakang."Apa itu, Ndi?" Wajah Mario terlihat pucat pasi.Andi tegak berdiri tanpa ekspresi.Di hadapan mereka, tampak seekor kera besar, hampir sebesar manusia dewasa. Kera itu berwarna putih, sehingga tampak menyeramkan dalam kegelapan. Tampaknya, Sang Kera Putih itu sedang menyeringai galak, menampakkan gigi taringnya yang tajam."Ngukkk! Kembali terdengar teriakan kerasnya."Ndi, sepertinya kera itu marah melihat kehadiran kita," bisik Mario gemetar ketakutan. Tangannya yang sudah dingin memegangi tangan Andi."Panglima kera, mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Aku membawakan seseorang yang ingin mengabdi kepada rajamu," Tiba-tiba, Andi mengucap lirih sambil membungkuk dan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, seperti sedang menyembah."Hhrgggh!"Kera putih itu menggeram keras, menatap tajam ke arah Mario dengan matanya yang semerah saga, menembus kegelapan hutan.Andi langsung menepuk pelan tangan Mario dan memberi isyarat
Para kera yang awalnya garang dan sudah bersiap melumatkan kedua orang yang berdiri di tengah-tengah mereka seketika diam tak bergerak.Tanpa sadar kedua tangan Mario dan Andi saling bertaut dengan erat, seperti layaknya sepasang kekasih yang jatuh cinta."Anak-anak muda, jika kalian datang untuk mengacaukan negaraku, pergilah segera sebelum tentaraku menghancurkan kalian!" Seorang kakek dengan tongkat berkepala kera hitam tampak berjalan tertatih, keluar dari kerumunan kera yang ada di lapangan luas tersebut.Di sisi kanan kiri dan belakangnya dikawal beberapa ekor kera putih yang tampak gagah dan matanya merah. Mereka menatap sangar ke arah Mario dan Andi, bersiap melakukan serangan jika diperintah oleh Sang Kakek yang berjubah hitam dan juga memakai belangkon warna hitam. "Maafkan kedatangan kami yang mengganggu ketenangan di sini, Kek. Kami datang untuk mengabdi dan mengikat perjanjian dengan Raja kegelapan," jawab Andi pelan dan bergetar."Hahaha! Manusia-manusia bodoh!" kekeh
"Sudah disiapkan?Tapi saya ...," Seketika Mario menutup bibirnya rapat-rapat saat melihat mata Mbah Suro yang merah, menatap marah."I-iya, Mbah. Apa yang harus saya lakukan sebagai ritual persembahan?" tanya Mario dengan suara bergetar."Tepat tengah malam nanti, pergilah ke kebun pisang yang tadi kamu lewati. Tebang salah satu pohon yang sudah berbunga. Ambil jantung pisangnya dan bawa kemari!" perintah Mbah Suro. Andi melirik jam di tangan kirinya. Saat itu sudah menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit. Artinya sudah hampir tengah malam."Kalau begitu, sekarang kami berangkat ke kebun, Mbah," ucap Andi sambil menarik tangan Mario agar mengikutinya ke kebun pisang."Tunggu!" seru Mbah Suro menghentikan langkah keduanya."Ada apa, Mbah?" tanya Mario."Pakai keris ini untuk mengambil jantung pisang!" ucap Mbah Suro seraya menyerahkan keris yang ada dalam nampan bambu. Mario langsung menerima keris itu dari tangan Mbah Suro. Alangkah terkejutnya saat dia memegang gagang keris yan