"Assalamualaikum,"Kembali terdengar suara ketukan di pintu runah mereka.Mario menatap Indah yang masih bermata sembab, sementara Indah pun sedang menatapnya dengan tatapan penuh tanya."Jangan biarkan mereka masuk dan melihat uang ini, cepat temui mereka dulu, Ndah!" ucap Mario bernada perintah.Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Indah melangkah menuju ke pintu."Wa'alaikummussalam, Pak RT," jawab Indah seraya membuka sedikit pintu rumahnya."Bagaimana keadaan Bu Indah dan Pak Mario? Kami hanya ingin bertanya apa akan diadakan acara tahlil untuk menerangkan jalan Nak Ranti?" tanya Pak Rustam yang saat itu datang bersama beberapa orang warga."Maaf, Pak. Malam ini kami belum siap sama sekali untuk mengadakan acara tahlil. Rencananya besok malam saja sampai malam tujuh harinya, Pak," lirih suara Indah. Dia sungguh tak rela untuk mengucap kalimat itu. Dia sangat ingin mengadakan tahlil malam ini juga. Tapi, dia juga takut para warga akan melihat keanehan yang terjadi di rumah mereka."
"Hahaha ... Kkrrrhhhh!"Terdengar suara tawa menggelegar yang memenuhi ruangan kecil itu. Kemudian muncul sesosok makhluk menakutkan di hadapan mereka.Sebelum kemunculannya, didahului dengan kepulan asap putih yang sangat pekat memenuhi ruangan itu dan menguarkan bau yang kurang sedap, seperti bau dedaunan busuk serta amis, seperti bau darah.Lambat laun, asap itu berubah dan berbentuk makhluk besar berwajah kera yang bertanduk. Kedua matanya menyorotkan sinar merah. Tubuhnya yang tinggi besar, tertutup bulu hitam keemasan yang sangat lebat. Dari sudut mulutnya keluar taring besar. Melihat tampilannya saja, dapat terbayangkan betapa tajam taring tersebut.Indah dan Angga gemetar ketakutan melihat kehadiran makhluk itu. Indah hampir tak percaya ada makhluk mengerikan seperti itu yang muncul di rumahnya."Mas ... makhluk apa itu?" tanyanya dengan suara bergetar."Bu, Angga takut," bisik putranya tak kalah gemetar dan langsung meringkuk di samping ibunya sambil memeluk Indah dari sampin
"Kenapa, Mas?" Dengan tatapan terkejut dan penuh tanya, Indah berbalik dan menatap manik mata suaminya.Mario menatap dengan penuh kebencian ke arah pintu yang masih tertutup. Padahal selama ini, jika Ayah Indah yang Seorang Kyai datang ke rumah mereka, dia selalu menyambutnya dengan hormat, meskipun dia memang tidak begitu menyukai Ayah dan Ibu mertuanya."Jangan pernah katakan apapun pada mereka tentang Aku yang sudah melakukan pesugihan. Aku harap, kamu masih bisa menjaga nama baikku di depan orang tuamu seperti sebelumnya!" ucap Mario datar. Perlahan, tatapan kebenciannya memudar. "Iya, Mas. Aku mengerti," jawab Indah menurut."Aku akan menyimpan semua uang dan perhiasan ke belakang rumah lebih dulu. Jangan sampai mereka curiga. Katakan saja Mas sedang ke kamar kecil!" perintah Mario lagi dengan suara pelan agar tak terdengar ke luar.Indah mengangguk dan menunggu suaminya menghilang di balik pintu dapur kecil rumah mereka."Wa'alaikummussalam, Abah, Emak," ucap Indah seraya mem
Semua yang ada di ruangan itu langsung mengikuti arah pandangan Emak, ke sudut ruangan.Ternyata, di sana ada seekor kera yang sedang menatap tajam penuh kebencian ke arah Abah dan Emak."Ya Allah, itu monyet siapa, Ndah?" tanya Emak dengan wajah ketakutan. Sebenarnya bukan takut pada kera itu, tapi lebih kepada tatapan tak bersahabat yang dipancarkannya."Nggak tahu, tuh, Mas Rio bawa dari mana," jawab Indah acuh tak acuh sambil melirik pada suaminya, berharap Mario bisa menjawab pertanyaan itu dengan wajar.Sementara Abah seolah tak peduli dengan keberadaan hewan itu dan hanya menatap sekilas. Padahal dalam hatinya ada perasaan was-was yang berusaha disembunyikannya. Dia bisa merasakan bahwa itu bukan kera biasa."Oh, kemarin saya mencoba mencari kayu bakar dan buah-buahan ke hutan. Nah, di sana saya melihat kera kecil itu dan mencoba mendekatinya. Ternyata dia sangat jinak dan mengikuti saya saat pulang hingga sampai ke rumah ini," jawab Mario lancar. Tidak terlihat kebohongan dala
Indah tak sanggup memandang wajah Abah Yai dan Emaknya, dia hanya menunduk sambil terisak."Ndah, Emak ingin kamu jujur dan katakan apa yang sudah terjadi sama Ranti, cucu Emak?" tanya Emak lembut sambil menepuk-nepuk bahu Indah yang makin terguncang menahan isakannya."Ayo kita doakan dulu Ranti, Mak. Nggak baik menangis dan bercerita di kuburan. Sebaiknya kita doakan Ranti agar jasadnya segera bisa Abah kembalikan ke dalam sini," kata Abah pelan.Namun, tak urung ucapan itu membuat Indah terkejut bukan main.'Darimana Abah tau, kalau jasad Ranti kemungkinan tidak ada lagi di dalam sini?' Indah bertanya dalam hati.Dia pun menatap Abah dengan takjub hingga tak sadar jika Abahnya pun sedang menatapnya."Sudahlah, kamu tahu siapa Abah, kan!" Ucapan Abah Yai menyadarkan Indah, dia kembali menunduk menatap gundukan tanah yang masih terlihat basah dengan bunga-bunga di atasnya."Bismillahirrahmanirrahim ...," Abah mulai memimpin doa untuk Ranti dengan sangat khusyuk. Terasa hembusan ang
"Si ... Siapa itu?" tanya Mario dan Indah dengan suara bergetar dan tubuh gemetar ketakutan.Pasalnya, suara itu terdengar sangat keras dan mengandung kemarahan.Mario bisa mengenalinya sebagai suara Mbah Suro Gendam dari Lembah Monyet."Ada apa, Mbah? Apakah ada hal salah yang saya lakukan sehingga membuat Mbah Suro begitu marah?" tanya Mario tanpa ragu."Tumbal anakmu telah dicuri dan diambil oleh seseorang dan dikembalikan ke bumi. Iblis Pemimpin Kera sangat marah. Dia meminta kamu untuk segera mencarikan pengganti sebelum malam purnama. Jika gagal, maka salah satu anggota keluargamu akan menggantikannya memjadi tumbal. Atau bahkan kamu sendiri!" jawab Mbah Suro Gendam dengan nada dingin dan dalam.Keringat dingin membasahi tengkuk dan tangan Mario. Sementara Indah hanya bisa terpaku di tempatnya duduk sambil tak lepas menatap suaminya yang sedang duduk bersimpuh di lantai.'Seharusnya kamu sujud pada Allah, Mas. Bukan malah bersimpuh di depan Iblis. Ya Allah, berikan kekuatan dan
Seorang lelaki muda tampak berdiri dengan gelisah di sebuah jembatan kayu yang berada tepat di atas sungai yang terlihat sedang meluap. Alirannya yang deras membuat orang yang melihat merinding dan seolah akan terbawa arusnya. Jembatan kayu itu pun sedikit bergoyang menahan kerasnya hantaman air."Haruskah aku terjun sekarang?" monolog nya dalam hati.Lelaki muda itu menatap nanar ke dalam air, seperti hendak melompat. Namun, diurungkannya."Bagaimana dengan istri dan anak-anakku?" Kemudian dia berjalan ke pinggir jembatan dan mematung di sana untuk waktu yang cukup lama.Tergambar jelas di ingatannya percakapan dengan Indah tadi pagi."Mas, Ranti panasnya belum turun juga, padahal sudah aku kasih obat penurun panas dari warung Bu Ani," ucap Indah, istrinya."Terus gimana, Ndah?" tanya Mario, lelaki muda yang ada di jembatan saat ini."Ya, harus dibawa ke dokter, Mas! Kalau tidak, bisa parah," jawab Indah dengan wajah panik. Ranti kecil yang saat itu berada dalam pelukannya sedang me
Langkah kedua orang itu tersurut ke belakang."Apa itu, Ndi?" Wajah Mario terlihat pucat pasi.Andi tegak berdiri tanpa ekspresi.Di hadapan mereka, tampak seekor kera besar, hampir sebesar manusia dewasa. Kera itu berwarna putih, sehingga tampak menyeramkan dalam kegelapan. Tampaknya, Sang Kera Putih itu sedang menyeringai galak, menampakkan gigi taringnya yang tajam."Ngukkk! Kembali terdengar teriakan kerasnya."Ndi, sepertinya kera itu marah melihat kehadiran kita," bisik Mario gemetar ketakutan. Tangannya yang sudah dingin memegangi tangan Andi."Panglima kera, mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Aku membawakan seseorang yang ingin mengabdi kepada rajamu," Tiba-tiba, Andi mengucap lirih sambil membungkuk dan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, seperti sedang menyembah."Hhrgggh!"Kera putih itu menggeram keras, menatap tajam ke arah Mario dengan matanya yang semerah saga, menembus kegelapan hutan.Andi langsung menepuk pelan tangan Mario dan memberi isyarat