“Makasih ya, Mas Aksa, udah ngantarin aku pulang,” ujar Ayra seraya melepas safety belt.
Aksa tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga kamu udah bantu beresin rumah dan ngobatin luka saya walaupun saya nggak minta.”
Ayra memang benar-benar melakukan apa yang ia bilang. Gadis manis itu membereskan rumah Aksa mulai dari ujung depan sampai ujung belakang. Bahkan Bowo, kucing Aksa, juga ikut menjadi objek beres-beres Ayra. Ia sampai memandikan Bowo walaupun baju Ayra yang ikutan basah kuyup menjadi korban.
Sekarang sudah pukul tujuh malam dan Aksa mengantar gadis itu pulang. Motor Ayra sudah dibawakan salah seorang teman Aksa ke kediaman gadis tersebut.
“Take care, Mas. Jangan nyetir ugal-ugalan kalau nggak mau meninggoy muda.”
Aksa geleng-geleng kepala. Tak lama setelahnya, pria tampan itu pun melaju meninggalkan Ayra yang sudah sampai di rumahnya. Bibir mungil Ayra masih terus mengulum senyum. Harinya terasa lebih menyenangkan bersama Aksa.
“Baru nikah kemarin kok udah gandeng laki-laki lain. Nggak malu sama tetangga.”
“Iya, kira-kira suaminya gimana, ya? Masa nggak tahu kalau istrinya lagi pergi sama laki-laki lain?”
Ayra sayup-sayup mendengar suara bisik-bisik dari beberapa orang wanita. Saat menoleh ke sana ke mari, rupanya ada segerombol ibu-ibu yang sedang menggunjing. Mereka sekali dua kali mengintip ke arah Ayra yang baru pulang.
Ayra menghela napas jengah. Ia pun mendekati gerombolan ibu-ibu itu dan malah bergabung bersama mereka. Hal itu membuat para penggunjing senyap. Mereka saling tatap satu sama lain melihat Ayra yang malah terlihat santai hendak ikut menggunjing.
“Kok diam sih? Lagi dong, masa segitu doang. Tanggung nih, ayo gibah lagi sampai pagi biar seru,” kalimat Ayra yang membuat ibu-ibu kembali saling bersipandang satu sama lain.
“Jam segini baru pulang kuliah, Ra? Malam banget,” ujar seorang wanita berbadan kurus yang berdiri di sebelah Ayra. Ibu-ibu yang lain kembali saling bertatapan seraya menaik-turunkan alis.
Ayra tersenyum. “Iya nih, Bu. Maklum aja, saya kan sibuk. Banyak yang harus dikerjain sampai-sampai nggak ada waktu buat gibah. Makanya sekarang mumpung urusannya udah selesai, saya mau ikutan gibah sama ibu-ibu sekalian. Ayo dong, lanjutin lagi. Tadi kayaknya seru banget.”
Ibu-ibu tukang gosip itu lagi-lagi saling bertatapan. Mereka terlihat tidak suka dengan kedatangan Ayra yang langsung bergabung. Yah, siapa juga yang suka saat sedang bergosip ria, tiba-tiba orang yang dijadikan bahan gunjingan datang.
Melihat semua orang diam, Ayra pun mendecak. “Nggak seru ah gibahnya selesai. Ya udah kalau gitu, saya pulang dulu ya, ibu-ibu. Permisi.” Ayra memberikan senyum termanis yang ia punya. Ia melenggang berbalik badan seraya mengibas rambut hitam pendeknya bak bintang iklan produk sampo.
Baru saja gadis manis itu menginjak lantai keramik rumah, rupanya Restu sudah berdiri di pintu dengan raut wajah seram. Matanya menatap Ayra tajam, hidungnya juga tampak kembang kempis seakan sedang mengeluarkan napas berasap. Ayra bahkan bisa membayangkan jika ada dua tanduk di kepala ayahnya itu. Ah, siapa yang peduli? Hal semacam ini sudah biasa bagi Ayra.
“Ayra pulang, Pa. Mama mana?” kalimat Ayra seakan tidak ada apa pun yang terjadi.
“Ke mana aja kamu?” Bukannya menjawab ucapan sang putri semata wayang, Restu malah balik bertanya. Nadanya terdengar begitu mengintimidasi, membuat bulu kuduk Ayra meremang.
“Ya habis dari kampus lah, Pa. Emang ke mana lagi?” Ayra menyelonong masuk tanpa memedulikan sang ayah yang masih setia berdiri di ambang pintu layaknya pengawal. “Oh iya, sama ke warung seblak sebelah kampus. Biasalah,” ujar Ayra lagi seraya berbalik badan. Ia menyengir saat Restu hanya menatapnya sedatar papan tripleks.
“Ayra, kamu udah pulang, Sayang?”
Baru saja Ayra hendak membuka pintu kamar, ternyata Fatma datang. Ayra pun langsung menjabat tangan sang ibu tiri dan mencium punggung tangannya dengan hormat.
“Ud—”
“Sama Mama disalimi, sama Papa yang dari tadi berdiri di pintu cuma dilewatin. Anak macam apa itu? Kayak gitu sopan?” potong Restu dengan tatapan galak.
Fatma mendesah di dalam hati. “Pa, Ayra baru pulang kuliah, dia masih capai. Jangan bikin ribut dulu dong.”
“Udah, Ma. Nggak apa-apa kok.”
Ayra mengelus lengan Fatma, lalu berjalan menghadap ayahnya. Gadis itu mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Bukannya menjabat tangan sang anak, Restu malah membuang muka.
“HP kamu hilang?”
Ayra menarik kembali tangannya. Ada sedikit rasa sedih lantaran sang ayah yang sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Perubahan sikap Restu sudah Ayra sadari sejak gadis itu menolak dijodohkan dengan Varo.
“Nggak, Pa. HP aku di tas, tapi di-silent.”
“Di-silent supaya fokus belajar atau di-silent karena tadi sore ada telepon masuk dari Papa dan kamu nggak mau angkat?”
Ayra membuang napas panjang. Inilah yang membuat gadis tersebut makin hari makin tidak betah berada di rumah. Ayahnya ini jadi lebih galak kepada Ayra. Ayra tidak suka dibeginikan.
“Mendingan Papa to the point aja deh. Aku capai, Pa, baru pulang. Belum mandi, belum nugas.”
Fatma yang melihat adanya percikan api tanda mulainya peperangan mulai gusar.
“Tadi sore Pak Panji datang, dia nyariin kamu!” seru Restu tepat di depan wajah Ayra, membuat anaknya memejamkan mata selama beberapa saat. “Papa telepon kamu dan malah dimatiin. Apa itu nggak bikin malu?! Iya? Nggak bikin malu menurut kamu?!”
Restu mengangkat tangan bersiap untuk menampar pipi putri semata wayangnya. Namun, gerakan Restu lagi-lagi berhenti karena seruan histeris sang istri.
“Pa, udah, Pa. ya ampun, kasihan Ayra!” ringis Fatma yang langsung memeluk putri tirinya seraya menangis.
Ayra hanya diam. Dia menatap kosong ke arah sang ayah. Sebenarnya ia sudah siap jika Restu benar-benar menamparnya. Ayra juga bersedia mati muda jika memang ia mati di tangan Restu, ayahnya sendiri.
Restu menatap dua wanita itu dengan napas memburu. “Kamu ini bikin malu keluarga! Kamu baru nikah sama Varo dan sekarang udah pulang sama lelaki lain. Apa itu pantas, hah?! Itu pantas menurut kamu?! Anak kurang ajar!”
Fatma menangis histeris sembari memeluk putrinya. Sementara Ayra hanya terdiam dengan pandangan kosong. Air matanya terasa mengering. Sudah tidak ada setetes pun yang tersisa.
“Kalau Papa tahu kamu tumbuh jadi anak kurang ajar kayak gini, seharusnya dulu Papa biarin kamu mati sama ibu kamu! Panji nggak perlu repot-repot nolong kamu, biarin kamu ikut jadi arang!”
Ayra merasakan nyeri di dalam dadanya. Ternyata Restu berubah sedrastis itu hanya karena Ayra yang tidak mau menikah dengan Varo. Ayra memang salah, ia seakan-akan menjadikan pernikahan ini seperti sebuah permainan. Ayra baru menikah, tapi sudah hendak meminta cerai. Namun, Restu juga tidak seratus persen benar. Ia terlalu memaksakan kehendak dan membatasi kemauan anak sendiri.
Ayra tidak mau hidup bersama Varo. Ia ingin menikah dengan lelaki lain yang menurutnya lebih waras.
Restu mengusap wajah dengan kasar. Ia mulai bisa sedikit mengontrol emosi. “Besok Pak Panji sama Varo mau datang. Tolong bersikap manis. Jangan bikin Papa marah,” kalimat Restu lebih lembut daripada sebelumnya. Tanpa babibu, pria paruh baya itu meninggalkan rumah menggunakan mobilnya.
_***_
Ayra berjalan secara mengendap ke kamar mandi. Ia mandi dengan sangat hati-hati agar suara cipratan airnya tidak terdengar oleh orang tuanya, terutama Restu. Ini masih pukul tiga pagi dan Ayra sudah bangun. Sebuah keajaiban untuk Ayra yang selalu bangun di atas pukul enam. Gadis manis itu mandi dan bersiap-siap dengan cepat. Setelahnya, ia membawa semua keperluan kuliah, beberapa setel baju, dan keperluan lain yang ia rasa perlu. Ayra pun mengabari Dita bahwa ia sudah selesai berbenah. Ini memang rencana yang sengaja Ayra buat. Semalam ayahnya bilang bahwa Panji dan Varo akan ke mari pagi-pagi. Mereka akan ikut sarapan bersama Ayra dan keluarga. Tentu saja Ayra menolak mentah-mentah ide itu. Ia tidak mau bertatap muka apalagi berinteraksi dengan Varo. Ayra belum tahu apakah ia akan menginap di rumah Dita atau tidak. Yang jelas, ia sudah membawa semua perlengkapan tersebut. Masalah menginap atau tidak bisa dipikirkan nanti. Dita sudah membalas pesan Ay
Mata Aksa terbuka lebar dengan napas memburu. Dadanya tampak naik turun. “Ayra…,” gumam pria berbibir seksi tersebut. Beberapa detik setelahnya, Aksa pun sadar bahwa itu hanya bunga tidur. Aksa mengusap wajah yang terasa kebas. Saat menengok, rupanya sekarang masih pukul tiga pagi. Ia pun beranjak ke dapur dan minum segelas air putih untuk menetralkan degup jantung yang berpacu tidak beraturan. Tadi Aksa bermimpi buruk. Dalam mimpinya, Ayra terlihat meminta tolong dengan wajah pucat pasi. Aksa tidak tahu apa yang membuat Ayra meminta tolong sampai sebegitunya di dalam mimpi. Yah, namanya juga bunga tidur, tidak begitu jelas. Firasat Aksa tidak enak. Ia merasa jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Ayra. Tapi, memangnya ada apa? Saat Aksa masih berdiri di depan lemari pendingin sembari memikirkan perempuan berambut bob yang sejak kemarin mewarnai isi kepalanya, rupanya Bowo datang. Kucing angora itu mengeong seraya mengusap-usap kepalanya di
Wajah Ayra terlihat seperti kuburan di malam Jumat. Sejak tadi pagi, Dita sama sekali tidak menjumpai Ayra yang tersenyum ceria seperti hari-hari sebelumnya. Gadis itu benar-benar tampak kehilangan energi dan sama sekali tidak memiliki gairah untuk hidup. “Lo balik duluan aja, Dit. Gue mau ke perpus,” ujar Ayra saat dosen terakhir mereka ke luar kelas. “Lo mau ngapain ke perpus?” “Ya ada lah. Pokoknya lo pulang duluan.” Dahi Dita mengernyit sembari mengamati Ayra yang sedang memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Ia jadi agak was-was. Apa yang akan sahabatnya lakukan di perpustakaan? Lalu, kenapa juga Dita tidak diajak? “Ra, gue ikut, ya,” kalimat Dita sebelum temannya melangkah. Ayra mendecak. “Apaan sih! Udah ah, nggak usah kayak anak kecil.” Tanpa banyak kata, Ayra pun melengos meninggalkan Dita yang masih ragu untuk pulang sendiri. * Aksa berulang kali mencoba menghubungi ponsel Ayra, tapi tetap t
Kelopak mata Ayra perlahan terbuka. Bukan Dita atau sang mama yang pertama kali ia lihat, melainkan sosok pria yang memiliki bibir lembap nan seksi yang tak lain dan tak bukan adalah Aksa. Dahi Ayra mengernyit. Lehernya terasa sakit karena ternyata ia tertidur di perpustakaan kampus.Ayra berpikir sendiri, bagaimana Aksa bisa tidur di sebelahnya dengan posisi yang sama? Bukannya pria tersebut tidak berkuliah di sini? Aksa kan sudah bekerja.Tangan Ayra yang semula terangkat hendak membangunkan Aksa pun seketika berhenti. Tidak, Ayra tidak akan membangunkan pria tersebut sekarang. Pemandangan di depannya ini terlalu indah untuk dilewatkan.‘Ya ampun, ya ampun, ya ampun, nikmat mana yang kau dustakan? Mas Aksa ini guantengnya bikin mau meninggoy di tempat! Udah guanteng, baik pula. Kurang apa lagi sih? Idaman banget,’ batin Ayra yang sekarang malah senyum-senyum sendiri mengamati wajah rupawan pria di depannya.Jantung Ayra terasa berpacu lebih
“A-aku nggak bisa.” “Kamu bisa, Ayra. Let's do it.” Secara tergesa, Varo membuka setiap kancing kemeja putihnya. Kedua mata elangnya terus menatap Ayra dengan pandangan yang begitu lapar, juga nyalang. Bukannya melakukan apa yang Varo minta, Ayra malah meringsut semakin ketakutan. Terlebih lagi saat ia melihat perut ber-ABS Varo, suaminya yang baru disahkan beberapa jam yang lalu. Ayra memang suka melihat pemandangan seperti itu di layar ponsel, tapi jika dilihat secara nyata begini, jatuhnya malah tampak menyeramkan. “Kamu nunggu apa lagi, hm?” tanya Varo dengan embusan napas yang begitu memburu. Ayra masih diam. Lidahnya terasa kelu. Nyalinya juga mendadak ciut. Ia sungguh belum siap jika harus bergulat di atas ranjang sekarang, apalagi dengan Varo yang badannya Ayra anggap terlalu kekar. Bagaimana kalau ternyata itu menyakitkan? Ayra kan masih ingin pergi ke kampus besok. “Mau aku bukain?” tanya Varo lagi seraya mend
Aksa menyetir dengan kondisi kepala yang masih dipenuhi tanda tanya. Niat awalnya adalah memberi tahu gadis tadi agar tidak berlari-lari sempoyongan di jalan agar para pengendara tidak terganggu. Eh, tahu-tahu gadis asing itu malah ikutan naik ke mobilnya. "Kamu mau saya antar ke mana?" tanya Aksa dengan suara serak-serak basahnya yang seksi. Bukannya kalimat berupa jawaban yang Aksa dengar, tapi malah suara dengkuran halus yang asalnya dari jok penumpang. Hal itu membuat Aksa langsung menoleh. Seketika dahi pria berbibir seksi itu berkerut. "Hei, kamu dengar pertanyaan saya, kan?" tanyanya yang masih membagi fokus kepada perempuan berambut pendek di sebelahnya dan juga jalanan malam di depan. Ayra masih tidak menjawab. Matanya tertutup rapat. Aksa mendecak pelan. Ia jadi bingung sendiri. Sebenarnya siapa perempuan berbadan pendek yang ada di sebelahnya ini? Lalu, sekarang ke mana tujuan Aksa? Ia tidak yakin akan membawa gadis manis ini pulang
“Ayra Salsabella. Dia di sini, kan?” “Di sini nggak ada yang namanya Ayra,” jawab Aksa dengan tenang. Varo melipat tangan di depan dada. “Kamu nggak perlu bohong. Sekarang kamu pilih, serahkan Ayra secara baik-baik, atau body guard saya yang akan periksa sendiri ke dalam rumah kamu.” “Sebelumnya saya mau tahu, Anda ini siapa?” “Saya suaminya Ayra.” Seketika, Aksa merasa jika ada sesuatu yang retak di dalam dadanya. Jadi Ayra, perempuan menggemaskan tadi sudah memiliki suami? Ia kira perempuan tersebut masih lajang. “Di mana Ayra istri saya?” tanya Varo lagi saat lawan bicaranya tampak mematung. Ia menekan dua kata terakhir sebagai pengingat kalau saja Aksa tiba-tiba amnesia. Aksa menelan saliva. “Di sini nggak ada yang namanya Ayra.” Varo mengangguk beberapa kali dengan seringaiannya yang tampak licik. Hanya dengan tatapan mata, dua body guard Varo pun langsung berjalan memasuki rumah Aksa untuk mencari keberadaan Ayra.
Aksa memasak dengan kondisi kepala yang dipenuhi bayang-bayang Ayra. Gila saja, semalaman suntuk Aksa tidak dapat tidur hanya karena perempuan mungil itu. Sepanjang malam Ayra tidak berhenti mengigau. Tidurnya pun tampak seperti jarum jam yang menjelajahi setiap inci kasur ukuran king size milik Aksa. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa Ayra tidur menggunakan dress selutut. Hal itu membuat Aksa mati-matian menahan diri untuk tidak berbuat macam-macam. Ia bahkan mengeluarkan beberapa selimut yang masih baru untuk dapat menutupi tubuh Ayra yang posisi tidurnya tidak terkondisikan itu. Ayra juga tidak mau lampu kamar dimatikan. Katanya sih, ia takut gelap. Itu sangat bertolak belakang dengan Aksa yang jika tidur harus dalam kondisi lampu mati. Jadilah pria itu kesulitan terlelap dengan nyaman. Sementara di dalam kamar, Ayra terbangun karena indra penciumannya yang menangkap aroma sedap masakan. Ia mengucek mata dan mengitari pandangan ke sepenjuru kamar. Bebera
Kelopak mata Ayra perlahan terbuka. Bukan Dita atau sang mama yang pertama kali ia lihat, melainkan sosok pria yang memiliki bibir lembap nan seksi yang tak lain dan tak bukan adalah Aksa. Dahi Ayra mengernyit. Lehernya terasa sakit karena ternyata ia tertidur di perpustakaan kampus.Ayra berpikir sendiri, bagaimana Aksa bisa tidur di sebelahnya dengan posisi yang sama? Bukannya pria tersebut tidak berkuliah di sini? Aksa kan sudah bekerja.Tangan Ayra yang semula terangkat hendak membangunkan Aksa pun seketika berhenti. Tidak, Ayra tidak akan membangunkan pria tersebut sekarang. Pemandangan di depannya ini terlalu indah untuk dilewatkan.‘Ya ampun, ya ampun, ya ampun, nikmat mana yang kau dustakan? Mas Aksa ini guantengnya bikin mau meninggoy di tempat! Udah guanteng, baik pula. Kurang apa lagi sih? Idaman banget,’ batin Ayra yang sekarang malah senyum-senyum sendiri mengamati wajah rupawan pria di depannya.Jantung Ayra terasa berpacu lebih
Wajah Ayra terlihat seperti kuburan di malam Jumat. Sejak tadi pagi, Dita sama sekali tidak menjumpai Ayra yang tersenyum ceria seperti hari-hari sebelumnya. Gadis itu benar-benar tampak kehilangan energi dan sama sekali tidak memiliki gairah untuk hidup. “Lo balik duluan aja, Dit. Gue mau ke perpus,” ujar Ayra saat dosen terakhir mereka ke luar kelas. “Lo mau ngapain ke perpus?” “Ya ada lah. Pokoknya lo pulang duluan.” Dahi Dita mengernyit sembari mengamati Ayra yang sedang memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Ia jadi agak was-was. Apa yang akan sahabatnya lakukan di perpustakaan? Lalu, kenapa juga Dita tidak diajak? “Ra, gue ikut, ya,” kalimat Dita sebelum temannya melangkah. Ayra mendecak. “Apaan sih! Udah ah, nggak usah kayak anak kecil.” Tanpa banyak kata, Ayra pun melengos meninggalkan Dita yang masih ragu untuk pulang sendiri. * Aksa berulang kali mencoba menghubungi ponsel Ayra, tapi tetap t
Mata Aksa terbuka lebar dengan napas memburu. Dadanya tampak naik turun. “Ayra…,” gumam pria berbibir seksi tersebut. Beberapa detik setelahnya, Aksa pun sadar bahwa itu hanya bunga tidur. Aksa mengusap wajah yang terasa kebas. Saat menengok, rupanya sekarang masih pukul tiga pagi. Ia pun beranjak ke dapur dan minum segelas air putih untuk menetralkan degup jantung yang berpacu tidak beraturan. Tadi Aksa bermimpi buruk. Dalam mimpinya, Ayra terlihat meminta tolong dengan wajah pucat pasi. Aksa tidak tahu apa yang membuat Ayra meminta tolong sampai sebegitunya di dalam mimpi. Yah, namanya juga bunga tidur, tidak begitu jelas. Firasat Aksa tidak enak. Ia merasa jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Ayra. Tapi, memangnya ada apa? Saat Aksa masih berdiri di depan lemari pendingin sembari memikirkan perempuan berambut bob yang sejak kemarin mewarnai isi kepalanya, rupanya Bowo datang. Kucing angora itu mengeong seraya mengusap-usap kepalanya di
Ayra berjalan secara mengendap ke kamar mandi. Ia mandi dengan sangat hati-hati agar suara cipratan airnya tidak terdengar oleh orang tuanya, terutama Restu. Ini masih pukul tiga pagi dan Ayra sudah bangun. Sebuah keajaiban untuk Ayra yang selalu bangun di atas pukul enam. Gadis manis itu mandi dan bersiap-siap dengan cepat. Setelahnya, ia membawa semua keperluan kuliah, beberapa setel baju, dan keperluan lain yang ia rasa perlu. Ayra pun mengabari Dita bahwa ia sudah selesai berbenah. Ini memang rencana yang sengaja Ayra buat. Semalam ayahnya bilang bahwa Panji dan Varo akan ke mari pagi-pagi. Mereka akan ikut sarapan bersama Ayra dan keluarga. Tentu saja Ayra menolak mentah-mentah ide itu. Ia tidak mau bertatap muka apalagi berinteraksi dengan Varo. Ayra belum tahu apakah ia akan menginap di rumah Dita atau tidak. Yang jelas, ia sudah membawa semua perlengkapan tersebut. Masalah menginap atau tidak bisa dipikirkan nanti. Dita sudah membalas pesan Ay
“Makasih ya, Mas Aksa, udah ngantarin aku pulang,” ujar Ayra seraya melepas safety belt. Aksa tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga kamu udah bantu beresin rumah dan ngobatin luka saya walaupun saya nggak minta.” Ayra memang benar-benar melakukan apa yang ia bilang. Gadis manis itu membereskan rumah Aksa mulai dari ujung depan sampai ujung belakang. Bahkan Bowo, kucing Aksa, juga ikut menjadi objek beres-beres Ayra. Ia sampai memandikan Bowo walaupun baju Ayra yang ikutan basah kuyup menjadi korban. Sekarang sudah pukul tujuh malam dan Aksa mengantar gadis itu pulang. Motor Ayra sudah dibawakan salah seorang teman Aksa ke kediaman gadis tersebut. “Take care, Mas. Jangan nyetir ugal-ugalan kalau nggak mau meninggoy muda.” Aksa geleng-geleng kepala. Tak lama setelahnya, pria tampan itu pun melaju meninggalkan Ayra yang sudah sampai di rumahnya. Bibir mungil Ayra masih terus mengulum senyum. Harinya terasa lebih menyenangkan bersama Aksa. “
“Yah, udah tutup,” rengek Ayra saat melihat tempat tujuannya sudah ditutup dan tidak ada seorang pun yang hilir mudik di sana. “Besok kita ke sini lagi, ya.” Ayra menoleh ke arah Aksa dengan bibir yang masih dimajukan sebal. Ia pun mengangguk. Padahal Ayra sudah sangat ingin mengajukan gugatan perceraian sekarang juga. Ia tahu jika proses cerai tidak akan berjalan singkat. Terlebih lagi dengan kemungkinan besar bahwa Varo tidak akan menerima keputusan sepihak Ayra secara langsung. Aksa baru saja berniat membelokkan mobil, tapi Ayra langsung mencegahnya. “Kok mau belok? Rumah Mas Aksa kan harusnya lurus,” protes gadis manis bersurai pendek itu. “Saya mau ngantar kamu pulang.” “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa! Kok mau ngantar aku pulang sih? Tadi Mas Aksa dengar sendiri kan kalau sekarang lebih baik kita ke rumah Mas Aksa dan obatin luka-luka itu?” “Nggak usah, Ay. Saya bisa o—” “Nggak mau tahu! Pokoknya sekarang lurus, ki
Ayra langsung mengerem mendadak begitu sebuah Lamborghini hitam menyalip dan berhenti tepat di depannya. Ayra yang kesal langsung misuh-misuh seraya membuka kaca helm. Apakah pengemudi mobil mewah tersebut ingin Ayra mati?! Pria berkepala botak yang mengenakan kacamata hitam pun ke luar dari kendaraan beroda empat tersebut. Nyali Ayra mendadak menciut begitu melihat pria dengan kepala plontos itu. Ia pun menghentikan misuhan dan tetap bersiaga. Ia belajar dari pengalaman, orang yang berpenampilan seperti lelaki di depannya ini biasanya bukanlah orang baik. Ayra tahu jika ia tidak bisa menilai seseorang dari tampilan luarnya. Tapi tetap saja pikiran gadis manis itu langsung menuju ke arah sana, mengingat pengalaman yang akhir-akhir ini ia alami. “Nyonya Ayra Salsabella. Bisa Nyonya ikut saya ke dalam mobil?” Dahi Ayra mengernyit. “Maaf sebelumnya, Bapak ini siapa, ya? Kok Bapak bisa tahu nama lengkap saya?” Ayra tahu jika penampilannya memang terlihat
Aksa berulang kali mendesah saat pikirannya tidak dapat fokus kepada apa yang saat ini tengah dirinya kerjakan. Seperti sekarang, ia sedang mem-plating dessert yang baru saja selesai dibuat, tapi pikirannya malah terus menerus tertuju pada gadis manis bersurai pendek tadi malam. Bayangan sosok manis Ayra tergambar jelas di otak Aksa. Dari cara gadis itu berbicara, caranya merengek manja, sampai caranya menangis benar-benar hampir membuat Aksa hampir gila. Jika saja tadi malam ia kehilangan akal sehat, sudah tentu Ayra telah menjadi santapan empuknya. Namun, Aksa masih waras. Ia tidak mau melecehkan wanita, terlebih lagi gadis imut yang terlihat lugu macam Ayra. “Ah!” Aksa menjatuhkan stroberi ranum yang semestinya ia letakkan di bagian paling atas dessert yang ia buat. “Ayra…,” gumam pria berambut agak gondrong tersebut. Ada sedikit desiran aneh yang ia rasakan di dalam dada setiap kali mengingat sosok Ayra. Seketika, lamunan Aksa tersadar saat seseorang menyentuh ba
“Ra, lo ke mana aja sih? Dari kemarin kok Whatsapp lo off mulu?! Gedek deh gue.”Baru beberapa langkah Ayra memasuki kelas, dirinya sudah langsung diserbu pertanyaan oleh Dita, sahabatnya yang juga berasal dari prodi Sastra Inggris. Ayra mendecak, lalu segera duduk tanpa berminat menjawab pertanyaan Dita. Ayra tahu jika ada niat terselubung dari pertanyaan yang sahabatnya lontarkan. Dita pasti hendak meminjam tugas yang sudah diberikan oleh dosen mereka beberapa hari yang lalu.“Gila, the best banget lo. Tahu aja gue mau pinjam tugas,” puji Dita setelah Ayra memberikan bukunya. Tanpa babibu, Dita pun segera menyalin jawaban Ayra, sebelum dosen mereka datang. “Semalam gimana, Ra? Lancar nggak malam pertamanya? Terus, beneran enak kayak di film-film JAV nggak?” tanya Dita lagi dengan suara rendah.Dita memang sudah tahu jika Ayra baru saja menikah dengan Varo. Perempuan tersebut juga tahu jika sebenarnya Ayra sama sekali tidak m