“Yah, udah tutup,” rengek Ayra saat melihat tempat tujuannya sudah ditutup dan tidak ada seorang pun yang hilir mudik di sana.
“Besok kita ke sini lagi, ya.”
Ayra menoleh ke arah Aksa dengan bibir yang masih dimajukan sebal. Ia pun mengangguk. Padahal Ayra sudah sangat ingin mengajukan gugatan perceraian sekarang juga. Ia tahu jika proses cerai tidak akan berjalan singkat. Terlebih lagi dengan kemungkinan besar bahwa Varo tidak akan menerima keputusan sepihak Ayra secara langsung.
Aksa baru saja berniat membelokkan mobil, tapi Ayra langsung mencegahnya. “Kok mau belok? Rumah Mas Aksa kan harusnya lurus,” protes gadis manis bersurai pendek itu.
“Saya mau ngantar kamu pulang.”
“Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa! Kok mau ngantar aku pulang sih? Tadi Mas Aksa dengar sendiri kan kalau sekarang lebih baik kita ke rumah Mas Aksa dan obatin luka-luka itu?”
“Nggak usah, Ay. Saya bisa o—”
“Nggak mau tahu! Pokoknya sekarang lurus, kita ke rumah Mas Aksa!”
“Ayra….”
“Mas Aksa….”
Aksa menelan saliva dengan berat begitu Ayra memasang tampang memelas yang terlihat sangat menggemaskan. Alis tebal gadis itu saling bertaut, bibirnya yang mungil dan berwarna peach juga tampak sedikit dimajukan. Serius, Aksa lemah terhadap segala keimutan yang Ayra beri. Namun, seketika pria seksi itu mengerjap. Ia harus ingat jika Ayra sudah menikah. Ia tidak boleh mencintai istri orang atau dirinya sendiri yang akan menerima balasannya.
“Mas Aksa, ayo jalan. Itu keburu lukanya infeksi lho,” ujar Ayra lagi yang langsung menyadarkan segala pikiran runyam Aksa.
“O-oke.” Pria tampan itu pun menurut. Ia melajukan mobil menuju rumahnya yang bernuansa minimalis. Sepanjang perjalanan, otak Aksa masih dipenuhi dengan sosok Ayra dan Ayra.
Sesampainya mereka di rumah Aksa, keduanya pun turun dari mobil dan masuk ke sana. Baru saja Aksa hendak mengambil peralatan P3K, Ayra langsung mencegah pria tersebut dan mengatakan bahwa ialah yang akan mengambilkannya untuk Aksa.
“Mas Aksa,” panggil Ayra di sela-sela kegiatannya membersihkan luka chef muda tersebut.
“Iya, Ay.”
Ayra tersenyum. Entah kenapa penggalan kata yang Aksa beri terasa menyenangkan di telinganya. Jika kebanyakan orang memanggilnya dengan sebutan Ra, maka lain halnya dengan Aksa. Pria itu malah memenggalnya menjadi Ay. Bagus sih, Ayra suka.
“Makasih, ya. Mas Aksa udah nolongin aku untuk yang kedua kali.”
Aksa menyengir. “Sama-sama.”
Aksa beberapa kali mengaduh saat Ayra menekan lukanya terlalu keras. Ayra juga berulang kali meminta maaf dan bilang bahwa ia tidak sengaja melakukannya. Sepanjang Ayra mengobati luka Aksa, tatapan pria itu tidak bisa lepas dari wajah jelita Ayra. Aksa senang bisa menatapnya dari jarak yang sebegini dekat. Ia merasakan adanya desiran halus setiap kali mata Ayra berkedip. Namun, seketika Aksa kembali tersadar bahwa Ayra sudah memiliki suami.
“Eh, Mas Aksa. Ya ampun, itu kan lukanya belum beres,” protes Ayra saat pria seksi tersebut menjauhkan kepala dari jangkauan Ayra.
“Udah kok. Udah mendingan juga. Makasih, ya.” Aksa tidak mau terjebak terlalu lama ke dalam pesona Ayra. Ia harus sadar diri bahwa perempuan itu bukanlah pilihan yang tepat. Ayra sudah bersuami!
“Itu bibirnya belum, Mas. Sini dulu.”
Ayra tetap berusaha menjangkau wajah Aksa yang babak belur. Sementara itu, Aksa malah terus menerus menghindar. Ayra yang terobsesi ingin mengobati luka Aksa tak sengaja tersandung kakinya sendiri saat ia berdiri untuk menyentuh luka Aksa menggunakan kapas. Karena hal itu, ia pun terhuyung ke depan dan langsung jatuh menindih tubuh tinggi tegap Aksa. Seketika, waktu terasa berhenti berputar. Baik Aksa maupun Ayra saling memandang lekat satu sama lain.
Ini terasa seperti mimpi. Ayra bisa merasakan embusan napas hangat yang keluar dari hidung mancung Aksa. Embusan napas itu terasa membelai lembut wajah Ayra yang sampai detik ini masih terpana dengan kerupawanan pria di depannya ini.
Begitu juga dengan Aksa. Ia tidak berkedip sama sekali menikmati keindahan rupa gadis tersebut. Jantungnya bertalu-talu tidak karuan.
Saat keduanya masih sama-sama terpana akan keindahan satu sama lain, suara ponsel terdengar mengalun keras. Hal itu langsung membuat Ayra bangun dan merapikan pakaiannya untuk menutupi rasa gugup. Sialan, pipinya terasa memanas. Bagaimana ia bisa sebegitu cerobohnya sampai terjatuh di atas tubuh Aksa? Memalukan!
Sesaat setelahnya, Ayra sadar bahwa itu adalah suara ponselnya. Ia pun langsung mengambil benda pipih tersebut dan mendapati nama sang ayah terpampang di sana. Ayra langsung menolak panggilan itu dan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa di antara dirinya dan Aksa.
“Nggak diangkat?” tanya Aksa saat Ayra malah menoleh ke sana ke mari seraya menggerakkan tangan gusar.
“Oh, ng-ngak. Nggak usah diangkat,” jawab Ayra tergagap. Wajahnya masih terasa panas karena kejadian tadi.
“Oke. Kamu mau pulang sekarang? Biar saya antar.” Aksa langsung berdiri, lalu menepuk-nepuk paha entah untuk apa.
Ayra melongo. “Mas Aksa ngusir?” tanyanya dengan dahi mengernyit. Padahal niat Ayra ke mari adalah untuk mengobati Aksa. Tapi kenapa pria itu tampaknya tidak butuh pertolongan?
Aksa mengendikkan bahu. “Nggak ngusir sih. Tapi sekarang udah sore dan saya juga mau beres-beres rumah. Opsi kamu ada dua, pulang atau tetap di sini dan bantuin saya beres-beres.”
“Aku pilih opsi kedua.”
“Wait. What?”
Ayra sudah langsung melipat baju-baju yang berantakan di ruang tengah. Bahkan Aksa tidak meminta gadis itu melakukan ini. Aksa kembali membujuk Ayra agar gadis manis itu mau pulang. Sudah cukup. Aksa tidak mau ia dicap sebagai pebinor.
“Ayra, mending kamu pulang sekarang. Rumah saya ini berantakan banget lho, nanti kamu capai beresinnya.”
Ayra mendengus. “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa yang ganteng banget bin seksi banget, Mas Aksa itu masih belum pulih. Lukanya aja belum semuanya diobatin. Makanya, sekarang lebih baik Mas Aksa duduk yang manis, biarin saya yang beres-beres. Paham?”
Aksa baru membuka mulut hendak bicara, tapi Ayra sudah kembali berujar, “Kalau Mas Aksa nggak mau meninggoy muda, mending sekarang nurut aja, oke? Duduk yang tenang, nggak usah ngapa-ngapain.”
Aksa hanya bisa menghela napas panjang dan membiarkan gadis itu melakukan apa yang ia mau. Ayra terlalu sibuk sampai tidak tahu jika sudah ada puluhan pesan masuk dari sang ayah yang memintanya segera pulang.
_***_
“Makasih ya, Mas Aksa, udah ngantarin aku pulang,” ujar Ayra seraya melepas safety belt. Aksa tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga kamu udah bantu beresin rumah dan ngobatin luka saya walaupun saya nggak minta.” Ayra memang benar-benar melakukan apa yang ia bilang. Gadis manis itu membereskan rumah Aksa mulai dari ujung depan sampai ujung belakang. Bahkan Bowo, kucing Aksa, juga ikut menjadi objek beres-beres Ayra. Ia sampai memandikan Bowo walaupun baju Ayra yang ikutan basah kuyup menjadi korban. Sekarang sudah pukul tujuh malam dan Aksa mengantar gadis itu pulang. Motor Ayra sudah dibawakan salah seorang teman Aksa ke kediaman gadis tersebut. “Take care, Mas. Jangan nyetir ugal-ugalan kalau nggak mau meninggoy muda.” Aksa geleng-geleng kepala. Tak lama setelahnya, pria tampan itu pun melaju meninggalkan Ayra yang sudah sampai di rumahnya. Bibir mungil Ayra masih terus mengulum senyum. Harinya terasa lebih menyenangkan bersama Aksa. “
Ayra berjalan secara mengendap ke kamar mandi. Ia mandi dengan sangat hati-hati agar suara cipratan airnya tidak terdengar oleh orang tuanya, terutama Restu. Ini masih pukul tiga pagi dan Ayra sudah bangun. Sebuah keajaiban untuk Ayra yang selalu bangun di atas pukul enam. Gadis manis itu mandi dan bersiap-siap dengan cepat. Setelahnya, ia membawa semua keperluan kuliah, beberapa setel baju, dan keperluan lain yang ia rasa perlu. Ayra pun mengabari Dita bahwa ia sudah selesai berbenah. Ini memang rencana yang sengaja Ayra buat. Semalam ayahnya bilang bahwa Panji dan Varo akan ke mari pagi-pagi. Mereka akan ikut sarapan bersama Ayra dan keluarga. Tentu saja Ayra menolak mentah-mentah ide itu. Ia tidak mau bertatap muka apalagi berinteraksi dengan Varo. Ayra belum tahu apakah ia akan menginap di rumah Dita atau tidak. Yang jelas, ia sudah membawa semua perlengkapan tersebut. Masalah menginap atau tidak bisa dipikirkan nanti. Dita sudah membalas pesan Ay
Mata Aksa terbuka lebar dengan napas memburu. Dadanya tampak naik turun. “Ayra…,” gumam pria berbibir seksi tersebut. Beberapa detik setelahnya, Aksa pun sadar bahwa itu hanya bunga tidur. Aksa mengusap wajah yang terasa kebas. Saat menengok, rupanya sekarang masih pukul tiga pagi. Ia pun beranjak ke dapur dan minum segelas air putih untuk menetralkan degup jantung yang berpacu tidak beraturan. Tadi Aksa bermimpi buruk. Dalam mimpinya, Ayra terlihat meminta tolong dengan wajah pucat pasi. Aksa tidak tahu apa yang membuat Ayra meminta tolong sampai sebegitunya di dalam mimpi. Yah, namanya juga bunga tidur, tidak begitu jelas. Firasat Aksa tidak enak. Ia merasa jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Ayra. Tapi, memangnya ada apa? Saat Aksa masih berdiri di depan lemari pendingin sembari memikirkan perempuan berambut bob yang sejak kemarin mewarnai isi kepalanya, rupanya Bowo datang. Kucing angora itu mengeong seraya mengusap-usap kepalanya di
Wajah Ayra terlihat seperti kuburan di malam Jumat. Sejak tadi pagi, Dita sama sekali tidak menjumpai Ayra yang tersenyum ceria seperti hari-hari sebelumnya. Gadis itu benar-benar tampak kehilangan energi dan sama sekali tidak memiliki gairah untuk hidup. “Lo balik duluan aja, Dit. Gue mau ke perpus,” ujar Ayra saat dosen terakhir mereka ke luar kelas. “Lo mau ngapain ke perpus?” “Ya ada lah. Pokoknya lo pulang duluan.” Dahi Dita mengernyit sembari mengamati Ayra yang sedang memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Ia jadi agak was-was. Apa yang akan sahabatnya lakukan di perpustakaan? Lalu, kenapa juga Dita tidak diajak? “Ra, gue ikut, ya,” kalimat Dita sebelum temannya melangkah. Ayra mendecak. “Apaan sih! Udah ah, nggak usah kayak anak kecil.” Tanpa banyak kata, Ayra pun melengos meninggalkan Dita yang masih ragu untuk pulang sendiri. * Aksa berulang kali mencoba menghubungi ponsel Ayra, tapi tetap t
Kelopak mata Ayra perlahan terbuka. Bukan Dita atau sang mama yang pertama kali ia lihat, melainkan sosok pria yang memiliki bibir lembap nan seksi yang tak lain dan tak bukan adalah Aksa. Dahi Ayra mengernyit. Lehernya terasa sakit karena ternyata ia tertidur di perpustakaan kampus.Ayra berpikir sendiri, bagaimana Aksa bisa tidur di sebelahnya dengan posisi yang sama? Bukannya pria tersebut tidak berkuliah di sini? Aksa kan sudah bekerja.Tangan Ayra yang semula terangkat hendak membangunkan Aksa pun seketika berhenti. Tidak, Ayra tidak akan membangunkan pria tersebut sekarang. Pemandangan di depannya ini terlalu indah untuk dilewatkan.‘Ya ampun, ya ampun, ya ampun, nikmat mana yang kau dustakan? Mas Aksa ini guantengnya bikin mau meninggoy di tempat! Udah guanteng, baik pula. Kurang apa lagi sih? Idaman banget,’ batin Ayra yang sekarang malah senyum-senyum sendiri mengamati wajah rupawan pria di depannya.Jantung Ayra terasa berpacu lebih
“A-aku nggak bisa.” “Kamu bisa, Ayra. Let's do it.” Secara tergesa, Varo membuka setiap kancing kemeja putihnya. Kedua mata elangnya terus menatap Ayra dengan pandangan yang begitu lapar, juga nyalang. Bukannya melakukan apa yang Varo minta, Ayra malah meringsut semakin ketakutan. Terlebih lagi saat ia melihat perut ber-ABS Varo, suaminya yang baru disahkan beberapa jam yang lalu. Ayra memang suka melihat pemandangan seperti itu di layar ponsel, tapi jika dilihat secara nyata begini, jatuhnya malah tampak menyeramkan. “Kamu nunggu apa lagi, hm?” tanya Varo dengan embusan napas yang begitu memburu. Ayra masih diam. Lidahnya terasa kelu. Nyalinya juga mendadak ciut. Ia sungguh belum siap jika harus bergulat di atas ranjang sekarang, apalagi dengan Varo yang badannya Ayra anggap terlalu kekar. Bagaimana kalau ternyata itu menyakitkan? Ayra kan masih ingin pergi ke kampus besok. “Mau aku bukain?” tanya Varo lagi seraya mend
Aksa menyetir dengan kondisi kepala yang masih dipenuhi tanda tanya. Niat awalnya adalah memberi tahu gadis tadi agar tidak berlari-lari sempoyongan di jalan agar para pengendara tidak terganggu. Eh, tahu-tahu gadis asing itu malah ikutan naik ke mobilnya. "Kamu mau saya antar ke mana?" tanya Aksa dengan suara serak-serak basahnya yang seksi. Bukannya kalimat berupa jawaban yang Aksa dengar, tapi malah suara dengkuran halus yang asalnya dari jok penumpang. Hal itu membuat Aksa langsung menoleh. Seketika dahi pria berbibir seksi itu berkerut. "Hei, kamu dengar pertanyaan saya, kan?" tanyanya yang masih membagi fokus kepada perempuan berambut pendek di sebelahnya dan juga jalanan malam di depan. Ayra masih tidak menjawab. Matanya tertutup rapat. Aksa mendecak pelan. Ia jadi bingung sendiri. Sebenarnya siapa perempuan berbadan pendek yang ada di sebelahnya ini? Lalu, sekarang ke mana tujuan Aksa? Ia tidak yakin akan membawa gadis manis ini pulang
“Ayra Salsabella. Dia di sini, kan?” “Di sini nggak ada yang namanya Ayra,” jawab Aksa dengan tenang. Varo melipat tangan di depan dada. “Kamu nggak perlu bohong. Sekarang kamu pilih, serahkan Ayra secara baik-baik, atau body guard saya yang akan periksa sendiri ke dalam rumah kamu.” “Sebelumnya saya mau tahu, Anda ini siapa?” “Saya suaminya Ayra.” Seketika, Aksa merasa jika ada sesuatu yang retak di dalam dadanya. Jadi Ayra, perempuan menggemaskan tadi sudah memiliki suami? Ia kira perempuan tersebut masih lajang. “Di mana Ayra istri saya?” tanya Varo lagi saat lawan bicaranya tampak mematung. Ia menekan dua kata terakhir sebagai pengingat kalau saja Aksa tiba-tiba amnesia. Aksa menelan saliva. “Di sini nggak ada yang namanya Ayra.” Varo mengangguk beberapa kali dengan seringaiannya yang tampak licik. Hanya dengan tatapan mata, dua body guard Varo pun langsung berjalan memasuki rumah Aksa untuk mencari keberadaan Ayra.
Kelopak mata Ayra perlahan terbuka. Bukan Dita atau sang mama yang pertama kali ia lihat, melainkan sosok pria yang memiliki bibir lembap nan seksi yang tak lain dan tak bukan adalah Aksa. Dahi Ayra mengernyit. Lehernya terasa sakit karena ternyata ia tertidur di perpustakaan kampus.Ayra berpikir sendiri, bagaimana Aksa bisa tidur di sebelahnya dengan posisi yang sama? Bukannya pria tersebut tidak berkuliah di sini? Aksa kan sudah bekerja.Tangan Ayra yang semula terangkat hendak membangunkan Aksa pun seketika berhenti. Tidak, Ayra tidak akan membangunkan pria tersebut sekarang. Pemandangan di depannya ini terlalu indah untuk dilewatkan.‘Ya ampun, ya ampun, ya ampun, nikmat mana yang kau dustakan? Mas Aksa ini guantengnya bikin mau meninggoy di tempat! Udah guanteng, baik pula. Kurang apa lagi sih? Idaman banget,’ batin Ayra yang sekarang malah senyum-senyum sendiri mengamati wajah rupawan pria di depannya.Jantung Ayra terasa berpacu lebih
Wajah Ayra terlihat seperti kuburan di malam Jumat. Sejak tadi pagi, Dita sama sekali tidak menjumpai Ayra yang tersenyum ceria seperti hari-hari sebelumnya. Gadis itu benar-benar tampak kehilangan energi dan sama sekali tidak memiliki gairah untuk hidup. “Lo balik duluan aja, Dit. Gue mau ke perpus,” ujar Ayra saat dosen terakhir mereka ke luar kelas. “Lo mau ngapain ke perpus?” “Ya ada lah. Pokoknya lo pulang duluan.” Dahi Dita mengernyit sembari mengamati Ayra yang sedang memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Ia jadi agak was-was. Apa yang akan sahabatnya lakukan di perpustakaan? Lalu, kenapa juga Dita tidak diajak? “Ra, gue ikut, ya,” kalimat Dita sebelum temannya melangkah. Ayra mendecak. “Apaan sih! Udah ah, nggak usah kayak anak kecil.” Tanpa banyak kata, Ayra pun melengos meninggalkan Dita yang masih ragu untuk pulang sendiri. * Aksa berulang kali mencoba menghubungi ponsel Ayra, tapi tetap t
Mata Aksa terbuka lebar dengan napas memburu. Dadanya tampak naik turun. “Ayra…,” gumam pria berbibir seksi tersebut. Beberapa detik setelahnya, Aksa pun sadar bahwa itu hanya bunga tidur. Aksa mengusap wajah yang terasa kebas. Saat menengok, rupanya sekarang masih pukul tiga pagi. Ia pun beranjak ke dapur dan minum segelas air putih untuk menetralkan degup jantung yang berpacu tidak beraturan. Tadi Aksa bermimpi buruk. Dalam mimpinya, Ayra terlihat meminta tolong dengan wajah pucat pasi. Aksa tidak tahu apa yang membuat Ayra meminta tolong sampai sebegitunya di dalam mimpi. Yah, namanya juga bunga tidur, tidak begitu jelas. Firasat Aksa tidak enak. Ia merasa jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Ayra. Tapi, memangnya ada apa? Saat Aksa masih berdiri di depan lemari pendingin sembari memikirkan perempuan berambut bob yang sejak kemarin mewarnai isi kepalanya, rupanya Bowo datang. Kucing angora itu mengeong seraya mengusap-usap kepalanya di
Ayra berjalan secara mengendap ke kamar mandi. Ia mandi dengan sangat hati-hati agar suara cipratan airnya tidak terdengar oleh orang tuanya, terutama Restu. Ini masih pukul tiga pagi dan Ayra sudah bangun. Sebuah keajaiban untuk Ayra yang selalu bangun di atas pukul enam. Gadis manis itu mandi dan bersiap-siap dengan cepat. Setelahnya, ia membawa semua keperluan kuliah, beberapa setel baju, dan keperluan lain yang ia rasa perlu. Ayra pun mengabari Dita bahwa ia sudah selesai berbenah. Ini memang rencana yang sengaja Ayra buat. Semalam ayahnya bilang bahwa Panji dan Varo akan ke mari pagi-pagi. Mereka akan ikut sarapan bersama Ayra dan keluarga. Tentu saja Ayra menolak mentah-mentah ide itu. Ia tidak mau bertatap muka apalagi berinteraksi dengan Varo. Ayra belum tahu apakah ia akan menginap di rumah Dita atau tidak. Yang jelas, ia sudah membawa semua perlengkapan tersebut. Masalah menginap atau tidak bisa dipikirkan nanti. Dita sudah membalas pesan Ay
“Makasih ya, Mas Aksa, udah ngantarin aku pulang,” ujar Ayra seraya melepas safety belt. Aksa tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga kamu udah bantu beresin rumah dan ngobatin luka saya walaupun saya nggak minta.” Ayra memang benar-benar melakukan apa yang ia bilang. Gadis manis itu membereskan rumah Aksa mulai dari ujung depan sampai ujung belakang. Bahkan Bowo, kucing Aksa, juga ikut menjadi objek beres-beres Ayra. Ia sampai memandikan Bowo walaupun baju Ayra yang ikutan basah kuyup menjadi korban. Sekarang sudah pukul tujuh malam dan Aksa mengantar gadis itu pulang. Motor Ayra sudah dibawakan salah seorang teman Aksa ke kediaman gadis tersebut. “Take care, Mas. Jangan nyetir ugal-ugalan kalau nggak mau meninggoy muda.” Aksa geleng-geleng kepala. Tak lama setelahnya, pria tampan itu pun melaju meninggalkan Ayra yang sudah sampai di rumahnya. Bibir mungil Ayra masih terus mengulum senyum. Harinya terasa lebih menyenangkan bersama Aksa. “
“Yah, udah tutup,” rengek Ayra saat melihat tempat tujuannya sudah ditutup dan tidak ada seorang pun yang hilir mudik di sana. “Besok kita ke sini lagi, ya.” Ayra menoleh ke arah Aksa dengan bibir yang masih dimajukan sebal. Ia pun mengangguk. Padahal Ayra sudah sangat ingin mengajukan gugatan perceraian sekarang juga. Ia tahu jika proses cerai tidak akan berjalan singkat. Terlebih lagi dengan kemungkinan besar bahwa Varo tidak akan menerima keputusan sepihak Ayra secara langsung. Aksa baru saja berniat membelokkan mobil, tapi Ayra langsung mencegahnya. “Kok mau belok? Rumah Mas Aksa kan harusnya lurus,” protes gadis manis bersurai pendek itu. “Saya mau ngantar kamu pulang.” “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa! Kok mau ngantar aku pulang sih? Tadi Mas Aksa dengar sendiri kan kalau sekarang lebih baik kita ke rumah Mas Aksa dan obatin luka-luka itu?” “Nggak usah, Ay. Saya bisa o—” “Nggak mau tahu! Pokoknya sekarang lurus, ki
Ayra langsung mengerem mendadak begitu sebuah Lamborghini hitam menyalip dan berhenti tepat di depannya. Ayra yang kesal langsung misuh-misuh seraya membuka kaca helm. Apakah pengemudi mobil mewah tersebut ingin Ayra mati?! Pria berkepala botak yang mengenakan kacamata hitam pun ke luar dari kendaraan beroda empat tersebut. Nyali Ayra mendadak menciut begitu melihat pria dengan kepala plontos itu. Ia pun menghentikan misuhan dan tetap bersiaga. Ia belajar dari pengalaman, orang yang berpenampilan seperti lelaki di depannya ini biasanya bukanlah orang baik. Ayra tahu jika ia tidak bisa menilai seseorang dari tampilan luarnya. Tapi tetap saja pikiran gadis manis itu langsung menuju ke arah sana, mengingat pengalaman yang akhir-akhir ini ia alami. “Nyonya Ayra Salsabella. Bisa Nyonya ikut saya ke dalam mobil?” Dahi Ayra mengernyit. “Maaf sebelumnya, Bapak ini siapa, ya? Kok Bapak bisa tahu nama lengkap saya?” Ayra tahu jika penampilannya memang terlihat
Aksa berulang kali mendesah saat pikirannya tidak dapat fokus kepada apa yang saat ini tengah dirinya kerjakan. Seperti sekarang, ia sedang mem-plating dessert yang baru saja selesai dibuat, tapi pikirannya malah terus menerus tertuju pada gadis manis bersurai pendek tadi malam. Bayangan sosok manis Ayra tergambar jelas di otak Aksa. Dari cara gadis itu berbicara, caranya merengek manja, sampai caranya menangis benar-benar hampir membuat Aksa hampir gila. Jika saja tadi malam ia kehilangan akal sehat, sudah tentu Ayra telah menjadi santapan empuknya. Namun, Aksa masih waras. Ia tidak mau melecehkan wanita, terlebih lagi gadis imut yang terlihat lugu macam Ayra. “Ah!” Aksa menjatuhkan stroberi ranum yang semestinya ia letakkan di bagian paling atas dessert yang ia buat. “Ayra…,” gumam pria berambut agak gondrong tersebut. Ada sedikit desiran aneh yang ia rasakan di dalam dada setiap kali mengingat sosok Ayra. Seketika, lamunan Aksa tersadar saat seseorang menyentuh ba
“Ra, lo ke mana aja sih? Dari kemarin kok Whatsapp lo off mulu?! Gedek deh gue.”Baru beberapa langkah Ayra memasuki kelas, dirinya sudah langsung diserbu pertanyaan oleh Dita, sahabatnya yang juga berasal dari prodi Sastra Inggris. Ayra mendecak, lalu segera duduk tanpa berminat menjawab pertanyaan Dita. Ayra tahu jika ada niat terselubung dari pertanyaan yang sahabatnya lontarkan. Dita pasti hendak meminjam tugas yang sudah diberikan oleh dosen mereka beberapa hari yang lalu.“Gila, the best banget lo. Tahu aja gue mau pinjam tugas,” puji Dita setelah Ayra memberikan bukunya. Tanpa babibu, Dita pun segera menyalin jawaban Ayra, sebelum dosen mereka datang. “Semalam gimana, Ra? Lancar nggak malam pertamanya? Terus, beneran enak kayak di film-film JAV nggak?” tanya Dita lagi dengan suara rendah.Dita memang sudah tahu jika Ayra baru saja menikah dengan Varo. Perempuan tersebut juga tahu jika sebenarnya Ayra sama sekali tidak m