“Ra, lo ke mana aja sih? Dari kemarin kok W******p lo off mulu?! Gedek deh gue.”
Baru beberapa langkah Ayra memasuki kelas, dirinya sudah langsung diserbu pertanyaan oleh Dita, sahabatnya yang juga berasal dari prodi Sastra Inggris. Ayra mendecak, lalu segera duduk tanpa berminat menjawab pertanyaan Dita. Ayra tahu jika ada niat terselubung dari pertanyaan yang sahabatnya lontarkan. Dita pasti hendak meminjam tugas yang sudah diberikan oleh dosen mereka beberapa hari yang lalu.
“Gila, the best banget lo. Tahu aja gue mau pinjam tugas,” puji Dita setelah Ayra memberikan bukunya. Tanpa babibu, Dita pun segera menyalin jawaban Ayra, sebelum dosen mereka datang. “Semalam gimana, Ra? Lancar nggak malam pertamanya? Terus, beneran enak kayak di film-film JAV nggak?” tanya Dita lagi dengan suara rendah.
Dita memang sudah tahu jika Ayra baru saja menikah dengan Varo. Perempuan tersebut juga tahu jika sebenarnya Ayra sama sekali tidak memiliki perasaan suka kepada pria 30 tahun itu. Hanya Dita satu-satunya teman sekampus Ayra yang tahu mengenai rahasia tersebut. Pun, Ayra juga tidak ada keniatan untuk mengatakan rahasia kelam itu kepada teman-temannya yang lain. Buat apa? Toh, sebentar lagi juga ia akan bercerai dengan Varo.
“Enak banget sampai mau meninggoy, Dit. Ahh… mantap,” jawab Ayra seakan sedang membayangkan adegan ranjang yang Dita pikir sudah ia lakukan dengan Varo. Ayra menjilat bibir, membuat Dita menelan saliva.
“Serius, Ra? Terus, awalnya sakit nggak?” Dita malah meninggalkan tugas yang semula ia salin. Cerita mengenai malam pertama sahabatnya lebih mampu menarik perhatian daripada deretan kata yang malah membuat sakit kepala.
“Enak banget, Dita, enak banget sampai mau meninggoy! Serius deh, gue nggak bohong. Makanya lo cepat kawin biar bisa ngerasain nikmatnya surga dunia,” jawab perempuan manis berambut bob itu lagi dengan asal.
Ayra memang masih berstatus sebagai mahasiswi di sebuah universitas yang ada di ibukota. Ia sedang menempuh semester 3 dan mengambil program studi Sastra Inggris. Itu juga merupakan salah satu alasan yang dulu sempat Ayra berikan ketika ia diminta untuk segera menikah dengan Varo. Ayra masih ingin belajar, usianya juga masih terlalu belia. Ia baru 20 tahun, selisih sepuluh tahun dengan Varo. Ah, jika bayang-bayang itu muncul, rasanya kepala Ayra mendadak pening.
“Ah, Ayra, gue jadi pengin kawin!”
Semua mahasiswa yang berada di dalam kelas seketika mengalihkan perhatian pada Dita. Ayra yang ada di dekat Dita pun langsung menyunggingkan senyuman yang malah terlihat konyol di wajahnya.
“Tapi boong,” ucap Dita lagi saat sadar bahwa ia sedang menjadi bahan tontonan sekarang.
Ayra segera mengelus dada saat semua orang sudah kembali fokus ke kegiatan mereka masing-masing. “Kurang keras, Bego!” serunya seraya memelotot. “Lagian juga bentar lagi gue mau cerai,” sambung Ayra saat sahabatnya sudah kembali menyalin jawaban.
Sepasang mata Dita memelotot tidak percaya. “Ra, lo ngomong apa tadi? Gue nggak salah dengar, kan?” Gadis itu lagi-lagi menghentikan gerakan tangannya yang sedang menulis. Ia berharap jika ia sudah salah dengar. Tidak mungkin kalau Ayra yang baru menikah kemarin sudah akan bercerai. Masa pernikahan sahabatnya bisa hancur secepat kilat? Pernikahan macam apa itu?
Belum juga Ayra menjawab, semua mahasiswa yang ada di kelas langsung duduk tenang di tempat. Ayra dan Dita juga melakukan hal yang sama begitu sang dosen melangkah masuk.
*
Suara lenguhan nikmat terdengar di seluruh ruang kerja Varo. Bibir dan lidahnya masih bergerak dengan buas, saling melumat bersama seorang wanita yang kini duduk di pangkuannya. Tangan pria bermata elang itu sudah menelusup ke dalam kemeja yang wanita itu kenakan. Ia menciptakan suara erangan penuh kenikmatan dari bibir merah lawan mainnya.
“Astaga!” pekik seorang pria dewasa yang baru saja membuka pintu ruang kerja Varo.
Varo memaki pria tersebut yang tak lain adalah Panji, ayahnya. Ciuman mereka pun terlepas. Wanita tadi segera mengancing kemeja dan merapikan penampilannya sebelum ia melenggang ke luar secara tergesa.
“Varo, Varo, mau sampai kapan kamu kayak gini?” Panji melangkah mendekati putra semata wayangnya yang juga tengah merapikan dasi. “Siapa lagi perempuan tadi?” tanya pria yang rambutnya sudah setengah memutih itu dengan intonasi dingin.
Panji kira dengan sudah menikahkan Varo dengan Ayra akan mampu membuat pria itu sadar dan mengubah kebiasaannya yang suka bergonta-ganti wanita. Nyatanya tidak, lelaki yang mengelola Permana Company itu tetap saja bermain dengan wanita yang tidak Panji ketahui dari mana asalnya.
Varo mendengus. “Papa kayak nggak tahu aja,” jawabnya tak acuh. “Ada apa?”
Tatapan Panji langsung terfokus pada perban yang ada di kepala putra semata wayangnya. “Kepala kamu kenapa?”
Perban itu adalah ulah Ayra yang semalam memukul kepala Varo menggunakan vas bunga. Bukannya menjawab dengan jujur, yang Varo katakan selanjutnya adalah, “Nggak penting. Mau apa Papa ke sini?”
Varo sudah terlanjur kesal. Padahal kegiatan bercumbunya tadi belum usai, Varo juga masih menginginkan ciuman yang lebih panas. Belum juga nafsu Varo terpuaskan, si tua bangka Panji ini langsung datang. Rusak sudah suasana yang semula sudah mulai memanas.
“Ayra.” Panji berhenti sejenak untuk melihat reaksi yang akan ditunjukkan Varo. “Papa dengar kalau semalam dia kabur. Itu benar?” tanyanya yang hanya dijawab dengan sebuah anggukan singkat dari sang anak.
Panji menggebrak meja frustrasi. Kenapa anaknya ini bisa sangat tenang di saat istrinya sedang kabur? Apakah Varo benar-benar sudah gila?
“Ayra kabur dan kamu malah asyik ciuman sama perempuan lain?! Kamu nggak mau berbuat sesuatu?” berang Panji yang hanya dibalas tatapan mengejek dari putra semata wayangnya.
“Jangan kayak orang susah, Pa.”
Ponsel Varo yang tergeletak di meja berdering. Terdapat panggilan masuk dari salah satu kaki tangannya. Ia pun langsung menerima panggilan tersebut.
“Hm,” gumam Varo seraya menempelkan telepon genggam di telinga.
“Halo, Bos. Nyonya Ayra lagi ada di warung seblak sebelah kampus. Dia sama temannya. Saya lihat dia bawa banyak berkas yang lagi dicek satu per satu. Masalah itu berkas apa, saya kurang tahu, bisa aja itu tugas kuliah atau berkas lain yang lebih penting,” jelas seseorang di balik telepon genggam dengan suara yang terdengar seperti bisik-bisik.
“Bagus. Ikuti dia terus. Hubungi saya tiap kali ada kemajuan info yang kamu dapat.” Tanpa banyak kata, Varo langsung memutus sambungan tersebut. Ia menatap sang ayah yang masih setia berada di ruang kerjanya. “See? Jangan kayak orang susah.”
_***_
Aksa berulang kali mendesah saat pikirannya tidak dapat fokus kepada apa yang saat ini tengah dirinya kerjakan. Seperti sekarang, ia sedang mem-plating dessert yang baru saja selesai dibuat, tapi pikirannya malah terus menerus tertuju pada gadis manis bersurai pendek tadi malam. Bayangan sosok manis Ayra tergambar jelas di otak Aksa. Dari cara gadis itu berbicara, caranya merengek manja, sampai caranya menangis benar-benar hampir membuat Aksa hampir gila. Jika saja tadi malam ia kehilangan akal sehat, sudah tentu Ayra telah menjadi santapan empuknya. Namun, Aksa masih waras. Ia tidak mau melecehkan wanita, terlebih lagi gadis imut yang terlihat lugu macam Ayra. “Ah!” Aksa menjatuhkan stroberi ranum yang semestinya ia letakkan di bagian paling atas dessert yang ia buat. “Ayra…,” gumam pria berambut agak gondrong tersebut. Ada sedikit desiran aneh yang ia rasakan di dalam dada setiap kali mengingat sosok Ayra. Seketika, lamunan Aksa tersadar saat seseorang menyentuh ba
Ayra langsung mengerem mendadak begitu sebuah Lamborghini hitam menyalip dan berhenti tepat di depannya. Ayra yang kesal langsung misuh-misuh seraya membuka kaca helm. Apakah pengemudi mobil mewah tersebut ingin Ayra mati?! Pria berkepala botak yang mengenakan kacamata hitam pun ke luar dari kendaraan beroda empat tersebut. Nyali Ayra mendadak menciut begitu melihat pria dengan kepala plontos itu. Ia pun menghentikan misuhan dan tetap bersiaga. Ia belajar dari pengalaman, orang yang berpenampilan seperti lelaki di depannya ini biasanya bukanlah orang baik. Ayra tahu jika ia tidak bisa menilai seseorang dari tampilan luarnya. Tapi tetap saja pikiran gadis manis itu langsung menuju ke arah sana, mengingat pengalaman yang akhir-akhir ini ia alami. “Nyonya Ayra Salsabella. Bisa Nyonya ikut saya ke dalam mobil?” Dahi Ayra mengernyit. “Maaf sebelumnya, Bapak ini siapa, ya? Kok Bapak bisa tahu nama lengkap saya?” Ayra tahu jika penampilannya memang terlihat
“Yah, udah tutup,” rengek Ayra saat melihat tempat tujuannya sudah ditutup dan tidak ada seorang pun yang hilir mudik di sana. “Besok kita ke sini lagi, ya.” Ayra menoleh ke arah Aksa dengan bibir yang masih dimajukan sebal. Ia pun mengangguk. Padahal Ayra sudah sangat ingin mengajukan gugatan perceraian sekarang juga. Ia tahu jika proses cerai tidak akan berjalan singkat. Terlebih lagi dengan kemungkinan besar bahwa Varo tidak akan menerima keputusan sepihak Ayra secara langsung. Aksa baru saja berniat membelokkan mobil, tapi Ayra langsung mencegahnya. “Kok mau belok? Rumah Mas Aksa kan harusnya lurus,” protes gadis manis bersurai pendek itu. “Saya mau ngantar kamu pulang.” “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa! Kok mau ngantar aku pulang sih? Tadi Mas Aksa dengar sendiri kan kalau sekarang lebih baik kita ke rumah Mas Aksa dan obatin luka-luka itu?” “Nggak usah, Ay. Saya bisa o—” “Nggak mau tahu! Pokoknya sekarang lurus, ki
“Makasih ya, Mas Aksa, udah ngantarin aku pulang,” ujar Ayra seraya melepas safety belt. Aksa tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga kamu udah bantu beresin rumah dan ngobatin luka saya walaupun saya nggak minta.” Ayra memang benar-benar melakukan apa yang ia bilang. Gadis manis itu membereskan rumah Aksa mulai dari ujung depan sampai ujung belakang. Bahkan Bowo, kucing Aksa, juga ikut menjadi objek beres-beres Ayra. Ia sampai memandikan Bowo walaupun baju Ayra yang ikutan basah kuyup menjadi korban. Sekarang sudah pukul tujuh malam dan Aksa mengantar gadis itu pulang. Motor Ayra sudah dibawakan salah seorang teman Aksa ke kediaman gadis tersebut. “Take care, Mas. Jangan nyetir ugal-ugalan kalau nggak mau meninggoy muda.” Aksa geleng-geleng kepala. Tak lama setelahnya, pria tampan itu pun melaju meninggalkan Ayra yang sudah sampai di rumahnya. Bibir mungil Ayra masih terus mengulum senyum. Harinya terasa lebih menyenangkan bersama Aksa. “
Ayra berjalan secara mengendap ke kamar mandi. Ia mandi dengan sangat hati-hati agar suara cipratan airnya tidak terdengar oleh orang tuanya, terutama Restu. Ini masih pukul tiga pagi dan Ayra sudah bangun. Sebuah keajaiban untuk Ayra yang selalu bangun di atas pukul enam. Gadis manis itu mandi dan bersiap-siap dengan cepat. Setelahnya, ia membawa semua keperluan kuliah, beberapa setel baju, dan keperluan lain yang ia rasa perlu. Ayra pun mengabari Dita bahwa ia sudah selesai berbenah. Ini memang rencana yang sengaja Ayra buat. Semalam ayahnya bilang bahwa Panji dan Varo akan ke mari pagi-pagi. Mereka akan ikut sarapan bersama Ayra dan keluarga. Tentu saja Ayra menolak mentah-mentah ide itu. Ia tidak mau bertatap muka apalagi berinteraksi dengan Varo. Ayra belum tahu apakah ia akan menginap di rumah Dita atau tidak. Yang jelas, ia sudah membawa semua perlengkapan tersebut. Masalah menginap atau tidak bisa dipikirkan nanti. Dita sudah membalas pesan Ay
Mata Aksa terbuka lebar dengan napas memburu. Dadanya tampak naik turun. “Ayra…,” gumam pria berbibir seksi tersebut. Beberapa detik setelahnya, Aksa pun sadar bahwa itu hanya bunga tidur. Aksa mengusap wajah yang terasa kebas. Saat menengok, rupanya sekarang masih pukul tiga pagi. Ia pun beranjak ke dapur dan minum segelas air putih untuk menetralkan degup jantung yang berpacu tidak beraturan. Tadi Aksa bermimpi buruk. Dalam mimpinya, Ayra terlihat meminta tolong dengan wajah pucat pasi. Aksa tidak tahu apa yang membuat Ayra meminta tolong sampai sebegitunya di dalam mimpi. Yah, namanya juga bunga tidur, tidak begitu jelas. Firasat Aksa tidak enak. Ia merasa jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Ayra. Tapi, memangnya ada apa? Saat Aksa masih berdiri di depan lemari pendingin sembari memikirkan perempuan berambut bob yang sejak kemarin mewarnai isi kepalanya, rupanya Bowo datang. Kucing angora itu mengeong seraya mengusap-usap kepalanya di
Wajah Ayra terlihat seperti kuburan di malam Jumat. Sejak tadi pagi, Dita sama sekali tidak menjumpai Ayra yang tersenyum ceria seperti hari-hari sebelumnya. Gadis itu benar-benar tampak kehilangan energi dan sama sekali tidak memiliki gairah untuk hidup. “Lo balik duluan aja, Dit. Gue mau ke perpus,” ujar Ayra saat dosen terakhir mereka ke luar kelas. “Lo mau ngapain ke perpus?” “Ya ada lah. Pokoknya lo pulang duluan.” Dahi Dita mengernyit sembari mengamati Ayra yang sedang memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Ia jadi agak was-was. Apa yang akan sahabatnya lakukan di perpustakaan? Lalu, kenapa juga Dita tidak diajak? “Ra, gue ikut, ya,” kalimat Dita sebelum temannya melangkah. Ayra mendecak. “Apaan sih! Udah ah, nggak usah kayak anak kecil.” Tanpa banyak kata, Ayra pun melengos meninggalkan Dita yang masih ragu untuk pulang sendiri. * Aksa berulang kali mencoba menghubungi ponsel Ayra, tapi tetap t
Kelopak mata Ayra perlahan terbuka. Bukan Dita atau sang mama yang pertama kali ia lihat, melainkan sosok pria yang memiliki bibir lembap nan seksi yang tak lain dan tak bukan adalah Aksa. Dahi Ayra mengernyit. Lehernya terasa sakit karena ternyata ia tertidur di perpustakaan kampus.Ayra berpikir sendiri, bagaimana Aksa bisa tidur di sebelahnya dengan posisi yang sama? Bukannya pria tersebut tidak berkuliah di sini? Aksa kan sudah bekerja.Tangan Ayra yang semula terangkat hendak membangunkan Aksa pun seketika berhenti. Tidak, Ayra tidak akan membangunkan pria tersebut sekarang. Pemandangan di depannya ini terlalu indah untuk dilewatkan.‘Ya ampun, ya ampun, ya ampun, nikmat mana yang kau dustakan? Mas Aksa ini guantengnya bikin mau meninggoy di tempat! Udah guanteng, baik pula. Kurang apa lagi sih? Idaman banget,’ batin Ayra yang sekarang malah senyum-senyum sendiri mengamati wajah rupawan pria di depannya.Jantung Ayra terasa berpacu lebih
Kelopak mata Ayra perlahan terbuka. Bukan Dita atau sang mama yang pertama kali ia lihat, melainkan sosok pria yang memiliki bibir lembap nan seksi yang tak lain dan tak bukan adalah Aksa. Dahi Ayra mengernyit. Lehernya terasa sakit karena ternyata ia tertidur di perpustakaan kampus.Ayra berpikir sendiri, bagaimana Aksa bisa tidur di sebelahnya dengan posisi yang sama? Bukannya pria tersebut tidak berkuliah di sini? Aksa kan sudah bekerja.Tangan Ayra yang semula terangkat hendak membangunkan Aksa pun seketika berhenti. Tidak, Ayra tidak akan membangunkan pria tersebut sekarang. Pemandangan di depannya ini terlalu indah untuk dilewatkan.‘Ya ampun, ya ampun, ya ampun, nikmat mana yang kau dustakan? Mas Aksa ini guantengnya bikin mau meninggoy di tempat! Udah guanteng, baik pula. Kurang apa lagi sih? Idaman banget,’ batin Ayra yang sekarang malah senyum-senyum sendiri mengamati wajah rupawan pria di depannya.Jantung Ayra terasa berpacu lebih
Wajah Ayra terlihat seperti kuburan di malam Jumat. Sejak tadi pagi, Dita sama sekali tidak menjumpai Ayra yang tersenyum ceria seperti hari-hari sebelumnya. Gadis itu benar-benar tampak kehilangan energi dan sama sekali tidak memiliki gairah untuk hidup. “Lo balik duluan aja, Dit. Gue mau ke perpus,” ujar Ayra saat dosen terakhir mereka ke luar kelas. “Lo mau ngapain ke perpus?” “Ya ada lah. Pokoknya lo pulang duluan.” Dahi Dita mengernyit sembari mengamati Ayra yang sedang memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Ia jadi agak was-was. Apa yang akan sahabatnya lakukan di perpustakaan? Lalu, kenapa juga Dita tidak diajak? “Ra, gue ikut, ya,” kalimat Dita sebelum temannya melangkah. Ayra mendecak. “Apaan sih! Udah ah, nggak usah kayak anak kecil.” Tanpa banyak kata, Ayra pun melengos meninggalkan Dita yang masih ragu untuk pulang sendiri. * Aksa berulang kali mencoba menghubungi ponsel Ayra, tapi tetap t
Mata Aksa terbuka lebar dengan napas memburu. Dadanya tampak naik turun. “Ayra…,” gumam pria berbibir seksi tersebut. Beberapa detik setelahnya, Aksa pun sadar bahwa itu hanya bunga tidur. Aksa mengusap wajah yang terasa kebas. Saat menengok, rupanya sekarang masih pukul tiga pagi. Ia pun beranjak ke dapur dan minum segelas air putih untuk menetralkan degup jantung yang berpacu tidak beraturan. Tadi Aksa bermimpi buruk. Dalam mimpinya, Ayra terlihat meminta tolong dengan wajah pucat pasi. Aksa tidak tahu apa yang membuat Ayra meminta tolong sampai sebegitunya di dalam mimpi. Yah, namanya juga bunga tidur, tidak begitu jelas. Firasat Aksa tidak enak. Ia merasa jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Ayra. Tapi, memangnya ada apa? Saat Aksa masih berdiri di depan lemari pendingin sembari memikirkan perempuan berambut bob yang sejak kemarin mewarnai isi kepalanya, rupanya Bowo datang. Kucing angora itu mengeong seraya mengusap-usap kepalanya di
Ayra berjalan secara mengendap ke kamar mandi. Ia mandi dengan sangat hati-hati agar suara cipratan airnya tidak terdengar oleh orang tuanya, terutama Restu. Ini masih pukul tiga pagi dan Ayra sudah bangun. Sebuah keajaiban untuk Ayra yang selalu bangun di atas pukul enam. Gadis manis itu mandi dan bersiap-siap dengan cepat. Setelahnya, ia membawa semua keperluan kuliah, beberapa setel baju, dan keperluan lain yang ia rasa perlu. Ayra pun mengabari Dita bahwa ia sudah selesai berbenah. Ini memang rencana yang sengaja Ayra buat. Semalam ayahnya bilang bahwa Panji dan Varo akan ke mari pagi-pagi. Mereka akan ikut sarapan bersama Ayra dan keluarga. Tentu saja Ayra menolak mentah-mentah ide itu. Ia tidak mau bertatap muka apalagi berinteraksi dengan Varo. Ayra belum tahu apakah ia akan menginap di rumah Dita atau tidak. Yang jelas, ia sudah membawa semua perlengkapan tersebut. Masalah menginap atau tidak bisa dipikirkan nanti. Dita sudah membalas pesan Ay
“Makasih ya, Mas Aksa, udah ngantarin aku pulang,” ujar Ayra seraya melepas safety belt. Aksa tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga kamu udah bantu beresin rumah dan ngobatin luka saya walaupun saya nggak minta.” Ayra memang benar-benar melakukan apa yang ia bilang. Gadis manis itu membereskan rumah Aksa mulai dari ujung depan sampai ujung belakang. Bahkan Bowo, kucing Aksa, juga ikut menjadi objek beres-beres Ayra. Ia sampai memandikan Bowo walaupun baju Ayra yang ikutan basah kuyup menjadi korban. Sekarang sudah pukul tujuh malam dan Aksa mengantar gadis itu pulang. Motor Ayra sudah dibawakan salah seorang teman Aksa ke kediaman gadis tersebut. “Take care, Mas. Jangan nyetir ugal-ugalan kalau nggak mau meninggoy muda.” Aksa geleng-geleng kepala. Tak lama setelahnya, pria tampan itu pun melaju meninggalkan Ayra yang sudah sampai di rumahnya. Bibir mungil Ayra masih terus mengulum senyum. Harinya terasa lebih menyenangkan bersama Aksa. “
“Yah, udah tutup,” rengek Ayra saat melihat tempat tujuannya sudah ditutup dan tidak ada seorang pun yang hilir mudik di sana. “Besok kita ke sini lagi, ya.” Ayra menoleh ke arah Aksa dengan bibir yang masih dimajukan sebal. Ia pun mengangguk. Padahal Ayra sudah sangat ingin mengajukan gugatan perceraian sekarang juga. Ia tahu jika proses cerai tidak akan berjalan singkat. Terlebih lagi dengan kemungkinan besar bahwa Varo tidak akan menerima keputusan sepihak Ayra secara langsung. Aksa baru saja berniat membelokkan mobil, tapi Ayra langsung mencegahnya. “Kok mau belok? Rumah Mas Aksa kan harusnya lurus,” protes gadis manis bersurai pendek itu. “Saya mau ngantar kamu pulang.” “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa! Kok mau ngantar aku pulang sih? Tadi Mas Aksa dengar sendiri kan kalau sekarang lebih baik kita ke rumah Mas Aksa dan obatin luka-luka itu?” “Nggak usah, Ay. Saya bisa o—” “Nggak mau tahu! Pokoknya sekarang lurus, ki
Ayra langsung mengerem mendadak begitu sebuah Lamborghini hitam menyalip dan berhenti tepat di depannya. Ayra yang kesal langsung misuh-misuh seraya membuka kaca helm. Apakah pengemudi mobil mewah tersebut ingin Ayra mati?! Pria berkepala botak yang mengenakan kacamata hitam pun ke luar dari kendaraan beroda empat tersebut. Nyali Ayra mendadak menciut begitu melihat pria dengan kepala plontos itu. Ia pun menghentikan misuhan dan tetap bersiaga. Ia belajar dari pengalaman, orang yang berpenampilan seperti lelaki di depannya ini biasanya bukanlah orang baik. Ayra tahu jika ia tidak bisa menilai seseorang dari tampilan luarnya. Tapi tetap saja pikiran gadis manis itu langsung menuju ke arah sana, mengingat pengalaman yang akhir-akhir ini ia alami. “Nyonya Ayra Salsabella. Bisa Nyonya ikut saya ke dalam mobil?” Dahi Ayra mengernyit. “Maaf sebelumnya, Bapak ini siapa, ya? Kok Bapak bisa tahu nama lengkap saya?” Ayra tahu jika penampilannya memang terlihat
Aksa berulang kali mendesah saat pikirannya tidak dapat fokus kepada apa yang saat ini tengah dirinya kerjakan. Seperti sekarang, ia sedang mem-plating dessert yang baru saja selesai dibuat, tapi pikirannya malah terus menerus tertuju pada gadis manis bersurai pendek tadi malam. Bayangan sosok manis Ayra tergambar jelas di otak Aksa. Dari cara gadis itu berbicara, caranya merengek manja, sampai caranya menangis benar-benar hampir membuat Aksa hampir gila. Jika saja tadi malam ia kehilangan akal sehat, sudah tentu Ayra telah menjadi santapan empuknya. Namun, Aksa masih waras. Ia tidak mau melecehkan wanita, terlebih lagi gadis imut yang terlihat lugu macam Ayra. “Ah!” Aksa menjatuhkan stroberi ranum yang semestinya ia letakkan di bagian paling atas dessert yang ia buat. “Ayra…,” gumam pria berambut agak gondrong tersebut. Ada sedikit desiran aneh yang ia rasakan di dalam dada setiap kali mengingat sosok Ayra. Seketika, lamunan Aksa tersadar saat seseorang menyentuh ba
“Ra, lo ke mana aja sih? Dari kemarin kok Whatsapp lo off mulu?! Gedek deh gue.”Baru beberapa langkah Ayra memasuki kelas, dirinya sudah langsung diserbu pertanyaan oleh Dita, sahabatnya yang juga berasal dari prodi Sastra Inggris. Ayra mendecak, lalu segera duduk tanpa berminat menjawab pertanyaan Dita. Ayra tahu jika ada niat terselubung dari pertanyaan yang sahabatnya lontarkan. Dita pasti hendak meminjam tugas yang sudah diberikan oleh dosen mereka beberapa hari yang lalu.“Gila, the best banget lo. Tahu aja gue mau pinjam tugas,” puji Dita setelah Ayra memberikan bukunya. Tanpa babibu, Dita pun segera menyalin jawaban Ayra, sebelum dosen mereka datang. “Semalam gimana, Ra? Lancar nggak malam pertamanya? Terus, beneran enak kayak di film-film JAV nggak?” tanya Dita lagi dengan suara rendah.Dita memang sudah tahu jika Ayra baru saja menikah dengan Varo. Perempuan tersebut juga tahu jika sebenarnya Ayra sama sekali tidak m