“A-aku nggak bisa.”
“Kamu bisa, Ayra. Let's do it.”
Secara tergesa, Varo membuka setiap kancing kemeja putihnya. Kedua mata elangnya terus menatap Ayra dengan pandangan yang begitu lapar, juga nyalang.
Bukannya melakukan apa yang Varo minta, Ayra malah meringsut semakin ketakutan. Terlebih lagi saat ia melihat perut ber-ABS Varo, suaminya yang baru disahkan beberapa jam yang lalu. Ayra memang suka melihat pemandangan seperti itu di layar ponsel, tapi jika dilihat secara nyata begini, jatuhnya malah tampak menyeramkan.“Kamu nunggu apa lagi, hm?” tanya Varo dengan embusan napas yang begitu memburu.Ayra masih diam. Lidahnya terasa kelu. Nyalinya juga mendadak ciut. Ia sungguh belum siap jika harus bergulat di atas ranjang sekarang, apalagi dengan Varo yang badannya Ayra anggap terlalu kekar. Bagaimana kalau ternyata itu menyakitkan? Ayra kan masih ingin pergi ke kampus besok.“Mau aku bukain?” tanya Varo lagi seraya mendekatkan posisi tubuh. Seringaian menyeramkan Varo terbit, membuat Ayra semakin meringsut ingin pulang. Serius, jika situasinya lebih baik, maka Ayra akan berteriak seraya berlari pontang-panting detik ini juga!Varo mendekat, tetapi Ayra kian menjauh. Pria itu terkekeh melihat raut wajah menggemaskan Ayra. Bukannya berhenti mendekat lantaran istrinya yang ketakutan, Varo malah semakin mendekatkan posisi tubuh. Namun, hal itu kembali terulang. Varo mendekat dan Ayra memilih untuk menjauh hingga lengannya menyentuh bagian kepala ranjang.Sial! Dengan posisi yang sekarang, tentu saja Ayra tak dapat berkutik. Perempuan berambut bob itu hanya menunduk layaknya orang bodoh. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Degup jantung pun berpacu cepat seakan sedang kasidahan.“Ayra, I love you. I want you right now,” tukas Varo cepat, lalu secara tergesa membuka ritsleting bagian belakang midi dress milik sang istri.Mendapati hal tersebut, Ayra segera membuang napas kasar, lantas berdiri. “Nggak usah mimpi deh!” teriaknya dengan suara yang sedikit bergetar. Ayra segera menampik tangan besar Varo yang semula ada di punggungnya.Mendapatkan perlakuan yang tak pantas, Varo seketika termenung. Kedua matanya menatap Ayra dengan memelotot. Tak lama kemudian, pandangannya pun kembali berubah seperti sedia kala. Ayra tertawa merendahkan di dalam hati.Sepersekian detik setelahnya, satu kekehan segera terlontar dari bibir seksi Varo, membuat bulu kuduk Ayra berdiri karena merasa ngeri. Suara tawa pria 30 tahun itu memang terdengar seperti tokoh antagonis yang sedang merasa puas setelah membunuh mangsa. Bagi Ayra yang usianya baru menginjak 20 tahun, jelas sekali jika itu menyeramkan.“Jangan bercanda, Ayra. Ini sama sekali nggak lucu,” kalimat Varo santai.Ayra masih berdiri di depan lelaki yang telah bertelanjang dada tersebut. Ia memberanikan diri untuk balik menatap sang suami. Bukan dengan sorot mata lembut, tapi malah tampak nyalang dan tidak memiliki rasa takut.Ayra memang pura-pura tidak takut, padahal di dalam hati ia sudah komat-kamit memanjatkan doa agar nyawanya tidak melayang malam ini.“Saya nggak bercanda, Pak. Saya mau pulang,” ujar Ayra yang matanya masih menatap tajam ke arah sang suami.Dengan tergesa, perempuan berambut bob itu mengambil tas selempang yang di dalamnya telah terdapat beberapa benda penting. Tak lupa juga, ia menutup ritsleting gaun yang semula telah dibuka oleh pria menjijikkan yang baru menyandang gelar sebagai suaminya ini.“Ayra, yang sopan dong sama suami sendiri. Apa maksud kamu?”Ayra bisa tahu jika ada kemarahan pada intonasi suara Varo. Nadanya terdengar beberapa oktaf lebih tinggi dari semula.“Saya mau pulang, Bapak Varo yang terhormat!” jawab Ayra hiperbolis dengan masih berusaha menutup kembali ritsleting baju.Ah, ini sungguh hari yang gila. Ayra benar-benar ingin enyah dari tempat terkutuk ini. Tapi, ritsleting baju miliknya malah susah sekali untuk diajak bekerja sama.Ayra ingat tadi Varo melepasnya dengan semudah membalikkan telapak tangan manusia. Namun, ketika hendak ditutup, rasanya kok seperti membalikkan telapak tangan gajah. Susah sekali.Lagipula ini juga salah ibu Ayra yang memaksa sang putri menggunakan baju tersebut. Biasanya kan Ayra selalu memakai celana jeans dan baju atasan. Lah sekarang, malah disuruh pakai gaun.
“Ayra, ini rumah kamu!”“Ini rumah Bapak, bukan rumah saya.”Baiklah, ritsleting gaun Ayra memang sudah tidak bisa diajak bekerja sama. Daripada lama, langsung saja perempuan yang baru menikah itu meraih kardigan panjang dari dalam lemari pakaian. Ia pun langsung mengenakannya agar dapat menutup bagian belakang tubuh yang ritsletingnya masih terbuka.Ketika kaki Ayra telah melangkah mendekati daun pintu, Varo tiba-tiba langsung menarik tangan perempuan itu dengan kasar. Ia mencengkeramnya begitu kuat.Seketika, Gerakan Ayra terhenti. Ia langsung membalikkan badan. Ditatapnya wajah bengis Varo dengan nyalang.“Jangan macam-macam,” ucap Varo pelan, namun penuh penekanan di setiap suku katanya.Apakah Ayra takut? Jawabannya adalah iya. Namun, di posisi yang sekarang, adalah hal yang mustahil jika perempuan manis itu lebih mementingkan perasaan takut tersebut. Ayra Salsabella memang mudah takut, tapi jika situasinya memang mengharuskan ia untuk berjuang, maka ia akan berjuang sekuat tenaga.Lagipula, jika menyerah sekarang pun sudah tidak ada gunanya. Varo sudah marah, sebuah awal yang sangat buruk jika Ayra malah memilih untuk bersedia tidur seranjang dengannya.Ayra menggelengkan kepala. “Saya nggak mau lakuin ini. Saya mau pulang, Pak. Sebelum semuanya terlambat dan malah jadi membesar.”“Kita baru menikah tadi pagi, Bodoh! Dan sekarang, kamu mau berulah? Gimana jadinya kalau kita udah bertahun-tahun tinggal serumah?!”Ayra tertawa hambar. "Maka dari itu saya mau pulang! Sebelum kita benar-benar tinggal serumah dan semuanya meninggoy jadi hancur lebur!"Langsung saja pria tersebut menjerit dengan amat keras. Tangannya yang kekar segera mendorong tubuh mungil Ayra hingga menabrak dinding.Praktis saja perempuan berambut bob itu mengaduh karenanya. Sungguh, jika saja tadi kepala Ayra yang membentur dinding, sudah dapat dipastikan jika tengkoraknya sudah remuk tanpa sisa.“Jangan bikin aku marah, Ayra!” Jari telunjuk Varo telah dituding-tudingkan ke arah wajah Ayra yang masih meringis kesakitan. “Buka baju kamu! Cepat!” bentaknya lagi.Ah, Varo memang sedikit gila. Apakah ia pikir ada manusia bodoh yang bisa merasakan nikmatnya memadu kasih dengan cara dipaksa? Ia manusia, kan? Hal tabu seperti itu juga merupakan sebagian kecil dari dunia bebasnya. Tidak mungkin jika pria tersebut tidak tahu.Ayra masih memegangi lengan yang mungkin saja telah membiru. "Nggak!" jawabnya masih dengan menahan sakit.“Sialan!” teriak Varo lagi. Tangannya pun dengan cepat menarik kardigan panjang yang semula telah melekat di tubuh mungil istrinya.Ayra berusaha meronta sekuat tenaga. Tidak, lelaki bajingan seperti Varo tidak boleh menjamah satu inci pun bagian tubuhnya. Ayra terlalu mahal untuk pria murah seperti Varo.“Pak Varo, lepas!” teriak Ayra lagi dengan berusaha lepas dari cengkeraman kasar sang suami.Lengan yang semula sudah terasa nyeri akibat benturan, kini bertambah berkali-kali lipat nikmatnya dengan Varo yang mencengkeram sekuat tenaga.Ayra yakin seratus persen, sudah tentu para tetangga dapat mendengar teriakan yang mereka berdua lontarkan secara bersahut-sahutan. Mungkin saja mereka akan bertanya-tanya mengenai hal ini. Pengantin baru yang seharusnya diisi dengan desahan dan belaian nikmat, malah kini hanya diisi dengan jeritan yang membuat pekak telinga yang mendengarnya.Tidak ada pilihan lain untuk sekarang. Tangan kiri Ayra yang bebas segera meraba meja dan menemukan sebuah vas bunga dari sana. Langsung saja ia ambil benda tersebut. Dengan gerakan cepat, sekuat tenaga ia benturkan benda tersebut ke kepala Varo.Seketika, pria dewasa tersebut pun menjerit penuh kemarahan seraya memegangi kepala yang terasa nyeri. Ayra bisa lihat jika terdapat secuil cairan merah kental di sana. Pria bengis tersebut terlihat mulai mengerjapkan-ngerjapkan kedua mata. Tubuhnya telah sempoyongan ke sana ke mari layaknya orang mabuk.Ayra termenung. Vas bunga yang sedari tadi ia genggam pun terjatuh begitu saja. Benda tersebut pecah berkeping-keping di lantai, membuat ngilu telinga yang mendengarnya.“Bajingan!” umpat Varo lagi dengan masih memegangi kepala.Setiap inci bagian tubuh Ayra telah basah oleh keringat dingin. Semua bagiannya pun terasa gemetar, seiring dengan degup jantung yang seakan tengah bermain trampolin.“Ma-maaf. Tapi saya pikir yang bajingan itu Bapak,” kalimat Ayra dengan suara yang semakin bergetar.Dengan gerakan yang begitu tergesa, Ayra memutar kunci pintu dan segera membuka benda tersebut. Ia terlalu takut jika nantinya terjadi hal-hal di luar batas. Ayra memutuskan untuk segera mengunci Varo di dalam kamar. Ia membiarkan kuncinya tetap bergelantungan di pintu. Biarkan saja, barangkali nanti akan ada orang baik yang membantu mengeluarkan Varo dari sana.Ayra pun berlari ke arah luar, meninggalkan pria bajingan itu beserta seruan-seruan yang terasa menusuk telinga. Ayra dapat dengan jelas mendengar daun pintu yang digedor-gedor dengan begitu keras.Saat Ayra sedang berlari, tiba-tiba saja terdengar suara klakson mobil yang begitu keras dari belakang. Seketika Ayra terlonjak dan menoleh ke sana.“Kalau mau lari-larian jangan di sini, ganggu pengendara,” ujar seorang lelaki dari dalam mobil tersebut.Tanpa babibu, Ayra pun memasuki kendaraan beroda empat itu. Hal aneh tersebut langsung membuat lelaki tadi kaget setengah mati.“Eh, kok malah masuk mobil saya? Mau ngapain?” tanya pria tersebut kebingungan.Dengan napas yang masih tersengal, Ayra bicara, “Jalan sekarang sebelum saya meninggoy di sini.”“Hah?”“Jalan, Bego, jalan!”Daripada bertanya-tanya lebih banyak, lelaki itu pun melajukan mobil sesuai permintaan perempuan manis yang kini sedang mengatur napas di sebelahnya.Ayra pasrah. Detik ini juga, ia telah benar-benar secara resmi mengobarkan Perang Dunia dengan keluarga Varo dan juga keluarganya sendiri._***_Jangan lupa follow IG-ku di @nonapetrichor ^^Aksa menyetir dengan kondisi kepala yang masih dipenuhi tanda tanya. Niat awalnya adalah memberi tahu gadis tadi agar tidak berlari-lari sempoyongan di jalan agar para pengendara tidak terganggu. Eh, tahu-tahu gadis asing itu malah ikutan naik ke mobilnya. "Kamu mau saya antar ke mana?" tanya Aksa dengan suara serak-serak basahnya yang seksi. Bukannya kalimat berupa jawaban yang Aksa dengar, tapi malah suara dengkuran halus yang asalnya dari jok penumpang. Hal itu membuat Aksa langsung menoleh. Seketika dahi pria berbibir seksi itu berkerut. "Hei, kamu dengar pertanyaan saya, kan?" tanyanya yang masih membagi fokus kepada perempuan berambut pendek di sebelahnya dan juga jalanan malam di depan. Ayra masih tidak menjawab. Matanya tertutup rapat. Aksa mendecak pelan. Ia jadi bingung sendiri. Sebenarnya siapa perempuan berbadan pendek yang ada di sebelahnya ini? Lalu, sekarang ke mana tujuan Aksa? Ia tidak yakin akan membawa gadis manis ini pulang
“Ayra Salsabella. Dia di sini, kan?” “Di sini nggak ada yang namanya Ayra,” jawab Aksa dengan tenang. Varo melipat tangan di depan dada. “Kamu nggak perlu bohong. Sekarang kamu pilih, serahkan Ayra secara baik-baik, atau body guard saya yang akan periksa sendiri ke dalam rumah kamu.” “Sebelumnya saya mau tahu, Anda ini siapa?” “Saya suaminya Ayra.” Seketika, Aksa merasa jika ada sesuatu yang retak di dalam dadanya. Jadi Ayra, perempuan menggemaskan tadi sudah memiliki suami? Ia kira perempuan tersebut masih lajang. “Di mana Ayra istri saya?” tanya Varo lagi saat lawan bicaranya tampak mematung. Ia menekan dua kata terakhir sebagai pengingat kalau saja Aksa tiba-tiba amnesia. Aksa menelan saliva. “Di sini nggak ada yang namanya Ayra.” Varo mengangguk beberapa kali dengan seringaiannya yang tampak licik. Hanya dengan tatapan mata, dua body guard Varo pun langsung berjalan memasuki rumah Aksa untuk mencari keberadaan Ayra.
Aksa memasak dengan kondisi kepala yang dipenuhi bayang-bayang Ayra. Gila saja, semalaman suntuk Aksa tidak dapat tidur hanya karena perempuan mungil itu. Sepanjang malam Ayra tidak berhenti mengigau. Tidurnya pun tampak seperti jarum jam yang menjelajahi setiap inci kasur ukuran king size milik Aksa. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa Ayra tidur menggunakan dress selutut. Hal itu membuat Aksa mati-matian menahan diri untuk tidak berbuat macam-macam. Ia bahkan mengeluarkan beberapa selimut yang masih baru untuk dapat menutupi tubuh Ayra yang posisi tidurnya tidak terkondisikan itu. Ayra juga tidak mau lampu kamar dimatikan. Katanya sih, ia takut gelap. Itu sangat bertolak belakang dengan Aksa yang jika tidur harus dalam kondisi lampu mati. Jadilah pria itu kesulitan terlelap dengan nyaman. Sementara di dalam kamar, Ayra terbangun karena indra penciumannya yang menangkap aroma sedap masakan. Ia mengucek mata dan mengitari pandangan ke sepenjuru kamar. Bebera
“Ra, lo ke mana aja sih? Dari kemarin kok Whatsapp lo off mulu?! Gedek deh gue.”Baru beberapa langkah Ayra memasuki kelas, dirinya sudah langsung diserbu pertanyaan oleh Dita, sahabatnya yang juga berasal dari prodi Sastra Inggris. Ayra mendecak, lalu segera duduk tanpa berminat menjawab pertanyaan Dita. Ayra tahu jika ada niat terselubung dari pertanyaan yang sahabatnya lontarkan. Dita pasti hendak meminjam tugas yang sudah diberikan oleh dosen mereka beberapa hari yang lalu.“Gila, the best banget lo. Tahu aja gue mau pinjam tugas,” puji Dita setelah Ayra memberikan bukunya. Tanpa babibu, Dita pun segera menyalin jawaban Ayra, sebelum dosen mereka datang. “Semalam gimana, Ra? Lancar nggak malam pertamanya? Terus, beneran enak kayak di film-film JAV nggak?” tanya Dita lagi dengan suara rendah.Dita memang sudah tahu jika Ayra baru saja menikah dengan Varo. Perempuan tersebut juga tahu jika sebenarnya Ayra sama sekali tidak m
Aksa berulang kali mendesah saat pikirannya tidak dapat fokus kepada apa yang saat ini tengah dirinya kerjakan. Seperti sekarang, ia sedang mem-plating dessert yang baru saja selesai dibuat, tapi pikirannya malah terus menerus tertuju pada gadis manis bersurai pendek tadi malam. Bayangan sosok manis Ayra tergambar jelas di otak Aksa. Dari cara gadis itu berbicara, caranya merengek manja, sampai caranya menangis benar-benar hampir membuat Aksa hampir gila. Jika saja tadi malam ia kehilangan akal sehat, sudah tentu Ayra telah menjadi santapan empuknya. Namun, Aksa masih waras. Ia tidak mau melecehkan wanita, terlebih lagi gadis imut yang terlihat lugu macam Ayra. “Ah!” Aksa menjatuhkan stroberi ranum yang semestinya ia letakkan di bagian paling atas dessert yang ia buat. “Ayra…,” gumam pria berambut agak gondrong tersebut. Ada sedikit desiran aneh yang ia rasakan di dalam dada setiap kali mengingat sosok Ayra. Seketika, lamunan Aksa tersadar saat seseorang menyentuh ba
Ayra langsung mengerem mendadak begitu sebuah Lamborghini hitam menyalip dan berhenti tepat di depannya. Ayra yang kesal langsung misuh-misuh seraya membuka kaca helm. Apakah pengemudi mobil mewah tersebut ingin Ayra mati?! Pria berkepala botak yang mengenakan kacamata hitam pun ke luar dari kendaraan beroda empat tersebut. Nyali Ayra mendadak menciut begitu melihat pria dengan kepala plontos itu. Ia pun menghentikan misuhan dan tetap bersiaga. Ia belajar dari pengalaman, orang yang berpenampilan seperti lelaki di depannya ini biasanya bukanlah orang baik. Ayra tahu jika ia tidak bisa menilai seseorang dari tampilan luarnya. Tapi tetap saja pikiran gadis manis itu langsung menuju ke arah sana, mengingat pengalaman yang akhir-akhir ini ia alami. “Nyonya Ayra Salsabella. Bisa Nyonya ikut saya ke dalam mobil?” Dahi Ayra mengernyit. “Maaf sebelumnya, Bapak ini siapa, ya? Kok Bapak bisa tahu nama lengkap saya?” Ayra tahu jika penampilannya memang terlihat
“Yah, udah tutup,” rengek Ayra saat melihat tempat tujuannya sudah ditutup dan tidak ada seorang pun yang hilir mudik di sana. “Besok kita ke sini lagi, ya.” Ayra menoleh ke arah Aksa dengan bibir yang masih dimajukan sebal. Ia pun mengangguk. Padahal Ayra sudah sangat ingin mengajukan gugatan perceraian sekarang juga. Ia tahu jika proses cerai tidak akan berjalan singkat. Terlebih lagi dengan kemungkinan besar bahwa Varo tidak akan menerima keputusan sepihak Ayra secara langsung. Aksa baru saja berniat membelokkan mobil, tapi Ayra langsung mencegahnya. “Kok mau belok? Rumah Mas Aksa kan harusnya lurus,” protes gadis manis bersurai pendek itu. “Saya mau ngantar kamu pulang.” “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa! Kok mau ngantar aku pulang sih? Tadi Mas Aksa dengar sendiri kan kalau sekarang lebih baik kita ke rumah Mas Aksa dan obatin luka-luka itu?” “Nggak usah, Ay. Saya bisa o—” “Nggak mau tahu! Pokoknya sekarang lurus, ki
“Makasih ya, Mas Aksa, udah ngantarin aku pulang,” ujar Ayra seraya melepas safety belt. Aksa tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga kamu udah bantu beresin rumah dan ngobatin luka saya walaupun saya nggak minta.” Ayra memang benar-benar melakukan apa yang ia bilang. Gadis manis itu membereskan rumah Aksa mulai dari ujung depan sampai ujung belakang. Bahkan Bowo, kucing Aksa, juga ikut menjadi objek beres-beres Ayra. Ia sampai memandikan Bowo walaupun baju Ayra yang ikutan basah kuyup menjadi korban. Sekarang sudah pukul tujuh malam dan Aksa mengantar gadis itu pulang. Motor Ayra sudah dibawakan salah seorang teman Aksa ke kediaman gadis tersebut. “Take care, Mas. Jangan nyetir ugal-ugalan kalau nggak mau meninggoy muda.” Aksa geleng-geleng kepala. Tak lama setelahnya, pria tampan itu pun melaju meninggalkan Ayra yang sudah sampai di rumahnya. Bibir mungil Ayra masih terus mengulum senyum. Harinya terasa lebih menyenangkan bersama Aksa. “
Kelopak mata Ayra perlahan terbuka. Bukan Dita atau sang mama yang pertama kali ia lihat, melainkan sosok pria yang memiliki bibir lembap nan seksi yang tak lain dan tak bukan adalah Aksa. Dahi Ayra mengernyit. Lehernya terasa sakit karena ternyata ia tertidur di perpustakaan kampus.Ayra berpikir sendiri, bagaimana Aksa bisa tidur di sebelahnya dengan posisi yang sama? Bukannya pria tersebut tidak berkuliah di sini? Aksa kan sudah bekerja.Tangan Ayra yang semula terangkat hendak membangunkan Aksa pun seketika berhenti. Tidak, Ayra tidak akan membangunkan pria tersebut sekarang. Pemandangan di depannya ini terlalu indah untuk dilewatkan.‘Ya ampun, ya ampun, ya ampun, nikmat mana yang kau dustakan? Mas Aksa ini guantengnya bikin mau meninggoy di tempat! Udah guanteng, baik pula. Kurang apa lagi sih? Idaman banget,’ batin Ayra yang sekarang malah senyum-senyum sendiri mengamati wajah rupawan pria di depannya.Jantung Ayra terasa berpacu lebih
Wajah Ayra terlihat seperti kuburan di malam Jumat. Sejak tadi pagi, Dita sama sekali tidak menjumpai Ayra yang tersenyum ceria seperti hari-hari sebelumnya. Gadis itu benar-benar tampak kehilangan energi dan sama sekali tidak memiliki gairah untuk hidup. “Lo balik duluan aja, Dit. Gue mau ke perpus,” ujar Ayra saat dosen terakhir mereka ke luar kelas. “Lo mau ngapain ke perpus?” “Ya ada lah. Pokoknya lo pulang duluan.” Dahi Dita mengernyit sembari mengamati Ayra yang sedang memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Ia jadi agak was-was. Apa yang akan sahabatnya lakukan di perpustakaan? Lalu, kenapa juga Dita tidak diajak? “Ra, gue ikut, ya,” kalimat Dita sebelum temannya melangkah. Ayra mendecak. “Apaan sih! Udah ah, nggak usah kayak anak kecil.” Tanpa banyak kata, Ayra pun melengos meninggalkan Dita yang masih ragu untuk pulang sendiri. * Aksa berulang kali mencoba menghubungi ponsel Ayra, tapi tetap t
Mata Aksa terbuka lebar dengan napas memburu. Dadanya tampak naik turun. “Ayra…,” gumam pria berbibir seksi tersebut. Beberapa detik setelahnya, Aksa pun sadar bahwa itu hanya bunga tidur. Aksa mengusap wajah yang terasa kebas. Saat menengok, rupanya sekarang masih pukul tiga pagi. Ia pun beranjak ke dapur dan minum segelas air putih untuk menetralkan degup jantung yang berpacu tidak beraturan. Tadi Aksa bermimpi buruk. Dalam mimpinya, Ayra terlihat meminta tolong dengan wajah pucat pasi. Aksa tidak tahu apa yang membuat Ayra meminta tolong sampai sebegitunya di dalam mimpi. Yah, namanya juga bunga tidur, tidak begitu jelas. Firasat Aksa tidak enak. Ia merasa jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Ayra. Tapi, memangnya ada apa? Saat Aksa masih berdiri di depan lemari pendingin sembari memikirkan perempuan berambut bob yang sejak kemarin mewarnai isi kepalanya, rupanya Bowo datang. Kucing angora itu mengeong seraya mengusap-usap kepalanya di
Ayra berjalan secara mengendap ke kamar mandi. Ia mandi dengan sangat hati-hati agar suara cipratan airnya tidak terdengar oleh orang tuanya, terutama Restu. Ini masih pukul tiga pagi dan Ayra sudah bangun. Sebuah keajaiban untuk Ayra yang selalu bangun di atas pukul enam. Gadis manis itu mandi dan bersiap-siap dengan cepat. Setelahnya, ia membawa semua keperluan kuliah, beberapa setel baju, dan keperluan lain yang ia rasa perlu. Ayra pun mengabari Dita bahwa ia sudah selesai berbenah. Ini memang rencana yang sengaja Ayra buat. Semalam ayahnya bilang bahwa Panji dan Varo akan ke mari pagi-pagi. Mereka akan ikut sarapan bersama Ayra dan keluarga. Tentu saja Ayra menolak mentah-mentah ide itu. Ia tidak mau bertatap muka apalagi berinteraksi dengan Varo. Ayra belum tahu apakah ia akan menginap di rumah Dita atau tidak. Yang jelas, ia sudah membawa semua perlengkapan tersebut. Masalah menginap atau tidak bisa dipikirkan nanti. Dita sudah membalas pesan Ay
“Makasih ya, Mas Aksa, udah ngantarin aku pulang,” ujar Ayra seraya melepas safety belt. Aksa tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga kamu udah bantu beresin rumah dan ngobatin luka saya walaupun saya nggak minta.” Ayra memang benar-benar melakukan apa yang ia bilang. Gadis manis itu membereskan rumah Aksa mulai dari ujung depan sampai ujung belakang. Bahkan Bowo, kucing Aksa, juga ikut menjadi objek beres-beres Ayra. Ia sampai memandikan Bowo walaupun baju Ayra yang ikutan basah kuyup menjadi korban. Sekarang sudah pukul tujuh malam dan Aksa mengantar gadis itu pulang. Motor Ayra sudah dibawakan salah seorang teman Aksa ke kediaman gadis tersebut. “Take care, Mas. Jangan nyetir ugal-ugalan kalau nggak mau meninggoy muda.” Aksa geleng-geleng kepala. Tak lama setelahnya, pria tampan itu pun melaju meninggalkan Ayra yang sudah sampai di rumahnya. Bibir mungil Ayra masih terus mengulum senyum. Harinya terasa lebih menyenangkan bersama Aksa. “
“Yah, udah tutup,” rengek Ayra saat melihat tempat tujuannya sudah ditutup dan tidak ada seorang pun yang hilir mudik di sana. “Besok kita ke sini lagi, ya.” Ayra menoleh ke arah Aksa dengan bibir yang masih dimajukan sebal. Ia pun mengangguk. Padahal Ayra sudah sangat ingin mengajukan gugatan perceraian sekarang juga. Ia tahu jika proses cerai tidak akan berjalan singkat. Terlebih lagi dengan kemungkinan besar bahwa Varo tidak akan menerima keputusan sepihak Ayra secara langsung. Aksa baru saja berniat membelokkan mobil, tapi Ayra langsung mencegahnya. “Kok mau belok? Rumah Mas Aksa kan harusnya lurus,” protes gadis manis bersurai pendek itu. “Saya mau ngantar kamu pulang.” “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa! Kok mau ngantar aku pulang sih? Tadi Mas Aksa dengar sendiri kan kalau sekarang lebih baik kita ke rumah Mas Aksa dan obatin luka-luka itu?” “Nggak usah, Ay. Saya bisa o—” “Nggak mau tahu! Pokoknya sekarang lurus, ki
Ayra langsung mengerem mendadak begitu sebuah Lamborghini hitam menyalip dan berhenti tepat di depannya. Ayra yang kesal langsung misuh-misuh seraya membuka kaca helm. Apakah pengemudi mobil mewah tersebut ingin Ayra mati?! Pria berkepala botak yang mengenakan kacamata hitam pun ke luar dari kendaraan beroda empat tersebut. Nyali Ayra mendadak menciut begitu melihat pria dengan kepala plontos itu. Ia pun menghentikan misuhan dan tetap bersiaga. Ia belajar dari pengalaman, orang yang berpenampilan seperti lelaki di depannya ini biasanya bukanlah orang baik. Ayra tahu jika ia tidak bisa menilai seseorang dari tampilan luarnya. Tapi tetap saja pikiran gadis manis itu langsung menuju ke arah sana, mengingat pengalaman yang akhir-akhir ini ia alami. “Nyonya Ayra Salsabella. Bisa Nyonya ikut saya ke dalam mobil?” Dahi Ayra mengernyit. “Maaf sebelumnya, Bapak ini siapa, ya? Kok Bapak bisa tahu nama lengkap saya?” Ayra tahu jika penampilannya memang terlihat
Aksa berulang kali mendesah saat pikirannya tidak dapat fokus kepada apa yang saat ini tengah dirinya kerjakan. Seperti sekarang, ia sedang mem-plating dessert yang baru saja selesai dibuat, tapi pikirannya malah terus menerus tertuju pada gadis manis bersurai pendek tadi malam. Bayangan sosok manis Ayra tergambar jelas di otak Aksa. Dari cara gadis itu berbicara, caranya merengek manja, sampai caranya menangis benar-benar hampir membuat Aksa hampir gila. Jika saja tadi malam ia kehilangan akal sehat, sudah tentu Ayra telah menjadi santapan empuknya. Namun, Aksa masih waras. Ia tidak mau melecehkan wanita, terlebih lagi gadis imut yang terlihat lugu macam Ayra. “Ah!” Aksa menjatuhkan stroberi ranum yang semestinya ia letakkan di bagian paling atas dessert yang ia buat. “Ayra…,” gumam pria berambut agak gondrong tersebut. Ada sedikit desiran aneh yang ia rasakan di dalam dada setiap kali mengingat sosok Ayra. Seketika, lamunan Aksa tersadar saat seseorang menyentuh ba
“Ra, lo ke mana aja sih? Dari kemarin kok Whatsapp lo off mulu?! Gedek deh gue.”Baru beberapa langkah Ayra memasuki kelas, dirinya sudah langsung diserbu pertanyaan oleh Dita, sahabatnya yang juga berasal dari prodi Sastra Inggris. Ayra mendecak, lalu segera duduk tanpa berminat menjawab pertanyaan Dita. Ayra tahu jika ada niat terselubung dari pertanyaan yang sahabatnya lontarkan. Dita pasti hendak meminjam tugas yang sudah diberikan oleh dosen mereka beberapa hari yang lalu.“Gila, the best banget lo. Tahu aja gue mau pinjam tugas,” puji Dita setelah Ayra memberikan bukunya. Tanpa babibu, Dita pun segera menyalin jawaban Ayra, sebelum dosen mereka datang. “Semalam gimana, Ra? Lancar nggak malam pertamanya? Terus, beneran enak kayak di film-film JAV nggak?” tanya Dita lagi dengan suara rendah.Dita memang sudah tahu jika Ayra baru saja menikah dengan Varo. Perempuan tersebut juga tahu jika sebenarnya Ayra sama sekali tidak m