Namun juga percuma. Nomer lelaki itu sudah tidak bisa dihubungi."Apa dua orang itu teman kuliah pacarmu yang jahanam?"Denik menggeleng. "Siapa mereka?""Aku pun nggak tahu. Baru malam itu aku melihatnya."Dikri menarik napas dalam-dalam. Rumit . Denik pun tidak tahu siapa dua pria itu. "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"Gadis berambut blonde menceritakan kalau sejak sore dia memang ke rumah pacarnya. Sebab cowoknya bilang kalau sedang sakit. Di rumah itu tidak ada orang. Awalnya sang pacar merayu mengajak Denik untuk melakukan perbuatan terlarang, tapi Denik tidak mau. Ujungnya dia malah dipaksa. Kemudian datang dua temannya disaat cowok itu tengah beraksi. Alkohol yang mendominasi membuat mereka melakukan perbuatan terkutuk itu bergantian.Dada Dikri serasa tercabik-cabik. Bisa membayangkan bagaimana paniknya Denik. Pasti lebih histeris daripada Puspa yang hanya digagahi olehnya sendiri.Sanggupkah Dikri mengaku pada sang adik, kalau kakaknya pernah sebejat itu? "Den, mas harus ba
"Tiga hari yang lalu, Denik datang ke rumah malam-malam dalam keadaan kacau balau. Ternyata dia diperkosa oleh pacar dan dua teman pacarnya."Mereka terkejut bukan main. Bu Lurah saling pandang dengan Pak Lurah, sedangkan Puspa bersipandang dengan suaminya. Tubuh wanita hamil itu gemetar. Bram langsung menggenggam tangannya."Nasib keluarga Om Maksum sama seperti yang kita alami. Tapi lebih parahan mereka," lanjut Indah Pak Lurah langsung membuang muka. Memang sepantasnya begitu. Apa yang ditanam, itulah yang dituai. Ibaratnya menanam satu biji kedelai, maka akan panen segenggam kedelai. Namun lelaki itu menahan diri untuk tidak bicara apapun. Dia ingat kalau Puspa sedang hamil muda. Jangan sampai membuat putrinya kembali tertekan. "Mereka merasakan apa yang kami rasakan," ucap Bu Lurah lirih."Iya, Bu. Tante Ira shock banget. Dikri yang tampaknya sangat terpukul," jawab Indah.Tangan Puspa terasa dingin digenggaman sang suami. Bram menyadari ketidaknyamanan itu. Dilihatnya jam tang
PERNIKAHAN- Puncak Kemarahan BramVanya melamun di kamarnya. Benarkah Puspa hamil? Perkataan Sony pagi itu mengusik jiwanya. Seminggu ini ia kerap memperhatikan apapun yang dilakukan oleh Puspa. Sering mencuri pandang area perut yang terlihat masih rata. Apa karena Puspa memakai gamis longgar sehingga perutnya tidak kentara. Ia merasa terombang-ambing oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Dia tidak menginginkan anggota keluarga baru. Apalagi bayi itu dilahirkan oleh Puspa.Selain muntah-muntah dan perut membuncit, apalagi tanda-tanda orang hamil? Entahlah, Vanya tidak paham. Namun kenapa papanya tidak memberitahunya dan Sony kalau memang benar mau punya adik.Sungguh ia tidak terima. Vanya merasa papanya telah melupakan dan mengkhianati mama mereka. Apalagi kalau benar Puspa hamil. Vanya merasa terancam, seolah-olah kehadiran calon adik barunya akan menggeser posisinya dalam keluarga. Simbol perubahan yang akan mengubah segalanya. Takut kehilangan perhatian yang selama ini ia terima
Puspa bersandar di dada sang suami. Bram memeluknya. "Kamu sudah hamil sebelum kita honeymoon. Maafkan mas yang terlalu sibuk, Puspa." "Nggak apa-apa. Aku ngerti kok.""Rencananya mas mau ngajak kamu bulan madu sehabis panen selesai. Ternyata keduluan kamu hamil."Mereka ngobrol hingga Maghrib. Usai salat langsung turun untuk makan malam.Seperti biasa, Puspa menata meja makan dibantu sama Mak Sri. "Kakak mana, Dek?" tanya Bram saat melihat Sony turun sendirian."Masih di kamar, Pa. Tadi sudah Sony panggil, tapi Kak Vanya nggak menjawab."Bram kembali berdiri dan menaiki tangga. Mengetuk pelan kamar putrinya. "Kak, ayo turun. Kita makan malam."Pintu terbuka. "Iya, Pa.""Kamu kenapa? Ada yang mau kamu ceritakan ke papa?""Nggak ada."Vanya melangkah lebih dulu, diikuti Bram dari belakang. Serasa makin berjarak saja antara dirinya dengan sang anak. Apa dirinya salah menikah lagi? Apa salah memilih wanita yang tidak disukai putrinya? Tapi kalau menuruti Vanya, Bram yang tidak bersedi
"Kadang saya bingung harus bagaimana bersikap, Ma. Supaya Vanya mau menerima kehadiran saya.""Puspa, nggak usah pikirin itu. Nggak ada yang kurang dari caramu bersikap pada anak-anak. Fokus saja pada kehamilanmu, ya."Percakapan mertua dan menantu terhenti saat mereka melihat Bram datang naik motor dan berhenti di teras rumah. Wajahnya terlihat tegang."Ada apa, Bram?" tanya Bu Dewi."Pak Dul bilang, Vanya tidak ada di sekolah, Ma.""Loh, lha ke mana dia?" Bu Dewi kaget, begitu juga dengan Puspa. Degup jantung wanita hamil itu berdetak hebat. Hingga merasakan nyeri di perutnya."Saya akan menyusulnya ke rumah Santi, Ma.""Aku ikut, Mas," kata Puspa."Kamu di rumah saja.""Mama saja yang ikut, Bram.""Tidak usah, Ma. Biar saya selesaikan sendiri. Saya tidak ingin Mama sakit lagi.""Mama sudah nggak apa-apa."Bram kemudian masuk ke rumah untuk mengambil kunci. Melihat Bram seperti itu, Bu Dewi tidak tega membiarkan putranya pergi sendirian. Baginya Bram adalah pria yang sangat sabar.
PERNIKAHAN - Takut KehilanganBram sangat terpukul, sedangkan Puspa terlihat jauh lebih kuat. Menerima kenyataan kalau calon bayi kedua mereka akhirnya tidak bisa dipertahankan. Bu Dewi terisak-isak ditenangkan oleh Bu Lurah. Dia sangat menyesali hal ini terulang kembali. Menyesali sikap cucunya yang membuat Puspa terlalu banyak pikiran sehingga keguguran.Pak Lurah yang duduk di sofa juga sedih. Penderitaan putrinya belum selesai."Mas, nggak usah sedih. Takdirnya memang harus begini. Aku ikhlas kok," ujar Puspa pelan. Kondisinya masih sangat lemah, tapi terlihat dia berusaha untuk kuat. Bram yang duduk di sebelah, menggenggam jemari sang istri dan menciuminya berulang kali."Maafkan mas. Seharusnya mas bisa lebih protektif pada kalian berdua. Mas janji, setelah ini. Apapun yang terjadi, mas akan menjagamu."Puspa tersenyum. Sebenarnya dia juga sangat terpukul saat dokter memberitahu kalau janinnya tidak bisa diselamatkan. Namun Puspa berusaha tabah menerimanya. Dokter memberikan pe
"Kamu mau makan apa? Mas suapi." Bram memandang ke arah meja yang penuh macam-macam makanan. "Nggak usah, Mas. Aku masih kenyang. Aku mau tidur ya, ngantuk banget rasanya.""Oke." Bram berdiri membenahi letak bantalnya Puspa. Menarik selimut hingga ke dada, lantas ia kembali duduk.Bram juga menyuruh mertuanya untuk beristirahat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Sekarang hanya Bram saja yang masih terjaga. Mengusap jemari sang istri seraya memandangi wajah yang masih pucat.Keguguran dua kali, ia bisa merasakan bagaimana sakitnya. Puspa cerita kalau keguguran pertama kali itu, rasanya sangat luar biasa. Seperti di remas-remas. Apalagi yang sekarang, karena Puspa harus menjalani kuretase.Awalnya Bram sangat takut kalau Puspa akan makin terpuruk dan sedih setelah dokter bilang harus menjalani kuret. Tapi kenyataannya, dia yang justru sangat terpukul dan takut kehilangan setelah melihat Puspa begitu tegar.Setelah melewati badai, menjadikan Puspa lebih siap dan sanggup
Apa Uti dan adiknya juga marah padanya? Vanya tidak berani menelepon atau mengirimkan pesan pada utinya. Takut kalau sakit utinya mendadak kambuh.Vanya memeluk guling sambil terus menangis sepanjang malam. Dia takut menghadapi hari esok tanpa papanya.***L***"Mas, nggak pulang dulu lihat Sony?" tanya Puspa sepagi itu. Ketika jarum jam menunjukkan pukul enam pagi.Di kamar perawatan hanya ada mereka berdua saja, karena habis subuh tadi Pak Lurah dan Bu Lurah pamit pulang. Sebab pagi ini mempekerjakan beberapa orang di sawah."Mas sudah meneleponnya subuh tadi. Dia minta dijemput ke sini setelah pulang sekolah.""Bagaimana pertemuan Mas dengan Vanya kemarin sore? Apa dia ikut pulang?""Tidak perlu kamu pikirkan mengenai Vanya. Kamu fokus untuk pulih dulu, ya. Biar mas bisa segera mengajakmu kembali pulang ke rumah."Puspa mengangguk pelan. Mendengar jawaban suaminya, pasti tidak ada perubahan apapun setelah Bram datang menjemput. Sekeras itukah Vanya? Bermakna kebencian gadis itu terh
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant